Wednesday, April 28, 2010

Letupan Semangat dari Negeri Tulip




Perasaanku sedikit meringsut karena sejak tadi Ibu itu tak kunjung datang juga. Aku telah janjian tadi pagi kalau aku akan wawancara beliau soal pendidikan di Indonesia ini. Sudah jam 10, tapi Ibu itu tak datang juga. Aku tadi mampir di kelas beliau, tapi beliau sedang mengajar.

Sepuluh lebih lima. Aku ke ruangan beliau saja. Kalau sampai tak dapat informasi, bisa jadi masalah. Deadline tulisan buat mading (majalah dinding) kampus tinggal esok. Aku harus menulis tentang pendidikan tinggi di negeri ini. Maklum, inilah kebiasaan mahasiswa Indonesia, kalau dapat tugas, sistem SKS-lah yang jadi primary choice untuk dieksekusi. Kau tahu apa sistem SKS? Bukan sistem kredit semester, tapi itu ‘Sistem Kebut Semalaman’. Tapi, syukur, Ibu itu ada di ruangan.

Shiskha Prabawaningtyas, itu nama sang Ibu. Ia adalah dosen Jurursan Hubungan Internasional universitas tempatku belajar. Setahuku ia lulusan luar negeri. Aku segera hampiri beliau dan wawancarai. Aku buka pertemuan dengan perkenalan dan setelahnya meminta data diri ibu itu.

Syukur, Mbak Icha, begitu ia minta aku memanggilnya, tak memarahi aku ketika aku sampaikan bahwa deadline tulisan adalah esok harinya. Meski sedikit menyindir, aku tahu bahwa ia menyayangkan kelakuanku itu. Tapi di luar itu semua, beliau sangat kooperatif dalam menjawab pertanyaanku. Dan ternyata aku baru tahu, beliau lulusan Belanda, tepatnya Universitas Leiden. Beliau adalah lulusan Master of International Relations and Diplomacy dari Faculty of Social Behavioural (Facultiet Social Wattenschappen), Universiteit Leiden.

Sebuah Persinggungan Sejarah
Kau tentu tahu Universitas Leiden ‘kan? Universitas yang memiliki persinggungan sejarah dengan negeri nusantara ini. Ia juga merupakan universitas tertua di negeri Oranye itu. Di awal, beliau, Mbak Icha, membawaku pada sejarah Bumi Pertiwi ini. Leiden menjadi tempat belajar raja-raja Jawa. Ketika menjajah, Belanda memang membatasai pendidikan orang pribumi. Tapi, ada yang bisa bersekolah hingga tingkat tinggi yakni raja-raja itu atau yang sering disebut priyayi.

Sebagai contoh, KI Hajar Dewantara yang berhasil menjadi mahasiswa di sana pada 1908. Kemudian sang founding father Mochamad Hatta, juga Sutan Syahrir. Tokoh-tokoh itu merupakan nama-nama yang tentu tak akan mungkin kau lupakan. Menurut sejarah, bahkan nama Indonesia lahir di sana yakni ketika sekelompok mahasiswa Indonesia termasuk Bung Hatta membentuk Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia)

Terlepas dari itu semua, Belanda memiliki sistem pendidikan yang self-studies oriented. Mahasiswa diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi ide dan kemudian menyampaikannya. Porsi kontribusi dosen hanyalah sebagian kecil. Mahasiswa adalah pemain utama dalam permainan edukatif di kelas. Maka, membaca adalah kunci utama memenangkan permainan itu.

Ini baru namanya pendidikan yang inovatif. Artinya menempatkan mahasiswa menjadi benar-benar kreatif dan produktif. Inovasi itu tak harus yang muluk-muluk. Semua mulai dari hal kecil, yakni 'baca' dan 'baca'.

Sayang, di bagian ini, Mbak Icha menyelipkan sebuah sindiran. “Yang jelas pendidikan di Belanda tak ada budaya kebut semalaman. Semua well-prepared.” Kali ini aku kena pukulan telak. Aku hanya diam saja, sambil senyum-senyum sendiri.

Seorang intelektual bernama Nurcholish Madjid bahkan menyatakan bahwa sistem pendidikan Belanda inilah yang membuncahkan semangat nasionalisme kala itu. Orang-orang Indonesia seperti Bung Hatta dan Syahrir melakukan pemberontakan ideologi meski yang menjadi bekal semua itu adalah pendidikan Belanda sendiri. Kebebasan berpendapat yang diterapkan memupuk keinginan membentuk negara yang mandiri.


Keukenhof
Di luar pendidikannya yang bisa dibilang one step ahead, ternyata Belanda juga memiliki inovasi yang juga one step ahead. Mbak Icha membawaku masuk dalam imajinasinya pada masa ketika ia berkuliah. Adalah taman Keukenhof yang dikelola inovatif dan kreatif yang hingga kini masih menjadi magnet hidup penarik perhatian wisatwan dunia.

Keukenhof adalah taman bunga tulip yang ada di negeri kincir angin itu. Pengembangan ladang tulip begitu menjadi perhatian pemerintah. Setiap pemilik ladang diberi stimulus oleh pemerintah untuk berlomba. Kompetisi yang dibangun adalah kompetisi untuk terus berkreasi memunculkan varietas baru. Setiap petani diberikan kesempatan untuk menampilkan kemahirannya dalam memelihara bunga khas Belanda itu.

Meski asalnya bukan dari Belanda sendiri, yakni dari Turki, negeri dibawah permukaan air laut itu berhasil meyakinkan dunia bahwa itu adalah identitasnya. Penegasan itu dikonfirmasi dengan diadakannya Bloemencorso tiap April hingga Mei. Blomencorso adalah festival bunga tulip ketika bunga itu mengembang. Parade jalanan digelar. Berbagai bentuk rekaan dipamerkan bak karnaval. Yang menarik, tentu tulip-tulip indah yang menjadi penghias utamanya. Tak pelak, dalam periode itu, Belanda mendadak jadi gula wisata yang dikerumuni banyak semut-semut wisatawan.


Meski hanya bunga, tulip ternyata memang memiliki keunikan. Bukan dari strukturnya, tapi nilai yang ia berikan pada yang negara melambungkan namanya itu, yakni nilai pariwisata juga nilai eknomi. Datangnya wisatawan tak dipungkiri menambah pundi-pundi pendapatan negara tersebut. Dan yang paling membuat tulip ini unik adalah kreativitas petaninya juga perhatian pemerintah hingga orang-orang bilang, “Belanda itu tulip, tulip itu Belanda.”

Dalam analisis marketing, Belanda telah berhasil menjadikan dirinya top of mind publik dunia bahwa ia adalah Negeri Tulip. Bunga itu seakan menjadi lambang supremasi daya tarik negeri yang pernah bersentuhan dengan negeriku ini.

Sayang, Mbak Icha tak meneruskan kisahnya soal tulip. Ia berbalik arah kembali ke pendidikan. Kali ini ia tak beromantika pada masa lalu lagi. “Let bygones be bygones!” begitu katanya.

Belanda: homy
Ia mulai bercerita soal bagaimana belajar di Belanda itu. Negara asal VOC itu saat ini adalah negeri yang homy. Khusus bagi pelajar Indonesia, makanan bukan lagi masalah yang menakutkan. Banyak ditemukan tempat makan yang sesuai lidah orang Indonesia. Di sana ada nasi goreng, ada soto, ada rendang dan masih banyak lagi. Selain itu, sudah banyak pelajar Indonesia yang ada di sana dan bisa dimintai bantuan ketika ada kesulitan.

Saat ini, pelajar-pelajar Indonesia di Belanda diikat oleh sebuah organisasi bernama PPI atau Perhimpunan Pelajar Indonesia. Sebenarnya organisasi ini tidak baru. Ini adalah perkembangan dari Indische Vereeniging-nya Bung Hatta.

Dan yang unik, kadang ada orang-orang tua yang bisa berkomunikasi mengunakan bahwa Bumi Pertiwi ini. Kebanyakan mereka memiliki keluarga yang pernah di Indonesia semasa kemerdekaan atau juga bekas pegawai Shell, salah satu perusahaan migas Belanda, di Indonesia.

Tentu tak semua orang berbahasa Indonesia. Jadi masalah donk? Tenang saja. Meski Belanda punya bahasa sendiri, sebagain besar penduduknya bisa bahasa Inggris. Jadi tak ada maslah ‘kan?


Belajar di Belanda, bisa ngirit plus sehat. “Kok bisa?” aku sontak ingin mengonfirmasi pernyataan Mbak Icha itu. Ternyata di Belanda terdapat transportasi utama yang sangat digemari, yakni sepeda. Setiap jalan utama, di bagian pinggirnya disediakan space khusus buat sepeda. Harga sepeda pun juga cukup affordable. Alternatifnya bisa membeli yang bekas, berkisar antara 45 dan 140 euro. Dengan menggunakan sepeda sebagai alat transportasi, biaya yang dikeluarkan dari rumah atau kosan ke kampus tentu gratis. Plus, hidup pun jadi lebih sehat.

“Ini baru inovasi..!” begitu seru Mbak Icha. Bukan hanya ide, tapi eksekusinya juga ada dan nyata. Bukan hanya penduduknya tapi pemerintah juga mendukung. Kalau di Indonesia susah. Kampanye-kampanye bike to work, eh, pemerintahnya diam saja, “Kayak ngga denger aja..”

Sampai itu aku agak terkesima. Tapi tiba-tiba sebuah pertanyaan terbesit. Meski sebentar tapi mengganggu. “Bagaimana biayanya ya?” Ini masalah sensitif. Bukan bagiku saja. Bagi siapa saja, urusan uang itu bisa mengernyitkan dahi. Kadang mengecilkan nyali juga.

Tapi Mbak Icha meyakinkan bahwa biaya itu bukan masalah. Biaya kuliah di Belanda memiliki kisaran yang sangat beragam. Untuk tingkat S1 atau bachelor, besaran biaya kuliah antara 3.500 dan 7.000 euro per tahun atau Rp 50 juta sampai Rp 101 juta. Adapun untuk program S2 atau master, biaya yang diperlukan antara 4.000 dan 15.000 euro per tahun. Itu kalau biaya sendiri. Ada alternatif lain dan ini yang paling dicari. Ya, beasiswa. Mbak Icha sendiri adalah penerima beasiswa. “Wah, enaknya..” kataku dalam hati.

Mbak Icha adalah penerima beasiswa StuNed (Studeren in Nederland). Beasiswa ini untuk pegawai negeri, aktivis LSM dan juga wartawan. Tapi beasiswa bukan hanya StuNed saja. Banyak beasiswa yang bisa diraih untuk studi di Belanda.

Ada beragam beasiswa yang dapat diraih antara lain Huygens Scholarship Programme (HSP), Netherlands Fellowship Programme (NFP), The Indonesian Young Leaders Scholarship Programme, Amsterdam Merit Scholarships, Berlage Institute Scholarship, CHN-SGS Scholarship, Erasmus Mundus Scholarship programme.

Juga ada beasiswa dari pemerintah Indonesia sendiri melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) dan Departemen Komunikasi dan Informatika. Dan masih banyak lagi beasiswa yang bisa ditembus.

Informasi selengkapnya bisa didapatkan siapapun di Netherlands Education Support Office (Neso) Indonesia. Kumpulan informasi tentang Belanda ada di organisasi itu. Kalau ingin online saja, maka website www.grantfinder.nl bisa jadi alternatif.

Tapi ada satu yang selalu jadi masalah pelajar Indonesia. Mereka bisa berkomunikasi pakai bahasa Inggris. Was wes wos malahan. Tapi ketika kemampuannya diuji lewat tes TOEFL, baru klepek-klepek. Standar beasiswa ke luar negeri biasanya 550. Nah, ini yang harus menjadi tantangan dan harus segera diselesaikan. Tapi, tiba-tiba Mbak Icha melontarkan pertanyaan padaku, “Kamu berapa TOEFL-nya?”

“Hehe, 500 aja masih belum, Mbak…”

Aku dapat pukulan telak kedua. Tapi, cerita Mbak Icha sedikit menciptakan letupan semangatku untuk meraih kesempatan belajar di luar negeri, ya salah satunya di Belanda. Aku diam-diam berharap, semoga saja letupan itu bisa membakar sekam kenyataan bahwa aku benar-benar bisa belajar di negeri orang nantinya. Semoga!
****


*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya atau buka link-link berikut
* kompetiblog2010.studidibelanda.com
* majalah.ppibelanda.org
* wikimedia.org
* www.holland.com
* wikimedia.org

Sunday, April 25, 2010

Perbankan Syariah: Sebuah Produk Sekaligus Ekspresi Keimanan

Pada 2009 lalu, Komite Perbankan Syariah Direktur Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan sebuah strategi baru pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Strategi ini meliputi beberapa strategi utama yakni pencitraan baru, pengembangan segmen, pengembangan produk, peningkaan pelayana dan komunikasi yang terbuka dan universal. BI merangkum strategi itu dalam sebuah Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah.

Bila diperhaikan lebih cermat, konsep pengembangan tersebut ingin menekankan perlunya sikap keterbukaan dari perbankan islami itu. Selama ini memang diakui bahwa perkembangan perbankan syariah masih jauh dibanding yang konvensional. Akan tetapi, bila dilihat dari rasio perkembangannya, perbankan syariah mencatat angka yang impresif yakni rata-rata 46,3 persen. Meski demikian, penyelenggaraan perankan syariah yang masih terkesan eksklusif.

Inklusivitas
Segmen yang tersentuh belum terlalu merata. Artinya, masih terjadi tendensi atas layanan yang disediakan. Selain itu, layanan perbankan ini belum terintegrasi dengan sistem keuangan global. Pembiayaan syariah di Indonesia masih terfokus pada pasar domestik. Selain itu, tingkat sofistikasinya masih tertinggal oleh bank-bank konvensional.

Pada satu sisi memang ini menguntungkan. Ketika terjadi krisi finansial global pada 2008 lalu, perbankan syariah hampir tidak terusik sama sekali. Akan tetapi, ketika ekspansi menjadi sebuah urgensi, maka perbankan syariah sepertinya harus lebih dikembangkan lagi, baik dari sisi teknologi, layanan maupun jaringan.

Inklusivitas perbankan syariah dapat dilakukan dengan keterbukaan layanan pada pasar yang ada menjadi sasaran. Fokus pada segmen tertentu memang harus dilakukan, akan tetapi ekspansi yang dilakukan tentunya membutuhkan jumlah pasar yang juga lebih besar. Meski bisa dikatakan bahwa pasar syariah telah luas, tetapi pada kenyataannya, pasar tersebut seperti masih menjadikan syariah sebagai alternatif.

Konsumen syariah umumnya masih menggunakan layanan konvensional sebagai produk utama. Hal ini bukan disebabkan oleh karakteristik produk yang diberikan, akan tetapi kemasan yang disajikan oleh perbankan syariah yang masih terkesan “tendensius”.

Dua Peran
Sebagai contoh penggunaan istilah dalam setiap produk yang bisa dikatakan hanya “terjangkau” oleh kaum Muslim. Sebagai contoh, terdapat sukuk, ijarah, mudarabah, dan lain-lain. Meski demikian, hal ini bukan berarti istilah tersebut harus diubah. Istilah tersebut memang ciri khas dari Islamic Banking dan memang sepertinya harus dipertahankan. Yang perlu dilakukan adalah penekanan bahwa perbankan syariah adalah benar-benar produk perbankan.

Memang diakui bahwa penamaan itu mengikuti kaidah fikih yang berada di kalangan Islam. Juga diakui, untuk umat Islam, perbankan syariah bia dikatakan sebagai salah satu bentuk ekspresi keimanan seseorang. Sebagai seorang muslim, tentunya memang perlu terlibat langsung dalam mengembangkan indutri ini. Karena pada dasarnya, industri perbankan syariah lahir sebagai sebuah aktualisasi ajaran keagamaan yang implementatif.

Akan tetapi, untuk keperluan ekspansi, pemikiran pragmatis positif sepertinya perlu diambil. Artinya, bukan berarti mereduksi kandungan keimanan yang ada, tetapi pada sisi lain, perbankan syariah harus diakui memang benar-benar produk yang memang perlu dikembangkan. Jadi, di satu sisi, perbankan syariah tetap menjadi sebuah manifestasi peribadatan umat Islam, dan di sisi lain ini adalah sebuah produk yang bisa diakses lintas kalangan.

Pada sisi kedua tersebut, perbankan syariah seharusnya dimaknai sebagai benar-benar produk perbankan yang benar-benar menjadi alternatif layanan perbankan yang menjanjikan. Perbankan syariah adalah sebuah layanan yang siap bersaing dan menjadi pionir di dunia keuangan yang benar-benar memberikan win-win solution baik bagi nasabah maupun bank penyelenggara.

Pemaknaan layanan perbankan syariah sebagai produk perbankan pada umumnya sebaiknya dilakukan. Sehingga, perbankan syariah Indonesia akan memiliki citra baru yang bisa menarik semua golongan masyarakat tanpa terkecuali. Karena, perbankan syariah memiliki sistem bagi hasil yang memberikan proprosi keuntungan yang seimbang bagi kedua belah pihak.

Prospek
Prospek ke depan perbankan syariah, menurut beberapa analis, memang menjanjikan. Perkembangan perbankan syariah bisa dikatakan pesat. Total aset pada pada 2009 mencapai 87 trilliun. Sementara, pada 2010, BI kembali menampabh proyeksinya menjadi 98 trilliun. Hal ini menunjukkan bahwa optimsme kemajuan layanan syariah terus berkembang.

Pada tahun ini, bahkan hadir lima bank syariah baru yakni BNI syariah, Bank Jabar Banten Syariah, Maybank Syariah dan dua bank lagi yang sedang menjalani uji tuntas (due diligence). Lima bank ini akan melengkapi delapan bank syariah yang telah ada yakni Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, bank Mualmalat, Bank Danamon Syariah, bank Permata Syariah, bank Victoria Syariah, bank Bukopin syariah dan BCA Syariah. Sementara tren ke depan, unit usaha syariah (UUS) pada bank-bank lain akan menjadi bank umum syariah (BUS) sendiri.

Akhirnya memang positioning khas Perbankan Syariah sebagai "lebih dari sekedar bank" (beyond banking) perlu kembali dikedepankan. Perbankan syariah merupakan sebuah alternatif perbankan yang menjanjikan. Layanannya yang bersifat win-win solution bisa diakses oleh semua golongan. Tak ada tendensi dalam perbankan syariah.

Secara khusus, Perbankan syariah memang sebuah ekspresi keimanan bagi kaum muslim. Namun, pada umumnya, dan ini yang sangat perlu ditekankan, produk syariah adalah untuk semua kalangan.

Meski demikian, demi sebuah perkembangan, masih banyak hal-hal yang bisa dilakukan oleh industri perbankan syariah apabila ingin meningkatkan jumlah nasabahnya yang jumlahnya saat ini masih berkisar 5 juta nasabah.



Tulisan ini diikutsertakan dalam iB Blogger Competition
nikmati juga tulisan ini bersama tulisan-tulisan lainnya di Kompasianaku



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya (islamicbanking.info)

Saturday, April 24, 2010

Gelas Kosong

A: Eh Bai, besok ada seminar tentang ini lho…
B: Ah, gue udah tahu, lho ngga usah ngasih tahu..
…….
A: Wah seminar tadi menarik bener, dapat uang transport lagi..
B: Eh lo tadi dimana, aku kok ngga dapet gituan?
A: Ya, lha wong tempat yang kamu maksud tadi itu beda, makanya jangan sok tahu


Mengerti segala hal sepertinya menyenangkan. Ketika orang baru mempelajari sesuatu, kita sudah tahu duluan. Kita akhirnya merasa paling tahu dan paling benar. Tapi, saya jamin, ini tu ngga mungkin. Informasi di muka bumi ini sangat banyak. Masih banyak informasi yang orang ketahui tapi kita tidak. Itu kenyataan. Percaya?

Rasanya enak sekali bisa lebih dulu tahu sesuatu dari pada orang lain. Ini sah-sah saja. Saya pun juga ingin seperti itu. Terus akhirnya belagak menggurui yang lain, wuih , rasanya sudah jadi orang paling pinter aja. Disanjung, wah kamu hebat ya!

Akan tetapi, perlu disadari, hal ini bila keterusan, sikap ini akan membuat kita mengada-ngada pas kita sebenarnya ngga tahu apa-apa. Istilahnya sok tahu ye (bahasa keren-nya “sotoy”). Ya kalau tahu ngga apa-apa, kalau ngga tahu itu lho. Ujung-ujungnya, yang muncul adalah sikap tidak mau mendengarkan orang lain. Menganggap orang lain salah dan ngga tahu apa-apa.Ya ngga sih? Hehe pis2

Kita sudah harus sadar bahwa kita itu sebenarnya masih sangat jauh untuk bisa disebut pintar. Ya kasarannya tahu segala hal. Terlalu banyak jenis informasi yang ada. Menutup diri dengan belagak sok tahu jelas bukan solusi yang baik. Malah bisa beraibat yang buruk. Contoh kecil akibatnya bisa seperti yang saya tuliskan pada percakapan di awal tulisan ini.

Dalam hal seperti ini kita harus bersikap terbuka. Istilahnya jadilah gelas kosong. Sebab dengan menjadi gelas kosong, kita akan terus siap untuk menerima apa yang datang. Dan begitu sudah mulai penuh, gelas kita harus lebih besar lagi untuk terus menampung (YW Junardy, 2008). Kita harus terus membuka diri untuk semua informasi yang datang. Dan kita terus membukanya lebar-lebar.

Cak Nur, pernah menyampaikan bahwa kebenaran bisa datang dari mana saja. Kita tidak bisa membatasi diri. Mingkin di awal ya bisalah kita menggurui yang lain karena memang kita lebih tahu. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, informasi terus berkembang. Kita akan tertinggal bila terus menjadi “gelas yang tertutup” yang membiarkan segala informasi tumpah begitu saja. Inilah yang disebut Cak Nur sebagai sifat inklusif.

Saya pribadi menganggap, tanpa perspektif inklusif dan gelas kosong, kita akan terus menelan ketertinggalan. Mau ketinggalan jaman?

Ngomong-ngomong soal menggurui, sebenarnya tulisan saya ini pun bisa dianggap menggurui. Tapi ya mohon kelapangan hati kamu. Yang baik aja diambil, yang buruk ngga usah. Yang penting, bila kita terus membuka diri seluas luasnya, kita pun akan memunculkan sikap saling menghormati yang lain, entah dari golongan, agama, atau etnis manapun.

Kita akan terus memupuk persaudaraan dengan yang lain, bukan bikin masalah mulu. Saya pikir ko’ ini mudah ya, tapi ngelakuinnya tergantung pribadi masing-masing. Yuk, jadi gelas kosong!




*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya

Wednesday, April 21, 2010

Falsafah Jalan

Yang lumpuh : “Coba kakiku normal, ntar kan lebih enak..”

Yang berjalan :”Coba aku punya sepeda, ntar kan lebih enak..”

Yang bersepeda :”Coba aku punya motor, ntar kan lebih enak..”

Yang punya motor :”Coba aku punya mobil, ntar kan lebih enak..”

Yang punya mobil :”Kasian deh lo, ngga punya mobil”

Sungguh menyenangkan apabila kita bisa punya barang apapun yang kita inginkan. Inginnya semua kesampaian. Punya rumah mewah, mobil mewah, istri muda nan cantik, uang melimpah dan apa deh yang mewah-mewah. Meliki semuanya serasa hidup akan nyaman, dunia akhirat. Apalagi kalau hidup terus seperti itu sampai ntar mati. Wah enak banget tuh. Tapi, saya jamin, dua ribu persen, ngga mungkin! (Eh emang elo siapa, Syid? Ngatur-ngatur…)

Memang sah-sah saja punya keinginan, lha wong ngga ada yang ngelarang. Lalu mengapa saya membahasnya? Jawabannya adalah bukan karena keinginan itu harus dihapus, tetapi keinginan itu yang harus dikelola dengan baik. Keinginan jangan dibiarkan mengelabuhi pikiran kita sehingga akhirya menjadi beban pikiran.

Kalau kamu cermati percakapan di awal tulisan ini, maka dengan mudah kamu pasti tahu orang macam apa yang saya gambarkan itu. Mereka adalah orang-orang yang selalu menginginkan hal yang lebih. Sekali lagi sah saja punya keinginan, tetapi apa yang sering muncul adalah keinginan yang tinggi itu hanya angan-angan yang ngga realistis.

Inilah gejala orang-orang yang tidak bersyukur. Kita seringkali melihat kondisi orang lain yang (kelihatannya) setingkat lebih beruntung. Namun apakah sebenarnya seperti itu?

Jawabnya tidak. Mari sejenak menyimak sebuah falsafah orang yang berjalan.

Berjalan itu dengan merunduk bukan menengadah ke atas. Dengan merunduk, kita bisa tahu apa yang ada dihadapan kita. Berjalan pun akan selamat hingga tujuan.

Kalau menengadah ke atas, kita bisa tersandung apapun karena tidak tahu jalan. Bahkan, mungkin kita tidak akan tahu kalau didepan kita adalah jurang, sementara kita terus berjalan.


Kamu mau masuk jurang? Aku sih ogah.

Begitu juga kehidupan kita ini. Ketika dihadapkan pada sebuah kenyataan tidak sepatutnya kita terus melihat kondisi orang lain yang lebih baik lalu mengeluh pada kondisi sendiri. Seyogyanya kita senantiasa merunduk memandang kondisi orang lain yang kebetulan kurang beruntung daripada kita. Masih banyak orang yang belum menikmati kebahagiaan seperti kita. Ketika kita berjalan, selayaknya kita sampaikan terima kasih pada sang Khalik yang telah memberi kita kenormalan.

Bukan malah mencaci kondisi sendiri yang ujung-ujungnya menyalahkan sang Khalik . Kita akhirnya lupa bahwa dengan kondisi apapun kita tetap punya kesempatan untuk berkarya. Mari mengingat cerita Rabiah, suster apung yang mendedikasikan setengah umurnya unuk kesehatan penduduk di laut flores, atau Sugeng, seorang yang kakinya buntung.

Karena kegigihan dan kreativitasnya, ia bisa menciptakan kaki palsunya sendiri. Bahkan, belakangan ia menginspirasi sebuah event G 1000 KP, sebuah acara pendonasian seribu buah kaki palsu untuk orang yang senasib dengan Sugeng.

Kamu perlu tahu, mereka tidak punya mobil ataupun rumah mewah. Yang mereka punyai adalah tekad dan semangat untuk terus hidup dan dalam keterbatasan yang mereka miliki. Mereka tidak pernah mengeluh ataupun berharap yang tidak-tidak.

Mereka menjalani hidup dengan optimis, realistis dan penuh perjuangan. Mereka menciptakan cahaya harapan hidup mereka sendiri. Bahkan, mereka membagikan cahaya itu pada orang lain. Dalam keterbatasan seperti itu, bahkan menurut saya, mereka layak disebut pahlawan, sangat layak.

Sekarang, coba kita refleksikan hal itu pada diri kita. Apakah diri kita telah berjalan di muka bumi ini dengan merunduk? Semua itu tergantung persepsi masing-masing dalam memaknainya. Kalau kita optimis dan relistis, maka apapun bisa kita lakukan. Keterbatasan bukan berarti penghambat kita untuk beprestasi. Apakah sebenarnya keterbatasan itu adalah anugerah terindah dari-Nya?




*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya


Thursday, April 15, 2010

Aji Mumpung Muda (Revised)

Hehe..mumpung masih muda
Santai mas……santai…..
……
Mumpung masih muda
Harus semangat, masa depan menunggu!

Sehabis kecil, manusia memasuki usia remaja. mereka memasuki masa mudanya masing-masing. Bahasa kerennya puber. Ya , kata orang-orang inilah masa-masa terindah dalam hidup. Masa-masa indah di SMA, saat kuliah. Setiap orang sangat mengagumi masa-masa ini. Mungkin memang tidak semua. Tapi pokoknya masa muda adalah yang paling T.O.P. B.G.T .(baca: te o pe be ge te).

Begitu bermaknanya masa muda, setiap orang pun punya apresiasi sendiri-sendiri tentang hal yang satu ini. Coba simak percakapan diatas. Sebagian orang mungkin mengira ini adalah masa santai-santai. Masa muda dianggap masa terbaik untuk me-malas-kan diri dari berbagai aktivitas yang intinya juga bermalas-malasan. Intinya sih ngga mau kerja keras. Hehe..nyantai mas..mumpung kita masih muda!

Mungkin kamu langsung berpikiran bahwa pikiran seperti ini hanya melanda muda-mudi yang, ya, agak beruntung (kaya maksudnya, tapi sebenanya yang kaya sih bokap nyokapnya). Mereka bisa menghabiskan banyak uang untuk senang-senang. Akan tetapi, virus nyantai sebenarnya menyerang semua pemuda, ngga pandang bulu.

Coba lihat aja, mau kaya mau miskin, semua pada sibuk SMS yang ngga penting, lalu nge-gosip yang ngga ada mutu sama sekali, lalu asyik tidur-tiduran sambil nonton TV semaleman. Wah, enak banget tuh! Ya mumpung masih muda! Kalau kamu setuju sama yang ini ya terserah. Ini yang namanya aji mumpung negatif.

Akan tetapi tentunya hal di atas tidaklah melanda semua muda-mudi. Masih ada yang baik ko’. Ada juga aji mumpung yang positif.

Sebagian pemuda yang lain punya apresiasi lain pula terhadap masa muda mereka. Muda-mudi yang ini mengaggap kalau masa muda adalah masa emas untuk menabung pengalaman, menabung ilmu, membangun relasi untuk mencapai masa depan yang baik. Mereka ini sangat menghargai waktu yang ada dengan bekeja keras dan belajar sungguh-sungguh demi masa depan mereka. Tiap hari hanya sibuk memperkaya diri dengan pengalaman-pegalaman berharga. Ayo semangat, mumpung masih muda, masa depan kita ada di tangan kita sendiri!

Di umur 26 seorang Yoris Sebastian telah menjadi General Manajer termuda se-Asia di Hard Rock Café. Pada umur 26, seorang Billy Boen, telah menjadi GM termuda perusahaan ternama Oakley. Sementara, Anies Baswedan telah menjadi Rektor di Universitas Paramadina di usia 38 tahun. Dan, mari tengok Firmanzah yang menjadi dekan di Fakultas Ekonomi UI pada umur 33 tahun.

Wow! Mereka adalah contoh kecil beberapa pemuda yang begitu bersemangat untuk mewarnai masa mudanya dengan pensil-pensil prestasi. Masih banyak pemuda lain yang memiliki kehidupan prestatif. Masa ngga iri sih lu?(Hehe sok nyuruh ya?)

Hayu, kamu termasuk aji mumpung yang mana? Memang kita tidak bisa sama persis sama mumpung yang positif tadi, apalgi sama tokoh-tokoh yang saya ceritakan itu. Saya pun mengakui, sulit banget. Rayuan virus nyantai itu luar biasa menggoda. Akan tetapi, kita haus tetap memantapkan hati unuk sadar bahwa sukses di masa depan adalah apa yang kita usahakan hari ini. Ya boleh lah kita aliran aji mumpung negatif, tapi ya kadang-kadang aja. Maka dari itu aliran aji mumpung positif harus menjadi prioritas dalam hidup kita. Do you agree?

Oleh karena itu, hari kemarin sudah terlambat untuk di ingat-ingat lagi, tetapi kita juga tidak bisa mengandalkan hari esok. Hari ini adalah yang terpenting. Memanfaatkan masa muda dengan sebaik-baiknya adalah hal yang paling bijak. Masa muda yang dipenuhi usaha will make our dreams come true, really true.

Dua golongan pemuda yang menganut aliran aji mumpung masing-masing tadi sama-sama punya 24 jam sehari. Yang satu 24 jam-nya penuh dengan kemalasan, yang satunya penuh usaha dan prestasi. Kamu pilih yang mana?




*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya


Sunday, April 11, 2010

Aku Liberal?


Kacang goreng malam itu memang pas. Semakin malam sepertinya semakin merayu. Tapi aku sadar, rayuannya itu bila ditandingkan dengan waktu maka akan membuat grafik downward slope. Semakin malam, semakin menipis, akhirnya lenyap juga rayuannya. Tapi kopi sepertinya yang masih setia menemaniku bergayung sambut dengan temanku, Ikhwan.

Kami bercerita soal kampungku yang habis terkena bencana banjir. Tapi untungnya tak ada yang jadi korban jiwa. Ikhwan sendiri sore tadi baru pulang dari demonstrasi anti kekerasan di Palestina. Sebenarnya awalnya kami hanya bercanda, tapi entah apa, kami jadi berbicara soal yang dalam-dalam.

"Mad, aku lihat Indonesia ini tu udah banyak bencana. Kayaknya Allah itu marah! Buktinya, kampungmu saja dikasih bencana.." Ikhwan agak berkobar. Dalam hatiku, ah ada malaikat apa yang lewat ini? Tapi aku diam saja. Tapi dia masih berkobar.

"Sepertinya, Allah melaknat negeri ini!"

Suaranya memekik, menyengat. Tapi aku paham maksudnya, tapi tak terlalu. Aku bisa mengerti. Lagipula memang bencana selalu menyisakan sedih yang berperi.

"Ah, tahu dari mana, Akhi?"

"Eh, bukan gitu. Dalam agama itu jelas mana yang benar dan salah. Jadi tak ada kompromi. Hukum Allah harus ditegakkan."

Sepertinya aku salah langkah. Pertanyaanku yang tak genap sepuluh kata membuatnya makin semangat. Aku masih berusaha merendah. Aku hanya diam tak menanggapi. Aku sadar, kalau di teruskan, Ikhwan bisa menjadi-jadi. Bisa tak tidur malam ini aku. Sementara kopi di depanku menebar aroma harum. Aku seruput barang sedikit. Ah.. Nikmatnya, alhamdulillah.

"Mad, kau ‘kan muslim. Kau harus tegakkan agama Allah di bumi ini. Hukum Allah harus ditegakkan. Dedengkot-dedengkot kafir itu harus dimusnahkan! Orang-orang non-muslim itu, lakantullah alaih!!!"
Sekali lagi ia berkobar. Kali ini kupingku mulai panas. Suara itu menyengat kenyamananku. Aku berusaha tak peduli. Aku redakan panas hatiku dengan seruputan kopi lagi. Sruut...

"Eh, katanya kau itu muslim. Kenapa kau tak ikut demo tadi. Palestina itu saudara kita, Akhi Ahmad."

"Tadi di kampung ada selamatan dan doa bersama. Jadi aku ingin ikut juga meski di sini. Lagipula, tadi ibu menelpon. Katanya semua masih sehat." jawabku. Lagi pula, aku memang tak suka dengan demo-demo. Mending aku baca buku. Tambah pengetahuan. Bukan maksudku mengangap demo itu buruk. Tapi bagiku ada yang jauh lebih penting.

Sementara, Ikhwan masih berkoar, "Katanya ahlussunah wal-jamaah. Itu tak pernah dilakukan Rasul. Pakaianmu juga. Ini bukan sunnah. Bisa bid’ah, Akhi. Dan bid’ah itu sesat. Bisa jadi Akh Ahmad malah ahlul bid'ah, ngga jama'ah..."

Kali ini aku sudah tak tahan. Kuping dan kepalaku sudah panas. Aku sungguh tak suka dengan pernyataan itu. Tapi, aku masih coba redam diri. Sruuut..aku seruput kopi yang tinggal setengah.
"Akh, Ahmad, saudara kita di Palestina itu harus ditolong. Kalau bukan kita ini, siapa lagi. Sesama muslim itu saudara. Ini sunnah dan pesan Nabi..!"

Berkali-kali ia bilang sunnah Nabi. Seakan sudah tahu dan melihat Nabi dengan mata sendiri saja. Tapi panasnya kepalaku sudah tak tahan untuk membuncah. Kembang-kembang api seakan meletup-letup berkecamuk di kepalaku.

"Terus gimana ya, Akh?" aku masih merendah, tapi sungguh menahan-nahan.

"Akhi Ahmad harus kembali ke Al-Quran dan Sunnah. Yang dilakukan Akhi itu bid’ah!!!"
Nada tinggi darinya membuat letupan panas dikepalaku makin besar. Buncah kepeningan akhirnya pecah. Tapi aku upayakan suaraku tetap rendah.

"Akhi, kalau masalah demo, tak usahlah di besar-besarkan. Lagi pula, aku yakin bahwa konflik di sana bukan soal agama. Kan rebutan tanah. Jadi tak usah dihubung-hubungkan dengan agama kalau mau bantu mereka…" Suaraku rendah.

"Eh, Akhi ngga baca sirahnya? Jelas-jelas itu saudara kita seiman. Gimana Akhi ini!!!" jawab Ikhwan bernada tinggi. Tapi aku sadar tanggapan nada tinggi juga tak akan meredakan suasana yang mulai tak terkendali itu.

"Aku sudah baca ko', dan memang bukan soal agama. Oya, kalau masalah menolong agama Allah, aku kira tak masuk akal kalau Allah butuh manusia untuk menyelamatkan agamanya kan? Masa yang namanya Tuhan minta tolong. Dan jangan sekali-kali bilang kalau Allah laknat sana laknat sini. Itu biar jadi urusan-Nya. Ko' Akhi yang nentukan, maaf, yang Tuhan itu Allah atau, Akhi?"

Pernyataan terkahirku sepertinya blunder. Dan benar, memang fatal akibatnya. Ikhwan tak segan minta aku bertobat. Ia pikir aku sudah sesat pikirannya. Dan ia menutup jawabannya dengan, "Akhi sudah liberal ya?" tapi aku terus berusaha merendah. Tapi dalam pikirku, darimana lagi muncul istilah asing itu? Ah, apalagi itu.

" Ikhwan, terserah Akhi, bilang aku seperti apa. Tapi yang jelas, bagiku pengetahuan akan jauh lebih kuat daripada demo-demo yang akh lakukan itu."

"Maksud , Akhi Ahmad apa?!!"

"Peradaban Islam telah berjaya di bumi ini selama 8 abad lebih, Akh. Mulai abad 9 sampai 17, Islam menjadi rujukan pengetahuan dunia. Itu karena pengetahuan. Tentu Akhi kenal yang namanya Ibnu Sina, Al-Khawarizmy, Ibnu Rusd. Mereka membuat buku-buku pengetahuan yang menjadi rujukan dunia. Sementara, bangsa eropa berjaya masih 1 abad. Itupun karena kolonialisme.

Seharusnya abad 21 ini kita raih kembali. Aku tak menganggap demo itu salah. Tapi bagiku, lebih baik menambah pengetahuanku sebanyak mungkin. Bagiku, kalau mau melawan musuh, ya pakai pengetahuan. Tapi sekali lagi, aku juga tak menyalahkan demo yang akhi ikuti tadi. Toh itu juga wujud solidaritas."

Penjelasanku itu rupanya tak membuatnya lebih tenang. Aku juga tak paham mengapa. Ia malah berseloroh, "Tapi, Akhi lakukan bid’ah...sesat!!"

Sekali lagi, aku terus berusaha rendahkan suara. Tapi sebenarnya badai tropis berkecamuk di kepala.

"Gini, Akhi, yang harus dibedakan adalah budaya dan agama Nabi. Di Arab memang tak ada tahlilan tak ada selamatan. Ya Nabi tak lakukan itu lah. Yang penting dari agama itu adalah bisa mendekatkan diri dengan Tuhan, Allah. Ya dengan sholat, dengan puasa, amal jariah.

Kan itu yang sama antara saya dengan Akhi Ikhwan. Ya sudah itu jadi semanagt kita untuk bersatu, bukan malah cari perbedaan terus diperbesar-besarkan. Meski berbeda, kan intinya sama, mendekat pada Tuhan. Kalaupun berbeda ya sudah lah, ngga usah dipermasalahkan. Bikin perpecahan saja, Akh... Kalau umpamanya nih, nabi turun di Indonesia ini, kolak pisang itu jadi sunnah lho...."

Penjelasanku memang tak memuaskan. Aku lihat ia masih geram.

Kopi sepertinya mau habis. Aku izin padanya untuk menyeduh dua lagi. Buatku dan buat dia. Kebetulan masih ada, dan memang tinggal dua.

Tapi sungguh terngiang di kepalaku pertanyaannya, 'Akhi liberal ya?'
Bisa ya, bisa tidak. Tapi yang jelas aku Muslim.
****




cerpen ini saya dedikasikan untuk fenomena perpecahan yang terjadi pada umat agama aku anut sekarang.



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya (wikipedia.org)

Friday, April 9, 2010

Do the Best!

Essay gue bagus nih, pasti dapat juara! Punya lo mana?
Ni punyaku….., ya masih segini yang bisa aku buat.
Halah gini doank!
…………….
aduh…asem..asem
kenapa bilang gitu bro? dapat juara ngga?
Tadi itu jurinya tidak fair, ada kecurangan!
Hey, dapat juara ngga?
Hehe.. ng…ngga…

Semua orang pasti ingin menjadi yang terbaik. Mau sukses. Menjadi yang terbaik tentunya menjadi sebuah prestise tersendiri bagi yang meraihnya. Entah itu dalam hal ujian, lomba atau apapun. Pokoknya yang positif. Apapun kalau sukses, mau ngga mau, ya bangga donk. Akan tetapi, kalau yang negatif ya jangan jadi yang terbaik. Bahaya itu. Yang terburuk itu udah maksimal. Masa jadi orang yang bisa nyopet terbanyak dalam satu jam kamu bangga? Ya kalau kamu masih di ‘jalan yang benar’ ya jangan lah!

Meraih sesuatu yang terbaik memang tidak gampang. Butuh waktu dan kerja keras (hard work). Belakngan orang bijak menambahkan agar juga kerja cerdas (smart work). Sesuatu yang terbaik ‘kan hanya satu. jadi, untuk mendapatkannya tentu kita harus ‘mengalahkan’ yang lain. Akan tetapi, yang saya maksud di sini tentu bukan dengan cara yang buruk. Tentunya kitta harus tetap menjaga rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang memang menjadi nilai-nilai mulia bangsa ini.

Orang bijak pernah berkata, don’t think to be the best, but think to do the best in order to be the best! Jangan memikirkan bagaimana menjadi yang terbaik, tetapi pikirkan bagaimana cara terbaik untuk menjadi yang terbaik. Ungkapan ini mengandung arti bahwa dalam mengusahakan sesuatu, kita lebih baik untuk fokus terhadap upayanya, bukan hasilnya. Kita harus selalu mencari cara terbaik untu meraih kesuksesan. Nah, lalu bedanya dengan fokus pada kesuksesannya?


Kadang karena kita terlalu fokus pada kesuksesannya, kita lupa bahwa ini butuh proses. Kita hanya membayangkan bagaimana enaknya dipuncak tangga kesuksesan sementara ogah mikir susahnya sampai disana. Pada akhirnya, bisa muncul niat-niat atau cara-cara buruk yang ditempuh. Mari lihat beberapa kasus yang terjadi pada caleg (calon legislator, calon DPR) negeri ini.

Setelah dinyatakan tidak terpilih, sebagian ada yang langsung ngga waras alias gila. Ada juga yang marah-marah ke TPS karena ia sudah yakin menang tapi ternyata tidak terpilih. Coba perhatikan juga percakapan yang saya tulis diatas. Karena dinyatakan ngga menang lomba, langsung saja ngata-ngatain juri yang ngga-ngga. Ini akibat buruk kalau hanya fokus pada hasil kesuksesan saja. Sementara, caranya ngga dipikirin secara matang. Emang tingkah seperti itu nyelesaiin masalah? Wasteful banget ngga sih..

Kadang orang menginginkan kesuksesan karena pastinya ia akan kelihatan berbeda dari yang lain. apalagi kalau ia yang sukses sendirian. Wuh, rasanya jadi yang paling top deh. Saya pun mengakui hal itu. Ya lumrah lah, sah-sah saja. Yang penting jangan lama-lama. Bikin dosa. Namanya tuh sombong diam-diam alias ujub.

Tapi sekali lagi lagi kita sebaiknya tetep memerhatikan cara meraihnya. Jangan sampai hanya arena memburu kesuksesan, kita lupa dengan teman-teman maupun orang sekitar kita. Main sikut sana sikut sini. Wah gawat alau begitu, nambah musuh aja.

John Sifonis pernah mengatakan different is not always better, but the best is always different (berbeda tidak selalu lebih baik, tapi yang terbaik pasti selalu berbeda).

Akan tetapi, kadang ketika kita telah berupaya semaksimal mungkin untuk meraih kesuksesan, eh hasilnya tidak seperti harapan. Apalagi kita juga telah berlaku sebaik mungkin.

Pembaca yang terhormat, ingat kita punya Sang Khalik yang Masasegala-galanya. Dia tahu mana yang baik dan buruk buat kita. Dia yang tahu mana saat tepat kita mendapat kesuksesan ataupun kegagalan. mungkin saja bila kita diberi kesuksesan kita akan sombong atau kita akan merendahkan yang lain. Inilah wujud kasih saying-Nya. Mungkin Dia masih mau menyelamatkan kita dari dosa. Maka ya bersykurlah, bukan malah ngoceh yang tidak-tidak.

Akhirnya, mari terus berusaha!




*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya


Monday, April 5, 2010

Ibu dalam Bajaj itu

Hampir setengah harian aku keluar. Matahari siang ini sepertinya sungguh menyebalkan. Tersenyum sinis pada dunia sambil menebar sinarnya yang terang. Tapi sayang, sinar itu tak terhalang oleh awan dan langsung menghujam ke kepala plontosku ini. Clekit..clekit..

Sinar itu bagai jutaan, oh tidak, milyaran jarum mikro yang tak akan pandang bulu menghantam. Sayang, aku tak ada tameng, hujaman jarum itu mengenai kulitku. Sakit. Tapi, tak makan aku kalau kalah dengan senyuman matahari yang sinis menipu itu.

Aku berjalan menuju tempat kerja dengan pelan. Maklum belum makan. Dari kemarin aku susah dapat uang.

Hari ini sepertinya banyak sekali yang lewat. Mobil-mobil itu mengkilat. Catnya yang masih bersih itu bagai cermin. Sepertinya baru. Kadang aku sempat mengaca di kilauan cat mobil-mobil baru itu. Tapi aku selalu heran, sebuah wajah aneh bulat menyeringai. Oh, setan kecil berkepala botak nan mengerikan di hadapanku. Pasti, tak salah lagi, itu aku sendiri.

Di pinggir perempatan ini aku bekerja. Perempatan ini juga yang jadi sumber hidupku sejak ibu meninggal dua tahun lalu. Memang rendahan sekali kerjaku. Aku hanya menengadahkan tangan dan berharap semoga dapat penghasilan. Bodoh sekali, tapi mau apa lagi.

"Bang, buat makan, Bang..." rengekku kali ini. Tapi sayang, mobil BMW itu belagak tak tahu. Si tukang kemudinya melengos begitu saja melihat aku mengiba. Sayang, lampu di perempatan ini telah berganti hijau. Pertanda aku harus segera menepi, cepat.

Mobil itu semakin jauh dan jauh. Aku duduk termangu menunggu merahnya si traffic light. sekitar dua menit lagi. Waktu yang tak lama. Aku menunggu dengan menggaruk-garuk badan. Pakaianku belum kucuci seminggu ini. Pantas saja buat badanku gatal. Tapi aku tak ada pilihan.

Buat sekedar makan saja aku tersengal-sengal mencukupinya. Nafasku hampir Senin-Kamis. Alih-alih mencuci, keluar seharian juga belum tentu bisa makan.

Tapi yang aku suka, aku masih bisa tertawa. Bukan menertawakan bajuku yang compang-camping ini. Aku menertawakan orang-orang yang lewat pakai mobil itu. Mereka berbaju rapi, lengkap dengan parfum semerbak menyengat. “Bisa ya hidup bermewah-mewah ditengah ironi hidup yang super paradoksial ini…”, selorohku dalam hati. Kadang aku merasa dilecehkan. Tapi tak peduli.

Kadang aku dengar kalau mereka makan bersisa. Seenaknya membuang sisa itu sementara aku belum tentu dapat makan sebanyak sisa itu. Apalagi kalau dengar mendengar istilah sophaholic. Ha..ha..bisa-bisanya ya...

Ah, sebentar lagi hijau. Sebenarnya Aku tak menyesalkan lengosan orang di dalam mobil keren itu. Sudah biasa. Tapi apa memang ia tak punya uang untuk sekedar berbagi denganku? Mengapa tak membuka kaca pintu barang sejenak lalu melempar beberapa receh?

Sayang, hampir semua orang bermobil keren juga bersikap sama. Ada juga yang menanggapi, tapi sekedar mengarahkan telapak tangannya padaku, tanda kalau aku tak akan diberi. Ya sudahlah. Tapi mereka sudah memberi. mereka memberiku tumpangan mengaca. Bukan semakin senang, tapi melihat bayangannya begitu menyesakkan.

Yang paling menyesakkan adalah mereka yang belagak bertanya-tanya. Pernah ada yang membuka kaca pintu mobilnya. Aku kegirangan. Pasti aku dapat banyak.

“Kau umur berapa sudah di jalanan ini?” itu katanya.

Aku jawab masih umur 10 tahun. “Oo…” itu jawabnya. Tapi, oh, ternyata ia tutup kembali dan pergi. Sial!

Ah, dasar nasib. Sepertinya memang tak perlu dipermasalahkan. Kalau ada yang miskin pasti ada yang kaya. Ah, aku semakin bingung saja. Sementara kebodohanku bercampur rasa lapar yang sudah sejak tadi menyerang, membuatku kesakitan sebenarnya.

Satu, sekarang Mercy berhenti. Aku mengiba merengek. Tapi sudah kuduga, angin kosong dan senyuman tipu daya dipadu anggukan sialan yang kudapat. Sinis sekali senyumnya. Dua, tiga dan seterusnya. Semua mobil mewah pergi begitu saja.

Aku kadang juga bingung, mau apa sih orang banyak beli mobil. Apa mereka tak tahu kalau polusi di udara makin padat saja. Knalpot menyebalkan mobil mereka itu biang keladi penebar polutan. Tak mobil mewah atau mobil rendahan, sama saja.

Tapi sial! Perutku sudah tak bisa dikompromi lagi. Tak ada kompensasi lagi. Sungguh sakit.

Sekarang bajaj yang di depanku. Peduli sakit berarti aku tak makan. “Oh, Tuhan, tolong sejenak kau tahan perih ini….” Ibaku pada Tuhan. Sementara jarum mikro matahari semakin banyak saja. Semakin siang, semakain padat hujamannya. Hujamannya semakin massive saja. Clekit..clekit..clekit….

Aku lihat ada ibu-ibu di dalam bajaj itu. Kelihatan kalau ia juga tak terlalu berada. Tak jauh dari keadaanku. Tak terlihat kaya, ya tapi sedikit beruntung daripada aku. Sudah jam satu siang sepertinya. Belum dapat apa-apa aku.

Terpaksa, aku ibakan diriku pada ibu itu. Tapi sekonyong-konyong ia berujar,

"Nak, sudah makan? Ini ada uang jajan buatmu…"

Lemparan senyum sang ibu mengawali kontakku dengannya. Di luar dugaan. Ibu itu menyodorkan selembar uang sepuluh ribu. Ini banyak bagiku. Sambil mengucap terima kasih aku salami tangan ibu itu. Lalu ia pergi sejejap karena si terrific light telah hijau kembali.

Aku menepi dan bajaj menjauh, “Ha..ha.. tak perlu kaya untuk memberi…,” kataku dalam hati.

****



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya

Friday, April 2, 2010

Pikir Panjang

Elo tu emang orang ngga punya perasaan ya
Lo ngatain gue yang ngga-ngga di depan temen-temen
Lo tu punya pikiran ngga sih? Ngga punya otak lo? (maaf)
Apa gara-gara otak elo ada di dengkul?

Sebenarnya saya agak meriding mendengar pernyataan di atas yang saya tulis sendiri. Kalau saya seperti itu ya malu dan menyesal banget. Ya gimana ngga? Dikatain otak didengkul, ngga punya pikiran. Tapi ini memang salah sendiri berbuat yang ngga-ngga. Ups, tapi itu cuma ngebayangin. Saya hanya lihat itu di TV. Saya pun tidak mau sampai seperti itu.

Kasus diatas penyebabnya simple. Cuma ngata-ngatain, ngegunjing, atau ngegosipin orang lain yang tidak-tidak. Ya boleh-boleh saja bertindak seperti itu , tapi ya mbok mikir dulu akibatnya. Mungkin ngomong itu mudah, tapi lidah itu , kata para ahli, lebih tajam daripada pedang. Kalau udah ceplas-ceplos yang tertusuk itu bukan bagian tubuh manapun, tetapi hati orang lain. Sementara hati manusia kalau sudah sakit itu sembuhnya lama. Inilah awalnya permusuhan. Kalau udah punya musuh tuh, hidup ngga bakal tenang. Hayu percaya ngga?

Tadi saya sampaikan ‘ya mbok mikir dulu!’. Nah ini sebenarnya nti dari tuisan saya kali ini. Judul tulisan ini “Pikir Panjang”, maksudnya kalau kita mau melakukan segala sesuatu itu kita pikir dulu. Harus ada proses berpikir yang baik. Memang ini butuh waktu agak lama, tetapi dampak yang ditimbulkan atas tindakan yang melalui proses berkikir dengan yang tidak itu berbeda. Dengan proses berpikir, apapun tindakan yang kita lakukan akan membawa dampak positif daripada yang grusa-grusu.

Aa Gym menyatakan bahwa proses berpikir itu punya bebarapa tahapan. Pertama, keinginan muncul dari pikiran. Kedua, keinginan itu harus disampaikan pada hati nurani kita. Mengapa? Sebab hanya hati ini yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dengan adil. Yang baik ya baik, yang buruk ya buruk. Titik.

Ketiga, bila hati nurani mengatakan buruk, maka yang harus dilakukan hanya diam. Ya, diam. Ngga usah nambah-nambahin. Kalau hati berkata baik, ei..its mau melakukannya? tunggu dulu! Kita masih harus menimbang apakah ada unsur yang merugikan orang lain, mungkin ada unsur yang menyinggung SARA, atau ghibah (gosipin orang lain) dan lain-lain. Kalau semua itu memang tidak ada, ya, Ayo keinginan tadi dilakukan!

Ini memang terasa butuh waktu lama. Ya saya sih berpendapat, kan juga namanya proses. Memang ini butuh waktu, tetapi sekali lagi dampak tindakan kita akan jauh lebih baik daripada yang tidak melalui proses ini. Bahkan, mungkin malah mendapatkan apresiasi.

Ada sebuah cerita yang mngisahkan seorang Ita yang ditinggal kerja orang tuanya. Keluarga tersebut memiliki dua mobil. Mobil yang lama dipakai untuk berangkat kerja dan yang baru ditinggal dirumah. Suatu ketika, Ita tersebut ditinggal kerja oleh orang tuanya.

Ia dirumah bersama seorang pembantu. Saat itu Ita bermain mencoret-coret tanah lama kelamaan ketika mendekat garasi mobil, tak pelak, dengan insting kreatifnya, anak tersebut mulai mencoret-coret mobil orang tuanya yang masih baru dan mulus. Walhasil, mobil baru itu penuh baret-baret karya Ita.

Ketika orang tuanya pulang dan mengetahui hal tersebut, langsung saja si pembantu kena semprot dan sang ayah langsung memarahi Ita habis-habisan. Belum puas dengan memarahi, si ayah kemudian memukuli tangan Ita ya ia angap sebagai biang kerok. Tak pelak, tanagn si Ita pun memar memerah. Si ibu hanya diam saja, seolah-olah menyilahkan si ayah menyiksa anaknya. Berhari-hari luka di tangan bayi pun belum juga sembuh. Setiap kali si pembantu menyamapaikan hal tersebut pada orang tuanya, jawab mereka hanya “Oleskan obat saja!”

Akhirnya bukan masalah yang beres, tetapi bencana menghampiri keluarga tersebut. Hari berganti hari, suhu badan Ita mulai naik. Orang tua pun kembali acuh. Tangannya mulai terinfeksi. Alih-alih lukanya sembuh, tangan Ita tersebut semakin parah. Pada suatu malam, Ita pun mulai mengigau. Malam itu juga, orang tuanya langsung membawa ita ke dokter.

Singkat cerita, hasil diagnosis dokter menyataan bahwa luka di tangan ita telah membusuk. Jalan terakhir satu-satunya adalah mengamputasi tangan ita. Bak disambar petir di siang bolong, air mata pun berurai dan mau tidak mau orang tua ita harus menandatangani surat persetujuan amputasi anak tercinta mereka. Kini yang ada hanya penyesalan yang mendalam. Hanya berawal respon yang spontan terhadap tindakan anak mereka, orang tua Ita harus rela selamanya melihat anak tercintanya hidup tanpa tangan. Astaghfirullah!

Cerita tersebut bisa menggambarkan bahwa dalam mengambil tindaan, sungguh sangat dianjurkan agar kita berpikir terlebih dahulu. Mengutamakan ego hanya membawa bencana. Grusa-grusu mengambil keputusan seringkali hanya membawa keburukan.

Ingat, kita sudah dianugerahi pikiran akal dan hati oleh-Nya. Ini bukan asesoris dalam hidup. Ini adalah anugerah yang paling agung dari-nya. Memanfaatkan semua itu sebaik-baiknya adalah tindakan paling bijaksana. Sayang kan kalau disia-siakan?



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya