Friday, December 20, 2013

"Tai Kucing"-lah Hidup Sehat (Hidup Sehat Tak Perlu Mahal) ...

ilustrasi (buysafegenerics.com)

Kalau lihat kampanye hidup sehat di tipi-tipi, sepertinya hidup sehat itu mahal sekali. Seringkali makanan yang ditampilkan tak terjangkau harganya bagi yang belum dan kurang mampu menjangkau. Bagaimana tidak, kampanyenya kita makan-makanan seperti yogurt, susu bebas lemak, salad, daging-dagingan dan kacang-kacangan yang biasanya kurang terjangkau. Itu soal makanannya.

Soal program olahraganya beda lagi. Kita harus ikut program ini dan itu yang tak jarang perlu merogoh kocek lebih. Belum lagi sekarang banyak orang berbondong-bondong ke wellness center atau fitness center yang bagi kebanyakan orang Indonesia tentu tidak terjangkau.

Seorang kawanku ketika melihat kampanye hidup sehat di sebuah tv langsung menyerocos, “Halah, tai kucing-lah hidup sehat. Itu mah buat orang kaya doank!”

Aku sejenak berpikir, apa memang begitu susah hidup sehat? Kalau melihat tayangan ajakan hidup sehat di acara-acara berita atau semacamnya, memang rasanya ingin bilang juga, “Bullcrap deh itu semua! Yang ada malah tekor bandar…”

Belum lagi program ini dan itu yang dianjurkan untuk memiliki trainer yang tak murah untuk menggajinya. Menggaji diri sendiri saja susah, mana mungkin menggaji orang lain? Tai kucing lah pokoknya, kata kawanku.

Hormatku dan Selamat Jalan pada Mandela

Nelson Mandela (the guardian)

Hari Kamis malam awal Desember lalu (5/12) dunia berduka. Dunia telah kehilangan Nelson Mandela yang telah menjadi tokoh penghapusan politik rasisme di dunia ini. Jasa-jasanya tentu tak banyak menyentuh bagian dunia lain kecuali Afrika dan spesifiknya Afrika Selatan.

Namun, keberaniannya kemudian menjadi inspirasi bagi sebagian besar manusia di muka bumi ini untuk terus menghargai persamaan dalam perbedaan. Mandela menghapuskan apharteid di Afsel, tapi sejatinya hisupnya telah menjadi inspirasi untuk upaya-upaya menghapuskan segala bentuk diskriminasi yang ada di muka bumi ini, dan Afsel adalah contohnya.

Mengenang Madiba, panggilan akrab Mandela, aku teringat sebuah film berjudul Invictus yang sudah dua kali aku tonton.

Film sebenarnya bukan fokus pada bagaimana Mandela berdemo lalu dipenjara dan kemudian menjadi presiden ‘anti-diskriminasi’ pertama di sana. Film ini focus pada bagaimana Mandela mempertahankan tim rugby Springbok yang bisa dikata dibenci 90 persen umat Afsel.