Krisis air bersih di Jakarts (Media Indonesia) |
Tapi suatu kali kawanku menegurku, “Mengapa dibiarin sih?!” Mulai dari itu, aku sejenk berpikir: Mengapa anak ini harus menegur? Hanya air, apa peduli. Tapi itu dulu, tak demikian adanya sekarang ini. Tapi bagaimana bisa demikian?
Melimpah tapi kekurangan
Baiklah, asramaku ada di salah satu bilangan di Jakarta. Sudahlah maklum, ketika musim hujan datang, sebagian daerah di Indonesia mengalami banjir, terutama daerah ibu kota. Berita-berita sampaikan kalau orang-orang mengungsi dan kekurangan air bersih! Bagaimana bisa? Bukannya airnya malah banyak kalau banjir?
Berangkat dari fakta itu, aku mulai menyadari bahwa ketersediaan air saja tak cukup untuk kehidupan. Air haruslah bersih untuk hidup manusia: mandi, mencuci, dan yang terpenting minum. Begitu banyaknya air yang akhirnya menggenangi pemukiman, hingga berujung banjir, ternyata tak menjamin bahwa orang-orang punya akses untuk mendapatkan air bersih terutama untuk minum.
Kalau kekurangan air, itu juga masalah. Ujung-ujungnya sama saja, terhambatnya akses terhadap air bersih pun mengancam kehidupan.
Setelah menggali lebih dalam, aku sadari betapa air, lebih-lebih air bersih, memang komponen penting dalam hidup ini. Sebelum musin seperti sekarang ini, dimana hujan turun hampir setiap hari, kekeringan yang melanda banyak daerah di Indonesia ini ternyata membawa dampak buruk.
Contohnya, Republika.co.id (2012) menulis bahwa pada November kemarin, ada 32 desa di Cilacap yang kekurangan air. Selain itu, Solo Pos beritakan kalau di daerahnya, air bersih berkurang 4 juta meter kubik setiap tahunnya. Lebih jauh lagi, di daerah lain, di Jakarta Utara dilaporkan kalau persediaan air bersih di sana menyusut 9 % (Kompas.com, 2012).
Tapi sekarang ini adalah musim hujan. Keadaan membaik? Tidak sama sekali! Beberapa daerah harus menanggung beban banjir yang melanda daerah mereka. Seperti di daerah Jakarta, meskipun air tumpah ruah, toh akses masyarakat pada air bersih ternyata bermasalah. Pemerintah harus memasok tanki-tanki air bersih untuk keperluan sehari-hari terutama konsumsi.
Rendahnya jumlah daerah resapan air berbuntut pada kurangnya air yang bisa diserap oleh tanah. Tak pelak, baik WALHI dan KLH DKI Jakarta pun sampaikan hal yang sama: Jakarta terancam kekurangan air bersih (Bisnis Indonesia, 2011; Pelita, 2012).
Di beberapa daerah di Indonesia, orang bahkan harus rela merogoh saku mereka untuk air bersih. Mereka yang tak ada akses pada air bersih harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Sebagian tak bisa mencapainya, maka turun ke jurang pun dilakukan untuk dapatkan air demi menyambung hidup (Republika.co.id, 2012).
22 Maret tahun ini sebenarnya adalah perayaan hari air nasional. Tapi Ikatan Ahli Geologi Nasional malah melempar kekhawatiran bahwa Indonesia akan mengalami krisis air bersih. Ini disebabkan oleh terus naiknya jumlah pengkonsumsi air bersih namun manajemen air bersihnya tak kunjung dikelola dengan baik.
Belum maksimalnya pengelolaan air di negeri ini membuat air yang melimpah hanya berujung jadi air yang mengalir di permukaan. Tak banyak yang diresap. Ujungnya mudah sekali ditebak: cadangan air bersih dalam tanah pun berkurang. Hanya 34 persen dari total curah hujan di negeri ini yang berhasil menjadi air tanah.
Tempo.co (2012) menulis bahwa potensi cadangan sumber daya air Indonesia sebenarnya adalah terbesar kelima di dunia yakni sekitar 3.900 miliar meter kubik per tahun. Tetapi jumlah potensi air yang dapat dimanfaatkan sekitar 690 miliar liter per tahun.
Namun fakta yang lebih tak menarik adalah sebanyak 82 persen air permukaan berada di Kalimantan, Papua, dan Sumatera. Sedangkan Jawa cuma punya 4 persen. Jumlah itu jelas-jelas tak sebanding dengan total penduduk Jawa dan Madura yang sebanyak 138 juta jiwa (2011). Dari soal persebaran saja, air bersih dan penduduk saja sudah bermasalah di Indonesia.
Water for life (unesco.org) |
UNESCO mencanangkan tahun ini sebagai tahun air (2005-2015). Mereka menganggap bahwa, bagaimanapun juga, air adalah hal yang vital bagi kehidupan manusia.
Dalam sejarah, peradaban-peradaban awal tumbuh di daerah-daerah tepian sungai. Mereka yang berkembang adalah mereka yang dapat menaklukkan air. Peradaban Mesir dan Mediterania adalah buktinya. Di China, peradaban pun berkembang dari bantaran lembah Sungai Kuning.
Tapi kini jutaan orang di dunia kekurangan air bersih! Water.org mencatat di Afrika, 343 juta orang tak bisa meakses air. Sekitar 3,4 juta orang mati oleh penyakit karena air tak bersih. Dan, di seluruh dunia 780 juta orang kekurangan air bersih.
Beberapa waktu lalu, aku sempat tergabung dengan kegiatan Science Film Festival 2012 yang mengambil tema sesuai apa yang ditentukan oleh UNESCO: air. Dalam satu video yang aku saksikan, terdapat sebuah kesimpulan yang unik, baru, dan meski agak mustahil tetapi sangat terlihat bahwa itu akan terbukti: air adalah minyak masa depan! The future oil!!! (Forbes, 2012)
Kalau kini negara-negara berperang demi minyak, mungkin seratus tahun lagi air-lah yang diperebutkan! Rasionalnya sangat sederhanya, kini sudah banyak pihak yang temukan pengganti minyak, tapi apa pengganti air? Kalau minyak langka, berbagai macam energi alternatif kini siap digunakan. Bagaimana bila air langka? Sudahkah ada alternatifnya?
Namun pada dasarnya, jumlah air di bumi ini tetaplah sama sepanjang waktu. Hanya bentuknya yang kemudian berhanti-ganti: air, es, embun, uap air, air tanah, air permukaan, air tawar, air asin, air bersih dan air kotor. Tetapi, dari itu semua, air kotor jumlahnya kini terus bertambah, menggeser volume air bersih yang vital bagi kehidupan umat manusia, terutama untuk minum.
Solusinya tentu akan banyak dan butuh teknologi dan jangka waktu yang lama. Beberapa teknologi kini sudah bisa mengubah air asin menjadi air tawar. Beberapa mengubah air kotor tawar menjadi air bersih yang dapat diminum seperti produk water purifier yang sudah ada.
Tapi bagaimanapun juga, masalah air ini bukanlah masalah individu. Pemerintah negara-negara juga punya jatah tanggung jawab yang tak kecil untuk menyelesaikan masalah ini. Aku tak akan mendikte apa-apa soal yang harus mereka lakukan. Aku kira sudah banyak ahlinya dalam hal ini.
Lagipula akan dibutuhkan waktu yang lama pula untuk menyelesaikannya. Tapi bukan berarti ini tak bisa diselesaikan dan mengapa tidak kita mulai dari diri sendiri?
Perjalanan tulisan ini pun berbalik kembali pada asramaku. Aku akhirnya mulai memikirkan dampak pembiaran air tumpah yang selama ini aku lakukan. Kalau mau dihitung, sudah berapa banyak air bersih yang kubiarkan terbuang sementara orang lain harus berjuang sampai mengancam keselamatan jiwanya untuk mendapatkannya?
Aku memulainya dengan berhemat air bersih di asramaku. Rasanya memang ini seperti tak ada artinya dan memang jauh dari apa yang sudah orang lain lakukan di luar sana. Tapi setidaknya, untukku, aku selangkah ke arah lebih baik.
Hi Chid,
ReplyDeleteTernyata oh ternyata kamu ya yang membiarkan air di kamar mandi terus mengucur waktu itu sampe2 tagihan listrik membengkak? hah? hahaha....
Giliran susah air aja, pada taubat, numpang mandi ke tetangga (keliatan anak kostan-nya bangettt).
Sukses ya Chid! :)