Tuesday, June 29, 2010

Falsafah Sepeda

Yuk, ke sekolah naek sepeda
Ke kantor naek sepeda
Ke Mall naek sepeda
Ke rumah temen naek sepeda
Pokok jangan ke toilet naek sepeda ya……

Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Begitu kata orang. Hidup perlu sehat donk. Siapa sih yang mau sakit? Tentu tidak ada. Hidup itu yang di harapkan ya yang enak-enaklah. Hidup yang bersih, hidup yang sehat.

Saat tulisan ini dibuat, ayah saya sedang menderita sakit katarak. Beliau juga kadang gejala stroke-nya “kumat”. Kalau lihat pas beliau sakit, sepertinya sedih. Ya saya sedih, tentu bapak juga sedih. Apalagi bapak saya adalah “tulang punggung” keluarga……

Kadang saya berpikir, mungkin saja ada toko spare part organ tubuh manusia. Pagi buta saya akan antri duluan untuk membeli spare part itu, meski toko belum buka. Saya akan beli mata dan pembuluh darah buat ayah saya. Berapa pun uang yang harus saya bayar akan saya sanggupi. Ya sayangnya, tentu ini tidak mungkin ada. Itu hanya angan-angan anak bodoh.

Yang saya mau adalah menggambarkan bahwa kesehatan adalah hal yang paling mahal harganya di dunia ini. Mau mata kamu yang cantik itu saya ganti duit 3 millyar? Kalau kamu mau ya mungkin ada yang ngga berez di kepalamu.

Menjaga kesehatan akhirnya menjadi sangat penting bagi pemuda. Siapa lagi yang akan dititpin masa depan bangsa kalau bukan pemuda. Yang tua mah udah tinggal nunggu (nunggu apa ya…?). Sangat penting bagi pemuda untuk terus siap berkarya demi bangsa dan negara. Ya, pemuda tak hanya butuh pintar, tapi juga sehat. Sepinter-pinter kamu, kalau sakit ya sudah…..ngga bisa apa-apa.

To the point aja, salah satu cara yang bisa dipakai untuk menjaga kesehatan adalah bersepeda. Ke kantor bersepeda, ke warung bersepeda, ke sekolah pakai sepeda, sampai-sampai ke kamar naek sepeda (uups..). Selain badan kamu juga sehat, polusi udara juga bisa berkurang. Terus di jalan bisa menyapa orang lain dengan hangat. Aduh, enak deh kalau bisa dilakuin..


Tentu ada maksudnya donk saya memberi judul tulisan ini “Falsafah Sepeda”. Jadi, bersepeda itu ternyata mengambarkan semangat muda generasi pemuda. Sepeda memberikan simbol-simbol kemandirian, kerja keras dan pantang mundur. Menurut Anies Baswedan, sepeda punya tiga simbol dalam meggambarkan kehidupan pemuda.

Pertama, ingat, sepeda adalah kendaraan non bahan bakar. Eh.. ngga dink. Kan kamu makan nasi dulu kalau mau kuat bersepeda..hehe. Ya maksudnya ngga ada polusi yang ditimbulkan sepeda. Ini menunjukkan bahwa sepeda adalah kendaraan ramah lingkungan. Pemuda pun juga harus demikian. Lingkungan menjadi tempat pemuda bertumbuh. Maka, menjaga kelestarian dan kebersihannya tentu menjadi keharusan. Mau sehat ya lingkungan juga harus bersih. Bersih dari sampah, dari polusi, sampai bebas dari niat jahat. Pokoknya bersih luar dalam.

Kedua, agar bisa jalan, sepeda butuh dikayuh, bukan hanya memutar “stir” ke depan belakang. Jadi, jadi pemuda itu harus bekerja keras bak mengayuh sepeda. Pemuda adalah tempat penitipan masa depan. Kalau yang dititpi “keok” yang gimana lagi. Pemuda harus siap menjadi insan yang penuh harapan. Jadi, Pemuda harus menjadi generasi yang inovatif, kreatif dan kompetitif. Pemuda harus penuh dengan karya demi masa depan bangsa.

Sebagai contoh, di era 66, terdapat pemuda bernama Soe Hok-gie yang dengan keras menolak kekuasaan yang semena-mena dari penguasa. Tanpa pandang bulu dan bahkan acuh dengan keselamatannya sendiri, ia kritik segala bentuk ketidakadilan. Yang ia inginkan hanya satu, Indonesia yang bersih dari tindakan-tidakan korup.

Terakhir, sepeda tidak bisa mundur. Jadi pemuda jangan sekali-kali mundur dari perjuangan membangun masa depan bangsa ini. Karena, apa yang bisa ditawarkan pemuda adalah masa depan. Kalau mau cerita masa lalu, apa yang mau diceritakan. Pemuda sudah harus bisa menawarkan masa depan bagi bangsa. Mimp-mimpi pemuda menjadi penting untuk menentukan nasib negeri. Toh mereka juga yang akan menggantikan generasi pemimpin negeri kelak. Oleh karena itu tentu masa depan harus ditata dengan baik dan pemuda punya peran penting di dalamnya.

Masa depan tidak ada yang tahu, tetapi tentu bukan berarti tidak bisa dipersiapkan. Nah, peran-peran semacam inilah yang harus menjadi teladan bagi kita semua.

Berati, kalau bersepeda, selain kita sehat. Kita juga telah mendukung terciptanya masa depan bangsa yang cemerlang. Ya mungkin masih bersifat simbolik, tapi 'kan daripada ngga peduli sama sekali.

Ini memang teresan remeh, sekedar hal kecil. Namun, apa yang bisa dilakukan sekarang ya sekarang dilakukan. Tentu mulai dari diri kita dulu bukan orang lain.



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambarnya.

Wednesday, June 23, 2010

Start Small for Our Environment

In 1960s, manufacturing with DDT (Dichloro diphenyl trichloro ethane), a kind of pesticide, became a huge industry. But this condition had broken the wonderful sounds of nature. DDT had killed many kinds of birds, harmless insects. DDT also polluted the environment and be able to increase human cancer.

It was Rachel Carson who woke up the US government’s attention to this condition by publishing a book entitled “Silent Spring”. She showed how dangerous the effect of DDT by posing many studies and many expert opinions. Eventually, in 1966, US government started stopping the use of DDT in two years (www.voaspecialenglish.com).

Another story comes from Japan. It was Yasuyo Tabete, who was the climate champion of British Council, who created a simple action, but this had a great and futuristic objection. This action is called “mug action”. He began not to use a paper cup to drink coffee. He thinks that drinking coffee just spends not more than 5 minute, but then he throw the cup out.

Yasuyo has an honorable objection that this action can decrease the number of deforestation. Wherever he goes, he brings his own mug and starts invite others to follow him. A great changes and positive effect, according to him, can be started from individual actions (www.kompas.com).

A Little Lesson
The story of Rachel Carson and Yasuyo Tabete is a little example that we can get many lessons from both of them. They never give up in struggling keeping their environment being safe. Both of them of course are from abroad. From the home, it is Victor Emanuel Rayun (Baba Akang) who struggles to keep the mangrove forest in Ndete coast, Flores. He has been doing his valuable action since 1992. In a program called Kick Andi Heroes 2009, he got an honor “Pahlawan Bangsa” together with six other heroes (Media Indonesia, 2009).

A little lesson that we can get from the stories is like what Yoris Sebastian said, “starts small”. In term of Indonesia, we can explore so many environmental problems. This problem, severely, damage the balance of our nature. We will find that the number of deforestation of Indonesia is the biggest number in the world, which Brazil is just the same. We will find that we have a big problem of garbage management.

The data from Kementrian Negara Lingkungan Hidup shows us, each person in this country produces 800/gr/day/person in average. This number looks a little bit common, but let’s times it to the number of Indonesian population which is more than 200 million. The number will be so fantastic. Indonesia has 160 thousand ton garbage per day.

If that number is managed well, there will not be a problem, but the condition looks so different. That big number seems haphazard managed. The garbage which has some types is not separated well. This makes the after-use process becoming difficult to exercise. Besides, there is a problem with this nation people behavior. They do not have such “do not litter” behavior. To be honest, it is so difficult to find a really green area, where every body will get their best pleasure to be in.

There is no willingness to be aware to the environment condition. The willingness to clean their public area seems very seldom. In the end of the show, the garbage will meet the drainages then plug them up. Tragically, it is common to be occurred in many big cities, like Jakarta and Surabaya.

Of course, simply, we can say that this is why Indonesia is likely a subscriber of flood. Despite, the number of budget in order to handle this one is so much expensive. For example, Jakarta has 762 billion rupiahs for it (Kompas, 2009).

Start Small
To solve such problem is not just a simple way. Many complicated studies must be taken to get the best solution. But, as a simple, to solve this problem, it is not necessary to get a structural approach. Make such legal binding through some bills will not get any effect. This is just going to make somebody become stressful. And sometimes, the effect will be in the opposite position of our expectation.

It is interesting to remember Gandhi statement that “reconciliation will takes times without any violence, but violence will never get any reconciliation” (Kompas, 2010). This statement shows us that any pressure will not get any success. In term of environment, there must be such soft approach. This of course takes time, but it really works. This kind of approach sometimes called cultural approach. We will not doubt about it because this kind of approach had been done by Rachel Carson, Yasuyo Tabete, Baba Akang, and other environmental activists.

In the day of earth, this is a very good opportunity to pose and discuss that issue. Many youngsters, who have so many fresh ideas, from many countries, have to gather together and ready to give a creative solution to the world. To me, it is the right time to tell the world that to be environmentalist is an urgent, in current context. Many youngsters from many countries can share some information.

This information will become so important because of the different context. By collecting many facts from the attending countries, there will be a kind of common platform to create common understanding. Because, we realize, that environmental issue is not only in a developing country, but also in a developed one.

This is important to create something like a community to pose and campaign ‘Save this earth!’ This is the cultural approach that I mean. In term of Indonesia, to ‘save the earth’ of course is not the same with what Rachel Carson or Yasuyo Tabete had done.

Discussing this phenomenon in a community is really interesting to take. Facing the fact that garbage is a problem, realized or not, an action must be taken as soon as possible. It is even the problem of developing country like India, Brazil, and many more.

Some action can be a very simple but important like campaigning “do not litter” by us ourselves to some people around us. If necessary, this will be continued to the bigger society or government, but it is not the priority.

The youngster has to take this rule very well. Youngsters have much more power to initiate and accomplish change than what others may believe. Then, youngsters often achieve much more than they ever expect they will.

Through community, there will be some important general point for action, but the implementation is certainly different from each country (www.greenkampong.com). Like Yoris Sebastian said, we create an out of the box idea, but the execution is inside the box. Certainly, different pond, different fish.

Youngster’s Action
Shortly, by gathering in community, posing this kind fo issue in a global forum, we can create such way against earth destruction that called community-based cultural approach. Back to the home, the youngster, including me, have to campaign how to be a green citizen, to be a citizen who has awareness for their environment.

In term of Indonesia, this will be focused on garbage management issue. The campaign is not such big event like a concert or such Clean and Green Week, but this is an individual campaign. The target is not a mass people, but the people around us, start from our family and friends.

In home, it is necessary to create such community to get more power but the action still individually. Saving the environment means more than just holding large public events targeted at adults. Just as a simple like “do not litter” campaign, in my opinion, it has a big impact to start being aware to the garbage management and saving the environment.

Youngsters can make a certain difference, through smaller actions at home or larger campaigns. By influencing families, corporations and government, youngster can have a significant positive impact.

So working with community can be the start to making big changes. This change is a cultural-and-communal-based. Taking times but really working. This small action of course can have a big impact. With these small and symbolic yet highly impactful changes, youngsters have an effect beyond just their own actions.(*)



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambarnya.

Friday, June 18, 2010

Filosofi Berbagi ala B.A.B

tulisan ini aku re-post, buat inget-inget aja.......

Mau nymbang ngga?
Ah, ntar aja….
Ayo berbagi!
Ah ntar jadi kurang dunk duitku…..

Menysihkan harta untuk diberikan pada yang lain memang mulia. Yang kaya membantu yang miskin sehingga yang miskin pun terangkat derajatnya. Pada akhirnya tercipta keseimbangan dalam kehidupan. Tak ada ketimpangan. Tak ada diskriminasi antara di kaya dan si miskin.

Saya memberi judul tulisan ini mungkin agak jorok. Tapi saya yakin kebaikan itu berasal dari mana saja. Jadi jangan underestimate dulu ya..

BAB itu buang air besar (sudah tahu, Mas). Semua tentu tahu kalau kepanjangan dari buang air besar. BAB merupakan ritual yang bersifat natural buat manusia. Maksudnya baik ko’, yakni membuang kotoran yang ada di dalam tubuh. Ketika kotoran itu keluar maka tubuh pun semakin sehat. Mau?

Saya masih ingat apa yang diajarkan guru agama saya dulu. Saat masih di SMA, guru saya itu mengatakan bahwa berbagilah seperti kamu ingin buang air besar. BAB itu kegiatan yang paling ikhlas di dunia ini. Bahkan kalau tak dikeluarkan malah jadi penyakit.

Sang guru menjelaskan bahwa berbagi itu laksana BAB itu, adalah berbagi yang diladasi oleh rasa perlu. Perlu itu, bagi saya berbeda dengan harus. Perlu berarti berdasarkan rasa butuh, dan bila tidak dipenuhi kebutuhan itu, maka akan aada yang kurang. Kalau orang merasa perlu melakukan sesuatu, maka ketika ia telah memenuhinya, tak akan ada tasa dongkol atau kecewa. Kalau harus itu kan dasarnya desakan. Jadi sedikit tak ikhas. Terpaksa.

Itulah yang harus kita lakukan. Berbagi dengan landasan filosofi BAB. Kita perlu berbagi. Dalam agama, bahkan diajarkan bahwa harta kita itu ada bagian milik orang lain. Jadi kalau tak bagikan, berarti kita telah mencuri, bahasa kerennya korupsi. Bener ngga ya….

Kalau tidak berbagi, bahkan malah jadi sarang musibah. Tapi kalu dilaksanakan dengan baik akan menjadi lading kesuksesan, baik lahir dan batin.

Dalam buku Setengah Isi Setengah Kosong, saya membaca sebuah kisah sesorang yang memberikan susu pada seorang anak terlantar.

Anak tersebut datang ke sebuah rumah dengan keadaan kelaparan. Ia meminta minuman pada pemilik rumah. Pemilik rumah iu agak sedikit ragu. Tapi ia memberanikan diri untuk membagikan apa yang ia punya. Ketika diminta sekedar air minum, pemilik rumah memberinya susu segelas. Betapa girang anak tadi.

Lima belas tahun kemudian, sang pemilik rumah berada dalam kejatuhan. Ekonomi keluarganya menurun. Sang pemilik rumah sakit-sakitan. Bahkan, kondisi ekonominya tak mendukung ia untuk berobat ke rumah sakit. Tapi mau bagaimana lagi, penyakitnya sudah parah.

Akhinya pemilik rumah tadi memberanikan diri untuk ke rumah sakit. Masalah bayar nanti saja. Bisa ngutang. Ia lalu ke rumah sakit. Kemudian ia dirawat. Ketika ia sembuh, ia terkejut ternyat tagihan pembayarannya sudah dibayar. Yang membayar tak lain dan tak bukan adalah dokter yang merawat dia sendiri.

Ketika bertemu dengan sang dokter ia terkejut. Ternyata dokter itu adalah anak terlantar yang ia beri susu lima belas tahun yang lalu. Oh, segala puji bagi Tuhan, Subhanallah.

Betapa besar manfaat berbagi. Kalau kamu tahu sebuah pohon maka pohon itu akan tumbuh baik bila semak-semak di sampingnya dibuang. Semak-semak itulah harta kita yang harus di bagikan.

Berbagi bukan membuat makin tetapi malah berkecukupan. Tentu saja asal ikhlas melakuannya. (*)





*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambarnya.



Tuesday, June 1, 2010

Si Mbah Dawuh dan Negeri Antah Brantah

"Di Negeri Antah Brantah ini, Le, sebenarnya sudah enak. Tanahnya subur, terus cuaca juga ngga macem-macem. Wis poko'e joss lah!!!" tandas Mbah No.

"Nggih, Mbah..." jawabku.

Aku tak menyangka bertemu si Mbah ini saat aku baru pulang. Tiba-tiba dia nongol dan ajak aku ngobrol. Seingatku aku tadi lelah sekali seharian kuliah. Namanya Suseno. Tapi lebih dikenal dengan Mbah No. Aku sendiri tak tau kenapa bisa kenal orang tua ini.

"Le, kowe sekarang masih sekolah 'kan? Sing tenanan, Le. Negara Antah Brantah ini butuh orang yang jujur. Jadi kamu sekolah yang sungguh-sungguh biar bisa jujur...ya, sekolah yang penting itu biar bisa jujur..."

Hah? Aku geleng-geleng saja. Aku sekarang ini kuliah di ibukota. Kampusku juga, ya bisa dikatakan kampus terbaik. Aku juga kuliah di jurusan yang aku impikan agar aku bisa jadi, jujur saja, orang kaya. Kok bisa-bisanya si Mbah bilang sekolah hanya untuk jujur.

"Lah, Mbah, kalau cuma jujur kenapa harus sekolah ya Mbah? Terus harus sungguh-sunggung lagi..."

"Le, ati-ati lek ngomong. Kowe ngerti, jangan kau kira jujur itu mudah. Apalagi ngga perlu sekolah. Susah banget itu...ngerti kowe?!!!" tandas si Mbah. Beliau terlihat agak gemas dengan pertanyaanku tadi.

"Nggih, Mbah, nggih Mbah...."

Aku merasa tak punya otoritas. Aku tak tahu kenapa. Kebebasanku agak terbelenggu oleh situasi. Umur juga. Si Mbah sudah tua memang. Tapi, Si Mbah agaknya menyimpan sesuatu.

"Sori kalau aku agak naik nadanya. Lha wong kamu itu lho, masih bau kencur. Mau ngapain? Aku ngerti kalau kau sekolah, kau mau mengejar mimpi tho? Mengejar cita-cita?" tegas si Mbah. Kini nadanya sudah agak menurun.

"Nggih Mbah..."

"Ngene Le, kamu jangan kira jujur itu mudah. Kau tahu kan keadaan Negeri Antah Brantah saat ini? Sumber daya alam di eksploitasi Le.. Duite wong-wong dikorupsi... Yang susah lagi, yang terjadi bukan penghilangan kemiskinan, tapi penghilangan orang miskin...beh-beh-beh.."

Si Mbah terlihat geleng-geleng sambil diam sejenak. Seperti berpikir. Tapi sepertinya memang berpikir. Aku agak bingung. Apa maksud Mbah ini? Tiba-tiba saja beliau melontarkan pertanyaan konfirmasi yang tak diduga-duga.

"Kowe ngerti le ngono kuwi?"

Aku terbelalak ternganga. Dari tadi aku manggut, tapi jujur, aku tak paham. Si Mbah bilang soal jujur, tapi kok bilang eksploitasi lah, korupsi lah, kemiskinan lah. Aku bingung. Pastinya, ekspresiku yang muncul sudah bisa ditebak, geleng-geleng lagi dan lagi.

Si Mbah ternyata juga geleng-geleng. Tapi,

"Hmm... Bagus..bagus.."

Aku makin bingung. Sementara mulutku masih terbuka, menegaskan bahwa aku sungguh tak paham dengan orang tua ini.

"Kau sudah berani jujur.. Kau tak tahu dan mengaku tak tahu. Kan lebih baik daripada mengaku tahu tapi sebenarnya tak paham sama sekali. Ya kayak pejabat-pejabatnya Negeri Antah Brantah sekarang itu.... Nah, mereka itu pintar lho..sekolahnya ke luar negeri, ada juga yang sekolah kedinasan. Weleh-weleh, apa itu ngga berkualitas sekolahnya. Apalagi dibanding sekolahmu yang swasta itu..."

"Ya ngga gitu Mbah.. Meski swasta, belum tentu juga kalah.. "

Si Mbah mulai kemana-mana omongannya. Dasar orang tua! Tapi yang jelas aku tahu, kenapa beliau minta aku untuk belajar jujur. Meski sekolah dan pintar, tapi kalau tak pintar, kata si Mbah, malah buat minterin orang lain. Huh..

Si Mbah sempat bilang, kalau sekolah di Negeri Antah Brantah itu, meski bagus, tapi tidak seimbang. Katanya ada yang salah kaprah.

"Sing bener kuwi, sekolah ora mung ngurusi ini thok, tapi juga ini..."

Pada "ini" pertama, si Mbah menunjuk kepala. Bukan kepalanya yang ditunjuki, tapi kepalaku. Sial! Apalagi beliau sambil sedikit mendorong-dorong telunjuknya. Lengkap sudah aku kelihatan orang bodoh. Tapi, aku paham, yang dimaksudnya adalah pikiran, otak, atau intelejensi.

Dan pada "ini" kedua, si Mbah menunjuki dada. Kali ini dadanya sendiri. Maksudnya hati. Jadi maksudnya sekolahku tak bisa mengasah hati. Sementara kejujuran itu asalnya adalah hati. Tapi ada yang aku sayangkan. Seenaknya si Mbah menunjukku untuk barang jelek sementara yang bagus buat beliau sendiri. Huh...

"Lah, kalau gitu harus ada yang ditakuti donk, Mbah... Ya biar ngga korup lagi." aku spontan bertanya.

"Halah, di negeri antah brantah itu, ngga ada yang bisa ditakuti lagi, Le.. Sopo maneh? Polisi? Hakim? Jaksa? Lha wong kabeh yo podo korupsi ko'. Coba kamu tampar saja muka mereka pakai uang. Pasti diam..."

"Kalau gitu, Mbah, terus gimana?"

Si Mbah tiba-tiba diam. Tapi sejenak. Lalu berkoar kembali.

"Tapi, koyoke masih ada yang bisa ditakuti."

"Nopo Mbah?"

"Mati. Ya, mati. Le, kowe kudu ngerti, wong mati itu meninggalkan reputasi. Kalau mati pas korupsi, nah, dunia akan mengingat orang itu sebagai koruptor. Ya sudah, ya kau tahu kan reputasi macam apa yang pantas buat koruptor? Ya kalau dibandingin sama reputasinya tikus, ya sebelas duabelas-lah..."

"Nggih Mbah" aku manggut-manggut takdzim.

"Dan, Kau harus ingat, Le, reputasi itu umurnya sepanjang masa. Kata nenek moyang, reputasi itu ya gambaran apa yang diterima si empunya reputasi kelak di akherat... Hayu! Makanya, orang harus takut mati. Bukan matinya yang ditakuti, tapi reputasi setelah mati itu yang harus direnungkan. Nah, reputasi itu tentu dibangun saat masih hidup.. Gitu, Le."

Aku terus manggut-manggut. Menandai kalau aku berada pada sisi orang bodoh dan si Mbah adalah orang pintarnya. Tapi jujur, aku masih penasaran dengan negeri antah brantah itu. Dimana ya negeri itu?

Sayang si Mbah sudah pergi. Tak ada lagi. Si Mbah lenyap seraya aku membuka mata. Aku baru ingat. Ya, tadi setelah kelelahan kuliah seharian aku tertidur. Sekarang sudah bangun dan si Mbah sudah pergi.
****


Jazz Muhammad
Jakarta, 11 April 2010



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambarnya.