Monday, October 20, 2014

Jumlah Gaji Bukan Segala-Galanya


Selalu saja ada orang di sekitar kita yang suka bertanya tentang gaji teman-temannya lalu membandingkannya dengan miliknya. Kita mungkin salah satunya. Saya mungkin, tapi saya selalu menghindarinya. Membandingkan antara jumlah gaji yang satu dengan yang lain memang mudah. Hasilnya jelas, siapa yang lebih ‘makmur’ adalah yang lebih besar dan yang lebih kecil yang ‘nelangsa’.

Seorang kawan saya bercerita kalau gaji seorang pegawai warteg di Jakarta biasanya berkisar 1 juta  hingga 1,5 juta rupiah. Kalau dibandingkan mereka yang kerjadi kantoran yang bergaji 4 juta, tentu angka gaji pegawai warteg jauh lebih kecil. Dengan mudah, kita bisa berkesimpulan kalau mereka yang di kantoran lebih makmur.

Memang kelihatannya demikian. Tapi kita lupa banyak hal di luar sekedar angka gaji yang tidak kita perhitungkan. Pegawai warteg mungkin bergaji 1 juta rupiah, tapi ia tak butuh bayar tempat tinggal dan bayar makan. Gaji 1 juta itu sudah bersih ia bisa simpan. Sementara mereka yang bergaji 4 juta, harus membayar kos, makan, dan juga transport.

Katakanlah kos di Jakarta mencapai 750 ribu, makan 1,5 juta, dan transportasi 500 ribu. Jadi uang yang bisa disimpan hanya sekitar 1,25 juta. Kalau ini dibandingkan dengan yang bergaji 1 juta, ya yang kantoran akan sedikit beruntung. Tapi jika dibandingkan dengan yang bergaji 1,5 juta, yang kantoran tentu yang ‘nelangsa’.

Siapa nelangsa, siapa makmur

Itu hanya sedikit hal yang banyak orang tidak atau lupa menghitungnya. Tapi di luar itu, ada banyak hal lainnya yang harus kita perhatikan sebelum kita men-judge diri kita lebih ‘nelangsa’ atau lebih ‘makmur’.

Pertama, pengalaman dan ilmu. Banyak orang tidak menghitung dua hal ini ketika mereka bekerja. Pengalaman bekerja tentu berbeda-beda di tiap bidang pekerjaan. Pengalaman akan susah di-kuantifikasi atau dihitung seperti materi.

Seorang kawan saya selau mengeluh gajinya tidak beranjak dari 4 juta rupiah. Ia bekerja di bidang media, di salah satu media terbesar di negeri ini. Sehari-hari ia ditugaskan untuk mewawancarai banyak tokoh besar dan tak jarang ia mewawancarai kepala daerah. Hampir setengah dari seluruh gubernur di Indonesia pernah ia wawancarai tatap muka langsung. Ia mengeluh karena temannya yang bekerja di bidang migas begaji dua kali lipat darinya.

Memang jelas sekali perbedaan gajinya. Tapi bagi saya dua-duanya sama-sama saja. Begini, gaji 4 juta tentu berbeda jauh dengan 8 juta. Tapi pengalaman bertemu dengan hampir seluruh gubernur di Indonesia adalah pengalaman yang ‘mahal’ sekali. Tak banyak macam orang mau ditemui oleh gubernur. Apalagi, ketika wawancara dengan gubernur dijalani, betapa banyak ilmu dan pengalaman dari mereka yang bisa dipelajari. Betapa mahal pengalamannya bukan?

Sementara teman yang bekerja di bidang migas, mereka bekerja di site-site migas yang jauh dari pusat kota. Yang mereka tiap hari lakukan adalah bekerja di site migas, dari pagi hingga sore, lalu pulang ke mes pekerja, besoknya kembali begitu berulang-ulang. Gajinya memang 2 kali dari yang bekerja di bidang media, tapi pengalaman yang diterima juga berbeda.

Soal kedua yang sering dilupakan ketika sudah bicara gaji adalah jejaring. Network atau jejaring yang kita dapat semasa bekerja seringkali kita lupakan. Kita bisa kenal ornag ini dan orang itu bukanlah hal yang murah dan mudah di dapatkan. Gaji sebagai pekerja media mungkin tidak banyak. Tapi bisa kenal gubernur, bahkan mungkin kenal menteri, itu sesuatu yang ‘mahal’ sekali.

Yang bekerja di perkebunan atau tambang memang bergaji besar. Itu selalu membuat yang bekerja di bidang lain ‘iri’. Tapi apa mereka punya kesempatan untuk pergi melihat dan berdiskusi dengan berbagai macam orang dari berbagai latar belakang dibanding, katakanlah, teman saya yang dari media itu?

Makin banyak jejaring, kalau bisa dimanfaatkan dan dioptimalkan, akan memberi banyak manfaat. Pertama ilmu yang banyak, kedua lebih banyak pertolongan jika diperlukan.

Hal terakhir yang perlu kita perhatikan lebih ketimbang gaji adalah kebahagiaan. Ini hal yang susah-susah-mudah, tergantung sekali dengan pilihan. Artinya, kita yang bergaji kecil bisa sama bahagianya dengan mereka yang begaji besar. Tapi juga, kita bisa merasa nelangsa, atau juga bisa jauh lebih bahagia dibanding yang bergaji lebih besar.

Kata seorang bijak, kebahagiaan itu cuma urusan ‘klik’ saja. Kita mau bahagia, klik saja tombol bahagia di dalam diri kita. Kita mau nelangsa, matikan tombol kebahagiaan di dalam diri kita. Semudah itu saja.

Ketika kita bahagia, semua urusan terasa mudah dan ada saja solusinya. Kita bergaji 120 juta rupiah per bulan tapi selalu dirundung masalah dan frustasi tentu tak ada nikmat-nikmatnya sama skali gaji sebesar itu. Tapi kita yang bergaji, katakanlah, 1,5 juta perbulan tapi bahagia, anak istri sehat, mau apalagi?

Akhirnya, tentu setiap pekerjaan punya beban dan caranya masing-masing. Kebutuhan orang juga berbeda-beda. Penilaian ini semuanya relatif. Kuantifikasi setiap peristiwa dan pengalaman juga bisa berbeda-beda. Pada intinya, jumlah gaji bukanlah segala-galanya. Masih banyak hal yang bisa kita nikmati tanpa angka nominal gaji kita.(*)



9 comments:

  1. Good reflective thought! Thank you for writing, Rosyid! Semangaats, semoga gajinya berkah :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Mbak... Semoga semua berkah dan manfaat.

      Delete
  2. mau gaji besar atau kecil alangkah lebih bahagianya jika kita bisa membaginya dengan ortu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali. Bisa menyimpan sebagian untuk orang tua sangat membahagiakan

      Delete
  3. yang penting kita mensyukuri dg yang sedikit belom tentu yang banyak barakah.

    ReplyDelete
  4. point yang penting kebahagian dan pengalaman menurut saya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu sebenarnya yg paling mudah sekaligus yang susah. Tinggal kemauan kita saja. Mau tidak bahagia dengan berbagai situasi

      Delete