Friday, December 31, 2010

Seleksi Bicara

Saringan - ilustrasi saja, jangan dipasang
di kuping
(http://sumberlogam.indonetwork.co.id)
Eh, tuh anak suka sewot ya…
Ama elu sewotnya?
Kagak, ama yang lain… gue sebel aja
Aduh, sebel elo tuh ngga penting tau…

Dari zaman baheula, muncul peribahasa yang ampe saat ini terus dingat-ingat: “Kuman di seberang lautan nampak, gajak di kelopak mata tak nampak” . Peribahasa itu, ya pastilah sudah mafhum semuanya. Seringkali kesalahan orang begitu terlihat jelas, dan kesalahan sendiri, yang amit-amit dampaknya, ngga keliatan sama sekali. Tetapi, arti ini jangan kamu ubah menjadi, “Kebaikan orang lain nampak, kebaikan sendiri tak nampak”. Arti kedua ini sungguh melenceng dari maksud perbahasa itu. Jadi pribahasa itu hanya untuk konteks keburukan saja, bukan kebaikan.

Oke, setelah ngomongin peribahasa, saya menebak kamu membatin, “Ni anak mau ngemeng apa sih? Ngga jelas..” (Hehehe.. tenang, Bu..)

Baiklah, seringkali kita detail menangkap kesalahan orang sampe ke akar-akarnya. Kita suka kritik sana – kritik sini. Tanpa ampun menghajar pendapat seseorang, tanpa basa-basi jeplak kesalahan orang lain. Ya kalau mengucapkannya itu langsung ke orangnya sih ngga apa-apa. Jadi konfirmasi atas kritikan itu akan langsung datang. Tetapi yang merugikan adalah ketika sesuatu yang kita anggap kelemahan orang lain itu kita ceritakan ‘di belakang’ alias ngemeng-nya sama orang lain.

Menceritakan sesuatu hal tentang orang lain memang mengasyikkan (Hah?!). Harus diakui kalau banyak tayangan infotainment yang laris manis ditonton orang. Kerjaannya ‘kan cuma nebar desas-desus. Entah bener ato ngga itu urusan nanti, yang penting rame dulu dan bagaimana perasaan yang ditayangin itu mah urusan belakangan.

Kalau yang disampaikan itu hal-hal baik, solutif, motivatif sih tentu tidak apa-apa. Cerita-cerita semacam kepahlawanan tentu sangat penting untuk disampaikan untuk menumbuhkan rasa bangga terhadap jasa-jasa pahlawan.

Tapi cerita buruk soal aib tentu sebuah hal yang harus dihindari. Buat yang diceritain, ini tentu menyesakkan. Buat yang mendengar cerita, di samping memang ngga penting sekali, bagi kita ini bisa membuat pikiran keruh. Ketika pikiran sudah tak jernih, maka susah untuk punya positive thinking. Bawaannya negatiiif mulu.

Soal ini, saya dapat sebuah pelajaran ketika membaca tulisan Samuel Mulia soal “A good life”. Jadi dalam proses membicarakan orang itu ada seleksinya, ya sederhananya ada proses yang harus dilalui sebelum penceritaan benar-benar menjadi keputusan final.

Seleksi pertama adalah soal kebenaran. Maka, ketika seorang teman ngasih berita tentang orang lain, maka tanyakan pada orang tersebut, “Apakah kabar itu benar adanya?” Kalau tidak benar, atau sekedar kabar angin lalu, maka silakan sudahi pembicaraan. Ngga ada untungnya kalau diterusin. Tetapi, kalau memang benar, mari kita teruskan seleksi selanjutnya.

Seleksi kedua adalah soal kebaikan. Maka, “Apakah kabar itu baik?” Kalau ternyata itu berita itu buruk, soal aib orang, soal kekurangan orang, maka sebaiknya segera berhenti saja. Tetapi, kalau memang baik dan berguna, maka silakan melaju pada seleksi selanjutnya, seleksi terakhir.

Seleksi ini akan usai dengan tanya, “Apakah kabar itu berguna bagi saya juga bagi kamu?” Kalau ternyata memang berguna, silakan lakukan diskusi lebih lanjut, tetapi kalau tidak, maka berhenti adalah pilihan terbaik.

Jangan sampai perbincangan yang kita lakukan meleset dari tiga seleksi tadi: benar, baik dan berguna. Jadi, kalau sesuatu kabar sudah tidak benar, tidak baik, bahkan tidak ada guna sama sekali, buat apa diperbincangakan. Yang ada nanti malah buang-buang waktu, buang-buang air ludah, dan ujung-ujungnya muspro.

Namun, bagaimanapun juga membicarakan orang lain sebaiknya dihindari saja, kecuali memang mendesak. Jangan sampai buat masalah gara-gara sesuatu yang tidak penting seperti ini. Oya, tenang saja, ini peringatan bagi saya sendiri ko’. Tenang saja.

Tetapi kalau merasa kesindir, ya sudah ayo sama-sama sibuk memperbaiki diri, bukan sibuk ngemengin orang lain!


Monday, December 13, 2010

Merajut Persaudaraan

ilustrasi (http://fitrisusanti.wordpress.com)
Heh, itu tuh salah
Ini yang bener
Kalu ngga ikut saya, awas ya!
Ah, kamu itu apa? Salah kaprah pahammu itu

Saya sebenarnya bingung juga mendengar isu-isu terorime. Apalagi kejadian itu ada di negeri kita sendiri ini. Padahal, dalam sejarah, tak ada ceritanya teror-meneror itu jadi budaya kita. Negeri kita adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Negeri yang aman untuk siapa saja singgah.

Ehh ada orang iseng ngebom di Bali 2002 lalu.

Kalau ngomong secara global, Peristiwa 11 September tentunya bisa dikatakan menjadi starting point isu-isu terorisme sialan itu. Setelah itu mengalir anggapan-anggpan bahwa agama tertentu mengajarkan terorisme. Ajarannya dianggap memberikan anjuran untuk membunuh orang lain yang tak sekeyakinan. Oh.

Karena negeri saya dan kamu ini berpenduduk mayoritas agama itu, yakni Islam, ya jadilah kita di-stereotyping-kan sarang teroris. Yang ini sungguh membuat saya pening sendiri. Lha wong saya ngga ikutan ngebom, (ikutan sesalkan si tukang bom iya), eh jadi ikutan dikira teroris.Enak aja!

Setahu saya, semua agama mengajarkan kedamaian. Ya ngga? Mengapa harus ada perpecahan?

Tapi ternyata tak hanya di negeri kita ini, konflik berbau agama juga terjadi di berbagai daerah. Korban berjatuhan, bahkan yang ngga tau apa-apa, ehh DOOR! tiba-tiba mati kena tembak, eh BUARRRR! Tiba-tiba bom bunuh diri. Miris kan dengernya. Bagi saya, adalah orang yang otaknya sudah miring lebih dari 45 derajat yang suka keributan itu. Ngga kurang tuh miringnya?

Kalau mau ditelusuri, konflik-konflik tersebut sebenarnya hanya masalah pemahaman. Seringkali terjadi perbedaan penafsiran atas ajaran. Yang bikin runyam lagi adalah tiap perbedaan itu dikelompokkan dan setiap kelompok bilang kalau mereka ‘paling benar’.

Kalau saya jawab, emang kamu Tuhan?! Kok berani bilang ‘paling benar’. Sudah hukum Tuhan kalau manusia itu dikelilingi oleh salah dan lupa. Jadi kalau mikir paling benar, ya berarti sudah mengingkari Tuhan. Kalau kita merasa rang lain salah, ya diingatkan. Kalau tetap ngeyel ya silahkan, toh mereka punya dasar pijakan sendiri. Taaapi, (a-nya sengaja saya banyakin biar lebih mantab) kalau bikin rusuh dan neror sana-sini, baru itu masalah dan kita harus bertindak.

Bagi saya, perbedaan itu adalah lumrah, itu sudah pasti terjadi. Seribu orang bisa punya seribu persepsi bahkan lebih. Sebuah masalah bisa dipandang dari berbagai sudut pandang. Berbeda situasi, berbeda interpretasi. Berbeda kondisi, berbeda edukasi, berbeda cara memahami. Bukannya begitu?

Saya kira menyamakan itu pastinya sulit, tapi menghargai sekiranya bisa menengahi perbedaan itu. Lagipula, memang Allah menciptakan manusia bersuku-suku nan berbeda-beda. Jadi pengakuan diri sebagai yang terbaik tentu adalah hal naïf.

Sekarang sudah saatnya kita merajut persatuan. Bukan berarti menyamakan pemahaman, tetapi saling memahami adalah yang terbaik. Biarkan orang lain menjalankan pemahamannya. Bukankah sambung persaudaraan adalah hal terbaik?


Sunday, December 5, 2010

Keranjang Lipat: Pengabdian untuk Negeri

(REFLEKSI HARI/JAZZ MUHAMMAD)
Keranjang Lipat - Enur yang giat memasarkan produk
kerajinan tangan dari Tasikmalaya
Tampilannya tidak macam-macam dan memang demikian yang ia lalui setiap hari. Kesehariannya dipenuhi kegiatan berkuliah dan berbisnis. Ketika saya mencoba menemuinya, tidaklah sesulit menemui pejabat-pejabat. Mudah, tinggal SMS (short message service) dan tentukan kapan bertemu dan bertemulah saya dengannya. Tidak seperti pejabat yang selalu birokratis, saya temui seorang Enur Nursyamsi begitu mudah.

Ada yang menarik dari anak muda satu ini: kuliah sambil berbisnis. Ini adalah kegiatan yang masih langka di dunia perkuliahan. Umumnya mahasiswa akan menghabiskan waktunya dengn mengerjakan tugas-tugas makalah dan ngetem di depan komputer. Tapi Enur mencoba hal lain. Meski nilai kuliahnya tak bagus-bagus amat, ia mampu menciptakan prestasi di sisi lain kehidupannya: berbisnis untuk kemandirian hidupnya.

Waktu luang ia gunakan untuk berkeliling mencari pelanggan dagangan-nya. Ia berjualan kerajinan tangan yang berasal dari kampung halamannya: Tasikmalaya. Barang-barang kerajinan yang ia dagangkan antara lain keranjang lipat, tas, sandal, tikar, dan bebebrapa macam barang-barang rumah tangga lainnya.

Barang-barang kreatif itu dibuat oleh tangan-tangan pengrajin dari ‘kota anyaman’ itu. Bahan-bahan yang digunakan dari alam, kata Enur. Ada yang terbuat dari pandan, rotan, ataupun mendong. Produsennya adalah keluarganya sendiri. Akan tetapi, ketika pemesanan terlampau banyak, maka ia tak segan untuk melibatkan produsen lain untuk bergabung.

Di samping kegiatan bisnis yang sedikit menyibukkan, Enur tetaplah mahasiswa Universitas Paramadina dengan segala kawajiban akademis yang melingkupinya. Ia mengaku memang sedikit sulit untuk mengatur waktu. Kuliah dan bisnis bila sekilas akan berseberangan, tetapi bila dijalani dengan hati-hati dan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang memuaskan di kedua pihak.

“Ya bisnis mah di waktu luang, kuliah tetep jalan, bisnis jalan. Tugas-tugas tetep ngumpulin, ya meski pas-pasan nilainya. He-he.” Ujarnya dengan logat khas sunda yang kental.

Bantuan teknologi
Enur mengakui, memang jarak yang cukup jauh antara pasar yang ia kelola dengan asal produk membuat sedikit kendala. Namun, menurutnya, itu semua teratasi dengan kemajuan teknologi yang sekarang ini berkembang. Teknologi seluler yang ini marak dan maju membuatnya mudah untuk menjalankan bisnis kerajian ini.

“Telepon geggam ini sangat membantu saya,” selanya sambil menunjukkan sebuah telepon genggam sederhananya, “saya merasa ini sangan efisien. Komunikasi lancar, apalagi untuk buat agreement (perjanjian) dengan pelangan. Dan apapun jadi cepat, saya merasa teknologi ini sangat membantu saya.”

Perihal teknologi ini, Enur yang menggunakan layanan produk XL ini mengatakan bahwa memang ada kelemahan dan kelebihan. Ada provider yang murah juga ada yang mahal. Yang murah kadang tak berlayanan bagus, pun sebaliknya, untuk mendapat layanan yang qualified, harga selangit harus ditelan.

Meski demikian, kemajuan teknologi seluler di Indonesia memang harus diakui cukup pesat. Kemampuan layanannya pun ikut berkembang pesat. Misal, produk XL telah mengaplikasikan teknologi GSM 900/DCS 1800 dan sistem IMT-2000/3G untuk meningkatkan kualitas layanannya. Jaringan GSM dengan tekonologi DCS (Digital Celluler System) 1800 ini dapat meng-cover pelanggan jauh lebih banyak. Sementara, IMT-2000 merupakan sistem komunikasi bergerak (Mobile Communication System) generasi ketiga (3G) yang diciptakan untuk layanan global. Teknologi ini mengintegrasikan telepon selular dengan sistem komunikasi bergerak dengan satelit (Mobile Satellite System).

Pengabdian kecil
Untuk bisnis kecil-kecilan, kadang ini jadi pilihan sulit. Tapi baginya, dengan layanan seluler yang ia gunakan sekarang, ia sudah cukup puas, setidaknya dalam hal harga. “Maklum, masih kecil-kecilan, kalo yang mahal belum terjangkau, Mas.” katanya.

Namun, ia masih mengharap bahwa layanan provider-provider seluler di Indonesia harus ditingkatkan. Soalnya, kemajuan industri kreatif di Indonesia akan menjadi tren menarik di masa depan. Teknologi seluler ia buktikan bahwa punya peranan penting dalam menopang kemajuannya. Buat bisnis yang masih baru, teknologi ini sangat memantu untuk ekspansi, tegasnya kemudian. “Ya kalau bisa mah murah dan layanannya bagus. Tapi ya kayaknya sulit itu, Ha-ha-ha!”

Bisnis ini akan terus ia jalankan meski kuliah makin terasa memadat di akhir-akhirnya. Enur berkomitmen bahwa ia yakin ini adalah wujud upayanya untuk mandiri secara pribadi. Minimal, ia tak mem-‘benalu ‘pada orang lain maupun orang tuanya sendiri. Dari usaha ini, ia cukuplah terbantu biaya hidupnya sehari-hari. Untuk biaya kuliah, ia telah mendapat pembiayaan penuh dari program beasiswa Paramadina Fellowhip yang ia terima sejak semester pertama kuliah.

Sejauh ini, pasar yang ia kelola masih terbatas mahasiswa di kampus. Dosen-dosen juga ia tawari dan responnya positif. Layanan transaksi on-line pun mulai ia jajaki. Lewat situs dagang on-line, ia jajakan dagangannya. Tapi, yang jelas untuk sekarang ini, ia masih memanfaatkan layanan seluler yang ia gunakan sekarang. “Layanan on-line masih agak susah, Mas. Mungkin belum terbangun kepercayaan di sana,” tukasnya.

Ia terlihat giat mengembangkan bisnisnya. Memang ini tidak terlalu besar, omzetnya juga masih jauh dari gaji bersih seorang Gayus Tambunan. Tapi mimpinya untuk menjadi wirausahawan patut kita apresiasi. Ia yakin bahwa dengan berwirausaha ia bisa berkontribusi bagi negerinya, mengabdi barang sedikit. “Saya ingin melihat penduduk negeri ini bisa bekerja semuanya, Mas, itu saja…”

Biodata
Nama : Enur Nursyamsi
Tempat dan tanggal lahir : Tasikmalaya, 1 Oktober 1989
Pendidikan : Universitas Paramadina / Manajemen
Prestasi : Penerima beasiswa penuh Paramadina Fellowship 2008