Friday, August 27, 2010

Report Medio Agustus: Dari Bulan Spesial sampai Antikorupsi

(KOMPAS/PRIYOMBODO)
Seperti biasa, dasar anak malas, membuat report selalu telat. Ya Allah, semoga Engkau ampuni diriku ini! Memang ini kesalahan, tetapi kalau terulang, ini menyedihkan, dan aku sudah pasti bagian dari orang-orang yang menyedihakn itu. Oh, Tuhan, ampuni aku ini!

Baiklah, sekarang aku ingin bicara yang lain. Biarpun telat, report harus dilanjutkan. Oke?!

Bulan spesial
Minggu-minggu awal Agustus tentu menjadi sedikit spesial daripada bulan-bulan yang ain. Ini bulan kemerdekaan. Bulan dimana negeri ini merengkuh kejayaannya di muka bumi ini. Di bulan ini, 65 tahun yang lalu, atmosfer masyarakat berubah dari ketergantungan, mendadak menjadi sebuah kemandirian untuk terus berbenah. Tujuh belas Agustus 1945 lalu benar-benar menjadi pintu gerbang kemerdekaan hakiki negeri ini, yang sayangnya belum tercapai.

Di bulan ini juga dimulai awal bulan puasa, bulan Ramadhan. Bagiku, yang muslim ini, bulan ini akan menjadi bulan paling spesial sepanjang tahun. Di bulan ini, ibadah akan dihargai lebih oleh Tuhan. Maka orang akan ramai bersembahyang di masjid-masjid, di surau-surau dan di rumah-rumah. Gempita Ramadhan benar-benar menjadi momen pembersihan bagi manusia yang memang dasanya bersalah dan berlupa.

Soal kampus
Di awal-awal bulan ini kegiatan Duta Paramadina lebih difokuskan pada kegiatan seleksi mahasiswa baru. Kampusku, Universitas Paramadina kini mengalami masa-masa regenerasi, seperti halnya kampus lain. Kami menerima mahasiswa baru melalui seleksi tulis dan wawancara.

Yang unik dari seleksi ini, wali yang mengantar putra-putri calon mahasiswa kemudian dikumpulkan di taman kampus, “Taman Peradaban” namanya. Kami berbincang banyak soal harapan, soal suasana kampus, pengajaran kuliah, hingga alasan mengapa ujian harus disertai wawancara.

Aku dan Duta Paramadina lainnya disilakan untuk menyampaikan realitas kampus kami kepada mereka, para wali. Tentu kami harus netral. Kami sampaikan bahwakelemahan kampus ini adalah kampus ini kecil, kampus ini mahasiswanya sedikit, kampus ini masih baru, kampus ini tentu tak sebanding dengan kampus-kampus tua lainnya, dan kampus ini swasta. Pernyataan terakhir, bahwa kampus ini swasta, dalam konteks Indonesia memang harus terpaksa dimasukkan dalam kategori "kelemahan" karena paradigma negeri-centered terlalu kuat menimbun-nimbun objektivitas berpikir orang-orang negeri ini.

Tetapi aku dan teman-teman tetap sampaikan bahwa kami berada di kampus yang tepat. Kami memiliki mimpi dan kami yakin kampus ini bisa mengantarkan kami ke sana. Meski kecil, kampus ini memberikan kami network yang luas kepada mahasiswa. Tenaga pengajar yang muda-muda akan menjamin transfer ilmu menjadi seimbang. Ruang kelas menjadi ajang diskusi. Dosen bukan sumber ilmu satu-satunya. Mahasiswa pun punya hak bicara, hak setuju, dan hak bantah. Bukankah memang seharusnya kuliah itu demikian?

Salah seorang wali sempat bertanya, bagaiamana jika ada mahasiswa yang nonmuslim masuk Paramadina. Pak Wija, Deputi Rektor III yang selalu mendampingi kami menjelaskan bahwa kampus ini membawa nilai-nilai agama sebagai dasar penyelenggaraan perkuliahan, bukan simbol-simbol keagamaan. Kami percaya bahwa nilai-nilai Islam itu universal dan bisa direguk oleh siapapun. Karena, pada dasarnya nilai Islam ini akan menyatu pada keserasian dunia yang sejalan dengan nilai-nilai dasar universal agama-agama lain: kesantunan, keramahan, disiplin, semangat berkebaikan, semangat sosial dan tentunya semangat berketuhanan.

Oya, mungkin di kampus kami yang unik adalah adanya matakuliah aneh. Mata kuliah antikorupsi namanya. Katanya, ini yang pertama kali di dunia. Dimana-mana, matakuliah ini tergabung dengan matakuliah etika.

Matakuliah bikin boke’
Matakuliah ini mengajarkan kami bermacam-macam serba-serbi korupsi, dari dalam negeri maupun luar negeri. Ada yang namanya petty corruption, yakni korupsi kecil. Juga ada grand corruption, korupsi yang besar. Kami dikenalkan dengan beberapa konsep mengenai antikorupsi beserta badan-badan pemerintah maupun yang nonpemerintah yang terlibat dalam pemberantasan korupsi. Mulai dari KPK, YLBHI, Tiri, TII, sampai ICW.

Aku baru tahu kalau dampak korupsi begitu massif: lesunya perekonomian, meningkatnya kemiskinan, tingginya kriminalitas, demoralisasi, kehancuran birokrasi, terganggunya sistim politik dan pemerintah, dan buyarnya masa depan demokrasi, serta runtuhnya penegakan hukum.

Di akhir kuliah, kami disilakan untuk melakukan investigasi kecil-kecilan. Kami dikelompokkan dan setiap kelompok harus melakukan sejumlah penelitian soal korupsi yang “di sekitar kita”. Kami mengambil korupsi yang berjenis kecil atau yang tadi kami sebut petty corruption, tadi. Korupsi ini memang benar-benar kecil dan sering terlewat. Keterlewatan ini bukan hanya karena tidak tahu, tapi juga karena terlalu sering dilakukan. Ora krasa jalaran kulina!

Yang termasuk tindakan yang baru aku tahu dan sering terlewat seperti pemalsuan bukti bayar kuliah. Jadi di suatu tempat, jasa pemalsuan ini laris manis oleh mahasiswa-mahasiswa yang mau “neken” orang tuanya. Parah! Kalau yang kategori sering kelewatan itu seperi kasus tilang. Ya, tilang yang sering dilakukan sama polisi. Kebanyakan kita ‘kan maunya cepet, bayar, abis itu beres.

Yang unik, temen-temen yang investigasi bener-bener merelakan diri di-tilang. Sekali tilang seratus ribu dibayarkan, uang pun terbang “melayang”. Lalu ketika presentasi, mereka ditanya seorang dosen, “’Kan ini investigasi, hasilnya ‘kan harus valid, nah, berapa kali kalian lakukan ini?”

“Lah, ya sekali aja lah, Bu! Bisa boke’ kalau terus-terusan…”


Friday, August 20, 2010

Masa Bodoh itu Penting, Lho…

 (http://photography.nationalgeographic.com/)
Heh, elo menang ngga?
Ya, Alhamdulillah juara tiga
Ah, apaan itu? Gue nih juara satu!!!

Baca judulnya, pasti kamu langsung bilang, konteksnya apa dulu? Masalahnya apa dulu donk? Ya maklum kalau tanya seperti itu. Masa bodoh memang identik dengan sikap acuk tak acuh. Sikap tak peduli terhadap orang lain. Sebuah respon negatif terhadap stimulus yang muncul dalam kehidupan. Simple-nya sikap ini identik dengan sikap negatif.

Umumnya, sikap acuh selalu diidentikkan dengan keengganan untuk melihat kesusahan orang lain. Jadi, sikap ini akan memiliki nilai relasi negatif bila dihadapkan dengan keburukan, penderitaan, lalu penindasan dan sebagainya. Masa bodoh ini bikin dosa. Tapi bagaimana kalau dibalik? (Maksudnya, Mas?)

Oke, bagaimana kalau yang dihadapi dengan sikap masa bodoh adalah prestasi orang, atau juga kesuksesan orang lain. Loh, emang ada? Ya iyalah. Inilah saat dimana masa bodoh itu jadi positif, bahkan bisa dibilang penting. Oke, Gue jelasin dulu ya…

Ketika kamu memenangkan sebuah kompetisi, atau mungkin mendapatkan nilai yang bagus, mungkin sebagian teman akan merasa senang. Tapi, kenyataannya, ada saja yang sinis dan dengan ketus mencoba mencari-cari bin mengorek-korek kesalahannya. Tujuannya satu, mencari titik lemah dari kesuksesan tersebut untuk selanjutnya dijadikan senjata untuk bilang, “Aa..h terang aja elo kan bla..bla..” atau, “Ah, gitu aja gue juga bisa, lebih bagus malah!” Dalam hatinya bisa ditebak kalau dia ngga rela orang lain sukses.

Kalap kalau denger orang lain sukses!

Saya sendiri punya teman. Dia begitu gethol untuk mengikuti lomba. Ya saya akui ia berhasil memenangkan beberapa kompetisi. Tapi ada sedikit yang saya kurang suka. Ketika ada teman lain juga memenangkan lomba, wow, responnya begitu ekspresif. Tapi ekspresif yang tak rela. Kemudian ia menceritakan kesuksesannya untuk menandingi wacana sukses teman lain yang juga menang lomba.

“Elo juara itu ya? Ah, aku lho juara ini.. ini.. ini”

Kadang saya sebel, tapi seringkali sebel banget. Tapi saya masa bodoh saja. Peduli amat dengan hal itu. Toh, apa yang terjadi telah terjadi. Bahasa Sundanya bodho teuing!

Inilah yang saya mau sampaikan. Seharusnya kita masa bodoh dengan kesuksesan orang lain. Inilah masa bodoh yang positif. Artinya, ya sudah, terima kesuksesan orang lain dan kemudian ikut merasakan senang. Bagi saya hal itu akan lebih memberi manfaat. Teman kita senang. Kita juga senang. Jadinya win-win solution.

Kita tak perlu membanding-bandingkan pencapaian kita dengan orang lain. Biarlah orang lain sukses dengan bidangnya, dan kita dengan bidang kita sendiri. Biarkan mereka senang dan kita dengan kesenangan kita sendiri. Ujung-ujungnya masa bodoh 'kan? Tapi masa bodoh yang positif bukan berarti acuh saja, tetapi memiliki tambahan apresiasi pada orang lain. Kita tidak mengorek dan membanding-bandingkan prestasi orang lain, tapi malah kita memberi apresiasi setinggi-tingginya.

Kita punya tujuan sendiri yang sudah tentu berbeda dengan orang lain. Maka kesuksesan pun tak bisa dibanding-bandingkan. Apalagi mengorek-koreknya.

Saya pernah membaca koran nasional yang menuliskan quote-quote para ahli. Sang ahli bilang, “Kesuksesan orang itu adalah ketika ia membandingkan kesuksesannya dengan apa yang direncanakan, bukan dengan kesuksesan orang lain”. Hmm…(*)


Friday, August 13, 2010

Gengsi, Mahal Coy…

ilustrasi (wikipedia.org)
Kau makan siang dimana?
Gue di Plangi
Gue di Sensi, elo?
Di warteg……..
Ha…ha….ha

Kalau Kamu makan siang, di mana? Tak usah di jawab. Karena bagi saya tak penting jawabannya. Tapi, bagi beberapa orang, adalah penting jawaban itu, sangat penting. Di mana Kamu makan, di situlah harga kamu. Itulah harga diri Kamu. Maksudnya?!

Sebelumnya saya jelaskan maksudnya percakapan yang membuka tulisan saya kali ini. Kalau Kamu di kota yang metropolis, macam Jakarta, saat seusai makan siang, sering ada diskusi kecil-kecilan di tempat kerja. Ada yang bertanya mengenai tempat kamu makan. Kedengarannya aneh buat orang di daerah. Makan ya makan, just that. Not more not less.

Oya, Plangi singkatan dari Plaza Semanggi, dan Sensi itu Senayan City. Kedua-duanya mall terkenal di Jakarta, Bro….. tahu ngga apa mall itu? Hehe..Pis2

Bagi orang yang hidup di metropolitan adalah penting orang itu menentukan di mana tempat untuk makan. Kamu akan dihargai ketika bisa makan di tempat yang elite. Kamu akan disanjung ketika bisa makan di resto terkenal. Wow, keren! Tapi ko’ gitu ya…

Ini tentu akan jauh berbeda bila kamu makan di warung punya strata paling rendah dalam hal tempat makan, yakni tak lain dan tak bukan adalah "warteg", alias warung tegal. Ketika kamu bersama dengan teman-temanmu yang habis makan di mall, lalu kamu sendiri habis makan di warteg, maka kamu tak punya kedudukan yang sama dengan yang lain. Kamu akan terlihat lebih rendah.

Sebenarnya apa yang di cari orang-orang itu? Saya jawab gengsi. Ya, G.E.N.G.S.I. Makan di tempat mahal adalah prestigious. Adalah yang bisa ke sana tentu orang-orang yang berduit, berkantong tebal. Karena memang harga makanannya selangit. Oleh karena itu, kadang juga muncul keinginan untuk disamakan atau minmal dianggap sebagai orang yang berkantong tebal itu.

Sekarang saya alihkan pembahasan ke masalah yang lebih substantif. Hah, apaan tuh?

Hakikat makan 'kan ya buat kenyang. Tak lebih. Kalau ada, itu relatif. Tergantung apa yang sedang dihadapi oleh orang yang ingin makan.

Tapi, meskipun inti makan itu ya cuma biar kenyang, mengapa orang itu rela mengeluarkan uang yang jauh lebih banyak untuk just makan. Apa yang di cari? Gengsi lagi. Gengsi itu mahal, Coy! Adalah sangat menyenangkan bila kau ditanya, “Makan dimana?” lalu kamu menjawab,”Di sana lho, ditempat mall yang punya resto terbaik itu.” Tapi, tentu kocek yang dikeluarkan juga lebih banyak.

Lalu kemudian saya tanya, apa sama kenyangnya orang tak punya dengan orang punya? Jawabannya absolutely much the same. Ya, sama. Tak kurang tak lebih.

Tapi kemudian gengsi menjadikannya berbeda. Gengsi menjadikan orang menjadi tak bisa melihat hakikat kebutuhannya. Semua diukur oleh materi. Demi gengsi, sebuah konsekuensi harga yang lebih tinggi pun diambil. Ya kalau boleh dibilang, ini sudah ngga rasional.

Saya sendiri juga bingung. Irrasionalitas itu seakan sudah tertanam. Siapa sih yang tak senang punya gengsi tinggi lalu dipuji. Oh, rasanya sudah kayak jadi yan terbaik aja……

Tapi jangan sampai irrasionalias itu mengubur rasionalitas kita. Hakikat hidup harus kita gali lebih dalam. Kita harusnya sadar bahwa gengsi tak akan memberi solusi. Yang ada hanya basa-basi yang berujung pada diri yang merugi.

Boleh saja gengsi, tapi ya sekali-kali. Karena pada kenyataannya kadang gengsi juga sebuah fakta yang tak bisa ditolak. Umpama kamu diundang makan di Plangi, ya mau ngga mau diusahakan datang.

Jadi, memiliki gengsi itu tak apa. Tapi, membanggakan gengsi itu lalu merendahkan yang lain seraya bertinggi hati adalah hal yang harus dijauhi.(*)


Saturday, August 7, 2010

Report Akhir Juli: Dari Kuliah dan Kuliah.....

Tidak banyak yang aku lakukan di minggu-minggu terakhir Juli ini. Kegiatan kuliah semester pendek juga begitu-begitu saja. Bahkan, sekarang telah mendekati masa akhir kuliah dan sebentar lagi ujian. Ya, ujian, sebentar lagi.

Aku selalu berdebar ketika ujian. Dan, seringkali perasaan ingin escape dari momen itu sungguh kuat. Lebih baik tak ada ujian. Tapi apa demikian benar? Oke, mari berpikir sedikit jernih. Kalau mau menelisik lebih dalam, maka ujian ini sebenarnya adalah pintu gerbang. Sebuah pintu gerbang menuju jenjang dengan tingkat standar lebih tinggi. Jadi, simple saja, kalau mau lebih baik, maka ujian harus dilalui. Dan kalau tak mau ujian berarti tak bisa jadi lebih baik ‘kan? Mudah, tapi sulit.

Soal wirausaha
Kali ini, kuliah yang aku sukai adalah kewirausahaan. Aku beruntung mendapatkan pengajaran mata kuliah ini. Kewirausahaan ini memiliki dua pemaknaan: sempit dan luas. Dalam hal pemaknaan sempit, kami, mahasiswa Paramadina diajarkan untuk kelak menjadi wirausaha-wirausaha yang mampu menciptakan lapangan kerja untuk menghadapi kenaikan pertumbuhan penduduk yang tak seimbang dengan penyediaan lapangan pekerjaan dari pemerintah.

Namun, dalam pemaknaan luas, maka kewirausahaan ini, seperti dikatakan dosenku, adalah semangat untuk berinovasi dan kreatif apapun keadaaannya, baik menjadi karyawan atau tidak, menjadi ilmuan, menjadi pendidik, atau apapun. Kewirausahaan dimaknai sebagai sebuh pola pikir yang mendasarkan semangat memberi manfaat (giving benefit) bukan mengambil keuntungan (taking profit).

Coba kalau orang-orang itu semua memiliki semangat kewirausahaan baik dalam pemaknaan sempit maupun yng luas. Wah, dunia ini akan damai ‘kan?

Sibuknya kampus
Sementara, kampusku sedang sibuk mempersiapkan kedatangan mahasiswa baru baik yang regular maupun jalur fellowship, atau lebih dikenal dengan Paramadina Fellowship (PF). Mengenai jalur regular, sejauh ini perkembangannya cukup baik. Paramadina meyelenggarakan tes masuk tiap tiga minggu sekali. Sudah banyak mahasiswa yang bergabung. Kami, dan aku sendiri cukup senang dan bangga. Untuk itu, aku sampiakan selamat bergabung dengan insitusi yang akrab kami sebut small but giant ini!

Kalau soal PF, tanggal 31 kemarin adalah puncak dari tahapan seleksinya. Banyak aplikasi yang masuk dan ternyata hanya beberapa yang bisa bergabung. Beberapa kawan sempat kotak denganku lewat facebook. Ada yang lolos dan ada pula yang tidak. Untuk yang telah tersemat namanya sebagai penerima fellowship, silakan segera persiapkan diri, silakan datang dan berjumpa nanti di Jakarta, Ibukota negara ini!

Sementara, yang belum masuk, aku selalu sampikan kalau PF bukanlah ukuran kesuksesan. Sukses bisa dari mana saja dan Paramadina hanya satu dari jutaan kesuksesan yang Allah Swt sebarkan di muka bumi ini. Silakan kembarakan lagi upaya, Kawan-Kawan. Aku yakin, kesuksesan lain telah menunggu, mungkin bukan sekrang, tetapi sebentar lagi dan tentu butuh sedikit tambahan energi dan pikiran lagi.

Kampus kami juga akan melepas keberangkatan kontingen tari tradisional (T-ta Paramadina) ke Polandia kelak tanggal 7 Agustus. Kemarin, juga pada 31 Juli, acara seremonial pelepasan dilangsungkan. Meski aku tak sempat mengikutinya, aku yakin itu pasti absolutely incredible. Aku tetap menyimpan sejuta harapan untuk kesuksesan dan keselamatan kawan-kawan, sungguh-sungguh. Kepulangan kalian tak hanya berarti nama baik Kampus ini, tetapi juga Bumi Pertiwi tercinta ini.(*)



*sumber gambar bisa di-klik langsung pada gambarnya.

Report Medio Juli: Dari SP sampai Tarekat Fesbukiyah

Kali ini telah sampai medio Juli. Tak terasa 2010 ini sudah setengah lebih berlangsung. Banyak hal yang sudah kulalui hingga kali ini. Beberapa waktu lalu semester IV dan kini adalah semester pendek (SP) kedua. Maat kuliah yang “umum-umum” jadi bahan belajar : Kewirausahaan, Pancasila, dan Antikorupsi.

Alhamdulillah, hasil semester genap (IV) itu cukup memuaskan. Masih dalam koridor harapan awal. Minimal beasiswaku masih dalam posisi aman. Maklum, sebagai seorang yang seolah gratisan, ada konsekuensi yang harus kulaksanakan.

Kegiatan sehari-hari akhir-akhir ini sering dipenuhi oleh “fesbukan”. Maklum, di kampus ada wifi, pun di asrama. Di dua tempat itu aku leluasa akses internet untuk email, blog, fesbuk atau sekedar surfing cari-cari berita dan bahan bacaan lainnya. Tapi yang jelas fesbuk menempati urutan teratas soal intensitasku dalam memakainya.

Aku jadi ingat soal tulisanku di blog beberapa waktu lalu soal fesbuk. Aku tulis soal sebuah aliran kebatinan baru yang menjadikan layar monitor menjadi alat ritusnya, sebuah kebaktian berupa ngetem di depan fesbuk, tepatnya. Ya, inilah sebuah tarekat baru yang bernama, meminjam istilah G. Muhammad, Tarekat Fesbukiyah. Sebuah tarekat yang aneh.

Tapi aku akui, fesbuk sedikit banyak memberiku manfaat. Beberapa kali aku dapatkan quote menarik dari berbegai sumber. Aku tuliskan itu sebagai statusku. Ya, niatnya sih bagi-bagi semangat. Salah satunya dari Pak Rektor sendiri

“When you are thinking the future, so you are young, then when you are thinking the past, you are old… (Baswedan, 2010)”


“Aku melihat indahnya dunia, di kota-kota yang berbeda, nyata sekali... ini mimpiku...(Ini Mimpiku, Claudia Sinaga)”

Oya, ngomong-ngomong bagi semangat, kampusku kali ini dapat kesempatan baik untuk unjuk gigi di kancah internasional. Salah satu UKM bertitel T-ta Paramadina, sebuah UKM yang konsen pada tari tradisional, akan berangat ke Polandia 7-23 Agustus untuk ikut beberapa festival kebudayaan di sana.

Sebagai apresiasiku, aku tuliskan uneg-unegku pada event itu. Aku tuliskan sebuah prosa pendek dengan judul “Selamat Jalan, Pemahat-Pemahat Mozaik Negeri!”. Aku post tulisan itu ke fesbuk. Alamdulillah, tanggapan baik dari personil T-ta maupun yang lain cukup baik. Hingga akhirnya, tulisanku itu akan dicetak pada booklet T-ta saat gelar pamit nanti 32 Juli.

Dari fesbuk, aku juga dapatkan beberapa teman baru yang ingin tahu Paramadina. Ada bebrapa teman yang komen di wall Paramadina. Aku bantu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang muncul.

Sesekali aku juga terlibat chat dengan orang yang ingin tahu soal Paramadina. Aku sendiri cukup antusias menjawabnya. Bukan karena apa-apa, karena aku cinta kampus kecil ini dan sejenak aku tumpukan masa depanku padanya, yang setidaknya masih tersisa 1,5 tahun lagi.



*sumber gambar bisa di-klik langsung pada gambarnya.

maaf ini telat karena kuliah menggila....