Saturday, January 30, 2010

Bangsa Ini Butuh Pemuda yang Tuntas

Siapa lagi yang bisa dititipi masa depan bangsa ini kalau bukan generasi muda? Pertanyaan ini membuka ulasanku kali ini. Pertanyaan itu tentu tak perlu dijawab. Generasi muda sudah seharusnya memahami bahwa tangan dan pundak mereka telah tertulis akan seperti apa bangsa Indonesia ini di masa datang.

Aku berusaha membuka tulisan ini dengan apa yang disebut kalimat pertanyaan berpola negasi-afirmasi. Artinya, pemahaman-pemahaman yang sebelumnya diberangus dulu, lalu dimunculkan sebuah pemahaman baru yang memang itulah yang dibutuhkan.

Pertanyaan tersebut bila dipositifkan setidaknya akan menjadi ‘Tidak ada yang bisa dititipi masa depan bangsa kecuali generasi pemuda’. Kupahami bahwa pemuda adalah satu-satunya generasi yang punya harapan. Pemuda merupakan lapisan sosial yang memang diperuntukkan mengelola bangsanya di masa depan.


Maka, pemahaman bahwa ada lapisan atau kelompok lain, sebagai yang bisa dititipi masa depan, harus dinegasikan, artinya harus di hilangkan dahulu, bahkan sama sekali. Maka kemudian penegasian ini di-counter dengan sebuah afirmasi dengan penegasan adanya keharusan tampilnya pemuda sebagai generasi yang bisa dititipi masa depan bangsa.

Maka munculah paradigma bahwa memang yang benar-benar akan menentukan mau seperti apa bangsa ini adalah pemuda. Pemuda adalah yang bisa menawarkan bangsa ini mimpi-mimpi untuk menjadi bangsa yang besar. Inilah perbedaan pemuda dengan generasi yang lain. Kalau kaum tua menawarkan pengalaman-pengalamannya di masa lalu, maka pemuda menawarkan masa depan.

Paradigma Pemuda Tuntas
Hal ini, tentu, kemudian berkonsekuensi pada keharusan pembekalan generasi muda dengan sungguh-sungguh. Pemuda sudah saatnya memahami paradigma bahwa ‘Ini bangsa kami, maka baik buruknya, kami bertanggung jawab’. Sebagai pemuda, adalah penting untuk memiliki rasa kebanggaan terhadap bangsanya. 'This is Indonesia that we are really proud of!' Pemuda sudah harus paham bahwa dedikasi mereka dibutuhkan oleh masyarakat.

Bila menilik sejarah sumpah pemuda, maka akan kita jumpai pemuda-pemuda perumusnya yang sudah tidak membicarakan urusan pribadinya. Mereka adalah, meminjam istilah Anies Baswedan, manusia-manusia yang tuntas dengan dirinya. Tidak ada dalam pikiran mereka uruasan-urusan yang bersifat pribadi dan kesukuan. Tidak ada kepentingan-kepentingan sektoral yang mereka bawa saat itu. Mereka telah tuntas dengan urusan dirinya.

Pribadi-pribadi pemuda yang tuntas inilah yang nanti akan menjadi figur panutan bagi generasi selanjutnya. Sebagai contoh figur yang telah sukses menjadi panutan adalah plokamator negeri ini, Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka berdua tak pernah membicarakan kepentingan-kepentingan pribadinya dalam upaya perjuangan mereka. Yang mereka sampaikan hanya bagaimana negara ini bisa merdeka dan berdaulat, dan tak lagi mengiba atau dipaksa mengiba ke sana-sini. Rasa bangga tokoh-tokoh tersebut hanya pada kemerdekaan. Bukan kepopuleran atau nama baik yang menjadikan mereka bangga, tetapi hanya satu kata yang mereka cari yakni ‘Merdeka!’. Bangsa ini harus merdeka.

Sebuah Kisah
Suatu ketika Bung Karno menerima kedatangan BJ Habibie remaja dan beberapa temannya yang akan berangkat ke Jerman untuk melanjutkan sekolah. Saat itu, Bung Karno hanya berpesan bahwa negeri ini perlu dijaga persatuannya. Maka dari itu, teknologi di bidang penerbangan dan maritim harus diutamakan. Yang terjadi adalah semua pemuda yang ketika itu menghadap Bung Karno tersebut hanya mengambil jurusan yang berhubungan dengan teknologi di bidang penerbangan dan maritim.

Sementara, suatu ketika Bung Hatta meresmikan jembatan Asahan di Sumatera. Adalah seorang bernama Imaduddin, yang saat itu masih berusia belia, sangat berkeinginan untuk melihat wajah dan pidato seorang Hatta secara langsung. Ia dan teman-temannya rela berjalan beberapa hari hanya untuk hal tersebut. Ketika hari peresmian tiba, Bung Hatta berpesan bahwa Indonesia ke depan akan membutuhkan banyak insinyur listrik. Akhirnya, karena mendengar pidato tersebut, hampir semua anak yang saat itu meanyaksikan Bung Hatta berpidato, menjadi insinyur listrik, termasuk si Imaduddin yang sekarang telah menjadi seorang profesor.

Inilah bukti bahwa negeri ini butuh pemuda yang tuntas dengan dirinya dan menjadi figur bagi generasi sesudahnya. Apa yang disampaikan orang-orang seperti ini adalah demi sebuah kebaikan kolektif, bukan pribadi.

Negeri tidak butuh orang-orang yang penuh retorik tetapi bermuka dua. Negeri ini butuh sebuah pengabdian pemuda yang penuh rasa kebanggaan terhadap bangsanya, tanpa embel-embel urusan pribadi. Bangsa ini hanya butuh pengabdian pemuda yang murni dari dalam jiwa yang penuh rasa cinta terhadap negeri.


Jazz Muhammad
Jakarta, 29 Januari 2009


nikmati juga tulisan ini di kompasianaku


Ayo Pemuda!

Tentu kita masih ingat betul kapan nama negara ini mulai menggelegar di angkasa nusantara untuk pertama kali. Hari itu adalah 28 Oktober 1928. Hari yang kita kenal sebagai hari sumpah pemuda. Saat itu, pemuda-pemuda terbaik bangsa ini berkumpul untuk mengikuti kongres pemuda kedua. Mereka berkumpul untuk menentukan sikap mereka terhadap masa depan bangsa ini.

Dalam torehan sejarah sumpah pemuda, pernyataan sikap yang dicetuskan telah menjadi starting point perubahan bangsa ini. Mereka merumuskan tiga kesepakatan utama tentang bangsa ini. Mereka tetapkan bahwa bangsa Indonesia, tanah air Indonesia dan bahasa Indonesia adalah harga mati. Sumpah pemuda saat itu telah membuka pintu awal kemerdekaan yang selama ratusan dibelenggu oleh penjajah. Yang menjadi lebih spesial adalah tentu yang melakukan itu adalah pemuda.

Pemuda memang memiliki sejarah panjang atas terciptanya negara ini. Tentu kita ingat, yang mendobrak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan negara ini adalah desakan kaum muda saat itu. Kemudian, pada zaman reformasi, pemuda telah berhasil menggulingkan rezim otoriter yang menyegel dan membungkam  kebebasan di negara ini selama puluhan tahun.

Seloroh Bung Karno
Perihal pemuda, layaknya kita kembali mengingat ucapan Bung Karno. Bapak bangsa itu pernah sekali berseloroh, “Beri aku sepuluh pemuda yang memiliki rasa cinta terhadap tanah airnya, aku akan mengguncang dunia!” Pesan Bung Karno ini sedikit banyak bisa dipahami bahwa beliau yakin dan berani menentukan bahwa pemuda adalah lapisan masyarakat di mana masa depan bangsa ada di pundaknya.

Kalimat itu terdengar begitu berwibawa dan penuh optimisme. Artinya, bapak bangsa kita telah menanamkan sejak awal pada generasi muda bahwa rasa optimis itu adalah suatu yang penting dalam hidup untuk dimiliki. Optimisme itu dibutuhkan untuk berani menentukan masa depannya sendiri. Kemudian optimisme pemuda itu di padu dengan tingginya rasa bangga memiliki Indonesia. Optimisme yang dikobarkan oleh kebanggaan memiliki bangsanya, kemudian telah termanifestasi dalam sebuah kata, “Merdeka!”

Kembali ke sumpah pemuda, mengutip pernyataan Anies Baswedan, yang paling penting dari kesepakatan yang tertuang di pertemuan itu adalah yang ketiga, “Kami putra putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia”. Itulah bagian paling sulit dalam salah sekuen sejarah bangsa yang sangat terkenal itu.

Lompatan Jauh
Pemuda saat itu telah membuat sebuah lompatan yang jauh melampaui zamannya. Pemuda-pemuda saat itu mampu bermimpi tentang masa depan bangsa ini. Dengan mimpi itu, mereka telah bisa merumuskan sebuah alat pemersatu bangsa, yakni Bahasa Indonesia. Akan tetapi, apa mereka dianggap pahlawan ketika pulang ke daerahnya? Tidak. Mereka dianggap sebagai penghianat leluhur yang tak punya penghargaan pada budaya lokal. Mereka dituduh menganggap rendah budaya suku masing-masing. Mereka tidak mendapatkan apresiasi yang sepatutnya, bahkan kebalikannya.

Akan tetapi, optimisme mereka membuahkan hasil. Lompatan yang mereka buat ternyata sampai juga pada relaitas yang diimpikan. Proklamasi kemerdekaan menggema pada 17 Agustus 1945 dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Kemudian, Ketika UUD 45 disahkan, di dalamnya memuat pernyataan bahwa bahasa resmi Indonesia adalah bahasa Indonesia. Bagi yang menolak menggunakan bahasa Indonesia, they were nobody, karena saat itu ide-ide untuk bangsa ini harus bisa diekspresikan dengan bahasa Indonesia.

Pengalaman optimisme pemuda-pemuda itu sudah seharusnya kita renungkan. Mereka telah bisa membaca masa depan dan meletakkan pondasi persatuan bangsa ini. Bahasa Indonesia, di masa itu, telah bisa mereka baca sebagai alat pemersatu bangsa.

Ketika pemuda itu membaca bahwa perlu hadirnya alat pemersatu, maka dalam waktu yang sama mereka memahami apa itu pluralisme atau keberagaman, atau kebhinekaan. Bangsa Indonesia diciptakan dalam keadaan, bukan saja beragam, tetapi sangat beragam. Indonesia dihuni lebih dari 500 suku dan etnis yang berbeda. Mereka pun punya bahasa dan budaya masing-masing. Inilah kekayaan bangsa ini. Akan tetapi, hyperpluralitas ini kalau tidak sikapi dengan cermat, bukan menjadi kekakayaan bangsa, tetapi akan menjadi batu sandungan bagi kejayaan bangsa ini.

Perihal Kebihinekaan
Melihat geografi Indonesia yang luas serta kebhinekaan yang begitu kuat, maka kompleksitas masalah yang dihadapi bangsa ini adalah keniscayaan. Sangat menyedihkan kalau melihat sesama orang Indonesia ribut memperdebatkan keunggulan masing-masing. Yang di bagian barat seakan mengucilkan yang di timur. Yang di timur pun tak mau kalah. Kalau terus diremehkan, mereka akan hengkang dari bumi pertiwi. Siapapun, yang memiliki perasaan terhadap bangsa ini, akan miris mendengarnya. Kebhinekaan yang selama ini diagungkan dan didengung-dengungkan oleh pendiri bangsa lewat ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”, ternyata, tak hanya di sepelekan saja, tetapi juga dinodai dengan perilaku separatisme, premanisme, dan sebagainya.

Kebhinekaan telah menjadi jati diri bangsa ini. Biarlah yang berbeda memegang teguh karaker masing-masing, tetapi perlu diingat bahwa kita semua adalah sama-sama generasi penerus bangsa ini. Sebuah pepatah mengatakan bahwa untuk mengadu dua hal yang berbeda, maka cari perbedaannya dan dengungkan itu keras-keras. Maka perpecahan pun tinggal menunggu waktu. Namun, bila ingin meyatukannya, tonjolkan kesamaan yang dimiliki keduanya dan pupuk itu, maka tercipta keharmonisan yang berkelanjutan.

Saatnya Pemuda
Ini adalah waktunya pemuda unjuk diri. Pemuda adalah satu lapisan sosial yang punya masa depan panjang. Pemuda adalah generasi yang memiliki imajinansi yang kuat untuk memimpikan masa depannya. Maka, bagaimana mewujudkan mimpi itu adalah sebuah hal yang penting untuk digali. Pemuda hanya bisa menawarkan masa depan, dan ketika masa depan itu diuji, maka upaya untuk mewujudkannya harus semakin giat.

Bangsa ini membutuhkan pemuda-pemuda yang bangga terhadap tanah airnya. Tak bisa bangsa ini terus mengharap lagi pada yang tua. Masa kejayaan bangsa ada di pundak pemuda. Sumpah pemuda telah menunjukkan upaya terbaiknya demi bangsa ini dimasanya. Kini adalah masa kita, hai pemuda! Bangsa ini tak butuh rengek-kan pemuda yang terus menebar pesimisme. Bangsa ini butuh optimisme pemuda untuk terus berdinamika dan berdialektika dengan perubahan zaman. Ayo pemuda!


Jazz Muhammad Jakarta, 16 Januari 2010

tulisan ini juga bisa dinikmati di kompasianaku

Friday, January 29, 2010

Butuh Tak Sekedar Telekomunikasi

Perkembangan dunia telekomunikasi dewasa ini tak mungkin dilepaskan dari peran teknologi informasi (IT). Pengguna jasa telekomunikasi, kini membutuhkan layanan yang lebih dari sekedar sarana berkomunikasi yang menghubungkan antarlokasi.

Masyarakat saat ini menyadari bahwa akses informasi yang terbuka luas harus disikapi dengan serius. Artinya kebutuhan akan informasi itu saat ini menjadi sebuah keharusan di samping kebutuhan komunkasi itu sendiri. Adanya konvergensi antara kebutuhan komunikasi dan informasi tentunya kini menjadi perhatian serius para penyedia jasa telekomunikasi.


Peluang Usaha
Di era globalisasi ini, sektor telekomunikasi telah memberikan peluang usaha yang sangat besar. Masyarakat yang haus akan kebutuhan berkomunikasi merupakan faktor penyebabnya. Kebutuhan untuk terintegrasi dengan daerah lain adalah sebuah kenyataan. Hal ini memunculkan pemain-pemain di sektor ini yang kemudian lebih sering disebut operator.
Setiap operator jasa telekomunikasi yang bersaing berusaha untuk memberikan layanan yang terbaik bagi pelanggan dengan harga yang kompetitif. Persaingan ini, kemudian telah menciptakan suatu peluang baru yang besar bagi pembuat perangkat keras maupun Iunak untuk dalam menciptakan Iayanan-Iayanan dan teknologi-teknologi baru.

Pada perkembangan selanjutnya dunia telekomunikasi diserbu oleh gencarnya layanan berbasis IT. Era globalisasi telah menempatkan pula IT sebagai tulang punggung kegiatan ekonomi dunia karena merupakan satu-satunya media yang dapat menyediakan layanan yang borderless dan multidimensi (konvergen). Posisi IT yang strategis dalam percaturan ekonomi global ini telah menjadikan jasa telekomunikasi sebagai jasa yang diperdagangkan dan sarana vital bagi sebagian besar jasa Iainnya. Maka, konvergensi antara sektor telekomunikasi dengan IT pun tak terbendung lagi.

Voice centric yang terjadi pada awal perkembangan industri telekomunkasi kini terlihat jelas telah beralih pada data centric. Masyarakat sebagai konsumennya kini jauh lebih membutuhkan data-data ataupun informasi guna mendukung aktivitasnya.

Dukungan Internet
Sudah tentu, yang paling bertanggung jawab atas pesatnya dunia IT adalah perkembangan internet yang begitu cepat. Hadirnya internet membuat segalanya serba cepat. Masyarakat yang membutuhkan informasi-informasi mengenai bisnis, pendidikan, komersial hingga hiburan kini dimudahkan dengan internet.

Aktivitas-aktivitas manual yang dahulu di-cover oleh jasa telekomunikasi seperti transaksi bisnis, pembayaran uang pendidikan, pembelian jarak jauh serta pengajaran jarak jauh dan lainnya saat ini telah beralih menggunakan internet. Hal ini kemudian memunculkan berbagai istilah seperti e-commerce, tele-shopping, e-learning, e-banking, e-business, EDI, video conference, video on demand, multimedia dan e-govemment. Internet memang memberikan akselerasi yang luar biasa terhadap konvergensi antara jasa telekomunikasi dan jasa teknologi informasi atau IT services.

Pada akhirnya, konvergensi antara layanan telekomunikasi dan IT telah memunculkan beragam layanan yang tentunya dibutuhkan masyarakat. Bentuk layanan dan informasi tersebut terbukti telah mendorong berkembangnya teknologi jaringan telekomunikasi berdasarkan kriteria yang beragam pula, seperti masalah keamanan, keandalan, kecepatan, cakupan, personalitas, portabilitas, dan harga. Maka muncullah teknologi-teknologi seperti IN, ISDN, frame relay, ATM, SDH, HFC, GSM, CDMA, ADSL hingga pada teknologi satelit. Kemudian, teknologi terbaru yang muncul antara lain layanan 3G, Wimax, WIFI, xDSL dan lain-lain.

Perubahan Paradigma
Kenyataan-kenyataan di atas mengarah pada keharusan perubahan paradigma dunia telekomunikasi. Perubahan-perubahan itu meliputi berbagai hal. Pasar telekomunikasi kini telah beralih menjadi pasar dengan kompetisi penuh. Hal ini berimplikasi pada struktur industri yang tak lagi vertical, tetapi telah menjadi horizontal. Format penyampaian informasinya pun telah mengarah pada format multimedia atau konvergensi.

Perubahan paradigma lainnya adalah infrastruktur yang semuanya berbasis digital, menggantikan sistem analog sebelumnya. Selain itu, jaringan pendukungnya telah beralih pada jaringan broadband. Sistem pengenaan tarif juga berubah dari berbasis waktu menjadi berbasis volume (byte).

Perubahan-perubahan tersebut kemudian memunculkan sebuah kenyataan bahwa kini content menjadi sebuah bagian yang penting dalam layanan telekomunkasi. Penyedia jasa telekomunikasi yang masih berkutat pada layanan perangkat keras saja akan tertinggal. Masyarakat kini membutuhkan fasilitas-fasilitas dari aplikasi terbaru untuk menunjang aktivitasnya. Pada dasarnya fokus pada content berarti mengalihkan perhatian pada pengembangan layanan yang berbasis hardware beralih ke software.

Meski demikian, upaya di atas masih harus lebih dipersiapkan matang-matang. Untuk mengubah paradigma tersebut, diperlukan kesiapan dari sumber daya manusianya. Selanjutnya, kesiapan dari sumber daya manusia pada akhirnya juga harus disalurkan pada tampat yang tepat, yakni penelitian dan pengembangan (R&D) yang memadai. Salah satu kunci keberhasilan upaya tersebut tentu adalah tumbuh subumya inovasi dan kuatnya R&D telekomunikasi. Jasa-jasa telekomunikasi baru di negara-negara yang sudah lebih maju, seperti Jepang dan Singapura, lahir karena inovasi yang begitu subur serta kuatnya dukungan R&D telekomunikasi untuk mewujudkan inovasi-inovasi tersebut.

Bermanfaat
Sudah tentu, yang perlu menjadi perhatian kini adalah manfaat yang akan diraih bila konvergensi antara telekomunikasi dan IT tercapai. Pertama, tersedianya layanan telekomunikasi mulai dari voice hingga broadband. Masyarakat akan diperlihatkan dan disediakan layanan telekomunikasi yang terintegrasi, baik layaan suara, data, aplikasi dan juga informasi yang seluas-luasnya. Kedua, investasi telekomunikasi semakin efisien sehingga hal ini berimbas pada tarif layanan yang semakin murah. Fokus pada content berarti fokus pada layanan berbasis perangka lunak, industri yang membutuhkan investasi yang relatif kecil.

Ketiga, terjadinya percepatan pembangunan sektor telekomunikasi sehingga mendorong terciptanya varian layanan telekomunikasi beserta content-nya yang implementasinya akan menyentuh sampai ke pelosok. Tak hanya daerah kota, tapi pelosok-pelosok juga akan merasakan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh layanan e-commerce, tele-shopping, e-learning, e-banking, e-business, EDI, video conference, video on demand, multimedia dan e-govemment. Keempat, terciptanya percepatan pengembangan potensi daerah. Kemudahan berkomunikasi akan menciptakan akses informasi yang terbuka luas. Hal ini tentunya akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang didukung keluasan informasi yang diterima daerah tersebut.


tulisan ini juga bisa dinikmati di kompasianaku

Perihal Industri Telekomunikasi Selular di Indonesia

Salah satu modal pembangunan ekonomi masyarakat di suatu negara adalah infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang baik akan memberikan akses barang maupun informasi pada masyarakat secara luas. Salah satu infrastruktur yang perlu diperhatikan pembangunannya adalah infrastruktur di bidang telekomunikasi, tepatnya pada industri selular.

Di negara-negara maju, sumbangsih dunia telekomunikasi pada pendapatan negara telah mencapai 30% sementara di Indonesia, angkanya masih jauh lebih rendah yakni 2,8% (2007). Melihat pada data tersebut, indikasi yang muncul adalah perkembangan dunia telekomunikasi mendapat perhatian pening di negara-negara maju. Sepertinya, perkembangan teknologi informasi menjadi salah satu infrastruktur penopang keberhasilan negara-negara tersebut.


Dalam konteks pembangunan,secara sederhana, infrastruktur bisa dibagi menjadi tiga: infrastruktur yang bidang perhubungan, bidang telekomunikasi dan bidang regulasi. Seperti diungkapkan sebelumnya, infrastrutur-infrastruktur ini adalah penunjang pembangunan ekonomi negara yang berkelanjutan. Infrastruktur perhubungan bisa berupa jalan, jembatan, terminal, stasiun ataupun bandara tentu akan menunjang mobilitas manusia dan barang dalam pergerakan roda pembangunan nasional. Fasilitas-fasilitas ini akan menunjang distribusi barang maupun orang.

Sementara, Infrastruktur regulasi terdiri dari dua hal utama: kebijakan pemerintah sebagai penentu arah pembangunan dan nilai dan norma masyarakat yang mengendalikan dan juga membentuk mental dan budaya masyarakat sekitar. Pembanguan infrastruktur ini dianggap penting karena hal ini bertindak sebagai penjamin keberlangsungan pembangunan infrastruktur perhubungan dan sebagai penentu iklim ekonomi suatu negara.

Yang terakhir, dan yang terbaru, adalah infrastruktur telekomunikasi. Sebenarnya ini, bisa dikatakan, adalah subsidiary dari infrasruktur perhubungan. Perkembangan teknologi yang semakin pesat, memaksa dunia perhubungan mengarah pada terma boarderless communication (komunikasi tanpa batas). Dengan demikian, pembangunan infrastruktur telekomunikasi adalah sebuah kebutuhan yang mendesak bagi suatu negara dewasa ini. Di era globalisasi ini, mengesampingkan pembangunan infrastruktur telekomnikasi adalah hal yang naïf. Akses komunikasi selular dan internet yang semakin luas telah menciptakan suasana yang serba cepat. Maka, ketersediaan infrastruktur telekomunikasi menjadi sebuah keharusan.

Bila dicermati lebih dalam, maka dalam konteks kekinian, di era perkembangan teknologi yang begitu cepat, maka penitikberataan perhatian pada perkembangan industri-industri telekomunikasi adalah sesuatu yang wajar. Hal ini berpijak pada tiga alasan penting yakni pertama, Kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika. Kedua, Globalisasi ekonomi yang menempatkan telekomunikasi sebagai jasa yang diperdagangkan dan sebagai sarana vital bagi sebagian besar jasa lainnya. Yang terakhir, datangnya masyarakat informasi yang menempatkan informasi menjadi faktor produksi yang amat strategis.

Salah satu industri telekomunikasi yang saat ini berkembang pesat adalah industri selular. Bila dibandingkan dengan sektor lain, maka industri selular ini yang paling mungkin mendapat jangkauan paling luas. Di Indonesia, angka penetrasi yang telah dilakukan juga merupakan yang paling besar yakni mencapai 28,6%, jauh mengungguli yang lain: internet (11,4%) atau broadband (0,2%)(2007). Akses layanan operator yang semakin mudah tentu menjadi faktor penyebabnya. Kebutuhan akan berkomunikasi yang semakin bertambah dari perkotaan, pedesaan, hingga pelosok merupakan sebuah kenyataan yang tak mungkin dipungkiri. Selain itu, kesederhanan atau simplicity dari layanan industri ini agakanya mendukung penuh perkembangannya.

Implikasi Ekonomi
Dalam laporan tahunan negara yang tercatat dalam nota keuangan RI 2010, sektor telekomunikasi, pada 2009, menempati urutan pertama sebagai sektor yang mengalami pertumbuhan signifikan. Tak tanggung-tanggung, angka pertumbuhannya mencapai 13,6%. Hal ini tak lepas dari peran sektor telekomunikasi dalam membantu proses pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Kenyataan-kenyataan di atas tentu sudah harus menjadi perhatian pada pemain indiustri selular untuk terus meningkatkan investasinya. Dalam ilmu ekonomi, keberhasilan atau kesuksesan akan diraih bila penjual bisa memenuhi kebutuhan pasar minimal pada harga ekuilibrium. Pendek kata, antara supplay dan demand harus di sesuaikan. Maka, bagi pemain industri selular, pangsa pasar yang terus bertumbuh juga harus disikapi dengan peningkatan investasi yang rasional demi menjaga supply yang dibutuhkan.. Hal ini tak hanya berimplikasi pada profit yang di raih, tetapi sumbangsih pada pembangunan nasional yang berkelanjutan pun juga bisa di-cover.

Sementara, pembangunan nasoinal ini tentunya juga bergantung pada kesuksesan pembanguan ekonomi daerah-daerahnya. Kebijakan-kebijakan nasional akan dengan mudah dilimpahkan dengan komunikasi yang baik. Tentu industri selular dengan segala kemudahannya akan menunjangnya. Akses informasi yang luas juga menjadi implikasi pengembangan industri selular ini. Fleksibilitas dan simplisitas menjadi andalannya. Kenyataan ini berujung pada kemungkinan pemerataan ekonomi yang terbuka lebar, meski butuh proses yang panjang. Artinya, industri selular tak menjamin pemerataan itu terjadi, tetapi industri ini tetap memiliki peran vital dalam menyukseskannya.

Investasi di bidang telekomunikasi, terutama pada industri telekomunikasi selular akan menjamin ketersediaan akses informasi di daerah-daerah perkotan, pedesaan, hingga pelosok. Perkembangan industri ini akan mempermudah transaksi serta distrbusi karena komunkasi yang terbangun semakin mudah. Investasi yang tepat di bidang selular nantinya juga akan membentuk sebuah integrasi antar wilayah. Pada akhirnya upaya-upaya tersebut akan berimbas pada pengembangan potensi ekonomi di daerah-daerah. Upaya tersebut juga akan mendorong dengan terciptanya masyarakat informasi yang lebih luas. Selain itu, integrasi ekonomi antarwilayah akan mempermudah proses pembanguanan karena akses informasi terbuka seluas-luasnya. Indikator pamungkas yang diinginkan yakni jumlah produksi yang meningkat, tentunya, menjadi perihal yang tak sulit dicapai.

Peluang dan Tantangan
Dilihat dari kacamata ekonomi, maka jumlah penduduk Indonesia yang hampir mencapai 250 juta jiwa merupakan pasar yang sangat potensial. Jumlah ini bila digarap dengan baik tentu akan menjadi sumber pendapatan yang besar. Faktanya, penguna seuler di Indonesia terus menanjang, dari 2007 berjumlah 63 juta, 2008 berjumlah 70 juta dan 2009 mencapai hampir 90 juta pengguna.

Namun, tentu disadari bahwa saat ini adalah era globalisasi yang mengarah pada sistem market-driven. Sederhananya, operator selular tak boleh dan tak bisa mendikte pasar, yakni masyarakat. Pasar kini menetukan apa maunya dan yang terjadi adalah pasar balik mendikte operator. Selain, itu iklim kompetisi sudah pasti dihadapi. Tidak mungkin tidak. Pemain industri seuler harus bersiap kompetisi yang banyak memiliki kemungkinan.

Dalam kompetisi ini, tentu yang muncul pertama adalah perang tarif. Hal ini sudah pasti tak akan terlekkan. Meski demikian, Perang tarif yang dilakukan operator saat ini masih dianggap wajar, tidak akan merugikan operator itu sendiri, karena faktanya tarif terendah yang ditawarkan operator itu dibandingkan dengan operator di negara lain, Indonesia masih diatasnya. Selain itu, dilihat dari populasi penduduk Indonesia dewasa ini, kini ada sekitar delapan operator telekomunikasi dan jumlah ini dipandang masih belum jenuh.

Namun, pada tahap selanjutnya, fokus pada persaingan tarif juga akan membunuh diri sendri. Hal ini disebabkan perkembangan eknologi informai (IT) yang begit pesat, memaksa operator merubah paradigmanya, dari fokus pada tarif menjadi fokus pada layanan dan content. Kerena, yang dibutuhkan msayrakat sekarang bukan lagi hanya tarif yang kompetitif, tapi juga akses data-data dan informasi mengenai berbagai hal untuk mendukung aktivitasnya. Industry telekomunikasi yang dulu voice centric, kini telah beralik ke data centric.

Dengan tarif berkomunikasi (telepon, SMS, dan internet) murah, lalu dilengkapi fasilitas lebih, konsumen akan memiliki opsi dalam membelanjakan dananya. Kemajuan teknologi yang diimplementasikan oleh operator memang tidak akan membuat operator makin kaya, tetapi membuat mereka tetap kompetitif di masa sulit.

Dengan demikian, masyarakat sebagai konsumennya tentu juga akan dimudahkan dengan dua hal. Pertama tarif yang rasional. Artinya, masyarakat ditawari sebuah layanan yang terjangkau oleh kondisi ekonomi mereka. Tidak terlalu mahal yang tidak juga murah. Kedua, layanan, content yang didukung kualitas jaringan yang memadai. Pelayanan yang terbaik akan menciptakan desire masyarakat untuk terus menggunakan layanan selular, dan kualitas yang terjaga akan menjamin kontinuitas dan durabilitas penggunaan layanan yang berujung pada hubungan yang bersifat profitabel dan berkelanjutan (sustainably-profitable relationship). Dengan demikian, secara tidak langsung roda perekonomian daerah hingga nasional pun semakin lancar.


tulisan ini juga bisa dinikmati di kompasianaku

Tuesday, January 19, 2010

Balada Bersepeda di Jakata

Akhir-akhir ini sering digemborkan budaya bersepeda di kota besar. Saya tinggal di Jakarta. Jakarta sendiri tentu anda ketahui adalah kota besar. Maka saya juga mendapat gemboran untuk bersepeda.

Sedikit alur silogisme tersebut saya sampaikan untuk membuka ulasan saya tentang balada yang saya alami ketika berupaya untuk mengikuti gemboran naik berspeda tadi.

Kegiatan rutin saya adalah kuliah di Universitas Paramadina. saya tinggal di asrama mahasiswa yang jauhnya hampir dua kilometer dari kampus. Jarak yang cukup jauh untuk ditempuh on foot.


Tentu saya akhirnya memilih untuk naik angkot. Tiap naik saya harus keluarkan kocek sebesar 2000 rupiah. Jumlah yangs sedikit, tapi kalau lama-lama yang bolong juga kantong saya . Mungkin karena udah ngga ada duitnya, terus masih aja dikorek-korek. Hehehe…

Akhirnya saya memilih membeli sepeda. Pada awalnya saya merasa terbantu. Waktu tempuh berkurang bila dibanding saat dulu berjalan. Aku juga merasakan nyaman sekaligus sehat dengan bersepeda. Tapi kemudian masalah datang.

Suatu hari saya berangkat pagi karena masuk kuliah juga pagi. Sebuah kejadian aneh aku alami. Ketika aku keluar ke jalan utama, wow, macet gila broo! Aku kira dengan bersepeda, aku akan bisa melesat pergi meningggalkan kemacetan. Tapi keadaan berbicara lain.

Aku terhempas dalam rumitnya kemacetan ibukota. Sepedaku hanya bisa merayap dan merayap. Mungkin juga meratap. Tak ada space yang cukup untuk membiarkan spedaku melaju.

Masalah seakan bertubi datang. Suatu ketika saat bersepeda, di depanku ada bus Metromini, bus yang super laris tapi juga super jorok dan bau besi. Asal kau tahu kawan, asap bus jorok itu menyembur ke arah belakang di mana aku sedang melaju dengan spedaku.

Wuzzzz! Keadaan langsung berubah seperti habis kebakaran. Sejenak jarak pandangku berkurang dan kegelapan menyelimutiku. Sialan! Asap hitam bus itu menyembul membahana di uadara depanku. Pastinya, saya batuk-batuk dn mata mulai meleleh airnya. Oh..

Saya tak tahu apa gembar-gembor memakai sepeda itu cocok untuk diterapkan di ibukota, seperti Jakarta. Kalau idealnya, pasti cocok dan bermanfaat. Tapi, sepertinya, in term of Jakarta, itu bohong. saya telah merasa kecewa.

Sepertinya ini karena tak terintegrasinya upaya pembuat kebijakan. Mereka seenaknya bikin kebijakan seenara sarana penunjang nya tak dipedulikan. Anda tentu setuju bila orang Jakarta harus naik angkot atau bis di halte. Lalu kalau mau menyeberang jalan harus lewat zebra cross atau jembatan penyeberangan. Namun, udara Jakarta yang semakin panas yang bercampur dengan busuknya zat-zat polutan, maka jelas sudah mengapa orang tak mau jalan sebentar sekedar untuk menuju halte atau jembatan penyeberangan .

Saya sendir tak kuat dengan panasnya Jakarta. Mungkin busway adalah solusinya. Tapi msaalah muncul lagi. Di halte-halte terjadi penumpukan penumpang. Saya kenal sial lagi. Suatu ketika saya sore hari ke halte Dukuh Atas. E…. saya harus menunggu 45 menit untuk bisa menaiki bus. Itupun saya berdiri akhirnya.

Saya pikir pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus tanggap dengan hal-hal semacam ini. transportasi di Jakarta itu semrawutnya minta ampun.

Saya suka bersepeda. Tapi kalau keadaannya seperti ini, ya mohon maaf, saya menolak tegas utuk imbauan untuk bersepeda. Kalau seperti itu, bersepeda di Jakarta sama saja dengan bunuh diri perlahan-lahan.


nikmati juga tulisan ini di http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/19/balada-bersepeda-di-jakata/

Sunday, January 17, 2010

Parkir Dadakan di Jakarta

Jakarta terkenal dengan aura menariknya. Ia menarik banyak orang untuk mengadu nasib di sana. ada yang berspekulasi menjadi pengusaha, menjadi kuli, menjadi artis, dan pula yang menjadi pejabat. Semua orang dari luar Jakarta berdatangan setiap tahunnya.

Keramaian Jakarta semakin kompleks dengan hadirnya pendatang yang memiliki kendaraan. Mereka yang sudah sedikit sukses membeli atau kebanyakan mengkredit mobil. Hampir 90 persen mobil di Jakarta adaah mobil kreditan. Pembelian mobil di Jakarta bahkan tak menunjukkan angka penurunan. Tiap tahun terjadi kenaikan terus menerus.

Sayangnya, pemerintah DKI Jakarta seakan tak memberi batasan jumlah kepemilikan kendaraan tersebut. Setiap keluarga diperbolehkan memiliki mobil yang tak terbatas jumlahnya. Pokoknya ada duit, kalau mau beli mobil ya beli saja. Apalagi, hal ini ditambah pemilik sepeda motor yang terus memadati jalan-jalan kota Jakarta.


Anda perlu tahu, jumlah kendaraan pribadi di Jakarta merupakan sumber keruwetan lalu lintas. Perbandingan jumlah kendaraan pribadi dan kendaraan umum adalah 98% kendaraan pribadi dan 2% kendaraan umum.

Padahal jumlah orang yang diangkut kendaraan umum jauh lebih banyak dari pada jumlah orang yang diangkut oleh kendaraan pribadi. Dari total 17 juta orang yang melakukan perjalanan setiap hari, kendaraan pribadi hanya mengangkut sekitar 49,7% penumpang. Sedangkan 2% kendaraan umum harus mengangkut sekitar 50,3% penumpang.

Anda bisa bayangkan, ke-jomplang-an tersebut. Seharusnya masyarakat Jakarta tahu kalau kendaraan-kendaraan mereka itu membuat Jakarta semakin ruwet.

Melihat data-data tersebut, lumrah saja kalau kita akan melihat fenomena parkir dadakan di Jakarta. Utamanya pagi dan sore hari. Jala-jalan utama dan jalan tol dalam kota akan dipenuhi mobil dan motor. Inilah yang jadi parkiran dadakan itu.

Pemerintah Jakarta malah seakan tutup mata melihat masalah ini. Masalah transportasi yang sarat kontribusi pada pembanguan seakan diabaikan.

Transportasi umum terbaru di Jakarta adalah trans Jakarta atau lebih dikenal dengan busway. Transportasi ini memang nyaman dan ber-AC. Tapi, jumlahnya tetap tak memadai, tak bisa men-cover masyarakat yang ingin melakukan perjalanan di Jakarta. Selain itu sarana pendukungnya juga tak terurus dengan baik. Meski di beri tempat sendiri, busway sering juga terjebak macet. Jadi ujung-ujung nya sama saja dengan transportasi lain.

Fenomena parkir dadakan akan terus terjadi bila pemerintah tak serius menangani pelayananransportasinya. Selain itu kesadaran masyarakat untuk mengunakan public servise juga harus ditingkatkan. Memang dilematis bila dua solusi diatas dilakuakn sendiri-sendiri. Pemerintah memperbaiki transportasi umum tapi tidak ada penumpangnya atau keinginan menggunakan public transportation tapi pemerintahnya diem-diem saja adalah humor yang tidak lucu. Maka dari itu, Keduanya harus dilakukan beriringan dan bersamaan.



Friday, January 15, 2010

Sedikit-Sdikit Akhirnya Jadi Jurang (Bukan Bukit)


Sedikit saja..
Ngga apa-apa kok
Ngga bakal ketahuan..

Saya sebenarnya agak sedih kalau banyak orang mneyebutnegara kita ini adalah negara korup. Apalagi, yang mengucapannya adalah anak bangsa sendiri. Mereka seringkali melontarkan pernyataan kalau negaranya sendiri menjadi sarag karuptor. Eits….Kadang saya sih juga begitu juga..

Kata anak Jakarta, habis loe mau gimana lagi? Saya bingung juga. Sedih, tapi memang itu realitasnya. Ada KPK, ada Polisi, ada Kejaksaan, dan lain-lain, tapi angka korupsi Indonesia tetap begitu tinggi. Dari pejabat tinggi sampai tukang parkir pun ikutan korupsi. Tidak laki tidak perempuan sama saja.

Saya kira permasalahan ini berawal dari kebiasaan menyepelekan hal-hal kecil. Mengambil uang rakyat sedikit saja dipikir tak apa-apa. Kamu tentu sering mendengar percaapan di awal tulisan ini. sedikit saja, ngga apa-apa kan? Kebiasaan megambil uang sisa pelaksanaan kebijakan dianggap tak apa-apa. Pungutan liar dianggap hal yang lumrah. Huh…..


Masalahanya hal itu terjadi berulang-ulang. Sekali, dua kali, tiga kali seterusnya. Cuwilan-cuwilan uang yang diambil semakin banyak. Apalagi, yang punya pikiran itu bukan satu orang, tapi banyak orang, kadang berjamaah lagi. Pengli dari bawahan disetor ke atasan, terus ke atasnnya lagi dan seterusnya, hm…sampai presiden kali ya? Maaf.

Dalam hal ini, sepertinya bahasa sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit harus diubah. Menjadi, sedikit-sedikit menjadi jurang. Habisnya, yang sedikit bukan nabungnya, tapi ngeruk-nya!

Saya teringat sebuah cerita yang mirip dengan fenomena semacam itu.

Dikisahkan disebuah desa, seorang kepala desa ingin mengmpulkan madu dari masyaraktnya. Ia meminta setiap orang untuk menyumbangkan madu se-sendok per kepala. Madu itu harus dibaa malam hari ke atas bukit.

Sang kepala desa meletakkan sebuah ember di sana. Ada seorang pemuda yang berpikiran lain. Ia tak akan memberikan madu. Ia bawa air biasa. Ia berpikir, “Toh, satu sendok air ini tak akan memengaruhi madu itu.” Ia berpikir bahwa madu-madu dari orang lain jauh lebih banyak dan air tawar yang ia bawa tak akan memberikan efek.

Malam harinya ia benar-benar membawa air saja. Setelah selesai, ia pulang dan istirahat.
Esok hari sang kepala desa meninjau hasil pengumpulan. Tapi, ia terperangah. Tak bisa berkaa-kata (ah, lebay loe..). Yang ia temukan adalah seember air, bukan madu. Tak ada bau madu sama sekali. Anda tau pemirsa…Ternyata semua orang berpikiran sama denga si pemuda tadi.

Cerita itu, mungkin, meruakan ilustrasi buat negeri ini. Terlalu banyak yang berkorupsi. Kalau dilihat individu perindividu, nilainya memang kecil, tapi kalau diakumulasikan, ya jadi banyak juga.

Pungutan-pungutan yang ada di instansi-instansi, terutama yang punya pemerintah, memang sedikit. Tetapi hal itu terus berulang dan terjadi di sebagian besar instansi. Yang sedikit itu pun jadi banyak juga. Jurang korupsi pun semakin dalam.

Saya tidak berusaha sok yes dengan tulisan ini. Saya mengingatkan saya pribadi dan kamu semua. Korupsi itu sangat berbahya. Masih banyak orang yang tak beruntung daripada kita. Bagi yang korupsi, mungkin tak pernah memikirkan bagamana akan makan besok. Tapi bagi rakyat kecil, untuk makan esok hari, mereka mash harus memutar otak. Hmm… mbok ya dari pada dikorupsi, uangya disumbangkan aja…(Heh..enak aja..)

Mari yang sedikit sedikit menjadi jurang itu kita kembalikan lagi menjadi bukit. Buat apa juga korupsi, kalau yang lain malah susah. Negara ini kan butuh kemamuran bersama, ya ayolah……!

Tulisan ini, selain sebagai tulisan lepas, juga diikutsertakan Djarum Black Blog competition Vol. 2. Event ini diadakan oleh PT Djarum yang memproduksi Djarum Black Menthol dan Djarum Black Slimz.



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya


nikamti tulisan ini juga di http://www.kompasiana.com/jazzmuhammad

Wednesday, January 13, 2010

Pelajaran dari Dilema Jeruk

Beberapa waktu lalu, muncul iklan sebuah minuman dengan lelucon “jeruk makan jeruk”. Saat itu tak ada maslah dengan kalimat itu. Tapi kini itu menjadi realita.

ACFTA atau sering dikenal dengan ASEAN-ChinaFTA, yang dibuka tepat pada tanggal 1 januari 2010, telah memengaruhi berbagai pasar di Indonesia, salah satuya adalah pasar jeruk. Jeruk-jeruk lokal seperti jeruk Medan, jeruk Garut dan jeruk Pontianak, pasanya mulai disasar oleh jeruk-jeruk China.


Hal ini tentu imbas dari diberlakukannya ACFTA tersebut. Harga yang jauh lebih murah tentu mendukung pemasaran jeruk-jeruk dari negeri panda itu. Jeruk-jeruk china du jual dengan harga jauh lebih murah disbanding jeruk local. Jeruk lokal saat ini harganya pada kisaran 12.000 per kilo, tetapi jeruk China malah 9000 per kilo.

Data dari Departemen Pertanian menunjukkan bahwa produksi jeruk di Indonesia terus mengalami kenaikan pada periode 2005-2007, yakni berturut-turut 2,15 juta ton, 2, 47 jua ton, dan 2,5 juta ton (MI, 13/01). Meski jumlahnya terus naik, ternyata kebutuhan lokal. Sisa kebutuhan itu dipenuhi oleh produk impor.

Sayangnya, jeruk impor itu kini telah menggurita. Jeruk china telah menyasar ke pasar lokal. Jeruk impor seperti makan jeruk lokal.
Masalah sepeti ini memang harus disikapi secara serius, dan bukan sederhana untuk menyelesaikannya. Pemerintah telah berupaya meningkatkan kapasitas produksi ,tapi permintaan pasar tetap tak terpenuhi.
Pemerintah, di satu sisi, harus meningkatkan program-program berorientasi pengembangan sektor pertanian, tetapi disisi lain, upaya ini dicegat oleh ke-bebas-tarif-an impor akibat ACFTA. Produk-produk China yang masuk semakin murah harganya. Yang terbebani tentu petani-petani lokal.

Produk lokal selama ini masih belum memenuhi standar kualitas global. Buah-buah lokal masih terlihat kurang menarik bila dibandingkan buah-buah impor. Hal ini tentu akan memengaruhi preferensi pelanggan buah.

Pada umumnya, pelanggan akan mempersepsikan sesuatu pertama kali dari penampilan. Kalau penampilan baik, maka menarik onsumen adalah hal mudah.

Selain itu, sebagai makhluk ekonomi, pelanggan akan membeli produk yang murah dan berualitas. Sepertinya jeruk local belum bisa menjawab tantangan itu. Sementara, jeru impor ternyata mampu menjawab tantangan itu dengan sebaik-baiknya.

Sudah saatnya merenungi makan dlema jeruk ini. Jangan sampai rakyat Indonesia menjadi tamu di rumah sendiri.



Friday, January 8, 2010

Ayo Raih Paramadina Fellowship 2010!

Mendapatkan kesempatan kuliah adalah hal yang sangat menyenangkan. Memiliki kesempatan untuk melanjutan sekolah tentu akan membawa kita ke gerbong lanjutan kereta cita-cita kita. Banyak orang mendambakan kesempatan semacam ini.

Bukan saja karena harapan-harapan yang ditawarkan oleh dunia perkuliahan, tapi karena ini adalah kesempatan langka.

Meski demikian, banyak reamaja Indonesia yang tak bisa memiliki kesempatan ini. Banyak alasan yang menjadi latar belakangnya. Tetapi alasan utamanya adalah perihal ekonomi.

Biaya kuliah yang begitu tinggi sangat tidak affordable. Keadaan ekonomi yang belum tuntas dalam keluarga, ternyata harus memaksa kesempatan kuliah itu terpendam.
Beberapa kampus menyediakan beasiswa sebagai upaya mengakomodasi masaah ini. Macam-macam bentuknya. Ada yang beasiswa penuh, yakni biaya kuliah sampai uang sakunya, tapi juga ada yang hanya uang kuliahnya

Di tahun 2010 ini, salah satu kampus yang memberikan beasiswa itu adalah Universitas Paramadina. Kampus ini memberikan sebuah beasiswa bernama Paramadina Fellowship. Bagi fellow—sebutan untuk yang mendapatkannya—mereka akan dibiayai kuliahnya sampai mendapat gelar sarjana. Selain itu, para fellow juga mendapatkan uang saku tiap bulan satu juta rupiah. Kalau di nominalkan, total beasiswa yang diterima adalah 110 juta per fellow.

Untuk itu, kesempaan ini tentu tak boleh terlewatkan. Siapapun berhak menerimanya. Ayo raih kesempatan emas ini!

Untuk info lanjut, pembaca bisa buka situs paramadina

Yang Penting Buang Sampah Pada Tempatnya

Lingkungan merupakan hal yang krusial untuk dijaga dan dilestarikan. Manusia tak akan bisa hidup tanpa adanya lingkungan yang bersih. Hal ini tentu berkonsekuensi logis pada pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Air, tanah, dan udara (kurang lengkap ya…belum ada apinya, hehe…emang avatar) merupakan contoh komponen lingkungan yang penting untuk dilestarikan. Komponen-komponen itu sangat menentukan kualitas hidup manusia, terutama air.

Sebagai contoh mudah, kasus munculnya kabut asap di beberapa daerah di Sumatera sangat bermasalah. Kendaraan harus memperlambat lajunya karena jarak pandang berkurang, pertanian terhambat karena cuaca menjadi tak tentu, penerbangan banyak yang mengalami delay, dan penumpangnya ngamuk-ngamuk karena kabut menganggu navigasi pesawat. In term of water, masalah yang sering muncul adalah pencemaran oleh sampah, ya yang organic atau yang tidak. Kasus ini terlihat sudah menjadi lazim di Indonesia, seperti sudah biasa dan tak ada upaya untuk menyelesaikannya.


Ketika terjadi pencemaran air, terutama yang di sungai-sungai, terutama di Ibukota, pemerintah daerah seringkali langsung mengerahkan traktor-traktor pengangkut sampah. Sampah-sampah dikeruk dan diangkuti keluar sungai. Banyak memang. Tapi yang menjadi masalah, mengapa dari zaman Mbah Soekarno sampai Pak SBY masalah pencemaran air tak ada habisnya. Tak di Jakarta, tak di Surabaya, dimana saja, tempat-tempat air termasuk sungai dan laut sudah tercemar. Entah itu oleh sampah plastik, sampah detergen, limbah pabrik, and many more.

Kalau dilihat dari solusi yang ditawarkan pemerintah sebenarnya tak ada yang salah. Tapi salahnya itu kejadian pencemaran terus berulang. “Udah tahu lobang disitu, ko’ bolak-balik masuk?”

Sebenarnya semua hal bisa ditangggulangi bila sumber masalah dibabat dulu. Masalah di negara sebenarnya kuatnya budaya buang sampah sembarangan. Hayu, paling kamu juga buang sampah sembarangan.

Saya sendiri kadang berpostulat bahwa budaya tradisional orang Indonesia belum hilang. Kalau dulu yang dibuang mungkin bungkus makanan yang terbuat hanya dari daun pisang, maka tidak akan mencemari lingkungan, kan itu bahan-bahan organik. Bahan itu akan larut dengan alam karena memang alami.

Sementara sekarang zaman sudah berganti, daun pisang sebagai bungkus makanan telah berganti dengan plastik yang sulit mengalami pelapukan. Apalagi bahan kimianya tak ramah lingkungan. Apalagi kalau sudah bersentuhan dengan air yang merupakan kebutuhan utama umat manusia.

Oleh karena iu, sangat penting untuk menumbuhkan budaya buang sampah pada tempatnya. Memang terlihat remeh. Tapi kalau dilakukan oleh banyak orang, maka dampaknya pun juga besar. Kadang saya bingung bila menegur orang yang buang sampah sembarangan. Seringkali dia bilang “Ah, orang lain aja boleh, kenapa aku dilarang (buang sampah sembarangan)?”

“Hallooo, kalau harus nunggu yang lain kapan mulainya, Buu?”

Logika berpikir saya memang hanya sampai segitu. Tapi yang penting saya yakin bahwa buang sampah pada tempatnya itu benar dan berdampak baik bila dijalani apalagi dihayati.




*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambarnya



Tan Malaka di Balik Layar Kemerdekaan


Judul : Penyamaran Terakhir-Tan Malaka di Banten 1945-1945
Penulis : Hendri F. Isnaeni
Penerbit : Mas-Media Alam Semesta
Terbit : I, 2009
Tebal : xix+154 halaman
Harga : Rp25.000,00

Setelah lama mengasingkan diri, kira-kira hampir 23 tahun, Tan Malaka kembali ke Indonesia pada 1942. Kala itu Indonesia dalam kubangan penjajahan Jepang. Namun, Tan Malaka hadir bukan sebagai Tan Malaka.

Malaka melanjutkan kehidupannya di Indonesia sebagai pekerja di Bayah, Banten. Ia bekerja di perusahaan milik Jepang bernama Bayah Kozan.

Tan Malaka berusaha menyembunyikan identitasnya dengan menyebut dirinya Ilyas Hussein, seorang lulusan tingkat 2 MULO. Ia awalnya bekerja sebagai juru tulis di gudang penyimpanan. Akan tetapi karena bekerja dengan baik. ia didaulat untuk mengurus romusha.

Pergulatan politik Hussein tampak kembali dimulai. Ia mulai memperjuangkan hak-hak romusha, mulai dari kesehatan, gaji, dan kehidupan yang layak. Dari sini pembaca mulai diajak penulis untuk memahami semangat nasionalisme dan kemanusiaan seorang Ilyas Hussein. Melihat kinerja Hussein yang baik, Pemerintah Jepang lalu menjadikannya menjadi ketua BPP (Badan pembantu keluarga PETA).

Pembaca akan dibawa ke sebuah lankap sejarah yang, saya pikir, klimaks dari buku ini: Tahun 1943, saat Soekarno ke Bayah, Hussein terlibat adu mulut dengannya. Dengan tegas, Hussein menolak keras strategi politik Soekarno yang memilih berkolaborasi dengan Jepang yang terkesan mengemis kemerdekaan. Hussein bersikukuh bahwa kemerdekaan adalah penjamin kemengan terakhir Bangsa Indonesia.

Tak hanya di bidang politik, Hussein juga terampil memimpin pagelaran sandiwara. Ia sering menuliskan lakon untuk diperankan romusha-romusha asuhannya. Ia juga aktif sebagai pemain sepak bola. Kedua hal itu ia lakukan semata-mata untuk menghilangkan rasa lelah yang dialami para romusha.

Dua puluh enam Agustus 1945 perjalanan penyamaran Hussein terhenti. Adalah Ahmad Soebarjo yang pertama menguaknya. Namun, nahas bagi Tan Malaka, ia tidak tahu kalau Indonesia telah merdeka. Ia katakan, ”Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus 1945 tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia.” Padahal ia adalah orang Indonesia yang menggagas konsep republik dalam bukunya berjudul Naar de Republiek Indonesia tahun 1925.

Meski penulis terkesan terseok-seok dalam penulisannya, buku ini bisa jadi sebuah sumber sejarah baru. Penulis berhasil mengungkap nasionalisme dari sosok Tan Malaka. Buku ini setidaknya telah berhasil mengundang pembacanya untuk kembali menilik sejarah bangsa Indonesia ini. Aktivisme Malaka dalam sejarah perjuangan negeri ini, saya rasa, memang sangat perlu diapresiasi.