Friday, January 8, 2010

Tan Malaka di Balik Layar Kemerdekaan


Judul : Penyamaran Terakhir-Tan Malaka di Banten 1945-1945
Penulis : Hendri F. Isnaeni
Penerbit : Mas-Media Alam Semesta
Terbit : I, 2009
Tebal : xix+154 halaman
Harga : Rp25.000,00

Setelah lama mengasingkan diri, kira-kira hampir 23 tahun, Tan Malaka kembali ke Indonesia pada 1942. Kala itu Indonesia dalam kubangan penjajahan Jepang. Namun, Tan Malaka hadir bukan sebagai Tan Malaka.

Malaka melanjutkan kehidupannya di Indonesia sebagai pekerja di Bayah, Banten. Ia bekerja di perusahaan milik Jepang bernama Bayah Kozan.

Tan Malaka berusaha menyembunyikan identitasnya dengan menyebut dirinya Ilyas Hussein, seorang lulusan tingkat 2 MULO. Ia awalnya bekerja sebagai juru tulis di gudang penyimpanan. Akan tetapi karena bekerja dengan baik. ia didaulat untuk mengurus romusha.

Pergulatan politik Hussein tampak kembali dimulai. Ia mulai memperjuangkan hak-hak romusha, mulai dari kesehatan, gaji, dan kehidupan yang layak. Dari sini pembaca mulai diajak penulis untuk memahami semangat nasionalisme dan kemanusiaan seorang Ilyas Hussein. Melihat kinerja Hussein yang baik, Pemerintah Jepang lalu menjadikannya menjadi ketua BPP (Badan pembantu keluarga PETA).

Pembaca akan dibawa ke sebuah lankap sejarah yang, saya pikir, klimaks dari buku ini: Tahun 1943, saat Soekarno ke Bayah, Hussein terlibat adu mulut dengannya. Dengan tegas, Hussein menolak keras strategi politik Soekarno yang memilih berkolaborasi dengan Jepang yang terkesan mengemis kemerdekaan. Hussein bersikukuh bahwa kemerdekaan adalah penjamin kemengan terakhir Bangsa Indonesia.

Tak hanya di bidang politik, Hussein juga terampil memimpin pagelaran sandiwara. Ia sering menuliskan lakon untuk diperankan romusha-romusha asuhannya. Ia juga aktif sebagai pemain sepak bola. Kedua hal itu ia lakukan semata-mata untuk menghilangkan rasa lelah yang dialami para romusha.

Dua puluh enam Agustus 1945 perjalanan penyamaran Hussein terhenti. Adalah Ahmad Soebarjo yang pertama menguaknya. Namun, nahas bagi Tan Malaka, ia tidak tahu kalau Indonesia telah merdeka. Ia katakan, ”Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus 1945 tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia.” Padahal ia adalah orang Indonesia yang menggagas konsep republik dalam bukunya berjudul Naar de Republiek Indonesia tahun 1925.

Meski penulis terkesan terseok-seok dalam penulisannya, buku ini bisa jadi sebuah sumber sejarah baru. Penulis berhasil mengungkap nasionalisme dari sosok Tan Malaka. Buku ini setidaknya telah berhasil mengundang pembacanya untuk kembali menilik sejarah bangsa Indonesia ini. Aktivisme Malaka dalam sejarah perjuangan negeri ini, saya rasa, memang sangat perlu diapresiasi.


2 comments: