Monday, February 28, 2011

Tentang (Perbedaan) Kita Semua…

(ksupointer.com)
Perbedaan bikin masalah: "NOL!!!"
Perbedaan adalah gudang ilmu pengetahuan: "SERATUS!!!"

Rasis, Golonganis: "NOL!!!"
Apresiasi: "SERATUS!!!"

Eksklusif: "NOL!!!"
Inklusif: "SERATUS!!!"

Kekerasan atas nama apapun: "NOL!!!"
Kebebasan berpendapat dan apresiatif : "SERATUS!!!"

Main hakim sendiri: "NOL!!!"
Tegakkan hukum: "Sori, gua mikir dulu nih… (alaaah, elo jangan sok, deh!) Yaudah: SERATUS!!!"

Demo-demo ngga jelas: "NOL!!!"
Terus menuntut ilmu pengetahuan: "SERATUS!!!"

Bikin onar: "NOL!!!"
Bangun kasih sayang dan damai: "Eh buat siapa dulu nih? (Ya kita semua lah) Yaudah: SERATUS!!!"

Jazz Muhammad: "NOL !!!" (Apaaaa???!!!)
Yang baca semua: "DUA RATUSSSS!!! GOPEK DEH…BIAR PAS…" (Ah, sialan, Lo…!)


Sunday, February 27, 2011

Soal Aliran Keyakinan yang Berbeda

ilustrasi kekerasan terhadap fasilitas Ahmadiyah
(img.ibtimes.com)
Wooy, sesat… sesat!!!
Hajar… hajar…!!!

Isu terakhir yang berkembang adalah tentang Ahmadiyah. Ini tentang salah satu alur pemahaman dalam agama Islam. Jargon-jargon sesat menyembur kuat-kuat dari mulut-mulut mereka yang tak setuju. Yang selanjutnya membumbuinya dengan bacaan takbir. Ahmadiyah dianggap sesat dan diminta untuk tobat!

Siapa yang salah? Siapa yang sesat? Itu tentu pertanyaannya. (beeuuuh, serius nih kali ini tulisannya). Ini sudah menyentuh soal keyakinan. Oleh karena itu, dalam tulisan yang biasanya hanya 'kerjaan anak kurang kerjaan ini' (he-he), soal ayat-ayat tak mungkin dibahas.

Soal keyakinan, saya kesampingkan dulu. Yang mau dibahas adalah soal kekerasan dan main hakim sendiri-nya.

Baiklah, kalau mau dipikir lebih dalam, buat apa sebenarnya orang lakukan kekerasan? Terlepas dari setuju atau tidak setuju, ada saja yang akan dikecewakan: keluarga, orang-orang yang dicintai, dan juga teman-temannya.

Manusia adalah hewan yang berakal, itu kata seorang filusuf. Akal sejatinya harus membimbing manusia untuk melakukan proses berpikir lanjut untuk setiap tindakannya. Asasnya sederhana: perbuatan yang mau dilakukan bermanfaat tidak? Memberi perubahan tidak? Atau malah menambah masalah?

Dimana pun, kekerasan tak akan menyelesaikan masalah. Nampaknya memang akan segera selesai masalahnya. Misal dengan main keroyokan, seorang maling bisa saja jera, atau mungkin mati sekalian. Tapi apa selesai masalahnya? Lalu puas? Saya kira, yang dapat puas melihat sesama makhluk mati hanyalah binatang!

Kita juga dianugerah hati oleh Tuhan untk membimbing kita berpikir jernih. Bahwa, seperti diungkapkan oleh Cak Nur, hati nurani adalah bekal sifat ketuhanan yang dititipkan oleh-Nya pada kita semua. Oleh karena itu, semua manusia punya potensi baik. Namun, tempat ia bertumbuh kembang, itu masalahnya.

Tapi mari sejenak berpikir? Siapa memilih lahir di keluarga Muslim, atau dikeluarga Katholik, atau dikeluarga Ahmadiyah, atau juga lahir di China, lahir di Eropa, pun lahir di kubangan lumpur atau tempat sampah?

Kalau lahir dan besar dengan didikan Ahmadiyah dari ibu yang Ahmadiyah, apa itu salah? Kalau kita bisa tentukan siapa lahir dari rahim siapa, dan lahir dimana, maka tentulah namanya ini bukan dunia. Ini hanya khayalan belaka dengan tingkat kebodohan paling tinggi. Kebodohan manusia yang bermimpi menjadi Tuhan!

Dalilnya? Kan mereka salah menurut keyakinan yang umum? Kemooon, apakah pembunuhan orang lain dijustifikasi oleh ajaran agama? Pakai dalil lagi! Agama macam apa kalau begitu itu? Itu kan pemikiran kamu.

Baik, mari sejenak kita memanfaatkan logika. Tuhan adalah realitas yang tak mungkin berbatas, tak terjangkau, dan Mahasegala-galanya. Sementara dunia ini, adalah realitas yang batasannya di sana-sini. Maka apakah mungkin ketidak-terbatasan Tuhan diterjemahkan dalam keterbatasan dunia ini?

Begini, kita pahami bahwa ayat-ayat Tuhan yang dikemas dalam Kitab Suci. Nah, untuk membacanya, kita perlu penfsiran. Ya, itu adalah penafsiran manusia yang hidup dalam keterbatasan. Maka, apakah dengan demikian penafsiran itu dapat menjadi representasi pesan Tuhan yang sebenarnya? Memangnya, yang menjadi Tuhan itu siapa?

Penafsiran tetaplah penafsiran dan ia adalah produk manusia. Bukan maksud Tuhan yang sebenarnya! Banyak orang punya penafsiran berbeda-beda. Banyak ahli atau pun ulama yang telah melakukannya. Kita semua mencoba untuk menafsirkan kehendak Allah di dunia ini, tetapi kita punya keterbatasan. Maka penafsiran itu bukanlah nilai absolut yang bisa menjustifikasi sebuah masalah secara keseluruhan.

Memang agak serius tulisan ini. (Hadeeh, ngga usah elo jelasin juga, dari tadi udah serius ini..) Okelah, jalan yang terbaik adalah jalan tengah, jalan moderasi yang mengedepankan apresiasi antar sesam. Perbedaan sudahlah menjadi realitas takdir Allah di bumi ini. Dan untuk mengakomodasinya, bersikap apresiatif adalah solusi terbaik.

Sebab, memang harus diakui bahwa salah satu penyebab kerusuhan juga ada oknum Ahmadiyah yang mengacau, bikin provokasi, atau juga sikapnya yang eksklusif!

Jadi, Ahmadiyah benar atau salah? Itu tak perlu dijawab. Bagi saya yang ikut ajaran Sunni, maka saya katakan bahwa ia berbeda dengan saya. Lalu? Ya sudah biarkan. Toh, yang tanggung jawab juga mereka sendiri kelak di Hari Kemudian. Allah dan Rasulullah pun tak akan kurang kehormatannya hanya gara-gara ada mereka.(Ha-ha, serius bener Bos…)

Ya sudah, yang penting mari kita semua refleksikan diri sejauh mana kita lakukan kebaikan untuk orang lain. Banyak hal yang harus diselesaikan. Kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan lain-lain. Dari pada gontok-gontokan, mendingan pergi ke panti asuhan dan ajak mereka bernyanyi lagu-lagu yang membangkitkan semangat mereka, bukan? (tidak terlalu nyambung sih… tapi saya kira itu lebih baik)


Friday, February 25, 2011

Disiplin ala Si Jiran

twin tower (mbah google)
Nak, kenapa sih Indonesia ga maju-maju?
Ya iyalah, Pak, kalau maju jadi masalah nanti
Kok gitu sih?
Kalau maju nanti nabrakin negara tetangga
O... murid sialan!

Suatu saat, saya bertemu seorang general manajer (GM) di sebuah perusahaan telekomunikasi. Orangnya enerjik. Pembawaannya ceria. Saat itu ia bercerita tentang pengalamannya ketika tahun 1998 mengunjungi Malaysia. Ia menjadi wakil Indonesia pada sebuah acara konferensi pemuda.

Ia kemudian berteman dengan seorang Malaysian. Ketika di Malaysia, mendadak, pagi buta ia harus menuju tempat konferensi. Benar-benar mendadak sekali dan penting. Mereka memakai mobil. He...he ganjil ya ceritanya...tapi aku dengarkan saja…

Ketika telah hampir sampai, laju mobil itu dihentikan paksa oleh traffic light yang sedang merah. Saat itu masih jam 5 pagi. Sebagai seorang Indonesian, si manajer bilang pada si Malaysian,

"Bang, terus aja... ngga bakal ada yang tau.."

"Hei, tak bise...tak liat kau merah lampu itu.. Ini aturan di sini..!" tangkis si Malaysian.

Sebenarnya si manajer tadi agak geram, tapi sejenak sadar bahwa apa yang ia lakukan adalah salah.

Cerita itu menunjukkan bahwa kedisiplinan telah mendarah daging pada diri rakyat negeri tetangga itu. Meski telah pada posisi paling aman untuk melakukan pelanggaran, mereka berikukuh enggan lakukan itu. Mereka seakan sadar bahwa disiplin tak harus diawasi, dan melanggalr kedisplinan adalah hal yang naïf. Wah kok bise gitu yah..?

Secara sederhana, bisa disimpulkan bahwa ini soal mental. Kedisiplinan telah menjadi budaya di negeri jiran itu. Siapa pun yang melanggarnya berarti telah melanggar nilai-nilai luhur masyarakat di sana.

Saya sendiri bingung. Dulu tahun 80-an, negeri Malaya itu masih impor guru dari Indonesia. Tapi kenapa sekarang anak-anak Indonesia malah bangga bisa sekolah di sana? Tapi bagi saya memang Malaysia adalah wujud bangsa yang punya mental integritas yang cukup kuat. Inilah kunci pertumbuhannya yang pesat, terlepas dari kontroversinya selama ini.

Hehe kok jadi serius yah...

Pada era 97-98 ketika Indonesia sibuk menyiapkan demokrasi dan perpolitikan yang carut-marut, Malaysia telah sibuk dengan pertumbuhan ekonominya. Mereka telah punya monorel dan twin tower yang megah itu. Sementara, di Jakarta, sampai tulisan ini dibuat, itu pancang-pancang monorel ngga jadi-jadi.

(Heh, lo jangan banding-bandingin ya...) Eiittsss... pis2

Ya bukan maksud saya untuk membandingkan. Ini soal mau benchmarking atau tidak. Dulu Malaysia berkenan mengemis guru dari Nusantara. Mereka mengakui memang belum semampu Indonesia kala itu. Tapi mereka benar sungguh-sungguh mau berbenah. Dan kini sepertinya kesungguhan itu menjadi kenyataan.

Kadang yang menyedihkan itu ada saja bilang gini, "Ya iyalah, Malaysia kan dijajah Inggris, kita kan jajahan Belanda..."

Aduh, kemooon, ini bukan lagi soal romantika masa lalu, ini masalah mental bangsa yang tak kunjung usai. Kalau begitu kita mau mulai dari mana? Dengan apa?

Kata Cak Nur, mulailah dari mana saja. Bangsa ini bisa dibenahi dari sudut mana saja, asalkan ada kemauan kuat. Lalu kata Yoris Sebastian, starts small. Mulai saja dari yang kecil aja. Mulai dari diri sendiri. Memang butuh waktu, tapi yang jelas ini akan berdampak.

Contohnya? Hadehhh cari sendiri ah.....baca buku kek, buang sampah pada tenpatnya kek, nulis kek, nanem pohon kek..... tapi yang penting disiplin…….

Tuesday, February 1, 2011

Kebutuhan Primer Baru

www.pasarkreasi.com
Aduh gue ketinggalan hp
aduh gmana nih
wah, ga bisa ngapa-ngapain nih...
hah? Ke laut aja deh...

Globalisasi kini memang jadi makhluk yang menjelma menjadi buah bibir di mana-mana. Globalisasi, ditunjukkan oleh terhubungnya orang-perorang di mana pun, kapan pun. Pertukaran informasi juga kini tak mengenal batas wilayah lagi. Yang dari Amerika bisa ketemu orang di Indonesia langsung dalam satu waktu. Yang dari Indonesia bisa langsung ketemu nyokap-nya yang lagi haji di Arab sana.

Salah satu wujudnya adalah adanya hp alias handphone. Sejak telepon ditemukan oleh Alexander Graham Bell (1871-1922), pada 1876, perkembangannya begitu pesat. Hingga kini, berbagai teknologi telah membuat telpon berevolusi menjadi hp. Bahkan, dengan teknologi yang ada, hp kini bukan hanya untuk berbicara, tapi juga dilengkapi kamera lalu internet, dan lain-lain .

Semua orang jadi bisa ngemeng sepuasnya di mana saja dengan hp. Hp seakan menghubungkan kita dengan orang lain meski di lain tempat. Hp juga mempermudah sesorang untuk mencari keberadaannya. Ya kali aja ada urusan penting kan? Nah, inilah yang membuat hp menjadi barang penting. Kadang kalau pas hp ketinggalan, wow, bingungnya setengah mati. Ah, yang bener, Mas?

Ya, ini karena kebutuhan untuk berkomunikasi menjadi sangat penting. Hp seperti jadi nyawa kedua di dunia kedua. Kalau dunia yang kita tempati ini tuh dunia pertama, nah dunia kedua adalah dunia maya dimana tak ada batasnya.

Jadi maklum kalau pas hp ngga dibawa bisa kayak kebakaran jenggot (Ngga segitunya kaleee…). Ya apalah terserah. Tapi yang jelas seperti kayak lagunya Anang Hermansyah, 'Separuh jiwaku pergi.... ' memang agak mendramatisasi, tapi kalau mau merenungkan, ya memang kayak gitu.

Terus, jadilah sekarang kebutuhan primer itu bukan hanya sandang pangan papan, tapi tambah satu, jadi "sandang pangan papan dan .... handphone". (Kok aneh ya...memang, kok jayus ya, ....biarin)

Tak ada sebuah pelajaran yang saya sampaikan kai ini. Ya FYI aja, alias for your information, alias asal elo tahu aja... Hehe

Ya, inilah faktanya. Hp sudah jadi konsumsi publik. Siapa yang tak punya hp ya sedikit merasa terkucilkan. Tapi bukan maksudku untuk bilang kalau kamu harus punya hp. Ya kalau enjoy tak tanpa hp yang sudah. Toh juga ini hanya alat bantu untuk berkomunikasi. Perasaan dulu jaman nenek moyang elo juga biasa-biasa aja...

Apalagi, hp kini sudah dilengkapi berbagai fasilitas termasuk internet. Ya jadinya bisa pesbukan atau juga ym-an lewat hp. Ya buat eksis-eksisan aja. Haree genee gitu lho…

Tapi, sayang, sekarang hp jadi bahan gengsi. Katanya yang ngga punya hp adalah yang ngga gaul. Apalagi sekarang ada yang namanya BB (Ngerti ngga lo? He-he). Semakin kompleks saja. Tapi mari kita luruskan. Yang tidak bisa beradaptasi dengan globalisasi itulah yang ngga gaul. Memang hp jadi salah satu indikator, tapi yang jelas itu bukan satu-satunya.