Friday, June 29, 2012

Language Determinism dalam Berbahasa

I just call him Dennis, not Pak Dennis
JAKARTA-JAZZMUHAMMAD - Di Spring semester kemarin aku ambil kelas Introduction to Psychology atau yang lebih dikenal dengan intro to psych. Kelas ini merupakan kelas besar yang berisikan mungkin hampir 300 lebih mahasiswa. Dosen yang mengajar adalah Jared Ladbury.

Nah, di dalam kelas itu, aku mendapatkan sebuah istilah language determinism. Dalam buku text yang kami mahasiswa pelajari, language determinism adalah a hypothesis saying that language determines the way we think. Jadi, bahasa dapat menentukan bagaimana cara kita berpikir.

Jauh lebih dari itu, aku mengartikannya bahwa imbas dari situasi itu adalah bahasa menentukan bagaimana pergaulan, budaya dan juga peradaban terbentuk dimana cara berpikir manusianya menjadi landasan paling mendasarnya.

Pada awalnya aku tak terlalu memikirkan istilah ini. Namun, ketika aku lihat perbedaan budaya yang ada antara Indonesia dan USA, aku sadar bahwa apa yang dikatakan oleh definisi istilah tersebut benar adanya.

Begini, dalam bahasa Inggris, tak ada tingkatan-tingkatan yang seperti terjadi di bahasa kita. Baiklah mungkin kita bisa katakan kalau bahasa Indonesia itu egaliter. Tapi pada kenyataannya, penggunaannya tetap terpengaruh oleh bahasa daerah yang bertingkat-tingkat.

Orang akan cenderung memakai “saya” daripada “aku” ketika bicara dengan orang yang lebih tua atau lebih dihormati. Ada juga kata beliau yang untuk orang seperti itu.

Tuesday, June 26, 2012

Membangun Rumah di US

In front of microwave, stove, and oven
JAKARTA-JAZZMUHAMMAD - Di Indonesia, dalam hal membangun rumah, tak ada aturan tertentu. Kalau memang punya petak tanah dan punya uang untuk membangunnya, maka, “Here we go!” Bangun rumahnya!

Maka yang terjadi adalah desain rumah di Indo yang terlihat sangat bervariasi. Dari yang kecil sekali hingga besar seperti istana. Di Blitar, kampung halamanku, ada sebuah rumah yang berdiri megah seperti istana. Besar sekali. Tapi kalau dilihat samping kanan-kirinya, rumah ini sepertinya dibangun bukan pada tempatnya.

Kanan kirinya adalah perkampungan biasa dengan rumah-rumah yang kecil dan juag banyak warung-warung. Nah, ketimpangan ekonomi pun sangat terlihat. Akhirnya, mungkin demi “keamanan”, sang istana pun dilengkapi tembok super tinggi dan tebal.

Di Indo, yang kulihat, orang membangun rumah tak ada aturan yang mengaturnya. Pemerintah kota juga tak memedulikan bagaimana desain rumah, sanitasinya, dan juga segala macam keperluan lainnya: jarah antar rumah, jenis bahan bangunan, dan juga jarah rumah dengan jalan.

Bangun rumah ya bangun rumah saja. Kok pake aturan segala.

Nah, di US, pembangunan rumah benar-benar agak rumit. Pemerintah kota sangat pengatur setiap keluarga yang akan membangun rumah. Tak bisa orang asal bangun rumah yang “pokoknya bisa berteduh”.

Rumah-rumah di US tak semuanya punya halaman depan atau front yard. Cuma sebagian besar memilikinya. Seperti di Fargo, semua rumah memiliki front yard yang akan memberi jarak tertentu antara rumah dengan jalan. Di antara rumah dan jalan raya juga pasti ada tempat jalan kaki atau sidewalk. Tapi, untuk sidewalk ini, ada tidaknya tergantung daerahnya.

Kalau di daerah kota besar, maka biasanya sidewalk sudah menempel di badan jalan. Tapi kalau di luar kota, atau disebut country, maka antara keduanya masih ada space untuk rerumputan.

Monday, June 18, 2012

Demokrasi di US dan Indonesia

(www.typography.com)
JAKARTA-JAZZMUHAMMAD - Sudah menjadi kesepahaman umum kalau Amerika adalah negara demokrasi. Negara yang berdiri di abad 17 ini sepertinya menjadi kiblat demokrasi dunia yang pada akhir-akhir ini.

Aku mungkin tak pintar mengartikan apa itu demokrasi, tetapi pada dasarnya dalam demokrasi, rakyat lah yang memegang kekuasaan. Kira-kira begitulah teorinya. Lalu ada hukum yang mengatur tata-cara atau protocol atas segala aktivitas penyelenggaraan Negara.

Lalu, bagaimana prakteknya? Sepanjang hidup ini, tentu ada pemahaman umum kalau teori sering kali, atau hampir tiap kali, tak sama dengan apa yang dipraktekkan. Baiklah, setelah satu tahun tinggal di sana, tentu aku punya pandangan sendiri bagaimana US menyelenggarakan kehidupan bernegaranya berdasarnya demokrasi.

Suap berujung rampas
Layaknya di US, hampir semua pejabat dipilih langsung oleh rakyat US. Mereka juga akan kampanye dan melakukan promosi layaknya apa yang terjadi di Indonesia.

Di Indonesia, kampanye politik sudah sepertinya identik dengan pasang-pasang poster sembarangan dengan muka-muka “senyum” calon. Di Indonesia, calon pejabat suka “narsis” dengan pasang-pasang muka di buku tulis sekolah, papan pengumuman, dan segala macam spanduk.