Friday, June 29, 2012

Language Determinism dalam Berbahasa

I just call him Dennis, not Pak Dennis
JAKARTA-JAZZMUHAMMAD - Di Spring semester kemarin aku ambil kelas Introduction to Psychology atau yang lebih dikenal dengan intro to psych. Kelas ini merupakan kelas besar yang berisikan mungkin hampir 300 lebih mahasiswa. Dosen yang mengajar adalah Jared Ladbury.

Nah, di dalam kelas itu, aku mendapatkan sebuah istilah language determinism. Dalam buku text yang kami mahasiswa pelajari, language determinism adalah a hypothesis saying that language determines the way we think. Jadi, bahasa dapat menentukan bagaimana cara kita berpikir.

Jauh lebih dari itu, aku mengartikannya bahwa imbas dari situasi itu adalah bahasa menentukan bagaimana pergaulan, budaya dan juga peradaban terbentuk dimana cara berpikir manusianya menjadi landasan paling mendasarnya.

Pada awalnya aku tak terlalu memikirkan istilah ini. Namun, ketika aku lihat perbedaan budaya yang ada antara Indonesia dan USA, aku sadar bahwa apa yang dikatakan oleh definisi istilah tersebut benar adanya.

Begini, dalam bahasa Inggris, tak ada tingkatan-tingkatan yang seperti terjadi di bahasa kita. Baiklah mungkin kita bisa katakan kalau bahasa Indonesia itu egaliter. Tapi pada kenyataannya, penggunaannya tetap terpengaruh oleh bahasa daerah yang bertingkat-tingkat.

Orang akan cenderung memakai “saya” daripada “aku” ketika bicara dengan orang yang lebih tua atau lebih dihormati. Ada juga kata beliau yang untuk orang seperti itu.

Karena itulah, kita juga akan selalu memanggil kak, mbak, atau mas, atau juga pak atau bu kepada orang yang kelihatan lebih tua.

Nah, karena itu semua, pergaulan dalam budaya kita terbatas pada orang-orang yang sepadan umurnya. Dalam keluarga pun demikian. Pergaulan antara orang tua dan anak sangat berjarak. Apalagi antara kakek-nenek dan cucu.

Bahasa Inggris, menurtku, adalah bahasa yang benar-benar egaliter. Apapun jabatan dan umur seseorang, kalau kita memanggil tetaplah menggunakan “you”. Orang tetap menggunakan “I” dalam berbicara dengan siapapun.

Karena inilah, di US akan sering dijumpai orang dari beragam umur dapat saling berbagi canda dan ejek. Orang, berapapun umurnya, bisa saling tegur. Hampir semua orang memanggil nama orang lain langsung dengan namanya.

Mungkin dalam kegiatan belajar dan keluarga, orang menggunakan sir and ma’am. Tapi dengan orang lain, yang bukan keluarga atau guru, untuk memanggil seseorang cukuplah dengan nama.

Aku memiliki teman bernama Jane. Ia sudah berumur hampir 50 tahun. Aku memanggilnya hanya dengan Jane. Imbasnya, kami sangat bebas untuk berbicara, bercanda, cerita apapun dan lain-lain.

Dengan guru, meskipun mahasiswa memanggil mereka dengan sir atau ma’am, untuk menyapa mereka, mahasiswa biasanya hanya bilang “Hi!”

Nah, pointnya adalah ketika kita menggunakan sebuah bahasa, maka kondisi psikologis kita akan menyesuaikan dengan bahasa tersebut. Bahasa Inggris yang sangat egaliter pun akan membawamu menjadi egaliter. Kau tak akan merasa risih bila memanggil orang lebih tua hanya dengan namanya.

Ini sungguh-sungguh aku rasakan. Ketika aku berbahasa indonesia, rasa egaliter itu hilang seketika. Tak enak rasanya memanggil orang lebih tua hanya dengan namanya tanpa mbak, mas, pak atau bu.

Ketika aku berbahasa Inggris, rasanya aku bebas mengutarakan segala hal. Banyak hal. Namun ketika berbahasa Indonesia, banyak hal tabu yang akan menghambat pembicaraan.

Contohnya, dalam bahasa Inggris ada bad-ass yang berarti bagus sekali. Dalam bahasa Indonesia, hal itu sama sekali tidak masuk akal. Gabungan dua kata itu hanya berisi dua kata yang “buruk”. Tapi mengapa artinya menjadi bagus sekali? Itulah bahasa.

Apabila language determinism mempengaruhi budaya, maka sudah sewajarnya kalau sifat egaliter sangat terlihat di dalam budayanya. Kehidupan di US cukup bebas dan setiap orang bisa ber-argue dengan siapapun meskipun dengan kakek-neneknya. Tidak ada istilahnya “Anak bau kencur tahu apa?”

Semua orang berhak tahu dan sedalam apapun pengetahuannya akan sangat dihargai.

Aku bukan bilang kalau bahasa Inggris itu lebih baik daripada Indonesia. Bahasa memang lahir dengan gaya dan budayanya sendiri-sendiri. Untuk beberapa hal aku menyukai bahasa Inggris, khususnya American English.

Tapi untuk hal lainnya, aku masih bangga dengan bahasa Indonesia, juga bahasa Jawa yang adalah bahasa-ibu-ku.

2 comments: