Sunday, October 30, 2011

Sepotong Cerita Fargo

Orang aneh di depan Fargodome
FARGO-JAZZ MUHAMMAD - Sebelum ke sini, aku tak pernah dengar nama kota ini seumur hidup. Di Indonesia, yang kudengar tentang US adalah New York, Washington, San Fransisco, Miami, Patung Liberty, dan tentunya Bahasa Inggris. Kau tahu apa tentang US? Sejadinya, sejujurnya pula, aku tak pernah tahu persis negara ini. Oh, paling-paling kalau “FPI-like organization” dan “extremist-like community” teriak-teriak anti-amerika, nah waktu itu aku dengar amerika. Bercanda.

Dan, ketika aku dapatkan placement dari aminef, aku mulai mencari apa itu Fargo, kota yang sekarang aku akan tinggal di dalamnya untuk beberapa waktu ke depan.

Baiklah, kota ini adalah yang tak terlalu besar. Kalau dibandingkan dengan Jakarta, kota ini tentu tak sebanding dan memang tak mungkin membandingkannya.

Fargo berada di perbatasan antara state North Dakota (ND) dan Minnesota. Tepat di perbatasan, tak kurang tak lebih. Di sampingnya ke arah timur, terdapat kota bernama Moorhead yang tata kotanya kembar. Karena itu, orang di sini sering menyebut nama Fargo-Moorhead. Tapi Moorhead sudah bukan bagian ND, ia Minnesota. FYI, di state sebelah, Minnesota, ada juga kota kembar: Twin City, yakni Minneapolis dan St. Paul. Twin City yang kedua ini jauh lebih populer. Tentunya.

Salah satu sisi downtown Fargo
Kembali ke Fargo. Downtown atau pusat kota Fargo seperti kota tua. Bangunannya sederhna dan tak punya skyscraper meski satupun. Jalan-jalannya bersih dan tata lalu lintasnya, bagiku, mengagumkan. Jalan-jalannya tak terlalu besar, tetapi orang tertib mematuhi aturan (meski tak semuanya, soalnya aku pernah hampir ditabrak driver “o-on” yang tak lihat tanda lalu lintas).

Store-store di sini rapi terbangun. Di sini suasananya quiet, calm. Pokoknya jauh lebih nyaman hidup dari pada di Jakarta. Sepertinya. Kau terserah percaya atau tidak.

Angkutan umum di sini cuma satu jenis: Bus. Namanya MATBUS. Mereka sediakan jadwal kedatangan dan keberngkatan bus di tiap shelter. Dan yang mengagumkan adalah, dibandig dengan yang di Indo, mereka hampir selalu tepat waktu.
Let's Go BISON!!!

Ya, mungkin hal ini, soal tepat waktu, akan selalu mengagumkan bagi orang indo sepertiku ini. Tapi, ini sekaligus menyebalkan karena rupaya budaya "ngaret" sudah mengakar-bumi dalam di dalam diriku. Jadinya: ketinggalan bus berkali-kali. Ingin bertobat dari ngaret? Ya, tak ada pilihan.

Shelter MATBUS
Meskipun Fargo bukan ibu kota North Dakota, tapi kota ini adalah kota terbesar. Bismarck, yang notabene ibukota, tak ada apa-apanya. Di Fargo ini juga, berdiri universitas tua: North Dakota State University (NDSU). Itu tempat aku belajar saat ini.

NDSU, begitu kami menyebutnya, memiliki spesialisasi dalam dunia agriculture. Dari logonya saja sudah bisa dilihat. Dengar-dengar, kampus ini adalah kampus terbaik untuk urusan agriculture di US.

Omong-omong soal football, karena orang amerika gila football, NDSU punya tim berjuluk Bison. Jujur saja, sejak di sini, aku tak pernah lewatkan nonton Football. I love it.

Dari permaian, sebenarnya soccer tetap lebih menarik bagiku. Tetapi karena Fragodome, tempat “home” Bison, selalu penuh dengan penonton baik dari students atau orang-orang sekitar, aku merasakan sense belongness yang begitu super.

I like it here. Well, see you then.


Sunday, October 23, 2011

Mozaik dari Fargo (1): Apapun Hasilnya!

Di depan Union, NDSU
Kalau ada orang bilang: di dunia ini semuanya dapat terjadi, maka siapapun boleh jadi percaya atau juga tidak. Terserah. Monggo.Tapi aku akan memilih untuk percaya. Kenapa? Karena percaya itu gratis.

Apa kita percaya kalau batu bisa jadi uang? Percaya kalau manusia bisa terbang tanpa bantuan apa-apa? Atau tangan kita dapat menyentuh langit? Atau ketika kita bangun pagi lalu rupanya semua orang menunggu anda di luar jendela, karena kita jadi presiden?

Kalaupun itu semua terjadi maka kepercayaan kita dapat pembuktian yang akan membuat kita senang sejadi-jadinya. Kalau tidak terbukti? Buat saja kepercayaan yang lain. Mudah bukan?

Tetapi masalahnya akan timbul kalau kita terlalu banyak kepercayaan. Akan menjadi sampah dalam kepala kalau setiap hari kita membuat kepercayaan-kepercayaan baru. Sebab hidup ini hanya sebentar. Saya memilih-milih mana yang akan ku-percayai, dan aku akan buktikan kepercayaan itu.

Dan, sedari kecil, dunia yang kulihat bukanlah macam istana dalam cerita. Dunia ini bukan dongeng dalam cerita anak-anak yang dapat memberikan segala-galanya. Dunia ini bukan dongeng yang dapat memberikan kita hujan uang, yang dengannya kita dapat menjadi orang kaya.

Tapi yang kulihat adalah kerja keras. Ya, dengan kerja keras, kepercayaan itu akan terwujud. Bagaimana kalau tak terwujud? Ya sudahlah. Memang mau apalagi? Biar Yang Disana yang mengatur.

Pertengahan Oktober 2010
Baiklah, dari kepercayaan saya pindah ke pengalaman. Berawal dari akhir tahun 2010 lalu, tepatnya pertengahan Oktober 2010.

Kampusku, Universitas Paramadina, dibuat heboh dengan selebaran berbahasa Inggris. IELSP atau Indonesia English Language Study Program: sebuah program yang akan memberangkatkan beberapa puluh mahasiswa ke negeri yang tepat berseberangan dengan Indonesia di bumi ini, sebuah negeri yang kini dikenal dengan negeri adidaya, Negeri Paman Sam, The United States of America.

Beberapa kawan sudah siap dengan aplikasinya, lengkap dengan surat rekomendasi yang “heboh”, rekomendasi dari pemuncak-pemuncak kampus, penghuni rekotorat. Beberapa dapatkan rekomendasi dari Pak Wija, beliau adalah, menurutku, orang orang dua di kampus setelah Pak Anies, Pak rektor. Adakah dari Pak Anies? Entah, aku kurang tahu. Mungkin saja.

Aku memutuskan untuk “ikut-ikutan” mengirimkan aplikasi. Aku berencana mengecek website organisasi yang mengelola beasiswa itu. Aku sedikit bertanya pada Fajar, kawan baikku yang waktu itu menjadi “warga negara” DKPM—Direktorat Kemahasiswaan dan Pengabdian Masyarakat.
“Jar, aku ingin ikutan donk! Gimana caranya?” tanyaku.

“Oh, dedlen-nya tiga hari lagi,” jawabnya. Mungkin baginya ini fakta dan memang demikian adanya. Tapi bagiku: Holy cow! Mana bisa aku ikutan?! Aku masih memegang nol besar untuk memulai. Tiga hari? Satu kata: mustahil!

“Memang syaratnya apa?” tanyaku, sekedar meredam kekecewaan.

“TOEFL. Minimal 450,” jawabnya.

“Memang kapan ada tes TOEFL?”

“Minggu depan.”

Oh, deadline hanya tiga hari lagi, dan salah satu syaratnya baru bisa kupenuhi minggu depan? Rupanya, bukan meredam, ini malah menggandakan kekecewaan. Ini rupanya benar-benar juga menutup pintu kepercayaanku untuk ikut serta.

Berkabung, tapi hanya dalam pikiran. Sepulang dari kampus, aku, seperti biasa saling sapa dengan kawan-kawan di asrama 33b. Istirahat sejenak di ruang tamu sambil menyaksikan siaran TV kabel yang kami pasang beberapa bulan lalu. Kami bisa menyaksikan banyak siaran TV dari dalam dan luar negeri. Yang paling laris adalah “Star World”. Beberapa kawan seperti dibuat ketagihan dengannya.

Baiklah, kembali topik semula. Menjelang malam, aku buka laptop-ku. Tujuan utama: facebook. Kau tahu apa nyawa dari facebook? Notification. Tanpa itu, facebook serasa barang mati yang tak sedap dipandang. Maka dari itu, mari meramaikan notification. Tapi, terserah juga, karena terlalu banyak akan membuat orang malas, dan: apapun yang berlebihan itu bukanlah hal yang baik, bukan?

“Eko, kau ikut IELSP?” tanyaku pada Eko yang kebetulan melintas. Ia salah satu kawan penggila “Star World”.

“Iya. Ikutan. Lha, elo ngga tahu?,” jawabnya mudah.

Aku mulai menanyai beberapa kawan. Ternyata beberapa dari mereka telah siap dengan form aplikasinya, lengkap dengan surat rekomendasi dan nilai TOEFL. Beberapa dari mereka sudah ada yang mendaftar. Dari asrama 33b, kukira ada sekitar tiga atau orang yang ikut seleksi. Fajar ada di asrama lain, asrama 25. Cuma dia yang mendaftar dari asrama itu.

Dang!

Ya Allah, kalau memang bukan kesempatanku, tolong redam rasa kecewaku ini! Kalau memang ada kesempatan, tunjukkan pada hambamu ini jalan yang terbaik. Begitu doaku kala itu.

“Rosyid, coba kau cek website aminef,” Eko tiba-tiba beri tahu. “Aku tahun kemarin daftar Global Ugrad di sana. Mungkin masih ada waktu.”

Aku buru-buru “bertanya” pada “Mbah Gugel”. Aku coba cari website aminef dan kukerahkan segenap kekuatan untuk mencari apa itu Global Ugrad. Setelah beberapa kali upaya, akhirnya kutemukan juga. Global Ugrad adalah kependekan dari Global Undergraduate Exchange Program, sebuah beasiswa bagi mahasiswa Indonesia untuk belajar tentang pendidikan dan segala aspek kehidupan di US. jenjang waktunya bisa satu semester atau satu tahun akademik.

Deadline-nya kapan? Itu pertanyaan yang jawabannya harus kutemukan.

Dua minggu lagi. Tepatnya 1 November 2010.

Apa syaratnya? Pertanyaan kedua.

Dari semua syarat seperti beberapa lembar form aplikasi yang harus aku isi, essay, surat rekomendasi dari dosen, dapatlah aku penuhi. Tapi rasanya seperti disambar badai ketidakpastian: sayaratnya adalah ijasah SMA dan surat rekomendasi dari guru SMA. Kau tahu kenapa ini mengejutkan? Aku butuh hampir sehari semalam untuk mencapai kampung halamanku, Blitar.

Aku biasa menggunakan kereta Matarmaja untuk pulang. Berangkat jam 2 siang dari Stasiun Pasar Senen, aku akan sampai esok pagi di Blitar dengan waktu yang tidak tentu, tapi kira-kira aku akan sampai jam 7 pagi. Kau tahulah bagaimana transportasi negeri ini. Bagus bukan? Siapa dulu donk yang mengurusi?!

Sesampai di rumah, aku akan butuh waktu berjam-jam untuk istirahat dan tidur karena perjalanan benar-benar melelahkan. Dalam kereta, hanya ada tempat duduk dengan sudut sempurna 90 derajat. Dan aku duduk begitu selama perjalanan. Menarik bukan?

Baik, aku hanya punya waktu dua minggu. Sempat tumbuh rasa ragu dalam benakku. Sebab, pulang pergi Jakarta-Blitar bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Selain itu, aku sadari: ini kesempatan ke USA.

Ini bukan kesempatan seharga permen yang setiap orang bisa dapatkan. Akan banyak mahasiswa yang mendaftar, ratusan mungkin, dan aku satu dari, katakan 500 orang yang mendaftar. Dalam benak: mustahil tak mustahil!

Tapi rupanya sisa waktu yang ada, dan sebenarnya juga tak lama, diam-diam menjadi harapan terakhir yang kumiliki. Ini adalah kesempatan ke negeri adidaya, USA. Kalau tidak di coba, mana tahu hasilnya. Aku bangun kepercayaan dalam diriku. Sedikit demi sedikit.

Kalau gagal? Setidaknya aku sudah mencoba. Akan ada pelajaran dari sana. Sedikit demi sedikit, kepercayaanku memadat. Bagaimana kalau menyesal? Itu takdir, tak aka nada penyesalan di awal. Lagipula, gagal setelah mencoba setidaknya lebih punya martabat daripada diam dan tak berbuat apa apa.

“Ibu, saya ingin daftar beasiswa ke USA?” aku telpon ibuku.

“Apapun yang jadi keputusanmu, ibu cuma bisa mendoakan yang terbaik buatmu,” jawab beliau. Pelan.

Kini aku percaya, benar-benar percaya. Apapun hasilnya! Allah tahu yang terbaik buat makhluk-nya.

Pertengahan Agustus 2011
Hari orientasi dimulai, 17 Agustus 2011. Aku bersama Jean Max, mahasiswa asal Haiti, berangkat bersama menuju Memorial Union. Tempat ini adalah semacam students center dari North Dakota State University (NDSU).

Sesampai di Union, begitu kami menyebut Memorial Union, aku bertemu dengan mahasiswa dari berbagai negara. Ya, itu hari pertama orientasi untuk mahasiswa internasional di NDSU. Aku bertemu dengan banyak orang dengan macam-macam bahasa.

Aku lihat banyak bahasa berbeda mereka gunakan, pula warna kulit berbeda-beda. Aku tak tahu mereka bicara apa. Jujur, ini pertama kali aku berada dalam situasi seperti ini.

Sesuai dugaan, kulihat ada banyak mahasiswa dari India dan China. Ini terlihat dari bagaimana mereka berbicara dan mengelompok. Natural saja kalau mereka akan mengelompok dengan yang mereka sudah kenali dan dapat berbicara satu dengan lain. Kukira, sebagai calon negara maju, sudah tentu mereka banyak mengirimkan mahasiswanya ke luar negeri, salah satunya ke USA. Aku juga banyak, ini di luar dugaan, melihat mahasiswa dari Korea. Apapun, aku sungguh tak mengerti apa yang mereka bicarakan.

Aku datang dengan kemampuan berkomunikasi dalam Bahasa Inggris yang super minim. Aku akan katakan: bahasa bukan hanya soal tulisan, tetapi tentang bagaimana menggunakannya dalam keseharian. Ini persoalan yang berbeda sekali.

Di Indonesia, aku sangat jarang menggunakan bahasa ini. Dan, ding-ding! Di hari pertama orientasi ini, aku seperti orang hilang yang tak tahu harus berbicara apa jika perlu sesuatu. Setiap orang berbicara dengan cepat, ini benar-benar di luar dugaan. Dan, “kelangkaan” kemampuan berbicara sungguh-sungguh berjung pada isolasi diri yang benar-benar membuat sakit kepala.

Minggu pertama di Fargo, di NDSU, aku adalah orang dari planet lain yang tak tahu bagaimana berkomunikasi. Bahkan, sebenarnya ini masih Ramadhan, seharusnya aku berpuasa. Tapi aku benar-benar frustasi. Jujur, aku ingin pulang kembali ke Indonesia. Aku tak puasa. Di hari pertama orientasi, aku: orang hilang di Fargo.

Jazz Muhammad (Global Ugrad Indonesia)
78 Niskanen Hall, NDSU
Fargo, ND, USA