Sunday, November 16, 2014

Guru Bukan Dewa: Akhirnya, Senangnya Menjadi Guru (4-habis)

Sumber: www.napavalley.edu

Profesi guru memang sangat menyita waktu, tenaga dan pikiran. Tapi saya tetap setuju dengan slogan “Teaching is a noble profession”. Melalui guru dan pendidikan lah, para generasi penerus bangsa yang berkualitas dapat tercetak.

Lagipula, dari semua tantangan menjadi guru yang saya tulis sebelumnya, ada banyak keuntungan menjadi guru, antara lain ketika murid libur sekolah, kita juga libur sekolah bahkan bisa sampai satu bulan, tapi gaji tetap mengalir. Selain itu ketika sekolah mengadakan field trip, kita pun bisa ikut menikmati kegiatan tersebut tapi tetap dengan tanggung jawab untuk menjaga keselamatan anak-anak.

Monday, November 10, 2014

Belajar dari Brazil: Mengentaskan Kemiskinan tanpa Merendahkan

(endtheneglect.org)
Beberapa waktu lalu pemerintahan Jokowi JK memulai program peningkatan ekonomi dan pendidikan masyarakat Indonesia melaui tiga ‘kartu sakti’: Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga sejahtera. Apakah kart-kartu itu akan efektif? Tentu terlalu dini untuk menilai. Kalau pun mau menilai, penilaiannya akan invalid, terlalu pesimistik karena memang belum ada dampaknya.

Berbicara tentang kesejahteraan masyarakat, menarik untuk menilik bagaimana negara lain telah berhasil menjalankan programnya. Salah satu di antara negara- negara itu adalah Brazil.

Guru Bukan Dewa: Bimbel, Orangtua dan Nilai yang Jelek (3)

Ilustrasi (nedmartin.org)
Mengenai profesi guru, adalah penting memahami dengan siapa kita bekerja. Objek pekerjaan seorang guru adalah benda hidup, yaitu anak-anak dengan berbagai karakter dan keunikan yang bervariasi. Tugas guru adalah mengakomodasi semua kebutuhan murid-murid tersebut dalam belajar di sekolah. Tapi apakah seorang guru mampu melakukan hal tersebut? Harus! Karena target akhir profesi ini adalah menjadikan anak didik menguasai ilmu yang diajarkan. Tapi saya tahu ini sangat susah.

Bayangkan saja, jika kita mengajar 100 anak dengan kepribadian dan kebutuhan yang berbeda. Betapa capeknya untuk dapat memahami kebutuhan anak satu persatu dan akan lebih sulit jika mereka itu orang yang tertutup. Kalau mereka robot, pasti pekerjaan ini akan jadi sangat mudah. Tapi sayangnya bukan. Terlebih jika pelajaran yang diajarkan adalah Matematika. Bagi anak yang tidak suka Matematika, bisa menjurus benci kepada gurunya juga. Saya pun mengalaminya dan merasa ingin berteriak “Salah gue apa??”

Tuesday, November 4, 2014

Guru Bukan Dewa: Jaga Media Sosial (2)

ilustrasi (mochadad.com)

Selain dari segi akademik, ada juga masalah dari segi afektif yang harus dipenuhi oleh guru dengan target yang tinggi. Sikap kita haruslah menggambarkan arti profesi kita. Tantangan di abad ini adalah sosial media. Facebook, Twitter, Path, Instagram dan lainnya. Sosial media tersebut sangat menggambarkan sisi afektif kita. Dari situ orang dapat menilai kepribadian kita.

Sunday, November 2, 2014

Lemahnya Nilai Rupiah: Baik atau Buruk?

(policy.paramadina.ac.id)

Nilai tukar Rupiah yang kini cenderung melemah atas dolar AS menjadi kesempatan besar bagi Indonesia mendorong pertumbuhnan ekonomi. Pasalnya, situasi tersebut akan sangat menguntungkan bagi pengembangan indsutri manufaktur berorientasi ekspor.

“Nilai tukar kuat sebenarnya berarti ekonomi lemah. Sebaliknya, nilai tukar lemah berarti ekonomi kuat. Tiongkok sudah membuktikan itu, ketika mereka cenderung mendevaluasi nilai tukarnya untuk mengembangkan industri manufaktur di dalam negerinya. (Saat rupiah melemah seperti sekarang ini) Saat ini kesempatan bagi Indonesia,” demikian diungkapkan professor Emeritus Bidang Ekonomi Universitas Boston, Gustav Papanek di Jakarta Jumat (31/10) minggu lalu.

Saturday, November 1, 2014

Guru Bukan Dewa: Akui Ketidaktahuan (1)

ilustrasi (schooldesk.net)
Setahun ini berkecimpung di dalam dunia pendidikan telah memberi saya banyak sekali penglaman tentang hal-hal menarik, aneh dan menantang yang saya alami selama menjadi guru. Pembaca dan guru-guru yang budiman, saya membuat tulisan ini bukan untuk menjadikan profesi guru terkesan susah dijalani dan membuat kita terkekang. Saya sendiri adalah seorang yang baru saja menjadi guru.

Apakah guru itu role model yang harus selalu mengajarkan hal-hal yang baik kepada para murid? Jawabannya adalah benar. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah, Apakah guru itu seorang dewa? Tentu jawabannya bukan. 

Wednesday, October 29, 2014

What we need in a friendship

ilustrasi (njfamily.com)
Choosing people to be friends with can be tricky. Of course we should not close ourselves from any kinds of relationships. It’s good to be kind to everybody, but more importantly, we need to make sure that our friendships are built upon reliability.

I think having reliable friends is important because of at least two reasons. Firstly, having reliable friends means friendships that are based on openness so I can count on my friends no matter what. They will not hide any information that will make their partners feel left behind.

They will always try to support their friends in many ways because they know that there won’t be any useful to hide anything unless it’s really confidential. In this matter, I can trust these kinds of friends and I believe that they will not let me down no matter what.

Monday, October 27, 2014

Do you have a problem with Bu Susi? I don’t

Bu Susi (sitting, right | @ARistNugr)

After the announcement of the final Jokowi JK’s 34 ministers, public started to weigh on how this will impact on the development of the country. Some argue that the new government hasn’t made the best decision; some say it is the best for the country. Part of the former argument is that Jokowi-JK, the new administration has chosen a minister that has no undergrad diploma. Not even a high school diploma either. She only graduated from middle school!

Susi Pudjiastuti, the minister of Marine and Fisheries has been a trending topic all across Indonesia. She went to high school back then, but could not complete it. So practically, she only holds a middle school diploma, and she’s a minister right now!

A friend of mine, an undergrad diploma holder said, “You know what, one of our minister didn’t even graduate from high school! What this country is gonna be? What’s she gonna do?”

All I thought was, “Seriously? Did you just really say that?”

Monday, October 20, 2014

Jumlah Gaji Bukan Segala-Galanya


Selalu saja ada orang di sekitar kita yang suka bertanya tentang gaji teman-temannya lalu membandingkannya dengan miliknya. Kita mungkin salah satunya. Saya mungkin, tapi saya selalu menghindarinya. Membandingkan antara jumlah gaji yang satu dengan yang lain memang mudah. Hasilnya jelas, siapa yang lebih ‘makmur’ adalah yang lebih besar dan yang lebih kecil yang ‘nelangsa’.

Seorang kawan saya bercerita kalau gaji seorang pegawai warteg di Jakarta biasanya berkisar 1 juta  hingga 1,5 juta rupiah. Kalau dibandingkan mereka yang kerjadi kantoran yang bergaji 4 juta, tentu angka gaji pegawai warteg jauh lebih kecil. Dengan mudah, kita bisa berkesimpulan kalau mereka yang di kantoran lebih makmur.

Memang kelihatannya demikian. Tapi kita lupa banyak hal di luar sekedar angka gaji yang tidak kita perhitungkan. Pegawai warteg mungkin bergaji 1 juta rupiah, tapi ia tak butuh bayar tempat tinggal dan bayar makan. Gaji 1 juta itu sudah bersih ia bisa simpan. Sementara mereka yang bergaji 4 juta, harus membayar kos, makan, dan juga transport.

Katakanlah kos di Jakarta mencapai 750 ribu, makan 1,5 juta, dan transportasi 500 ribu. Jadi uang yang bisa disimpan hanya sekitar 1,25 juta. Kalau ini dibandingkan dengan yang bergaji 1 juta, ya yang kantoran akan sedikit beruntung. Tapi jika dibandingkan dengan yang bergaji 1,5 juta, yang kantoran tentu yang ‘nelangsa’.

Siapa nelangsa, siapa makmur

Itu hanya sedikit hal yang banyak orang tidak atau lupa menghitungnya. Tapi di luar itu, ada banyak hal lainnya yang harus kita perhatikan sebelum kita men-judge diri kita lebih ‘nelangsa’ atau lebih ‘makmur’.

Thursday, September 25, 2014

MP3EI: Antara Niat Baik dan Lagu Lama

Sumber: LIPI
Pemerintah SBY dengan jumawa menetapkan arah pembangunan negara hingga 2025 melalui MP3EI pada 2011 lalu. Target-target yang ditetapkan menjanjikan kemajuan. Tapi di perjalanannya, nampaknya pemerintah tidak serius mengimplementasinya. Sepertinya lagu lama akan diperdengarkan kembali, pemerintah kita cuma jago bikin konsep.

Dalam pidatonya yang bernada optimistis pada 2011 lalu, SBY mendengungkan Indonesia akan menjadi pemain penting dalam ekonomi dunia. Melalui MP3EI, pemerintahan SBY melihat Indonesia akan memiliki pendapatan perkapita 15.000 dollar pada 2025. Indonesia juga akan terbagi menjadi enam klaster-klaster industri dan zonna-zona ekonomi  atau yang disebut koridor-koridor ekonomi.

MP3EI membagi Indonesia menjadi lima koridor yakni Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali – Nusa Tenggara dan Maluku – Papua. Untuk mencapainya, syarat pertumbuhan ekonomi negeri ini minimal harus mencapai 7-8% (eurocham.or.id, 2013).

Pada 2014 ini, fase pertama telah dilalui (2011-2014). Pada fase ini sudah banyak groundbreaking yang dilakukan, beberapa proyek juga sudah diselesaikan. Beberapa jalan khusus dan bandara selesai. Namun apa ini cukup untuk mempertahankan keberlangsungan program?

Thursday, September 11, 2014

Malasnya Berurusan di Kantor Pemerintah

(Kapanlagi.com)
Gedung salah satu lembaga pemerintahan ini nampaknya lebih baik dari yang lain. Tentu saja, lembaga ini punya banyak urusan dengan perdagangan, penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri.

Minggu lalu, langkah kaki saya semangat menuju gedung megah di bilangan Jl Gatot Subroto Jakarta itu. Memakai baju bisnis kasual (kemeja lengan pendek, celana bahan  dan sepatu semiformal), saya menuju ke sana, ada beberapa surat harus saya antarkan untuk sesuatu urusan. Mobil yang mengantarkanku berhenti di sebuah lobi gedung.

Segera saya berlari kecil menuju beberapa pria-pria yang nampak menjadi tenaga sekuriti gedung.

Apabila anda ke beberapa gedung di bilangan SCBD (kebanyakan gedung milik swasta) sebagian besar pegawai ‘garis depan’ seperti ‘mas-mas’ sekuriti  dan mba-mba’ front desk akan segera dengan senyum menyapa anda. Apa yang bisa kami bantu, bapak/ibu ada keperluan apa? Itu kata mereka ramah.

Tuesday, September 9, 2014

Siap-Siaplah Jadi Kacung Setelah Lulus Kuliah

(Sumber: www.personnel-placements.co.uk)

Setelah lulus kuliah, apa yang mau kamu lakukan? Yang Alhamdulillah punya bisnis keluarga, bisa langsung terjun ke dunia itu. Ini tentu menarik sekali. Tapi sayangnya pilihan itu belum banyak di sekitar kita. Lalu apa pilihannya? Ya cari kerja.

Buka-bukalah website penyedia lowongan kerja. Sekarang semua mudah sebab banyak media bisa kita akses untuk info lowongan. Saya sendiri juga sempat beberapa kali melamar hingga akhirnya berlabuh di pekerjaan saya sekarang. Tapi, ada yang menarik setelah saya masuk dunia kerja.

Dunia kuliah dengan dunia kerja sepintas tak memiliki batas. Sama-sama berisi manusia, tugas, deadline, senior-junior (atasan-bawahan) dan lain-lainnya. Tapi bila kita sudah masuk dunia kerja, rupanya dunia kuliah dengan dunia kerja sangat berbatas.

Mengapa? Karena dua dunia ini berbeda sama sekali. Ketika kita masuk dunia kerja, maka mau tak mau kita memasuki alam lain, dunia lain, suasana lain sehingga langkah kita pun mau tak mau dimulai lagi dari nol. Artinya?

Se senior-seniornya kita di kampus, sekeren-kerennya kita di kampus, segarang-garangnya kita di tempat kuliah, ketika masuk dunia kerja, jadilah semua itu tak berguna.

Saya teringat cletukan teman saya yang, menurutku, spontan tapi menggambarkan bagaimana rasanya ketika ia masuk dunia kerja. Kalau tidak salah dia berujar dengan canda: Gila, sekeren ape lu di kampus, mau dari kampus macam apa lu, kalau pertama masuk kerja, lu jadi kacung… Haha.  Ketik ini itu, foto kopi ini itu… Haha.