Friday, December 31, 2010

Seleksi Bicara

Saringan - ilustrasi saja, jangan dipasang
di kuping
(http://sumberlogam.indonetwork.co.id)
Eh, tuh anak suka sewot ya…
Ama elu sewotnya?
Kagak, ama yang lain… gue sebel aja
Aduh, sebel elo tuh ngga penting tau…

Dari zaman baheula, muncul peribahasa yang ampe saat ini terus dingat-ingat: “Kuman di seberang lautan nampak, gajak di kelopak mata tak nampak” . Peribahasa itu, ya pastilah sudah mafhum semuanya. Seringkali kesalahan orang begitu terlihat jelas, dan kesalahan sendiri, yang amit-amit dampaknya, ngga keliatan sama sekali. Tetapi, arti ini jangan kamu ubah menjadi, “Kebaikan orang lain nampak, kebaikan sendiri tak nampak”. Arti kedua ini sungguh melenceng dari maksud perbahasa itu. Jadi pribahasa itu hanya untuk konteks keburukan saja, bukan kebaikan.

Oke, setelah ngomongin peribahasa, saya menebak kamu membatin, “Ni anak mau ngemeng apa sih? Ngga jelas..” (Hehehe.. tenang, Bu..)

Baiklah, seringkali kita detail menangkap kesalahan orang sampe ke akar-akarnya. Kita suka kritik sana – kritik sini. Tanpa ampun menghajar pendapat seseorang, tanpa basa-basi jeplak kesalahan orang lain. Ya kalau mengucapkannya itu langsung ke orangnya sih ngga apa-apa. Jadi konfirmasi atas kritikan itu akan langsung datang. Tetapi yang merugikan adalah ketika sesuatu yang kita anggap kelemahan orang lain itu kita ceritakan ‘di belakang’ alias ngemeng-nya sama orang lain.

Menceritakan sesuatu hal tentang orang lain memang mengasyikkan (Hah?!). Harus diakui kalau banyak tayangan infotainment yang laris manis ditonton orang. Kerjaannya ‘kan cuma nebar desas-desus. Entah bener ato ngga itu urusan nanti, yang penting rame dulu dan bagaimana perasaan yang ditayangin itu mah urusan belakangan.

Kalau yang disampaikan itu hal-hal baik, solutif, motivatif sih tentu tidak apa-apa. Cerita-cerita semacam kepahlawanan tentu sangat penting untuk disampaikan untuk menumbuhkan rasa bangga terhadap jasa-jasa pahlawan.

Tapi cerita buruk soal aib tentu sebuah hal yang harus dihindari. Buat yang diceritain, ini tentu menyesakkan. Buat yang mendengar cerita, di samping memang ngga penting sekali, bagi kita ini bisa membuat pikiran keruh. Ketika pikiran sudah tak jernih, maka susah untuk punya positive thinking. Bawaannya negatiiif mulu.

Soal ini, saya dapat sebuah pelajaran ketika membaca tulisan Samuel Mulia soal “A good life”. Jadi dalam proses membicarakan orang itu ada seleksinya, ya sederhananya ada proses yang harus dilalui sebelum penceritaan benar-benar menjadi keputusan final.

Seleksi pertama adalah soal kebenaran. Maka, ketika seorang teman ngasih berita tentang orang lain, maka tanyakan pada orang tersebut, “Apakah kabar itu benar adanya?” Kalau tidak benar, atau sekedar kabar angin lalu, maka silakan sudahi pembicaraan. Ngga ada untungnya kalau diterusin. Tetapi, kalau memang benar, mari kita teruskan seleksi selanjutnya.

Seleksi kedua adalah soal kebaikan. Maka, “Apakah kabar itu baik?” Kalau ternyata itu berita itu buruk, soal aib orang, soal kekurangan orang, maka sebaiknya segera berhenti saja. Tetapi, kalau memang baik dan berguna, maka silakan melaju pada seleksi selanjutnya, seleksi terakhir.

Seleksi ini akan usai dengan tanya, “Apakah kabar itu berguna bagi saya juga bagi kamu?” Kalau ternyata memang berguna, silakan lakukan diskusi lebih lanjut, tetapi kalau tidak, maka berhenti adalah pilihan terbaik.

Jangan sampai perbincangan yang kita lakukan meleset dari tiga seleksi tadi: benar, baik dan berguna. Jadi, kalau sesuatu kabar sudah tidak benar, tidak baik, bahkan tidak ada guna sama sekali, buat apa diperbincangakan. Yang ada nanti malah buang-buang waktu, buang-buang air ludah, dan ujung-ujungnya muspro.

Namun, bagaimanapun juga membicarakan orang lain sebaiknya dihindari saja, kecuali memang mendesak. Jangan sampai buat masalah gara-gara sesuatu yang tidak penting seperti ini. Oya, tenang saja, ini peringatan bagi saya sendiri ko’. Tenang saja.

Tetapi kalau merasa kesindir, ya sudah ayo sama-sama sibuk memperbaiki diri, bukan sibuk ngemengin orang lain!


Monday, December 13, 2010

Merajut Persaudaraan

ilustrasi (http://fitrisusanti.wordpress.com)
Heh, itu tuh salah
Ini yang bener
Kalu ngga ikut saya, awas ya!
Ah, kamu itu apa? Salah kaprah pahammu itu

Saya sebenarnya bingung juga mendengar isu-isu terorime. Apalagi kejadian itu ada di negeri kita sendiri ini. Padahal, dalam sejarah, tak ada ceritanya teror-meneror itu jadi budaya kita. Negeri kita adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Negeri yang aman untuk siapa saja singgah.

Ehh ada orang iseng ngebom di Bali 2002 lalu.

Kalau ngomong secara global, Peristiwa 11 September tentunya bisa dikatakan menjadi starting point isu-isu terorisme sialan itu. Setelah itu mengalir anggapan-anggpan bahwa agama tertentu mengajarkan terorisme. Ajarannya dianggap memberikan anjuran untuk membunuh orang lain yang tak sekeyakinan. Oh.

Karena negeri saya dan kamu ini berpenduduk mayoritas agama itu, yakni Islam, ya jadilah kita di-stereotyping-kan sarang teroris. Yang ini sungguh membuat saya pening sendiri. Lha wong saya ngga ikutan ngebom, (ikutan sesalkan si tukang bom iya), eh jadi ikutan dikira teroris.Enak aja!

Setahu saya, semua agama mengajarkan kedamaian. Ya ngga? Mengapa harus ada perpecahan?

Tapi ternyata tak hanya di negeri kita ini, konflik berbau agama juga terjadi di berbagai daerah. Korban berjatuhan, bahkan yang ngga tau apa-apa, ehh DOOR! tiba-tiba mati kena tembak, eh BUARRRR! Tiba-tiba bom bunuh diri. Miris kan dengernya. Bagi saya, adalah orang yang otaknya sudah miring lebih dari 45 derajat yang suka keributan itu. Ngga kurang tuh miringnya?

Kalau mau ditelusuri, konflik-konflik tersebut sebenarnya hanya masalah pemahaman. Seringkali terjadi perbedaan penafsiran atas ajaran. Yang bikin runyam lagi adalah tiap perbedaan itu dikelompokkan dan setiap kelompok bilang kalau mereka ‘paling benar’.

Kalau saya jawab, emang kamu Tuhan?! Kok berani bilang ‘paling benar’. Sudah hukum Tuhan kalau manusia itu dikelilingi oleh salah dan lupa. Jadi kalau mikir paling benar, ya berarti sudah mengingkari Tuhan. Kalau kita merasa rang lain salah, ya diingatkan. Kalau tetap ngeyel ya silahkan, toh mereka punya dasar pijakan sendiri. Taaapi, (a-nya sengaja saya banyakin biar lebih mantab) kalau bikin rusuh dan neror sana-sini, baru itu masalah dan kita harus bertindak.

Bagi saya, perbedaan itu adalah lumrah, itu sudah pasti terjadi. Seribu orang bisa punya seribu persepsi bahkan lebih. Sebuah masalah bisa dipandang dari berbagai sudut pandang. Berbeda situasi, berbeda interpretasi. Berbeda kondisi, berbeda edukasi, berbeda cara memahami. Bukannya begitu?

Saya kira menyamakan itu pastinya sulit, tapi menghargai sekiranya bisa menengahi perbedaan itu. Lagipula, memang Allah menciptakan manusia bersuku-suku nan berbeda-beda. Jadi pengakuan diri sebagai yang terbaik tentu adalah hal naïf.

Sekarang sudah saatnya kita merajut persatuan. Bukan berarti menyamakan pemahaman, tetapi saling memahami adalah yang terbaik. Biarkan orang lain menjalankan pemahamannya. Bukankah sambung persaudaraan adalah hal terbaik?


Sunday, December 5, 2010

Keranjang Lipat: Pengabdian untuk Negeri

(REFLEKSI HARI/JAZZ MUHAMMAD)
Keranjang Lipat - Enur yang giat memasarkan produk
kerajinan tangan dari Tasikmalaya
Tampilannya tidak macam-macam dan memang demikian yang ia lalui setiap hari. Kesehariannya dipenuhi kegiatan berkuliah dan berbisnis. Ketika saya mencoba menemuinya, tidaklah sesulit menemui pejabat-pejabat. Mudah, tinggal SMS (short message service) dan tentukan kapan bertemu dan bertemulah saya dengannya. Tidak seperti pejabat yang selalu birokratis, saya temui seorang Enur Nursyamsi begitu mudah.

Ada yang menarik dari anak muda satu ini: kuliah sambil berbisnis. Ini adalah kegiatan yang masih langka di dunia perkuliahan. Umumnya mahasiswa akan menghabiskan waktunya dengn mengerjakan tugas-tugas makalah dan ngetem di depan komputer. Tapi Enur mencoba hal lain. Meski nilai kuliahnya tak bagus-bagus amat, ia mampu menciptakan prestasi di sisi lain kehidupannya: berbisnis untuk kemandirian hidupnya.

Waktu luang ia gunakan untuk berkeliling mencari pelanggan dagangan-nya. Ia berjualan kerajinan tangan yang berasal dari kampung halamannya: Tasikmalaya. Barang-barang kerajinan yang ia dagangkan antara lain keranjang lipat, tas, sandal, tikar, dan bebebrapa macam barang-barang rumah tangga lainnya.

Barang-barang kreatif itu dibuat oleh tangan-tangan pengrajin dari ‘kota anyaman’ itu. Bahan-bahan yang digunakan dari alam, kata Enur. Ada yang terbuat dari pandan, rotan, ataupun mendong. Produsennya adalah keluarganya sendiri. Akan tetapi, ketika pemesanan terlampau banyak, maka ia tak segan untuk melibatkan produsen lain untuk bergabung.

Di samping kegiatan bisnis yang sedikit menyibukkan, Enur tetaplah mahasiswa Universitas Paramadina dengan segala kawajiban akademis yang melingkupinya. Ia mengaku memang sedikit sulit untuk mengatur waktu. Kuliah dan bisnis bila sekilas akan berseberangan, tetapi bila dijalani dengan hati-hati dan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang memuaskan di kedua pihak.

“Ya bisnis mah di waktu luang, kuliah tetep jalan, bisnis jalan. Tugas-tugas tetep ngumpulin, ya meski pas-pasan nilainya. He-he.” Ujarnya dengan logat khas sunda yang kental.

Bantuan teknologi
Enur mengakui, memang jarak yang cukup jauh antara pasar yang ia kelola dengan asal produk membuat sedikit kendala. Namun, menurutnya, itu semua teratasi dengan kemajuan teknologi yang sekarang ini berkembang. Teknologi seluler yang ini marak dan maju membuatnya mudah untuk menjalankan bisnis kerajian ini.

“Telepon geggam ini sangat membantu saya,” selanya sambil menunjukkan sebuah telepon genggam sederhananya, “saya merasa ini sangan efisien. Komunikasi lancar, apalagi untuk buat agreement (perjanjian) dengan pelangan. Dan apapun jadi cepat, saya merasa teknologi ini sangat membantu saya.”

Perihal teknologi ini, Enur yang menggunakan layanan produk XL ini mengatakan bahwa memang ada kelemahan dan kelebihan. Ada provider yang murah juga ada yang mahal. Yang murah kadang tak berlayanan bagus, pun sebaliknya, untuk mendapat layanan yang qualified, harga selangit harus ditelan.

Meski demikian, kemajuan teknologi seluler di Indonesia memang harus diakui cukup pesat. Kemampuan layanannya pun ikut berkembang pesat. Misal, produk XL telah mengaplikasikan teknologi GSM 900/DCS 1800 dan sistem IMT-2000/3G untuk meningkatkan kualitas layanannya. Jaringan GSM dengan tekonologi DCS (Digital Celluler System) 1800 ini dapat meng-cover pelanggan jauh lebih banyak. Sementara, IMT-2000 merupakan sistem komunikasi bergerak (Mobile Communication System) generasi ketiga (3G) yang diciptakan untuk layanan global. Teknologi ini mengintegrasikan telepon selular dengan sistem komunikasi bergerak dengan satelit (Mobile Satellite System).

Pengabdian kecil
Untuk bisnis kecil-kecilan, kadang ini jadi pilihan sulit. Tapi baginya, dengan layanan seluler yang ia gunakan sekarang, ia sudah cukup puas, setidaknya dalam hal harga. “Maklum, masih kecil-kecilan, kalo yang mahal belum terjangkau, Mas.” katanya.

Namun, ia masih mengharap bahwa layanan provider-provider seluler di Indonesia harus ditingkatkan. Soalnya, kemajuan industri kreatif di Indonesia akan menjadi tren menarik di masa depan. Teknologi seluler ia buktikan bahwa punya peranan penting dalam menopang kemajuannya. Buat bisnis yang masih baru, teknologi ini sangat memantu untuk ekspansi, tegasnya kemudian. “Ya kalau bisa mah murah dan layanannya bagus. Tapi ya kayaknya sulit itu, Ha-ha-ha!”

Bisnis ini akan terus ia jalankan meski kuliah makin terasa memadat di akhir-akhirnya. Enur berkomitmen bahwa ia yakin ini adalah wujud upayanya untuk mandiri secara pribadi. Minimal, ia tak mem-‘benalu ‘pada orang lain maupun orang tuanya sendiri. Dari usaha ini, ia cukuplah terbantu biaya hidupnya sehari-hari. Untuk biaya kuliah, ia telah mendapat pembiayaan penuh dari program beasiswa Paramadina Fellowhip yang ia terima sejak semester pertama kuliah.

Sejauh ini, pasar yang ia kelola masih terbatas mahasiswa di kampus. Dosen-dosen juga ia tawari dan responnya positif. Layanan transaksi on-line pun mulai ia jajaki. Lewat situs dagang on-line, ia jajakan dagangannya. Tapi, yang jelas untuk sekarang ini, ia masih memanfaatkan layanan seluler yang ia gunakan sekarang. “Layanan on-line masih agak susah, Mas. Mungkin belum terbangun kepercayaan di sana,” tukasnya.

Ia terlihat giat mengembangkan bisnisnya. Memang ini tidak terlalu besar, omzetnya juga masih jauh dari gaji bersih seorang Gayus Tambunan. Tapi mimpinya untuk menjadi wirausahawan patut kita apresiasi. Ia yakin bahwa dengan berwirausaha ia bisa berkontribusi bagi negerinya, mengabdi barang sedikit. “Saya ingin melihat penduduk negeri ini bisa bekerja semuanya, Mas, itu saja…”

Biodata
Nama : Enur Nursyamsi
Tempat dan tanggal lahir : Tasikmalaya, 1 Oktober 1989
Pendidikan : Universitas Paramadina / Manajemen
Prestasi : Penerima beasiswa penuh Paramadina Fellowship 2008

Thursday, November 4, 2010

Pemuda demi Bangsa

ilustrasi (images.plurk.com)
Woy, nantang lo
Mau apa lo
Hyaaaa…
Hyaa….ciatt, ciatttt

Kadang saya melihat acara berita itu miris. Ada berita tentang anak muda ya masih SMA, tawuran. Saling lempar batu, saling pukul, saling ejek, aduh apalagi…

Yang sangat membuat saya gelisah itu ketika mereka berkelahi menggunakan seragam sekolah. Dalam pikiran saya, apa anak ini tidak diajarkan etika? Tentu sudah diajari. Inilah yang membuat pendidikan di negeri ini menjadi ironis. Kamu tahu maksudnya?

Setahu saya pendidikan mengajarkan cara hidup yang bersahaja, bermartabat dan yang penting damai. Damai tentu mengandung makna ketentraman dalam menjalin hubungan dengan yang lain. Ya dasar manusia kan makhluk sosial, jadi have a relationship dengan orang lain itu wajar, bahkan mungkin wajib, wajib ain. Kayak ibadah aja mas…

Tapi di lapangan, nyatanya banyak terjadi perbedaan. Apa yang diajarkan dalam pendidikan ternyata tak dipraktikkan. Inilah yang saya sebut ironis. Berbeda antara konsep dan implementasi. Yang lebih membuat ironis lagi adalah tawuran pemuda itu terjadi antar sesama warga Indonesia. Aduh, masalah Indonesia itu banyak, Mas, jangan nambah masalah lagi donk.Huh…

Sebenarnya apa yang tawuan itu sadar akan hal ini? Aku yakin mereka tahu. Tapi keinginan untuk melaksanakan apa yang telah mereka ketahui itu belum dilakukan. Tentu banyak faktor yang menyebabkannya. Kejiwaan yang labil pada pemuda mugkin menjadi penyebab utamanya. Mereka mudah tersinggung. Tapi juga suka menyinggung. Irons lagi kan?

Saya ingat pesan Aa Gym, kalau kita mau hidup damai dan tentra serta aman jaya, jangan mudah tersinggung, juga jangan mudah menyinggung. Mudah kan? Ya bagi saya hidup itu sedikit masa bodohlah. Tentunya masa bodoh yang positif.

Selain itu, bagi saya, mungkin mereka tak pernah tahu perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Boro-boro tawuran, penjajah sadis masih berkerkeliaran. Mereka tak pernah bersibuk diri saling singgung sesama warga Indonesia. Yang ada di pikiran mereka hanya bagamana bangsa merdeka. Ingat, kemerdekaan bangsa ini juga berkat sumbangsih pemuda.

Mereka itulah,meminjam istilah Anies Baswedan, adalah pemuda yang tutas. Pemuda yang tuntas dengan urusan pribadinya. Tak ada dipikiran mereka, urusan-urusan diri yang individual. Semangat mereka adalah bagaimana bangsa ini bersatu. Saharusnya itu yang kita contoh saat ini.

Bahkan Bung Karno pernah berseloroh bahwa ia bisa mengguncang dunia kali bersama pemuda. Ini berarti beliau mengerti betul bahwa pemuda ini adalah asset bangsa yang berharga. Eh..kitanya malah memble…

Pendidikan telah member kita bekal etika. Etika yang penuh nilai-nilai yang berbudaya. Kalau terus membuat keonaran, bagi saya, kasihan sama pejuang zaman kemerdekaan itu. Kalau saja mereka masih hidup, tentu mereka menangis dihadapan kita. Menangisi ke-bodoh-bin-bego-an kita karena tak punya etika dan penghargaan atas jasa pahlawan.

Mari mengisi masa muda dengan hal-hal yang bermanfaat buat bangsa dan negara. Sepuluh sampai lima belas tahu ke depan adalah milik kita. Kalau tak ada bekal, mau jadi apa? Bangsa Indonesia telah menitipkan maa depan ini pada yang muda.

Maka dari itu, mulai dari sekarang, mari kita bekali diri dengan ilmu dan sikap yang beretika demi bangsa.



Saturday, October 16, 2010

Hadir untuk Perdamaian

doc. idris wahid

Menghadapi perbedaan memang sesuatu hal yang seringkali menyebalkan. Sudah pasti kau tahu, dan kau baca di media-media negeri ini: Perbedaan keinginan akan menimbulkan kekecewaan, perbedaan pola pikir apalagi. Perbedaan yang kedua ini yang kemudian menimbulkan konflik di sana-sini, sejak zaman Adam dampai saat ini.

Namun, marilah kita sejenak menjenguk isi terdalam pikiran; bahwa perbedaan hadir bukan untuk dipermasalahkan. Ia hadir untuk meramaikan konstelasi ilmu pengetahuan di dunia ini. Ia menghasilkan khazanah dunia yang selalu cantik menghias lintasan sejarah.

Perbedaan, sesuai arahan Kitab Suci, merupakan ladang untuk saling mengenal (ta’aruf) satu sama lain. Perbedaan yang kemudian terbungkus dalam konsep keberagaman (diversity, plurality) menjadi modal manusia untuk saling-tahu dan kemudian berbagi.

Sering mengemuka adagium bahwa keragaman adalah rahmat. Entah kau percaya atau tidak, bahkan aku pun tak juga terlalu memercayai. Yang jelas seuatu yang baik selalu akan baik. Dan perbedaan adalah baik. Tetapi, maka keberagaman yang berlandas pada perbedaan adalah kenyataan dalam hidup yang harus dihadapi dengan senang hati dan yang pasti keterbukaan.

Lain lubuk lain ikan
Beberapa hari lalu, 11-14 Oktober, saat ikuti sebuah rangkaian kegiatan bertajuk Asia Pacific Interfaith Youth Summit 2010 dengan tema, ‘Unity in Diversity; Strengthening a Culture of Peace’. Sesuai namanya, beberapa delegasi dari negara-negara Asia Pacific datang meramaikannya.

Di acara ini, aku dan teman-teman peserta lainnya—selanjutnya akan kusebut ‘kami’—disibukkan dengan seminar dan diskusi mengenai keberagaman mulai dari adat, agama, hingga keberagaman pola pikir. Aku sedikit terkejut, karena ini baru pertama kalinya, sungguh, dan ku-langsung dihadapkan kenyataan yang selalu buat konflik ini: keberagaman.

Benar juga. Lain lubuk lain ikan, berbeda orang berbeda pemikiran, dan seribu orang seribu pemikiran. Aku temui bermacam-macam orang, dengan keunikannya masing-masing. Beberapa negara yang mengirimkan delegasinya antara lain Thailand, Singapura, Malaysia, Afrika Selatan, Somalia, Philipina, Timor Leste dan beberapa lainnya.

Di antara pesan yang kudapat dari kegiatan tersebut adalah bagaimana menciptakan perdamaian adalah bukan pekerjaan mudah. Terlalu banyak permasalahan yang menyumbang kompleksitas konflik di dunia ini. tapi, bukan berarti tak bisa diselesaikan. Di antara pembicara yang hadir antara lain: Emmanuel Bienvenindo Marquez (DonDon), Inayah Wulandari Wahid (Inai), Sir Prof. Azyumardi Azra, dan beberapa pembicara lain dari dalam dan luar negeri.

Untuk perdamaian
Beberapa hal yang kudapati dari kegiatan ini adalah pentingnya membangun perdamaian di muka bumi ini. Banyak hal yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk mencapainya. Mulai dari pelayanan kepada komunitas, penghargaan terhadap perbedaan, dan membangun kepercayaan.

Seorang pembicara menjelaskan bahwa beraksi untuk membangun perdamaian di tengah-tengah keberagaman adalah bahwa kita harus keluar dari kenyamanan (comfort zone), kemudian memulainya dari diri sendiri, dan yang harus ditekankan adalah jangan sampai putus asa.

Tiga pillar yang harus diprioritaskan yakni membangun hubungan yang harmonis antar keyakinan, memberdayakan peran keluarga, dan meningkatkan intensitas pelayanan sosial yang bisa dilaukan (interfaith, family, and service).

Sebenarnya masih banyak materi yang bisa kusampaikan, tetapi ini akan jadi makalah ilmiah yang sedikit membosankan bagiku. Ini, kukira cukup.

Di samping aku terpenuhi oleh materi-materi, pertemuanku dengan orang lain dengan berbeda kultur adalah yang paling berharga. Ini tak akan dapat kutemukan di kampus atau juga di kampung halaman. Macam-macam orang kulihat. Apalagi, bahasa yang mereka gunakan juga berbeda. Ini memunculkan permasalahan tentunya: bahasa penyambung.

Tapi, dengan bahasa Inggrisku yang so-so, akhirnya aku pun punya kesempatan untuk practice di sana. Banyak hal yang kudapat tentang negara tetangga. Cerita tentang kemajuan Singapura, konflik agama di Pattani, kisah Islam di tanah Malaysia, juga kehidupan agama di Afrika.

Bertemu teman-teman baru adalah paling menyenangkan. Ini akan terus berkesan. Tidak mungkin tidak. Betapa ini membuka pikiranku bahwa kenyataannya di luar sana terlalu banyak dan memang sungguh sangat banyak yang aku tak ketahui. Maka kembali ke awal, keterbukaan adalah suatu hal yang tak boleh lepas. Dengan terbuka, aku dapatkan pelajaran menarik dari ‘orang-orang lain’ itu.

Tapi ketika mengenal, aku merasa kami ini adalah sama. Kami sama-sama manusia yang inginkan satu hal di dunia ini, harmoni dalam perdamaian. Inilah kemanusiaan.

Pertemuan ini , Asia Pacific Interfaith Youth Summit 2010, akhirnya menelurkan sebuah deklarasi yang bisa bisa kuberikan sebentar lagi.

Dialog-dialog antarkeberagaman harus terus dibangun. Keterbukaan harus terus dikedepankan. Menutup diri adalah hal paling bodoh dalam hidup, dan akan terus menjadi hal bodoh yang selau ditertawakan oleh waktu.

Keberagaman yang terbangun harus menciptakan sebuah masyarakat berperadaban (civil society), yang tahu harus berbuat apa atas perubahan, bukan berdiam diri lalu mengecam ketertinggalan. Membangun perdamaian bukanlah take and give, tetapi give, first ,and if there any, you can take it, but if not, just leave and give again to another. Dan perdamaian bukan hanya tugas pemerintah, ini tuga kita semua umat manusia. Karena menungu pemerintah selalu lama dan birokratis, bukan?

Yap, kita sampai pada saat aku harus sampaikan deklarasi yang telah kami susun dengan sebaik-baiknya niat, untuk beride dan berimplementasi.



****

doc. idris wahid






Asia Pacific Interfaith Youth Meeting DECLARATION

We, the active Youth participants of 2010 APYIM, Jakarta, Indonesia , firmly stand with our committent to strengthen respect,trust,tolerance, cooperation among the people of Asia Pacific and other countries with diverse culture and religions, strongly recommend to :
  1. Stop conflict in the name of religions
  2. Respect human right
  3. Uphold mutual Understanding and the dignity of nature
  4. Fight against corruption
  5. Strengthen Network with others.
By promoting peace building through Education and technology, accelerating the value of religions and cross-cultural understanding toward achieving global peace and human developement.

****

Monday, October 11, 2010

Di Kotak Sialan Ini, Beragam

ilustrasi (http://zakiakhmad.files.wordpress.com/)
Tak perlu dikatakan lagi. Kenyataan adalah sebuah hal yang bukan rekayasa. Kepahitan, kebahagaiaan, kealpaan, kehampaan, hingga ketidakjelasan akan sebuah eksistensi menjadi penghias lintasan waktu dunia yang tak mau tahu, tak peduli, omongan siapapun; maju terus!

Pikiranmu kenapa?! Ngelantur kau ini. Bicara realitas, lihatlah, kau ada dimana sekarang. Di kotak berjalan yang bau besi dan karatan ini, masih saja sempat berpikir macam itu. Sudahlah, apapun katamu, kenyataan akan selalu lebih nyata daripada omongan siapapun akan kenyataan.

Dan benar katamu, hai pikiran, yang sok kritis! Oke, kali ini aku tak mau macam-macam. Aku sudah benar-benar pening. Panas sekali di sini. Hidungku sejak tadi sudah harus kurelakan tersengat udara yang sudah terkontaminasi beragam materi entah apa ini. Busuk! Oh…

Orang-orang di sampingku ribut saja. Bokongku juga tak sempurna dapatkan dudukan. Ibu disampingku terlalu merampas. Badannya yang jumbo merampas hak dudukku. Padahal kan bayarnya sama?

Inilah kotak besi tua tak layak jalan yang harus dipaksa terus berjalan. Si pengemudi yang harus sedikit memiringkan badannya, karena kursi yang tak lurus dengan batang kemudi, sedari tadi merokok tak ada habisnya.

“Bu, bisa geser sedikit…” tawarku, lirih. Aku sudah tak tahan dari tadi. Ah, akhirnya ia paham juga, geser sedikit juga.

Inilah Kopaja. Angkutan tak layak yang masih saja beroperasi di Ibukota. Aku harus naiki ini, mau tak mau, karena ini yang cuma bisa kujangkau dengan isi kantongku. Aku akan ke kota sebelah. Ada pertemuan pemuda se-Asia Pacific dua hari lagi. Rencananya aku akan menginap di rumah teman dulu.

Aku tak mau kehilangan kesempatan ini. Kesempatanku bertemu ‘orang lain’. Beragam orang akan kutemui. Perbedaan yang nampak macam warna kulit, tingkah laku, dan bahasa, hingga yang tak nampak macam pola pikir akan kutemui. Kata orang, semakin banyak ita bertemu orang, makin kita tahu, dan makin kita terbuka.

Keterbukaan adalah awal dari perkembangan pengetahuan. Siapa juga yang tak mau pintar? Soal kenyataan hidup, inilah kenyataan: keberagaman.

Ah, mulai lagi kau pikiran! Itu nanti saja. Sekarang aku sudah mulai tak tahan. Macet pula jalan ini! Jalanan ibukota ini sudah terlalu sempit. Kota ini telah letih.

Tak usah jauh-jauh bicara soal keberagaman. Tak usah ndakik-ndakik. Di kotak berjalan nan sialan ini, yang namanya Kopaja, pun kau bisa lihat. Mari, mari kuberi tahu.

****

Barisan penumpang belakang diisi sebaris orang paruh baya yang kilau kemilau. Bukan apa-apa, tapi kulit merekalah yang kemilau oleh peluh yang rata merubung. Entah apa yang mereka bawa, karung-karung berukuran sedang berjejer kacau di hadapan mereka.

Sementara sang kenek teriak-teriak tak jelas, seorang perawan muda seperti tak tahu situasi duduk tepat dibarisan depanku. Pasalnya, telepon genggam dari sejak aku naik tak mau lepas dari kupingnya. Entah bicara dengan apa atau siapa, ia selalu menjawab dengan suara keras yang menambah silang-sengkarut kebisingan Kopaja ini makin lengkap. Ya, suara mesin tua yang menyebalkan dipadu dengan raungan perawan yang tahu tahu situasi itu. Hah!

Di sampingku seorang terlihat perlente. Dasi rapih menggantung di leher yang mulai diserbu peluh juga. Panas sekali, Mas? Sepertinya ia akan pulang kerja. Tak ada yang menarik baginya. Ia pancangkan muka ke depan dan sesekali, menarik napas panjang.

Ini yang paling kacau. Longlongan balita menambah kacau yang makin kompleks. Orang tuanya seakan tak bisa apa-apa. Ibunya menyorongkan susu dot yang selalu dimuntahkan. Sementara bapaknya menangani anak satunya, sang ibu masih berjuang keras ‘menaklukkan’ si kecil.

Tentu yang muncul adalah jengkel, awalnya. Tetapi hatiku sepertinya meronta. Betapa beruntungnya aku tak harus bersusah-susah demikian. Mereka yang harus kemana-mana naik angkutan umum sekeluarga, sepertinya, apa tak bahayakan si kecil? Tak ada pilihan lain, Nak. Ini mampu kami, kata mereka, maaf kalau si kecil ini merepotkan kalian… Kami terlalu menyayanginya.

Aku mendengus, menarik napas sedalam-dalamnya. Dan aku sadar, kalau keringatku telah sejak tadi mengular, menyungai di jidat. Kuseka barang sejenak.

Setengah jalan sebelum akau sampai tempat dimana akau akan bertemu macam-macam orang.

Kini naik pengamen. Masih muda, tapi terlalu kumuh. Gitar kecil, atau kecruk, ia genjreng, dan keluarlah nada-nada nyanyian—sumbang tak sumbang—dari mulutnya yang nampak lelah.

Aku cuma ingat, kalau ia dua kali menyanyikan lag Iwan Fals, dan bagian ini ia tekan-tekan nadanya: “Waaakil rakyat bukan paduan suara, jaaangan tidur kalau sidang soal rakyat!”. Andai saja ada wakil rakyat naik kotak ajaib sialan ini. Andai saja, dan akan tetap andai, karena itu tak mungkin. Radikalnya: Demi Allah, tak akan mau mereka itu.

Lelaki tak jauh di depanku masih terus asyik dengan headset yang sudah sejak tadi menutup pikirannya dari ruwetnya isi kotak ini. Berapa tingkat volume ia stel? Gila! Kacau begini masih bisa tenang. Habis mau apalagi, Bung?, katanya. Dinikmati saja, katanya lagi, ndak usah nesu, ndak usah mikir aneh-aneh. Mulutnya terus bergumam, menggeremang tak peduli.

Kusodorkan pada kenek duaribu perak. Hah?! Tak sopan sekali orang ini! Tangan kirinya ia sorongkan ditambah muka yang mengarah ke lain sisi. Oi, tak ada sopan santun di sini, Mas! Tak kan akan dihargai. Setidaknya itu kalau kau tak ikhlas. Bukanlah ikhlas tak butuh penghargaan?

Kacau. Kacau. Kacau! Ah, tapi sebentar lagi sampai. Tapi macet masih menggila!

Dan seorang berjenggot duduk tenang di belakangku, tepat. Celananya pendek di atas mata kaki dengan rompi mengurung kaosnya yang terlihat tua. Sebuah kopiah kecil menutupi kepalanya. Tangannya tak henti memutar selingkar tasbih. Bibirnya naik turun, dengan interval yang tak jauh. Sekiranya ia terus memohon pada Tuhan agar diberi keselamatan.

Betapa tidak, sopir Kopaja ini memang sedikit sinting. Mobil, atau gerobak, ini meliuk-liuk seenaknya di jalanan, sebelum akhirnya dihentikan paksa oleh kemacetan. Apa maunya sebenarnya? Gengsi?! Ah, gengsi macam apa ini. Tak jarang kami dibuat oleng ke kanan dan ke kiri. Dan sesekali aku hampir digeser habis oleh ibu jumbo sampingku. Untung kuda-kudaku sudah kusiapkan. Hap!

Beragam orang masuk ke kendaraan gila ini. Kepedulian dan ketidakpedulian tercampur aduk. Kekacauan berpadu impian ketenangan berintegrasi. Tapi semua satu, ingin sampai tujuan. Dan, kuharap bapak berjenggot tadi juga mendoakan kami semua, setidaknya sampai saja tak cukup, kami juga butuh selamat. Memang kau tak bisa doa sendiri? Doa orang banyak lebih mustajab.

Oya, satu hal yang terlewat, kotak ini, di sampaing kacau, juga jorok. Orang-orang tak tahu buang sampah di tempatnya. Tisu, bungkus permen, bekas wadah minuman tercecer merusak pandangan. Setidaknya buatku, tapi buat mereka yang tak tahu kebersihan, itu biasa, dan tak perlu dipikirkan. Buang-buang waktu saja!

****

Kawan, yang kau baca ini tak main-main. Kutulis sedetil-detilnya, sesungguh-sungguhnya. Biar kau tahu. Untung aku tak di Kopaja sialan itu lagi. Jadi tulisan ini bisa selesai. Ini sudah di kamar penginapan, yang setidaknya membuatku bisa cukup lancar menumpahkannya.

Sehari kemarin aku sudah menginap di kosan teman. Esok aku akan ikuti pertemuan pemuda se-Asia Pacific. Esok akan kutemui keberagaman lain dari beragamnya keberagaman di dunia ini. Keberagaman atas keberagaman, tak perlu didebat dan dirayakan. Ini kenyataan. Ada keberagaman di Kopaja, tak perlu cari jauh-jauh, atau ndakik-ndakik, dan ada keberagaman di esok juga. Dan waktu masih acuh saja; maju terus!

****

Jazz Muhammad

Selesai di Syahida Inn
UIN Ciputat, 10 Oktober 2010
Sehari sebelum Asia Pacific Interfaith Youth Summit 2010, 11-14 Oktober 2010



Wednesday, October 6, 2010

Jangan Sampai Sisa!

ilustrasi (arisrusman.web.id)
Mbok dihabisin sisanya!
Ah, males, udah kenyang

Kata Abraham Maslow, sebagai manusia, kebutuhan dasarnya adalah makan dan sebangsanya. Saya dan kamu adalah manusia ‘kan? Maka makan adalah kebutuhan dasar kita. Kalau kata ahli biologi, makan itu sumber energi untuk beraktivitas. Lalu kata pak ustadz, makan itu ibadah. Jangan bilang kalau kamu tak butuh makan! Bukan manusia berarti.

Maka kita harus makan! Memang itu kebutuhan dasar. Kalau tidak, bisa lemes. Tak bisa beraktivitas. Terus? Ke laut aja mas....hehe

Makan disebabkan oleh rasa lapar. Lalu kalau habis makan, maka kenyang. Udah tahu, Mas!

Tapi makan itu secukupnya. Jangan berlebih atau kurang. Artinya jangan sampai ada sisa atu juga sampai kekurangan. Saya teringat kata-kata Aa Gym. Beliau menyampaikan kalau, "Makan itu lebih baik nambah daripada sisa." Artinya? Ya kalau makan jangan kemaruk alias puo-puo alias rakus. Kalau makan itu secukupnya. Menyisakan makanan berarti menyia-siakannya.

Menyia-siakan berarti mubadzir. Kalau mubadzir berarti dosa. Lagi pula, masih banyak orang yang serba kekurangan, makan sekali sehari saja belum tentu. Terus kita malah buang-buang makanan. Hu...h!


sugiharto (detikfinance.com)
Suatu saat saya berkesempatan menonton langsung sebuah talk show bersama Pak Sugiharto. Ia adalah pengusaha sekaligus mantan menteri BUMN. Dia mengatakan kalau makan tak pernah sisa meski satu upo nasi. Kamu tahu kenapa? Ia adalah orang sukses yang mulai dari nol.

Ia tahu bagaimana rasanya hidup susah. Kerja serabutan, jadi tukang parkir, jadi penjaga bioskop. Ia tak mau ada sisa nasi dipiringnya. Ia tahu kalau mencari sesuap nasi itu susah.

Sementara kita yang kebetulan mendapat kemudahan malah saenake udele dhewe. Makan so' nyisa-nyisa. Alasannya sudah kenyang. Ya salah sendiri ngambilnya kebanyakan. Atau ya coba-coba saja.

Kadang kita berpikir kalau sisa makanan itu tak seberapa. Tak akan ngefek pada hidup. Tapi, kalau kita mau berpikir sejenak, maka sebenarnya berusaha makan tak bersisa itu adalah wujud hidup penuh penghargaan. Kita menghargai sesuatu mulai dari yang kecil. Mulai dari hal yang sepele seperti sisa makanan.

Kita menghargai bagaimana petani “menghidupkan” padi lalu meramutnya hingga menguning. Tak tahu matahari terik, mereka kebaskan batang-batang jerami di persawahan. Digiling, dikemas di pabrik, lalu sampai ke dapur kita. Tetapi, yang paling penting adalah kita menghargai pemberian Tuhan. Kita mensyukurinya, sebaik-baiknya.

Solusinya? Persis apa yang dikatakan Aa Gym. “Lebih baik nambah daripada sisa!” Jadi ngga ada alasan kalau sudah kenyang. Saya kira Aa Gym mengajak kita untuk sejenak berpikir sebelum bertindak. Jangan sampai ada yang sia-sia.

Masih banyak orang yang belum beruntung seperti kamu juga aku. Bayangkan, kebutuhan dasar saja mereka tak tentu bisa memenuhinya. Untuk makan besok saja masih belum pasti. Masih tega nyisain makanan?


Thursday, September 30, 2010

Reputasi

gigi-kelinci.blogspot.com
Enaknya orang baik atau jahat?
Orang baik donk…
Eh, kan sama saja, mau baik, maua jahat, ‘kan mati juga?
Hmmm…?? (garuk-garuk kepala yang tak gatal)

Pertanyaan yang agak menngelitik untuk dijawab adalah lebih baik jadi orang baik atau jahat kalau toh sama-sama mati. Lagi pula, kalau memlih baik, tak ada jaminan kalau matinya juga baik. Banyak juga orang baik yang mati terbunuh. Lihat saja Umar bin Khattab yang merupakan pemimpin tangguh umat Islam, yang menjadi khalifah kedua, mati dibunuh. Apalagi kalau melihat kisah Jesus. Dilantik sebagai utusan Tuhan, dan telah bersusah payah menebarkan kasih sayang pada umantnya, eh…sama ‘oknum-oknum’ yang tak bertanggung jawab malah disalib.

Lalu bagaimana seharusnya? Masa harus jadi orang jahat?

Kalau saya tetap memilih jadi orang baik. Bagi saya menjadi orang baik tetap untung meskipun nanti dengan orang jahat juga sama-sama mati. Kata pepatah, gajah mati meninggakan gading, kalau harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggakan nama. Hubungannya, Mas?

Okelah, kita akui bahwa orang baik dan jahat sama-sama mati, tapi kematian orang jahat dan orang baik jelas memiliki perbedaan efek yang signifikan. Kalau bahasa ilmiahnya, tingkat differensiasi antara yang baik dan jahat tetaplah tinggi. Orang jahat mati akan meninggalkan nama yang buruk. Bahkan, kadang kala nama buruk menimpa keturunannya, meski sebenarnya tak mewarisi sikap bejat pendahulunya. Kasihan kan?

Coba kamu ingat nama Fira'un. Pastinya yang berkecamuk di kepalamu adalah segala sikap buruknya. Kekejamannya menindas kaum marjinal begitu mudah ditemukan. Sebut juga Nero, seorang kaisar Roma yang tak pandang bulu ingin menghancuran kaum intelektual renaissance.

Tapi orang baik berbeda sekali. Kebaikan budinya akan dikenang dunia. Ia akan dicatat sejarah sebagai orang yang memiliki kontribusi meski sekecil apapun. Sebut saja nama Muhammad Saw, seorang nabi yang meninggal lima belas abad lalu itu hingga kini masih diingat terus perjuangannya memperjuangkan agama yang dibawanya. Sebut saja Sir Issac Newton yang dikenal karena sistem gravitasi yang ia temukan. Sebut saja Mahatma Gandhi yang terus diingat dunia karena perjuangannya melawan kekerasan di tanah Hindustan.

Hidup orang baik dan buruk itu mungkin tak genap satu abad, apa yang ia lakukan terus diingat hingga dalam jangka waktu yang melampaui umur aslinya, dan mungkin sepanjang masa.

Inilah konsep yang biasa disebut, oleh Nurcholish Madjid, bernama 'reputasi'. Jadi kalau orang mati itu meninggalkan reputasi. Dan, umur reputasi jauh lebih panjang dari umur yang punya.

Bahkan, bagi Cak Nur, reputasi itu bahkan menandakan balasan macam apa akan diterima seseorang ketika sudah mati. Saya sendiri adalah anak yang percaya akan kehidupan sesudah mati. Dan saya kira, bagi orang yang beriman, maka memercayai kehidupan setelah mati adalah keniscayaan. Dengan pendapat Cak Nur tadi, maka logislah kenapa di berbagai Kitab Suci diceritakan bahwa kehidupan di dunia ini akan berlanjut.

Bagi yang suka korupsi, yang suka nilep harta, yang suka ngerampok, mbok ya ingat mati. Nanti kalau reputasinya jelek, terus disiksa sama malaikat di alam kubur. Hayu….Mau-mau?

Maka, menjaga reputasi adalah keharusan bagi kita semua. Ya, saya sih ngga mau kalau nanti saya dikenang jadi koruptor gitu.. apalagi nanti anak cucu saya terkena imbasnya..ih, amit-amit.

Saya sih ngga mau kalau reputasi saya jelek, jadi kesimpulannya: Ngga usah jadi orang jahat!

Thursday, September 23, 2010

Report Medio September: Silaturahim

ilustrasi (mbah google)
Bulan September ini, atmosfer Negeri Nusantara ini berrubah mendadak menjadi religius. Maklum, di bulan ini, Bumi Pertiwi ini menghadapi bulan Ramadhan sekaligus Idul Fitrinya.

Untuk itu, aku, sebelum berceloteh lebih lanjut, dan lebih ngawur, aku sampaikan,

“Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga Ramadhan dan Lebaran kali ini barakah (transformatif) dan manfaat (produktif)! Semoga bisa bertemu dengan Ramadhan dan Hari Raya kelak di tahun depan!”

Kampus ‘off’. Tak ada kegiatan, sama sekali. Aku pun sedang mudik ketika tulisan ini kugarap. Paramadina memang menggabung libur akhir semester pendek yang bikin penat itu, dengan libur hari raya. Jadi dua minggunya doubled. Horeee… !!!

Kukira, meski liburan, ada sesuatu hal yang perlu kusampaikan. Ini berhubungan dengan dunia tulis menulis. Kampus kami mengadakan lomba bertajuk “News Feature Writing Competition 2010”. Kegiatan ini terselenggara hasil kerjasama Paramadina dengan harian The Jakarta Post. Tema yang dipilih ada tiga: Mengapa sulit memberantas korupsi di lingkungan birokrasi?, Naik turunnya persepakbolaan Indonesia, dan Jaringan sosial media dan masalah kerahasiaan pribadi (privacy).

Ibu-Ibu, Bapak-Bapak, Nyai, Ndoro… Yang mau ikutan, silakan-silakan! Lha wong gratisan ko’! Kalau mau info lengkapnya, buka saja www.paramadina.ac.id

Sekarang pindah, atau kembali, ke masalah Idul Fitri. Adalah tradisi masyarakat Indonesia untuk berkunjung ke sanak saudara, teman-teman dekat, teman-teman jaman dulu, juga tetangga-tetangga ketika lebaran tiba. Tak ada niatan tertentu kecuali bersilaturahim dan bermaaf-maafan.

Dengan kecanggihan teknologi, silaturahim pun macamnya kini beragam. Yang paling aku soroti adalah munculnya cara paling simple untuk bersilaturahim dan mengucapkan maaf lahir batin dan selamat lebaran lewat facebook. Caranya mudah, upload sebuah gambar editan photoshop, lalu tag-tag ke teman-teman yang seabreg itu. Berezzz

Tetapi, bagiku silaturahim dengan bertatap langsung tetaplah is the best. Dengan pertemuan itu, silang pertukaran informasi jauh lebih ‘berasa’. Kedekatan emosional kemanusiaan jauh lebih terpelihara. Orang pun akan merasa dimanusiakan. Jadi, silaturahim sebenarnya membawa semangat humanisme yang kental.

Silaturahim, juga wujud dari networking. Betapa tidak, ketika perjumpaan antar manusia terjadi, maka relasi pun terbentuk. Bagi yang sudah saling kenal, maka kedekatan relasional pun bisa lebih terekatkan. Yang baru berjumpa, sekedar kenal pun tak apa, toh kelak akan diulangi tahun depan.

Jejaring pertemanan pun meluas dan kata seorang penulis, jejaring akan membuat impian seseorang setidaknya memiliki 'pijakan kuat'. Orang sepintar model apapun kalau tak punya teman mau apa? Teman akan meluaskan cakupan upaya kita. Yang sedang belajar, maka teman akan datang melengkapi pengetahuan itu. Yang berdagang, maka teman akan datang meramaikan pembelian. Yang butuh tempat tumpangan, maka teman bisa diandalkan. Yang belum dapat jodoh, maka teman bisa membantu carikan, atau bahkan jadi jodoh itu. Hehe.

Your high GPA will only get you to the job interview, but your leadership and network will get you to the real job” kata Pak Rektor.

Silaturahim memang top markotop surotop. Nabi Saw pun telah mengatakan bahwa silaturahim melancarkan rezeki. Benar bukan? Ah, ya sudahlah, jangan sampai memutus silaturahim, karena itu dibenci orang, dan tak disukai Tuhan.

Terakhir, aku ingin sampaikan kalau tulisanku ini ada manfaatnya, silakan sampaikan pada yang lain. Tetapi bila menyebalkan, atau membosankan, silakan sampaikan padaku. Biar segera dipertimbangkan perbaikannya. Kata temanku, pesan terakhir ini mirip dengan motto warung nasi di dekat rumahnya. Apa?! Ah, apa iya?

Thursday, September 16, 2010

Surga-Neraka Bukan Milikku


Pandangan atas dunia ini dengan segala aspeknya tentu memiliki perbedaan antara satu orang dengan yang lain. Hal ini disebabkan kapasitas keilmuan yang berbeda-beda, juga bidang ilmu yang didalami. Pun perihal keagamaan, banyak tafsiran yang mengemuka. Ilmu-ilmu keagamaan pun harus diakui bukan hanya terbatas pada soal syariat-fiqihiyah, tetapi juga meliputi ilmu-ilmu lain: filsafat, tasawuf, dan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa keberagaman itu adalah keniscayaan. Pluralitas adalah hukum Tuhan.

Mengenai keberagaman ini, suatu saat saya ditanyai oleh seorang teman mengenai opini pribadi menyoal konsep pluralisme di Indonesia? Apakah itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam? dan bagaimana seharusnya sikap kita dalam menghadapi kehidupan beragama.

Report Akhir Agustus: SP oh SP…

(http://lakso.files.wordpress.com/)
Seperti dimensi ruang, dimensi watu pun bisa dipilah-pilah. Pilahan itu memunculkan terminologi "periode" yang berjenjang. Dimensi waktu dalam hal apapun, seperti sekolah, kuliah, bekerja, hingga yang paling luas yakni kehidupan, bisa dibagi-bagi. Namun, aku tak ingin membicarakan semuanya, cuma bidang kuliah saja yang mau aku omongkan.

Kali ini aku berada pada pilahan yang kesekian kali dan itu pun baru saja usai. Pilahan ini sedikit lebih pendek, atau tepatnya setengah dari yang biasanya. Kalau umumnya pilahan itu berjeda enam bulan, ia hanya tiga bulan. Ya, inilah semester pendek. Semester yang setengah-setengah ini bisa kami sebut SP (semester pendek) dan ia baru usai.

SP ini bukanlah bisa dianggap main-main. Bukan maksudku menganggap semester gasal dan genap itu cuma main-main, tetapi maksudku tingkat kesulitan dan tantangan di SP jauh lebih besar dibanding dua semester lain itu. Karena kondisinya yang pendek, mata kuliah seperti dijejal-jejalkan. Aku dan kawan-kawan dapatkan mata kuliah diajarkan dua kali seminggu. Tugas yang diberikan pun jadi lebih terasa berat. Ya tapi itu konsekuensi. Kami mendapat keuntungan dengan ikut SP ini, kami bisa lulus lebih cepat, cuma 3,5 tahun. Ya seperti kata lagunya Bondan Prakosa, “Ya sudahlah…”

Baiklah, kini beralih ke kegiatan kampus. Paramadina memang terlihat lebih sibuk SP kali ini. Seleksi mahasiswa baru masih terus berlangsung. Ah, itu sudah kuceritakan di report sebelumnya, jadi tak usahlah diulangi. Paling juga membosankan kalau dibaca. Langsung pindah ke acara lain saja.

****

Kampus ini hanya aktif dalam bulan Ramadhan selama dua minggu. Itu pun tidak genap. Tetapi banyak kegiatan yang diselenggarakan. DKM (Dewan Keluarga Masjid), sebagai organisasi keagamaan menyelenggarakan buka puasa seminggu full. Bagiku yang anak asrama ini, ya itu berkah yang terlalu berharga untuk dilewatkan. Ya kau pasti taulah...

Dalam rangkaian acara itu, ada bedah film Act of Dishonor, sebuah film tentang ketimpangan distribusi kesempatan di berbagai bidang antara anak laki dan perempuan di Afghanistan. Kebetulan, artisnya, Nelofer Pazira datang langsung. Sedap ‘kan?

Lalu ada bedah buku novel biografis Nabi Muhammad Saw., “Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan” karya Tasaro GK. Dan Alhamdulillah, penulisnya juga datang langsung. Mantab pokoknya. Rangkaian acara ini kemudian ditutup dengan kolaborasi senat kampus dan DKM dengan menyelenggarakan konser Iwan Fals yang dilanjutkan dengan sajian hiburan tarian sufi Rumi dan teater.

Selain itu, Kampus Paramadina, di SP ini patut berbangga karena selain banyaknya kegiatan yang mewarnai, ia juga berhasil mengirimkan grup tarinya untuk ikut pertunjukan dan festival di Polania. Group ini bernama T-ta Paramadina dan berkunjung ke sana selama dua minggu. Beberapa diantara pesertanya adalah kawan dekatku sendiri. Ya meski aku tak ikut, aku ikut senang dan bangga tentunya. Bukankah kawan sejati aalah mereka yang merayakan keberhasilan kawannya seperti keberhasilannya sendiri?

****

Kalau soal gerak-gerikku sebagai duta kampus, aku harus sampaikan kalau memang bulan ini kami hanya berfokus pada seleksi mahasiswa baru. Paling-paling kalau ada info menarik tentang Paramadina, kami post didunia maya melalui jejaring sosial kami masing-masing. Kalau aku sendiri, aku temui beberapa teman baru di facebook. Ada yang bertanya soal bagaimana tes masuk Paramadina, ada juga yang tertarik dengan kegiatan yang diselengarakan di kampus kecil ini.

Yang jelas SP ini , meski sedikit menyebalkan karena tugas-tugas yang amit-amit, kami banyak mendapat pelajaran berharga. Aku juga dapatkan beberapa kawan baru, karena memang di SP ini aku tak hanya bergabung dengan kawan-kawan di jurusan manajemen, tetapi juga dari jurusan lain.

Setelah ini, aku dan kawan-kawan lain akan masuk kepada pilahan dimensi waktu selanjutnya. Setelah ini adalah semester gasal, atau tepatnya semester V buatku. Oya, tak terasa sudah dua tahun ya, aku di Jakarta ini….

****

Jakarta, 30 Agustus 2010
di asrama, sebelum mudik...


Friday, August 27, 2010

Report Medio Agustus: Dari Bulan Spesial sampai Antikorupsi

(KOMPAS/PRIYOMBODO)
Seperti biasa, dasar anak malas, membuat report selalu telat. Ya Allah, semoga Engkau ampuni diriku ini! Memang ini kesalahan, tetapi kalau terulang, ini menyedihkan, dan aku sudah pasti bagian dari orang-orang yang menyedihakn itu. Oh, Tuhan, ampuni aku ini!

Baiklah, sekarang aku ingin bicara yang lain. Biarpun telat, report harus dilanjutkan. Oke?!

Bulan spesial
Minggu-minggu awal Agustus tentu menjadi sedikit spesial daripada bulan-bulan yang ain. Ini bulan kemerdekaan. Bulan dimana negeri ini merengkuh kejayaannya di muka bumi ini. Di bulan ini, 65 tahun yang lalu, atmosfer masyarakat berubah dari ketergantungan, mendadak menjadi sebuah kemandirian untuk terus berbenah. Tujuh belas Agustus 1945 lalu benar-benar menjadi pintu gerbang kemerdekaan hakiki negeri ini, yang sayangnya belum tercapai.

Di bulan ini juga dimulai awal bulan puasa, bulan Ramadhan. Bagiku, yang muslim ini, bulan ini akan menjadi bulan paling spesial sepanjang tahun. Di bulan ini, ibadah akan dihargai lebih oleh Tuhan. Maka orang akan ramai bersembahyang di masjid-masjid, di surau-surau dan di rumah-rumah. Gempita Ramadhan benar-benar menjadi momen pembersihan bagi manusia yang memang dasanya bersalah dan berlupa.

Soal kampus
Di awal-awal bulan ini kegiatan Duta Paramadina lebih difokuskan pada kegiatan seleksi mahasiswa baru. Kampusku, Universitas Paramadina kini mengalami masa-masa regenerasi, seperti halnya kampus lain. Kami menerima mahasiswa baru melalui seleksi tulis dan wawancara.

Yang unik dari seleksi ini, wali yang mengantar putra-putri calon mahasiswa kemudian dikumpulkan di taman kampus, “Taman Peradaban” namanya. Kami berbincang banyak soal harapan, soal suasana kampus, pengajaran kuliah, hingga alasan mengapa ujian harus disertai wawancara.

Aku dan Duta Paramadina lainnya disilakan untuk menyampaikan realitas kampus kami kepada mereka, para wali. Tentu kami harus netral. Kami sampaikan bahwakelemahan kampus ini adalah kampus ini kecil, kampus ini mahasiswanya sedikit, kampus ini masih baru, kampus ini tentu tak sebanding dengan kampus-kampus tua lainnya, dan kampus ini swasta. Pernyataan terakhir, bahwa kampus ini swasta, dalam konteks Indonesia memang harus terpaksa dimasukkan dalam kategori "kelemahan" karena paradigma negeri-centered terlalu kuat menimbun-nimbun objektivitas berpikir orang-orang negeri ini.

Tetapi aku dan teman-teman tetap sampaikan bahwa kami berada di kampus yang tepat. Kami memiliki mimpi dan kami yakin kampus ini bisa mengantarkan kami ke sana. Meski kecil, kampus ini memberikan kami network yang luas kepada mahasiswa. Tenaga pengajar yang muda-muda akan menjamin transfer ilmu menjadi seimbang. Ruang kelas menjadi ajang diskusi. Dosen bukan sumber ilmu satu-satunya. Mahasiswa pun punya hak bicara, hak setuju, dan hak bantah. Bukankah memang seharusnya kuliah itu demikian?

Salah seorang wali sempat bertanya, bagaiamana jika ada mahasiswa yang nonmuslim masuk Paramadina. Pak Wija, Deputi Rektor III yang selalu mendampingi kami menjelaskan bahwa kampus ini membawa nilai-nilai agama sebagai dasar penyelenggaraan perkuliahan, bukan simbol-simbol keagamaan. Kami percaya bahwa nilai-nilai Islam itu universal dan bisa direguk oleh siapapun. Karena, pada dasarnya nilai Islam ini akan menyatu pada keserasian dunia yang sejalan dengan nilai-nilai dasar universal agama-agama lain: kesantunan, keramahan, disiplin, semangat berkebaikan, semangat sosial dan tentunya semangat berketuhanan.

Oya, mungkin di kampus kami yang unik adalah adanya matakuliah aneh. Mata kuliah antikorupsi namanya. Katanya, ini yang pertama kali di dunia. Dimana-mana, matakuliah ini tergabung dengan matakuliah etika.

Matakuliah bikin boke’
Matakuliah ini mengajarkan kami bermacam-macam serba-serbi korupsi, dari dalam negeri maupun luar negeri. Ada yang namanya petty corruption, yakni korupsi kecil. Juga ada grand corruption, korupsi yang besar. Kami dikenalkan dengan beberapa konsep mengenai antikorupsi beserta badan-badan pemerintah maupun yang nonpemerintah yang terlibat dalam pemberantasan korupsi. Mulai dari KPK, YLBHI, Tiri, TII, sampai ICW.

Aku baru tahu kalau dampak korupsi begitu massif: lesunya perekonomian, meningkatnya kemiskinan, tingginya kriminalitas, demoralisasi, kehancuran birokrasi, terganggunya sistim politik dan pemerintah, dan buyarnya masa depan demokrasi, serta runtuhnya penegakan hukum.

Di akhir kuliah, kami disilakan untuk melakukan investigasi kecil-kecilan. Kami dikelompokkan dan setiap kelompok harus melakukan sejumlah penelitian soal korupsi yang “di sekitar kita”. Kami mengambil korupsi yang berjenis kecil atau yang tadi kami sebut petty corruption, tadi. Korupsi ini memang benar-benar kecil dan sering terlewat. Keterlewatan ini bukan hanya karena tidak tahu, tapi juga karena terlalu sering dilakukan. Ora krasa jalaran kulina!

Yang termasuk tindakan yang baru aku tahu dan sering terlewat seperti pemalsuan bukti bayar kuliah. Jadi di suatu tempat, jasa pemalsuan ini laris manis oleh mahasiswa-mahasiswa yang mau “neken” orang tuanya. Parah! Kalau yang kategori sering kelewatan itu seperi kasus tilang. Ya, tilang yang sering dilakukan sama polisi. Kebanyakan kita ‘kan maunya cepet, bayar, abis itu beres.

Yang unik, temen-temen yang investigasi bener-bener merelakan diri di-tilang. Sekali tilang seratus ribu dibayarkan, uang pun terbang “melayang”. Lalu ketika presentasi, mereka ditanya seorang dosen, “’Kan ini investigasi, hasilnya ‘kan harus valid, nah, berapa kali kalian lakukan ini?”

“Lah, ya sekali aja lah, Bu! Bisa boke’ kalau terus-terusan…”


Friday, August 20, 2010

Masa Bodoh itu Penting, Lho…

 (http://photography.nationalgeographic.com/)
Heh, elo menang ngga?
Ya, Alhamdulillah juara tiga
Ah, apaan itu? Gue nih juara satu!!!

Baca judulnya, pasti kamu langsung bilang, konteksnya apa dulu? Masalahnya apa dulu donk? Ya maklum kalau tanya seperti itu. Masa bodoh memang identik dengan sikap acuk tak acuh. Sikap tak peduli terhadap orang lain. Sebuah respon negatif terhadap stimulus yang muncul dalam kehidupan. Simple-nya sikap ini identik dengan sikap negatif.

Umumnya, sikap acuh selalu diidentikkan dengan keengganan untuk melihat kesusahan orang lain. Jadi, sikap ini akan memiliki nilai relasi negatif bila dihadapkan dengan keburukan, penderitaan, lalu penindasan dan sebagainya. Masa bodoh ini bikin dosa. Tapi bagaimana kalau dibalik? (Maksudnya, Mas?)

Oke, bagaimana kalau yang dihadapi dengan sikap masa bodoh adalah prestasi orang, atau juga kesuksesan orang lain. Loh, emang ada? Ya iyalah. Inilah saat dimana masa bodoh itu jadi positif, bahkan bisa dibilang penting. Oke, Gue jelasin dulu ya…

Ketika kamu memenangkan sebuah kompetisi, atau mungkin mendapatkan nilai yang bagus, mungkin sebagian teman akan merasa senang. Tapi, kenyataannya, ada saja yang sinis dan dengan ketus mencoba mencari-cari bin mengorek-korek kesalahannya. Tujuannya satu, mencari titik lemah dari kesuksesan tersebut untuk selanjutnya dijadikan senjata untuk bilang, “Aa..h terang aja elo kan bla..bla..” atau, “Ah, gitu aja gue juga bisa, lebih bagus malah!” Dalam hatinya bisa ditebak kalau dia ngga rela orang lain sukses.

Kalap kalau denger orang lain sukses!

Saya sendiri punya teman. Dia begitu gethol untuk mengikuti lomba. Ya saya akui ia berhasil memenangkan beberapa kompetisi. Tapi ada sedikit yang saya kurang suka. Ketika ada teman lain juga memenangkan lomba, wow, responnya begitu ekspresif. Tapi ekspresif yang tak rela. Kemudian ia menceritakan kesuksesannya untuk menandingi wacana sukses teman lain yang juga menang lomba.

“Elo juara itu ya? Ah, aku lho juara ini.. ini.. ini”

Kadang saya sebel, tapi seringkali sebel banget. Tapi saya masa bodoh saja. Peduli amat dengan hal itu. Toh, apa yang terjadi telah terjadi. Bahasa Sundanya bodho teuing!

Inilah yang saya mau sampaikan. Seharusnya kita masa bodoh dengan kesuksesan orang lain. Inilah masa bodoh yang positif. Artinya, ya sudah, terima kesuksesan orang lain dan kemudian ikut merasakan senang. Bagi saya hal itu akan lebih memberi manfaat. Teman kita senang. Kita juga senang. Jadinya win-win solution.

Kita tak perlu membanding-bandingkan pencapaian kita dengan orang lain. Biarlah orang lain sukses dengan bidangnya, dan kita dengan bidang kita sendiri. Biarkan mereka senang dan kita dengan kesenangan kita sendiri. Ujung-ujungnya masa bodoh 'kan? Tapi masa bodoh yang positif bukan berarti acuh saja, tetapi memiliki tambahan apresiasi pada orang lain. Kita tidak mengorek dan membanding-bandingkan prestasi orang lain, tapi malah kita memberi apresiasi setinggi-tingginya.

Kita punya tujuan sendiri yang sudah tentu berbeda dengan orang lain. Maka kesuksesan pun tak bisa dibanding-bandingkan. Apalagi mengorek-koreknya.

Saya pernah membaca koran nasional yang menuliskan quote-quote para ahli. Sang ahli bilang, “Kesuksesan orang itu adalah ketika ia membandingkan kesuksesannya dengan apa yang direncanakan, bukan dengan kesuksesan orang lain”. Hmm…(*)


Friday, August 13, 2010

Gengsi, Mahal Coy…

ilustrasi (wikipedia.org)
Kau makan siang dimana?
Gue di Plangi
Gue di Sensi, elo?
Di warteg……..
Ha…ha….ha

Kalau Kamu makan siang, di mana? Tak usah di jawab. Karena bagi saya tak penting jawabannya. Tapi, bagi beberapa orang, adalah penting jawaban itu, sangat penting. Di mana Kamu makan, di situlah harga kamu. Itulah harga diri Kamu. Maksudnya?!

Sebelumnya saya jelaskan maksudnya percakapan yang membuka tulisan saya kali ini. Kalau Kamu di kota yang metropolis, macam Jakarta, saat seusai makan siang, sering ada diskusi kecil-kecilan di tempat kerja. Ada yang bertanya mengenai tempat kamu makan. Kedengarannya aneh buat orang di daerah. Makan ya makan, just that. Not more not less.

Oya, Plangi singkatan dari Plaza Semanggi, dan Sensi itu Senayan City. Kedua-duanya mall terkenal di Jakarta, Bro….. tahu ngga apa mall itu? Hehe..Pis2

Bagi orang yang hidup di metropolitan adalah penting orang itu menentukan di mana tempat untuk makan. Kamu akan dihargai ketika bisa makan di tempat yang elite. Kamu akan disanjung ketika bisa makan di resto terkenal. Wow, keren! Tapi ko’ gitu ya…

Ini tentu akan jauh berbeda bila kamu makan di warung punya strata paling rendah dalam hal tempat makan, yakni tak lain dan tak bukan adalah "warteg", alias warung tegal. Ketika kamu bersama dengan teman-temanmu yang habis makan di mall, lalu kamu sendiri habis makan di warteg, maka kamu tak punya kedudukan yang sama dengan yang lain. Kamu akan terlihat lebih rendah.

Sebenarnya apa yang di cari orang-orang itu? Saya jawab gengsi. Ya, G.E.N.G.S.I. Makan di tempat mahal adalah prestigious. Adalah yang bisa ke sana tentu orang-orang yang berduit, berkantong tebal. Karena memang harga makanannya selangit. Oleh karena itu, kadang juga muncul keinginan untuk disamakan atau minmal dianggap sebagai orang yang berkantong tebal itu.

Sekarang saya alihkan pembahasan ke masalah yang lebih substantif. Hah, apaan tuh?

Hakikat makan 'kan ya buat kenyang. Tak lebih. Kalau ada, itu relatif. Tergantung apa yang sedang dihadapi oleh orang yang ingin makan.

Tapi, meskipun inti makan itu ya cuma biar kenyang, mengapa orang itu rela mengeluarkan uang yang jauh lebih banyak untuk just makan. Apa yang di cari? Gengsi lagi. Gengsi itu mahal, Coy! Adalah sangat menyenangkan bila kau ditanya, “Makan dimana?” lalu kamu menjawab,”Di sana lho, ditempat mall yang punya resto terbaik itu.” Tapi, tentu kocek yang dikeluarkan juga lebih banyak.

Lalu kemudian saya tanya, apa sama kenyangnya orang tak punya dengan orang punya? Jawabannya absolutely much the same. Ya, sama. Tak kurang tak lebih.

Tapi kemudian gengsi menjadikannya berbeda. Gengsi menjadikan orang menjadi tak bisa melihat hakikat kebutuhannya. Semua diukur oleh materi. Demi gengsi, sebuah konsekuensi harga yang lebih tinggi pun diambil. Ya kalau boleh dibilang, ini sudah ngga rasional.

Saya sendiri juga bingung. Irrasionalitas itu seakan sudah tertanam. Siapa sih yang tak senang punya gengsi tinggi lalu dipuji. Oh, rasanya sudah kayak jadi yan terbaik aja……

Tapi jangan sampai irrasionalias itu mengubur rasionalitas kita. Hakikat hidup harus kita gali lebih dalam. Kita harusnya sadar bahwa gengsi tak akan memberi solusi. Yang ada hanya basa-basi yang berujung pada diri yang merugi.

Boleh saja gengsi, tapi ya sekali-kali. Karena pada kenyataannya kadang gengsi juga sebuah fakta yang tak bisa ditolak. Umpama kamu diundang makan di Plangi, ya mau ngga mau diusahakan datang.

Jadi, memiliki gengsi itu tak apa. Tapi, membanggakan gengsi itu lalu merendahkan yang lain seraya bertinggi hati adalah hal yang harus dijauhi.(*)


Saturday, August 7, 2010

Report Akhir Juli: Dari Kuliah dan Kuliah.....

Tidak banyak yang aku lakukan di minggu-minggu terakhir Juli ini. Kegiatan kuliah semester pendek juga begitu-begitu saja. Bahkan, sekarang telah mendekati masa akhir kuliah dan sebentar lagi ujian. Ya, ujian, sebentar lagi.

Aku selalu berdebar ketika ujian. Dan, seringkali perasaan ingin escape dari momen itu sungguh kuat. Lebih baik tak ada ujian. Tapi apa demikian benar? Oke, mari berpikir sedikit jernih. Kalau mau menelisik lebih dalam, maka ujian ini sebenarnya adalah pintu gerbang. Sebuah pintu gerbang menuju jenjang dengan tingkat standar lebih tinggi. Jadi, simple saja, kalau mau lebih baik, maka ujian harus dilalui. Dan kalau tak mau ujian berarti tak bisa jadi lebih baik ‘kan? Mudah, tapi sulit.

Soal wirausaha
Kali ini, kuliah yang aku sukai adalah kewirausahaan. Aku beruntung mendapatkan pengajaran mata kuliah ini. Kewirausahaan ini memiliki dua pemaknaan: sempit dan luas. Dalam hal pemaknaan sempit, kami, mahasiswa Paramadina diajarkan untuk kelak menjadi wirausaha-wirausaha yang mampu menciptakan lapangan kerja untuk menghadapi kenaikan pertumbuhan penduduk yang tak seimbang dengan penyediaan lapangan pekerjaan dari pemerintah.

Namun, dalam pemaknaan luas, maka kewirausahaan ini, seperti dikatakan dosenku, adalah semangat untuk berinovasi dan kreatif apapun keadaaannya, baik menjadi karyawan atau tidak, menjadi ilmuan, menjadi pendidik, atau apapun. Kewirausahaan dimaknai sebagai sebuh pola pikir yang mendasarkan semangat memberi manfaat (giving benefit) bukan mengambil keuntungan (taking profit).

Coba kalau orang-orang itu semua memiliki semangat kewirausahaan baik dalam pemaknaan sempit maupun yng luas. Wah, dunia ini akan damai ‘kan?

Sibuknya kampus
Sementara, kampusku sedang sibuk mempersiapkan kedatangan mahasiswa baru baik yang regular maupun jalur fellowship, atau lebih dikenal dengan Paramadina Fellowship (PF). Mengenai jalur regular, sejauh ini perkembangannya cukup baik. Paramadina meyelenggarakan tes masuk tiap tiga minggu sekali. Sudah banyak mahasiswa yang bergabung. Kami, dan aku sendiri cukup senang dan bangga. Untuk itu, aku sampiakan selamat bergabung dengan insitusi yang akrab kami sebut small but giant ini!

Kalau soal PF, tanggal 31 kemarin adalah puncak dari tahapan seleksinya. Banyak aplikasi yang masuk dan ternyata hanya beberapa yang bisa bergabung. Beberapa kawan sempat kotak denganku lewat facebook. Ada yang lolos dan ada pula yang tidak. Untuk yang telah tersemat namanya sebagai penerima fellowship, silakan segera persiapkan diri, silakan datang dan berjumpa nanti di Jakarta, Ibukota negara ini!

Sementara, yang belum masuk, aku selalu sampikan kalau PF bukanlah ukuran kesuksesan. Sukses bisa dari mana saja dan Paramadina hanya satu dari jutaan kesuksesan yang Allah Swt sebarkan di muka bumi ini. Silakan kembarakan lagi upaya, Kawan-Kawan. Aku yakin, kesuksesan lain telah menunggu, mungkin bukan sekrang, tetapi sebentar lagi dan tentu butuh sedikit tambahan energi dan pikiran lagi.

Kampus kami juga akan melepas keberangkatan kontingen tari tradisional (T-ta Paramadina) ke Polandia kelak tanggal 7 Agustus. Kemarin, juga pada 31 Juli, acara seremonial pelepasan dilangsungkan. Meski aku tak sempat mengikutinya, aku yakin itu pasti absolutely incredible. Aku tetap menyimpan sejuta harapan untuk kesuksesan dan keselamatan kawan-kawan, sungguh-sungguh. Kepulangan kalian tak hanya berarti nama baik Kampus ini, tetapi juga Bumi Pertiwi tercinta ini.(*)



*sumber gambar bisa di-klik langsung pada gambarnya.

Report Medio Juli: Dari SP sampai Tarekat Fesbukiyah

Kali ini telah sampai medio Juli. Tak terasa 2010 ini sudah setengah lebih berlangsung. Banyak hal yang sudah kulalui hingga kali ini. Beberapa waktu lalu semester IV dan kini adalah semester pendek (SP) kedua. Maat kuliah yang “umum-umum” jadi bahan belajar : Kewirausahaan, Pancasila, dan Antikorupsi.

Alhamdulillah, hasil semester genap (IV) itu cukup memuaskan. Masih dalam koridor harapan awal. Minimal beasiswaku masih dalam posisi aman. Maklum, sebagai seorang yang seolah gratisan, ada konsekuensi yang harus kulaksanakan.

Kegiatan sehari-hari akhir-akhir ini sering dipenuhi oleh “fesbukan”. Maklum, di kampus ada wifi, pun di asrama. Di dua tempat itu aku leluasa akses internet untuk email, blog, fesbuk atau sekedar surfing cari-cari berita dan bahan bacaan lainnya. Tapi yang jelas fesbuk menempati urutan teratas soal intensitasku dalam memakainya.

Aku jadi ingat soal tulisanku di blog beberapa waktu lalu soal fesbuk. Aku tulis soal sebuah aliran kebatinan baru yang menjadikan layar monitor menjadi alat ritusnya, sebuah kebaktian berupa ngetem di depan fesbuk, tepatnya. Ya, inilah sebuah tarekat baru yang bernama, meminjam istilah G. Muhammad, Tarekat Fesbukiyah. Sebuah tarekat yang aneh.

Tapi aku akui, fesbuk sedikit banyak memberiku manfaat. Beberapa kali aku dapatkan quote menarik dari berbegai sumber. Aku tuliskan itu sebagai statusku. Ya, niatnya sih bagi-bagi semangat. Salah satunya dari Pak Rektor sendiri

“When you are thinking the future, so you are young, then when you are thinking the past, you are old… (Baswedan, 2010)”


“Aku melihat indahnya dunia, di kota-kota yang berbeda, nyata sekali... ini mimpiku...(Ini Mimpiku, Claudia Sinaga)”

Oya, ngomong-ngomong bagi semangat, kampusku kali ini dapat kesempatan baik untuk unjuk gigi di kancah internasional. Salah satu UKM bertitel T-ta Paramadina, sebuah UKM yang konsen pada tari tradisional, akan berangat ke Polandia 7-23 Agustus untuk ikut beberapa festival kebudayaan di sana.

Sebagai apresiasiku, aku tuliskan uneg-unegku pada event itu. Aku tuliskan sebuah prosa pendek dengan judul “Selamat Jalan, Pemahat-Pemahat Mozaik Negeri!”. Aku post tulisan itu ke fesbuk. Alamdulillah, tanggapan baik dari personil T-ta maupun yang lain cukup baik. Hingga akhirnya, tulisanku itu akan dicetak pada booklet T-ta saat gelar pamit nanti 32 Juli.

Dari fesbuk, aku juga dapatkan beberapa teman baru yang ingin tahu Paramadina. Ada bebrapa teman yang komen di wall Paramadina. Aku bantu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang muncul.

Sesekali aku juga terlibat chat dengan orang yang ingin tahu soal Paramadina. Aku sendiri cukup antusias menjawabnya. Bukan karena apa-apa, karena aku cinta kampus kecil ini dan sejenak aku tumpukan masa depanku padanya, yang setidaknya masih tersisa 1,5 tahun lagi.



*sumber gambar bisa di-klik langsung pada gambarnya.

maaf ini telat karena kuliah menggila....

Saturday, July 17, 2010

Selamat Jalan, Pemahat-Pemahat Mozaik Negeri!

Adalah sebuah kebanggaan yang tiada tara ketika sesorang bisa menjadi wakil sebuah entitas yang amat dicintainya. Ini adalah momen terbaik ketika sesorang telah didapuk menjadi the front line troopers of the nation. Mereka benar-benar menjadi the first impression bagi seluruh kapasitas yang dimiliki.

Sebenarnya tanggung jawabnya bukanlah pada lapisan terdepan saja, tetapi pada seluruh lapisan hingga yang paling dalam. Namun, tanggung jawab the front liner menjadi lebih penting karena ketika mereka terjebak kegagalan, maka keindahan-keindahan pada lapisan-lapaisan selanjutnya akan menjadi barang usang yang tak pernah akan orang berkenan melihat, atau bahkan sekedar melirik. Maka, adalah pantas untuk menyematkan perhatian penuh pada the front liner ini.

Dalam konteks ini, T-ta Paramadina (T-ta) sejenak kiranya akan menjadi the front liner itu. Berdiri sejak April tahul lalu, T-ta telah mecatat beberapa keberhasilan. Sebagai oragnisasi kemahasiswaan yang berupaya melestarikan tarian tradisional, T-ta berhasil menebar pukau dan pesona pada mata-mata pengunjung seminar, workshop, dan kegiatan lainnya dalam skala nasional. Dan kini, sebentar lagi, mereka masih akan menyajikan tampilan gerak tari nusantara, tetapi dalam konteks yang lebih besar, konteks internasional, konteks dunia.

Bukan Pada 7-23 Agustus 2010, teman-teman dari T-ta yang berjumlah 23 orang akan mengikuti dua festival kebudayaan berskala dunia di Polandia. Adalah acara bertajuk World Folk Review Integration 2010 yang menjadi ajang pertama yang akan dilakoni. Festival besar yang digagas oleh seorang Dariusz Majchrowicz, seorang manajer artistik, direktur and koreografer grup Folk Dance "Poznan", ini akan berlangsung pada 8-16 Agustus 2010 di Kota Poznan. Semoga sukses T-ta!

Hari berikutnya, 17 Agustus 2010, bertepatan dengan hari kemerdekaan negeri tercinta ini, T-ta akan melawat ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia). Tentu ini akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri ketika orang-orang Indonesia yang berada di sana bisa kembali merasakan keindahan mozaik kebudayaan dari negeri mereka yang separated away. Ini ‘kan menjadi pelepas dahaga kerinduan akan suasana negeri yang terpisah jauh. Semoga berhasil T-ta!

Hingga pada 18-23 Agustus 2010, kawan-kawan T-ta akan melibatkan diri pada Internasional Folk Festival di kota bersejarah Warsawa. Sebuah perjuangan yang tak mudah. Selama dua minggu mereka akan menjadi “tameng muka” bangsa ini. Maka jangan anggap kalau ini adalah tugas mudah, jangan anggap ini tugas sepele yang bersikan jalan-jalan santai ke luar negeri, tetapi adalah tanggung jawab besar atas nama besar negeri Bumi Pertiwi ini, juga pada entitas pendidikan bernama Paramadina.

Embanan tanggung jawab itu menjadi sangat penting untuk dihargai karena dalam konteks finansial, aktivitas ini pun benar-benar didukung hasil jerih payah yang diperas langsung dari setiap ide-ide kawan-kawan T-ta dalam meluluhkan hati para sponsor soal urgensitas kegiatan ini.

Tecatat beberapa sponsor pun tak segan ikut bergabung seperti Bank OCBC NISP, Grand Indonesia, PT Djarum, Rajawali Group dan sponsor utamanya Global Media Group. Bergabungnya institusi-institusi tersebu juga tak terlepas dari dukungan pihak Kampus Paramadina lewat aksi tanggap seorang Wijayanto, salah seorang deputi rektor. Terima kasih, Pak!

Kesungguhan T-ta dalam menggalang pendanaan juga ditunjukkan melalui komitmen mereka dengan “merelakan diri” berjualan makanan kecil, baik dengan diam-diam (klandestin) atau juga terang-terangan, di beberapa tempat seperti Senayan, Monas, Ragunan, Museum juga mendirikan stan penjualannya di kampus. Acara manggung “tanpa bayar” pun mereka lakoni demi kesuksesan kegiatan ini.

Di sana, kawan-kawan T-ta ‘kan memberikan sajian terbaik mereka dalam tari-tari tradisional negeri seperti Tari Sedati dari Aceh, Tari Lenso dari Maluku, dan Tari Betwai juga Tari Saman, Tari Kalimantan, dan Tari Zapin. Beragam tarian itu akan mereka bawakan demi keluhuran citra negeri kaya Budaya ini, Indonesia, sebuah negeri yang terdiri dari 17.504 pulau, 10.068 suku bangsa, 615 bahasa, 3.025 spesies binatang, 47.000 jenis tumbuh-tumbuhan, 300 gaya seni tari, dan 485 lagu daerah, yang Segala sesuatunya teriikat dalam satu ikatan Bhinneka Tunggal Ika dan rasa cinta Tanah Air, bangsa, dan negara (Kompas, 2010).


Pemahat
Maka, bila dibayangkan, T-ta ini pemahat sekaligus penjual mozaik berjalan yang siap sampaikan pada dunia akan eksistensi keunikan dan keagungan budaya Nusantara ini. Dengan penuh semangat saya sampaikan, Selama jalan, Kawan! Perjuangan ini bukan sebuah hal yang mudah, yang bisa dianggap sekedar jalan-jalan, tetapi ini adalah misi mulia, sebuah perjalanan penuh tanggung jawab atas sebuah entitas yang bukan main-main.

Sudah barang tentu tak semua orang bisa mendapatkan kesempatan emas seperti ini. Kini, nama baik mozaik nusantara ada di tangan mereka. Apapun tidakannya, akan menjadi preseden yang signifikan efeknya.

Tanggal 31 Juli 2010 kelak, adalah acara Gelar Pamit yang akan diselenggarakan. Saya harap momen ini benar-benar menjadi titik tumpu lecutan semangat kawan-kawan T-ta. Mereka ini pemahat-pemahat mozaik negeri yang dengan susah payah akan berjualan di negeri lain. Yang diharapkan bukanlah hasil penjualan, tetapi kepuasan serta optimisme bahwa mozaik itu kan dapat penghargaan oleh dunia.

Terakhir, saya tak mungkin terlibat langsung dalam kegiatan mulia ini. Namun setidaknya tulisan ini bisa mewakili kegembiraanku yang tak diduga ikut menyeruak ke permukaan perasaan atas perjuangan ini. Selamat jalan selamat berjuang, Kawan-kawan!

Kalian akan terbang dengan banyak beban, tapi semoga pulang dengan banyak gegap gempita kegembiraan yang kan langsung menyebar laksana awan yang menyelimuti gunung. Sebuah selimut kepuasan akan capaian terbaik saya, dan mungkin oleh teman-teman lain, tunggu-tunggu. Karena mungkin selama kalian pergi, kami kedinginan dalam ketidaktahuan yang berpadu dalam sebuah penantian yang mendebarkan. Semoga sukses, Kawan-kawan!


****

Tulisan ini saya khusus persembahkan untuk Keberangkatan T-ta Paramadina ke Polandia 7-23 Agustus 2010. Semoga sukses, Kawan!

Jazz Muhammad
Jakarta, 8 Juli 2010

Selesai di pojokan kamar sehabis bercerita ria dengan salah satu personil T-ta Paramadina..


Kalau berkenan, sila berkunjung juga pada Gelar Pamit T-ta Paramadina


Tuesday, July 13, 2010

Berani Memimpin

Siapa yang mau mimpin?
Dia, dia, dia Bu…
…..
Saya Bu!
Ha..ha..ha…

Pernahkah Kamu diminta untuk memimpin? Kalau jawabannya ya, maka baca lanjutan tulisan ini, tapi kalau tidak, ya juga lanjutkan. Loh? Tapi ngga maksa ko’..pis2

Tulisan saya kali ini dibuka dengan secuplik percakapan yang sering kita temui. Mungkin dulu saat SD. Seorang guru meminta salah seorang muridnya untuk memimpin doa atau salam atau membaca Pancasila. Tapi kemudian kelas bergemuruh oleh tindakan siswa-siswi yang saling tuding, menunjuki temannya. Dia bu..dia bu..!

Lalu ada salah seorang siswa yang berdiri lalu berkata, “Saya, Bu!” Dengan lantang ia mengucapkannya. Tapi bukan ungkapan bangga yang muncul dari teman-temannya kelas itu. Yang ada adalah tertawaan teman-teman. Tertawaan bernada meremehkan. Emang dia bisa?

Inilah masalah anak muda zaman ini. Ketika mereka diminta menjadi pimpinan, mereka bersembunyi di belakang dan menutupi ke-cemen-annya dengan saling tuding siapa yang pantas memimpin.

Tapi, ketika ada yang tampil menjadi pemimpin, semuanya geger. Mempermasalahkannya. Dilematis memang. Muda-mudi ini tak senang bila ada temannya yang tampil menjadi pemimpin mereka. Ko’ gitu ya? Ya gitu…

Memang ini yang perlu disadari oleh saya dan juga kamu. Sering kali kita malu dan takut untuk memimpin, tapi ketika kepemimpinan itu dibutuhkan, kita malah mencemooh teman kita yang tampil, seakan tak rela dia berada satu tingkat di atas kita.

Sekarang bahasannya adalah bagaimana menjadi pemimpin agar di cintai dan dihormati oleh yang dipimpin. Hal ini sangat penting karena realitanya, pemimpn dan yang dipimpin sama-sama manusia. Sama-sama makan nasi. Jadi lumrah kalau ada yang jealous kalau dipimpin sesamanya. Ya kayak anak SD tadi…

Setidaknya menarik untuk menilik pesan Bu Mega, Presden RI ke-5 yang memberi tips kepemimpinan (Media Indonesia, 8/2/10). Pertama, kejujuran. Menjadi pemimpin harus berani mengakui kekuarangan dan kelemahannya, bukan hanya kekuatannya. Kalau memang membutuhkan bantuan ya bilang. Jangan karena telah menjadi pemimpin, terus jaim bin gengsi. Ah emang gue siap, elo siapa?

Kedua, kerendahan hati. Pemimpin harus bisa merasa setara dengan yang dipimpin. Tak ada yang beda. Yang beda hanya posisi strukturalnya. Secara sosial, sama saja. Jadi kalau sudah jadi pemimpin, terus senaknya sendiri, wah ngga bener itu!

Ketiga, keteguhan. Pemimpin sudah seharusya memiliki sikap tegas terhadap keputusan yang diambil. Pemimpin juga harus seteguh dalam pendirian. Bahasa jawanya, Ojo mencla-mencle!


Keempat, kesabaran. Inilah yang membuat orang layak memimpin. Sabar dalam menghadapi masalah. Baik dari yang dipimpin ataupun dari lingkungan sekitarnya. Pasti ada saja masalah yang timbul dari hubungan kepemimpinan. Lebih-lebih terjadi salah paham atau perbedaan pendapat. Kalau berbeda itu wajar. Yang tak wajar kalau perbedaan itu disikapi dengan emosi dan lalu menimbulkan perpecahan.

Yang terkahir, pemimpin harus ikhlas. Pemimpin harsu dengan sukarela melaksakan tugas mulianya. Kesuksesan kerja tentu menjadi tujuannya. Ya-iyalah, mana ada yang mau gatot, alias gagal total.
Seorang pemimpin harus menjadi pribadi yang penuh rasa ikhlas dalam mengabdikan diri pada apa dan siap ayang ia pimpin. Ya namanya pemimpin itu kan sebenarnya pelayan. Karena, pemimpin itu adalah ssorang yang ditunjuk untuk megarahkan orang lain. Ya artinya melayani orang lain untuk bisa mencapai tujuan bersama.

Bagaimanapun orangnya, darimanapun asalnya, sudah seharusnya menyadari bahwa mereka adalah pemimpin. Lho ko’ bisa? At least mereka ataupun kita jadi pemimpin diri sendiri. Ya ngga? Ayo berani memimpin!(*)

(Tulisan ini di-post kembali untuk just remembering aja... buatku ya buatmu....)



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambarnya

Saturday, July 10, 2010

Report Akhir Juni

Minggu kedua Juni, masih sama seperti sebelumnya. Beberapa teman add dan dikonfirm. Ada yang ingin daftar masuk regular, atau juga teman-teman yang deg-degan menunggu penyematan nama-nama penyandang beasiswa PF 2010(Paramadina Fellowship 2010—sekarang adalah angkatan ketiga, dan semoga Allah Swt akan memberi jalan untuk terus lanjut).

Saya berinisiatif menuliskan semacam motivasi di wall Paramadina. Alhamdulillah dapat sambutan baik, baik yang komen atau sekedar like. Beberapa kali aku chat dengan teman bicara soal paramadina. aku juga masih aktif di blog meski hari-hari ini off karena kemarin PLC (Paramadina Leaders Camp—semacam camp pelatihan kepemimpinan untuk setiap mahasiswa baru Paramadina, kalau di UI, zaman Hok-gie, dulu ada semacam kegiatan naik gunung). Berikut kutipannya

“Untuk seluruh Kawan-Kawan Budiman, sekiranya satu bulan lagi PF 2010 akan menyematkan nama-nama terbaiknya.
Yang tersemat, ribuan kata Selamat aku sampaikan dan sila dengan semangat penuh mimpi bergabung dengan kami...
Yang belum, sekiranya bijak untuk selalu berpikir positif... Paramadina bukanlah ukuran kesuksesan, karena mungkin Tuhan telah siapkan jalan kesuksesan lain untukmu sekalian...”

Dan akhirnya report ini pun telat juga.

Aku sempat berdiskusi dengan teman soal masa depanku dengan predikat mahasiswa universitas swasta. Di tengah paradigma yang begitu negeri-centered, sepertinya menjadi seakan-akan a big fault. Ini adalah salah jalan. Yang negeri adalah yang terbaik, whatever ratingnya, dan yang swasta is the one (and the only) which is necessary to be left behind.

Bagiku ini aneh. Di tengah arus informasi yang begitu luas, premis-premis yang tersedia tentu salah besar kalau berkonklusi pada paradigma tersebut. Aku ingat sekali statement Pak Anies kalau tujuan teman-teman bukanlah universitas yang kalian anggap “baik” itu. Tetapi tujuan yang hakiki adalah mimpi-mimpi teman-teman sendiri yang tentu harus kontributif, baik bagi diri sendiri, ataupun orang lain.

Seorang teman bilang kalau sekolah, dalam konteks keilmuan, sebenarnya “ngga penting”. Tapi karena itu adalah tempat orang bersosialisasi, berasimilasi, berjejaring, dan berinterasi, maka sekolah menjadi penting, namun tetap pada batasan itu, tak lebih. Dan kalau mau pintar, maka silakan “ngetem” di depan layar computer, dan sila berjelajah ria.

Aku kira itu paradigma yang harus direkonstruksi. Pondasi-pondasi pemikirannya perlu ditata ulang. Universitas hanya sebagai wadah pengelola diri, pemahat intelektual, dan penyunting tata-krama. Dan yang paling penting adalah yang menjadi aktor adala mahasiswa itu sendiri, dan sekali-kali bukan universitas itu sendiri.(*)

Jazz Muhammad