Friday, May 28, 2010

Berangkat dari Sebuah Kesederhanaan


Sebuah kota kecil berjuluk Bumi Bung Karno menjadi tempatku mulai menatap dunia. Di sana, ibuku melahirkanku sebagai seorang anak laki-laki. Tak ada yang istimewa dari keluargaku. Ayahku adalah seorang wirausahawan. Ia seorang tukang servis mesin jahit. Rendahan kedengarannya. Tapi kami mandiri. Itu yang membuatku bangga padanya hingga kini.

Ibuku adalah ibu rumah tangga. Seseorang yang menjadi manajer keluarga kami. Dan aku sendiri lahir di kota kecil ini, Blitar namanya, sebagai seorang anak yang bernama Muhamad Rosyid Jazuli.

Sedikit perkenalanku itu semoga memberi gambaran bahwa tak ada yang bisa aku sombongkan dari duniaku. Aku dibesarkan di suasana kesederhanaan keluarga. Bahkan, di kemudian hari, keluarga kami memiliki empat anak, dan akulah yang pertamanya. Aku akhirnya memiliki tiga adik. Inilah kehidupan keluargaku, enam orang yang selalu penuh semangat kemandirian megarungi samudera kehidupan.

Tentunya setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Aku pun demikian. Aku menjalani waktu pendidikanku sebagian besar di kotaku. Ketika aku lulus dari TK al-Hidayah, aku melanjutkan proses belajarku di SD Islam Sukorejo. Kemudian aku memilih SMP Negeri dua Blitar untuk menempuh masa pendidikan menengahku yang pertama. Cukup baik hasil yang aku capai saat itu. Aku menjadi peraih NEM tertinggi se SMP.


Sentuh organisasi
Pendidikan menengah atasku aku tempuh di SMA Negeri 1 Blitar. Lokasinya cukup jauh, hampir dua kali lipat jarak rumahku ke SMP. Aku hanya memiliki sepeda butut bekas yang dibelikan ayah ketika aku kelas 4 SD. Dan itulah yang terus membantuku sampai di tempatku belajar, tempatku menyemai benih masa depanku.

Ketika aku SMA, aku mulai bersentuhan dengan dunia organisasi. Aku memutuskan untuk bergabung dengan IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama). Aku mulai karyaku di organisasi itu mulai dari ranting di kelurahan-ku, PR (Pengurus Ranting) IPNU Pakunden. Saat itu aku mejadi wakil ketua. Beberapa kali aku ikut serta dalam acara rutinan. Bagiku acara itu sederhana sekali. Akan tetapi, itulah basis peraudaraan yang nyata dan tentunya benar-benar menyatukan rasa kebersamaan antaranggota.

Satu periode berjalan, aku pindah ke pengurusan yang lebih tinggi tingkatannya, tingkat cabang. Usai konfercab (Konferensi Cabang), aku ditempatkan di posisi bendahara. Aku sungguh menikmati masa-masaku saat itu. Sayang, belum lengkap satu periode berjalan, aku harus meninggalkan organisasi itu karena sesuatu. Aku, kebetulan, dapat beasiswa untuk melanjutkan studi sarjanaku di Jakarta.

Di dalam SMA sendiri, aku pernah merasakan bagaimana menjadi pemimpin organisasi kesiswaan tertingggi. Aku perah menjadi ketua OSIS. Banyak hal tentunya aku dapat ketika itu: pengalaman memimpin, mengelola, dan berdinamika di dalam organisasi. Sungguh pengalaman yang tidak akan pernah aku lupakan. Sebuah pengalaman yang menjadi titik balik kehidupanku saat itu. Aku yang dahulunya penuh dengan rasa minder, berubah hampir seratus delapnpuluh derajat menjadi pribadi yang penuh rasa percaya diri menghadapi kehidupan.


Duta
Kini, aku telah berada di Jakarta, pusat atmosfer negeri ini. Aku menerima beasiswa Paramadina Fellowship 2008 seketika aku lulus dari SMA. Sekarang aku kuliah di Universitas pemberi beasiswa itu, Universitas Paramadina. Hanya syukur kepada Tuhan yang bisa aku sampaikan. Beasiswa itu telah membiayai seluruh kebutuhan kuliahku. Biaya kuliah selama empat tahun, biaya buku sudah menjadi tak menjadi beban pikiranku. Bahkan uang saku aku juga dapatkan.

Aku dapat kejutan di Jakarta. Karir oragnisasiku di IPNU ternyata juga masih berlanjut. Aku mendapat kesempatan untuk bergabung dengan kepengurusan Pimpinan Pusat (PP IPNU) untuk periode tiga tahun mendatang (2009-2012). Sementara, aku juga menjadi duta bagi universitasku. Layaknya duta pada umumnya, adalah tugasku menyampaian berita baik dari dan ke dalam universitas. Tapi tentunya, secara kultural, aku juga duta bagi organisasi tempatku bernaung, PP IPNU.

Kukira apa yang kuraih selama ini bisa aku anggap sebuah prestasi. Tapi, tak perlu dibangakan, tak perlu disombongkan. Masih banyak orang yang jauh memiliki prestasi di luar sana. Aku yakin kebanggaan diri dan kesombongan hanya menutup hati yang berujung pada ketinggian hati. Sebuah sikap yang sangat di benci masyarakat.

Terakhir, adalah sungguh menyenangkan bagiku untuk mengingat perkataan seorang dosenku, “Just keep highly motivated, you will see the world.” (*)



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambarnya.

Thursday, May 20, 2010

Terangisme (2)

Yaudahlah kalah
Terang aja, emang gue ngga pintar
Emang ini takdir
Terang aja, gue pas ngga sehat tuh

Kamu pernah ngga kalah pas ikut sebuah kompetisi? Atau dapat nilai buruk saat ujian? Atau gagal ngurusin sebuah acara? Hmm..rasanya pasti pernah, tapi saya sih SERING bin BANGET pernahnya. Berbagai kompetisi saya ikuti, tapi yang nyantol cuma bebrapa saja. Saat mengerjakan tugas apalagi. Alih-alih mendapatkan nilai yang bagus, seringkali saya ikut ujian ulang. (to the point aja deh kalo nilainya jelek, he he). Fiuhh…..

Bagi kita, seringkali yang muncul saat keadaan seperti itu biasanya bukan terus nyari solusi, yang ada adalah sikap nyari persalahan. Kamu atau saya seringkali berusaha mencari-cari alasan apa yang bisa “menutupi muka” yang sudah bingung mau ditaruh dimana (emang muka bisa dipindahin yah?). Terus akhirnya bilang terang ini… terang itu…..

Ya, muncullah kembali paham terangisme. Sebenarnya bukan paham sih. Ini hanya bahasa Mario Teguh untuk orang-orang yang selalu mencari persalahan untuk setiap kegagalan. Dalam bab sebelumnya telah diterangkan masalah terangisme, tetapi dari sudut pandang diluar diri orang yang gagal. Kalau sekarang perspektifnya saya ubah ke dalam diri orang tersebut (termasuk saya sih). Simak baik-baik ya! (Sok banget ngga sih?..hehe)

Terangisme yang satu ini juga disebut, pinjam istilah Paulus Winarto, sebuah penyakit dalih. Dalam buku The Magic of Thinking Big, David J. Schwartz menyebut penyakit dalih sebagai penyakit pikiran yang mematikan (parah kan?). Dia menambahkan bahwa penyakit ini punya empat bentuk, yakni dalih kesehatan, dalih intelegensi, dalih usia, dan dalih nasib.

Ada aja alasan yang dibuat pas lagi gagal. Coba simak percakapan diawal tulisan ini. macem-macem kan alasannya. Yup nilai 100 buat pak Schwartz.

Ketika mengalami kekalahan dalam perlombaan atau kompetisi, yang diucapkan hanya “Ah, aq memang badoh”, atau “Aduh, saya sudah tua, sudah waktunya istirahat, lumrah la kalau kalah”, bahkan “Ah sudah nasib, ini takdir Tuhan”. Aduh mas, lebay banget sih.

Dalam agama ada sebuah ajaran bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib sebuah kaum sebelum kaum itu berusaha sendiri. Jadi takdir Tuhan itu bukan tempat persalahan atas kegagalan kita. Yang masalah sebenarnya kita sendiri yang selalu pesimis atau bahkan apatis terhadap masa depan. Hidup ini dianggap will go on well without any efforts. Biasanya orang-orang seperti ini selalu bilang the show must go on. Memang ini tidak salah, tetapi sebelum go on ya mbok disiapkan dulu.

Selain itu, sering juga saat gagal, kita langsung menghukum diri sendiri dengan pernyataan-pernataan yang mempersalahkan otak sendiri. Otak dianggap sebagi sumber masalah. Dikira otanya sudah tidak pintar lagi. Hmm…. Mari lihat cuapan Thomas Alpha Edison, si bapak bohlam. Dia berkata, kesuksesan itu 1% inspirasi, 99% eksekusi. Jadi sebuah ide akan sukses atau tidak itu tinggal tergantung bagaimana kita berusaha.

Setelah alasan takdir dan masalah otak (intelejensi), sepertinya kurang lengkap bila belum menyebutkan alasan kesehatan ataupun usia. Aduh, sepertinya bakal panjang nih.

Saya bukan ingin menyatakan bahwa kita harus menang dan sukses terus, bukan itu. Kalah atau gagal itu pasti dialami. Akan tetapi, membuat beribu alasan untuk menutupi kegagalan itu yang harus dihindari. Saya rasa menerima kekalahan adalah hal yang sangat bijak. Tidak perlu alasan apapun.

Sepertinya perlu sedikit dipertegas seuah ungkapan yang mungkin kamu hapal tapi jarang dilakukan yakni “kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”. Kemudian, yang penting adalah segera buat solusi, bukan dramatisasi keadaan.(*)



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya (http://www.siswonugroho.com)

Monday, May 17, 2010

Kritik dan Kripik

Kamu ini gimana sih…
Kerjaan Cuma gini-gini aja
Kamu itu bisa ngga sih
Ini tuh kurang bla.. bla.. bla..

Suatu saat saya mengikuti sebuah pelatihan jurnalistik. Saya dan teman lain diminta menulis sebuah artikel. Ya saya langsung saja mengerjakan artikel itu dengan sungguh-sungguh. Informasi saya kumpulkan, saya rasa, sudah cermat. Saya juga mewawancarai seorang ahli untuk menguatkan informasi yang saya dapat. Data yang sudah terkumpul saya susun dengan hati-hati. Saya yakin artikel yang saya tulis ini sudah “sangat baik” (he…he…) dan saya bayangkan dapat pujian dari si trainer.

Singkat cerita, bukan pujian yang saya dapat. Artikel saya ternyata “diberondong” dengan beberapa kalimat kritik yang “kurang sedap”. Spontan saya merasa marah. Ya iyalah, udah kerja keras, bukan pujian tapi malah cercaan yang kudapat.

Ya, itu cerita masa lalu. Bisa dikatakan saat itu saya belum dapat “pencerahan”. Pada akhirnya, saya baru sadar bahwa apa yang sampakan trainer itu ya memang kekurangan dari tulisan saya. Saya terlalu bangga oleh karya sendiri. Dan ketika rasa bangga itu disanggah mentah-mentah oleh orang lain, ya lumrah lah kalau marah, tapi saya pikir itu sia-sia saja.

Dalam mengerjakan sesuatu, ada satu hal yang saya takuti. Tapi kamu paling juga sama saja. Yup, saya (dan Kamu) takut untuk dikritik. Takut untuk mendapat koreksi dari orang lain. Tapi apa benar kalau takut sama kritik itu baik? Hmm…..

Jujur saja, saat mengerjakan sesuatu, entah itu tugas, karya ilmiah, makalah atau apapun, yang ada dibenak kita pasti nilai yang memuaskan. Kita ingin mendapatkan sesuatu itu pokoknya yang baik. Wajar saja, sifat dasar manusia itu kan ingin yang baik-baik saja. Mana ada orang di dunia yang mau dibilang jelek? Kayak gini, Elu ngga becus banget sih, kamu itu kurang ini, kuang itu…

Akan tetapi, kalu dipikir agak dalam (jangan dalem-dalem, ntar stress lho) sebenarnya kritik adalah sebuah wujud kekurangan yang ada pada diri kita. Memang cara penyampaiannya bermacam-macam. Ada yang super kasar dan sepertinya ngga punya perasaan. Tunjuk sana-tnjuk sini. Bicaranya thas-thes. Pokoknya kalau denger, langsung sakit hati gue…

Namun, ada juga yang moderat, ya biasa-biasa saja, sambil nyindir-nyindir gitu, tapi ada juga yang super halus, menggunakan perumpamaan dan sangat memerhatikan perasaan lawan bicara.

Dalam hal ini, Nabi Muhamad pernah meyampaikan kalau kita jangan melihat siapa yang berbicara, tapi apa yang dibicarakan. Ya, jadi ngga usah lihat orangnya, yang penting apa yang dia omongin. Walaupun kritik itu dari orang yang kita benci atau bahkan musuh bebuyutan (kayak perang aja), ya pikirin aja yang diomongin. Bahasa ilmiahnya itu objektif.

Meski demikian, tidak semua kritik harus kita pikirkan. Kita juga harus selektif dalam memilih kritik yang memang jadi kekurangan kita. Meski kritik itu menunjukkan apa yang menjadi kekurangan sesorang, ada juga orang yang menyampaikan kritik untuk menjatuhkan orang yang tidak disukainya. Kritik-kritik ini adalah kritik destruktif yang menjatuhkan. Ada orang sukses dibilang curang, ada orang dapat nulis dikira kurang kerjaan, ada yang baca dikatain ngga gaul.

Kritik-kritik yang itu ngga usah dipikirin. Buang-buang memori otak. Sayang banget kan kalau beberapa byte memori di otak kita hanya diisi omongan-omongan ngga jelas orang lain. Otak itu bak CD-R yang kalau sudah diisi, ngga bisa dihapus. Jadi jaga baik-baik memori kita.

Kata Aa Gym, kritik itu bagaikan kripik. Kripik itu renyah, demikian juga kritik. Kritik akan membuka kekurangan-kekurangan yang ada dalam diri. Orang yang alergi kritik akan terus menganggap dirinya paling baik. Terus menganggap orang lain lebih buruk dari pada dia. Kalau dipikir, orang yang seperti ini bikin jengkel kan? Jadi ya jangan saperti itu.

Oleh karena itu, biarkan orang lain mengkritik diri ini. Biarkan kekuarangan-kekurangan diri kita terkuak satu persatu. Terus ya diperbaiki, bukan diam dan malah mutung.

Untuk hidup yang lebih baik, ya kekurangan itu harus diperbaiki kan?(*)



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya

Thursday, May 13, 2010

Kai, Si Tempat Sampah

Pagi begitu cerah. Mentari tersenyum merekah seraya mengabarkan bahwa cuaca dunia sedang bersahabat. Awan-awan selalu ada nan setia menemani perjalanan matahari. Di bumi, beberapa hari lagi akan ada sebuah acara besar berskala internasional. Inilah Pertemuan Tempat Sampah Se-Dunia. Acaranya sendiri diselenggarakan di Singapura.

Setiap negara mengirimkan satu wakilnya pada pertemuan itu. Setiap negara disilakan untuk memilih satu utusan terbaiknya untuk datang dan berembug di pertemuan itu. Tak ketinggalan, Indonesia juga mengirirm.

Kai adalah tempat sampah yang beruntung. Ia terpilih sebagai wakil Indonesia. Ia berasal dari Jakarta. Ini adalah pertama kalinya ia bepergian jauh. Dan, sebelum berangkat, ia berpamitan pada teman-temannya sesama tempat sampah.

"Kai, jangan lupa nanti bawa informasi yang banyak. Sekalian oleh-oleh..," pinta seorang teman.

"Ok, sip lah..minta doanya ya!"

Awan masih berhamburan di langit yang cerah. Sepertinya ikut senang mendengar keberangkatan Kai ke Singapura.

****

Menggunakan pesawat terbang, Kai menuju Singapura lewat Bandara Soekarno Hatta. Beberapa saat kemudian ia sudah sampai karena memang jarak Jakarta-Singapura dekat. Akai senang sekali. Ini adalah pengalaman pertamanya naik pesawat.

Kai dan utusan-utusan dari negara lain kini tiba di Bandara Changi. Setelah tiba di Singapura, mereka tak langsung menuju tempat pertemuan. Oleh panitia, seluruh utusan diinapkan di sebuah penginapan. Satu kamar akan di isi dua orang. Sementara, di perjalanan, Kai terheran-heran.

Ia temukan semua tempat sampah di Singapura begitu sehat. Mereka terawat dan ada beberapa yang gemuk. Menandakan kalau mereka selalu diperhatikan. Jalanan terlihat sangat bersih. Sepertinya sampah-sampah telah di buang ke tempatnya. Mungkin karena sering diberi makanan berupa sampah, tempat sampah-tempat sampah di Singapura jadi sehat dan agak gemuk. Lalu ia melihat dirinya sendiri. Kurus kerempeng dan agak lusuh. Ada bagian tubuh yang lecet, sana-sini. Dalam hati, Kai bertanya-tanya, "Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa berbeda?"

Tanpa diduga, di penginapan Kai mendapat teman sekamar bernama Lay, ia asli Singapura. Dan, seperti yang Kai lihat tadi, sebagai tempat sampah Singapura, Lay begitu sehat, bersih, dan agak gemuk. Badannya juga bersih.

"Hi, salam kenal. Aku Lay. Kamu?" tanya Lay.

"Aku, Kai."

"Dari mana kau, Kai?"

"Dari Indonesia."

Sebentar saja, Kai dan Lay sudah akrab. Mereka saling bercanda ke sana-sini. Maklum, bagi Kai, ini adalah hal yang tak akan pernah ia lupakan. Mendapat teman baru. Apalagi dari negara maju seperti Singapura.

Lay dari tadi memerhatikan betul badan Kai. Ia manggut-manggut. Tampak jelas kalau ia tahu sesuatu. Lalu, Kai memberanikan untuk bertanya, "Hmm..Lay, ada apa ya? Ada yang salah?"

"Kau kurus sekali. Tak pernah dimasuki sampah ya? Kau juga lusuh nan telihat tak dirawat."
Kai jadi malu sendiri. Penampilannya memang seperti Itu. Tapi lantas ia balik bertanya, "Memang bagaimana orang Singapura memperlakukanmu?"

Saat itulah Lay menceritakan sesuatu.

"Kai, teman-temanku banyak. Hampir di setiap sudut di Singapura punya tempat sampah. Orang-orang di sini juga peduli dengan sampah. Kalau di negaramu?"

Kai hanya geleng-geleng. Pertanda ia menjawab tidak. Apa yang ia temukan di Indonesia, apalagi di Jakarta adalah sebaliknya. Hanya terdapat sedikit tempat sampah di tempat umum. Tapi yang sedikit itu pun dicampakkan dan tak terurus. Bahkan juga tak pernah diisi sampah, karena memang orang Indonesia kebanyakan tak buang sampah pada tempatnya alias sembarangan. Sementara Lay masih bersemangat bercerita.

"Kai, orang Singapura itu tahu kebersihan. Sampah sekecil apapun mereka buang ke tempat sampah. Mungkin ini yang membuat aku agak gemuk. He..he..Kalau di negaramu?"

Kai kembali mengulang geleng-gelengannya. Kai sendiri bingung. Apa yang ia lihat di Jakarta jauh berbeda. Orang orang tak peduli dengan tempat sampah. Tempat sampah cuma jadi pajangan di jalan-jalan. Keadaannya pun tak terawat. Pantas saja kalau badan Kai kurus. Orang di Indonesia itu tak peduli dengan sampah. Main buang seenaknya. Kai terbuai dalam lamunannya.

"Heh, kai, jangan melamun!" ujar Lay.

****

Esok harinya, pertemuan berlangsung ramai sekali. Kai bersemangat sekali. Ia bertemu dengan teapt sampah-tempat sampah dari seluruh dunia. Kesempatan ini ia manfaatkan utnk berbagi pengalaman. Ia ingin mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang sampah. Pengetahuan ini yang akan jadi oleh-oleh buat temannya. Ia ingin sampaikan pada orang-orang agar peduli sampah.

Dan di pertemuan itu disimpulkan sebuah kesepakatan internasional. Yang unik, kesepakatan itu hanya berisi 5 kata denga tiga tanda pentung di belakangnya.

"AYO, BUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA!!!"

“Lumayan buat oleh-oleh..”, kata Kai dalam hati.

****


Jakarta, 23 Maret 2010
Jazz Muhammad
Cerpen ini diikutkan lomba, tapi ngga menang (hehe.. bodo amat..)



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya (http://idemerdekaku.blogdetik.com/files/2008/09/sampahidup576.jpg)

Sunday, May 9, 2010

Pragmatisme

Pas temennya punya duit
“Bray, gue bakal jadi temen sejati lo!” (ceilee…)

Pas temennya ngga punya duit
“Heh, lo siapa, ngga kenal bro!” (wah, amnesia bos?)

Seperti biasa, tak henti-hentinya guru IPS bilang kalau manusia adalah makhluk sosial. Ya, makhluk yang ngga bisa hidup sendirian. Manusia butuh seorang partner dalam hidup. Ya tentulah, bayangkan kalau kita hidup sendirian, mau makan? Tanam dulu padinya, bikin penggilingan padi, terus bikin dulu “dandang” buat masak, terus tanam dulu pohon pisang (daunnya buat alas makan). Itu cuma tahapannya. Masalahnya, berapa bulan kita harus nunggu padinya siap panen, berapa lama harus nunggu si pohon pisang jadi gedhe. Wa…bisa gila, bo…

Pasti kamu bilang, wah Rosyid ini super mendramatisir. Ya biarin.

Memang itu kenyataannya. Maksud saya itu, saya hanya menekankan bahwa hidup sendiri itu tak mungkin. Akan tetapi masalah kembali muncul. Kita pastinya harus bisa mencari partner atau teman yang baik. Bagaimana mencari partner hidup yang memang bisa memberi kita kebaikan? Sebelum kita membahasnya, mari simak cerita berikut ini.

Ada seorang gadis buta yang membenci dirinya sendiri karena dia buta. Dia membenci semua orang, kecuali pria kekasih tercintanya. Dia selalu ada untuknya. Gadis itu mengatakan kalau seandainya dia bisa melihat, maka dia akan menikahi pria kekasihnya itu.

Suatu hari, seseorang mendonasikan sepasang matanya untuknya agar dia bisa melihat segalanya, termasuk kekasihya itu. Kekasih prianya itu bertanya padanya, "Karena sekarang kau sudah bisa melihat, apakah sekarang engkau mau menikahiku?" Gadis itu shock bin kaget karena kekasihnya itu ternyata juga buta, dan dia menolak untuk menikahinya.

Pria itu pun pergi dengan berderai air mata, dan beberapa waktu kemudian dia menuliskan surat untuk gadis itu.

"TOLONG JAGA MATA SAYA BAIK-BAIK....."

Ya seperti inilah realita hidup ini. Banyak orang yang memiliki sikap berbeda di keadaan berbeda. Orang seperti ini adalah yang tidak punya prinsip alias pragmatis. Murtadha Muthahari menyatakan bahwa ini adalah gejala marxisme. Wow apaan tuh…(Halah..pokoknya agak g bagus deh..)

Jadi, pragmatis itu orang akan mengubah sikapnya saat keadaan berubah. Hal ini disebabkan sikap awal dianggap tidak memberi keuntungan di kondisi kedua. Orang seperti ini tidak punya komitmen dan hanya mencari kesenangan sendiri. Yo Sakenake udele dewe, ora gelem mikir liyane. Ya contohnya seperti cerita itu.

Pragmatisme harus menjadi perhatian penting bagi kita terutama kaum muda. Nah, ini bisa jadi referensi kita dalam mencari teman. Ketika dalam pertemanan butuh pengorbanan, jangan sampai itu sia-sia karena kita pilih-pilih teman. Sayang kan kalau udah capek-capek trus ngga dihargai…

Sekarang kita pindah perspektif ke dalam diri kita sendiri. Maksud saya ya kita yang harus introspeksi dan jangan jadi pragmatis. Jangan kita menjadi orang yang hanya mencari enaknya sendiri. Ada enak dateng, ngga ada pergi aja. Ya memang ini boleh-boleh saja, tetapi masalahnya adalah apakah kita akan terus hidup seperti itu. Ketidakadaan komitmen dalam diri akan menimbulkan pencitraan yang buruk dihadapan yang lain.

Sebagai contoh adalah sebagian politisi negeri ini. Sekali lagi sebagian bukan seluruh. Karena ada iming-iming gaji yang besar, mereka berbondong-bondong mendafar jadi caleg. Coba presiden bilang kalau jadi DPR itu lillahi ta’ala, ya maksudnya buat beribadah saja, ngga ada gajinya. Mana ada yang mau. Kalau ada pun ya sedikit.

Dosen saya pernah bilang orang pragmatis itu mendekat kalau kita punya uang dan bilang “good boy”, dan pas kita ngga ada duit yang mereka bilang “good bye”.

Ya, sekarang kamu sekalian bisa menilai apakah kita membiarkan pragmatisme tetap menjangkiti diri kita ini. Saya pikir menghindarinya adalah sangat bijak. Seorang dosen pernah bilang bahwa manusia itu hewan yang rasional. Nah, unsur hewan itulah yang menjadi dasar pragmatisme dalam diri manusia. Jadi pragmatisme itu lumrah? Saya jawab YA.

Akan tetapi ingat, manusia punya unsur rasionalitas yang menjadi penyeimbang insting kehewanan yang hanya berorientasi kesenangan dan keuntungan. Hmm.. tulisan yang kayaknya ko’ agak serius yah…, tetapi semoga tetap bisa jadi salah satu acuan dalam menjalani hidup yang setingkat lebih baik. Mumpung masih muda….



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya (http://www.koran-jakarta.com)

Wednesday, May 5, 2010

Kepercayaan

Heh, gue tuh udah ngga percaya lagi ama elo!
Elo tuh ternyata pembohong!
Elo ngerusak kepercayaan gue selama ini!

Ketika membangun sebuah hubungan pertemanan, maka rasa saling percaya adalah landasan utamanya. Bagaiman tidak? Mana mungkin seseorang mau berteman dan bergaul dengan kamu kalau kamunya ngga jelas.

Memang menjadi sesorang yang bisa dipercayai itu kelihatannya mudah. Akan tetapi, sulit untuk dilakukan. Rasa curiga adalah masalah utamanya. Memang tidak ada orang sempurna di dunia ini, jadi sebenarnya curiga pun juga sah-sah saja. Tetapi, tidaklah patut terus-terusan curiga seperti itu. Lama kelamaan rasa saling percaya akan luntur ditelan kecurigaan.

Rasa curiga sebenarnya muncul ketika suatu ketika kita melakukan sebuah hal yang merusak perjanjian pertemanan. Ya entah ngga nepatin janji lah, acuh tak acuh atau mungkin lost contact. Menurut saya ini sangat disayangkan.

Emane cah! Susah-susah cari teman eeh… malah disia-siain gitu aja. Masalahnya utamanya itu bukan hilangnya teman, tapi kalau orang itu udah ngga percaya itu susah balikin kepercayaannya.

Ada sebuah cerita umum tenang anak yang suka berbohong. Suatu ketika ia bermain di hutan dan berteriak-teriak minta tolong. Ia bilang kalau ada harimau yang ingin menerkamnya. Sontak warga pun datang beramai-ramai ingin menolong anak itu. Namun, ketika didatangi, anak itu malah tertawa terbahak-bahak. Ia aman-aman saja.

Ternyata ia hanya ngibulin warga. Ngga ada yang namanya harimau. Besoknya ia kembali mengulang aksinya. Kembali warga pun berduyun-duyun bermaksud menolongnya. Sekali lagi, warga kena kibul tuh anak. Sekarang yang ada hanya rasa jengkel warga terhadap anak ingusan itu.

Hari ketiga, anak itu kembali mengulang aksi. Namun, yang ini benar-benar terjadi. Ia berhadapan dengan harimau yang lapar dan siap menelannya. Ia berteriak-teriak minta tolong. Namun, yang terjadi justeru warga yang acuh. Warga sudah tidak percaya lagi dengan omongan anak itu. “Bodoh banget gue mo dikibulin tuh bocah lagi”. Akhirnya bisa kamu tebak. Harimaunya dapat makan gratis.

Cerita di atas memang tak ada hubungannya dengan pertemanan, tapi cukup menggambarkan kalau kepercayaan itu mudah untuk dirusak. Sementara, membangun sebuah kepercayaan itu butuh waktu. Bukan hanya satu atau dua hari. Ini bisa bertahun-tahun. Warren Buffet pernah menyampaikan kalau membangun reputasi itu butuh waktu 20 tahun, sedangkan hanya butuh waktu 5 menit untuk menghancurkannya.

Sayang sekali bila kepercayaan yang telah kita bangun begitu susahnya, rusak begitu saja oleh tingkah laku kita yang tidak-tidak. Makanya, seperti di tulisan sebelumnya saya sampaikan kalau sebelum melakukan tindakan itu kita sebaiknya melakukan proses berpikir dulu. Dampak yang ditimbulkan pasti berbeda antara yang mikir dulu sama yang grusa-grusu.

Dalam berteman rasa saling percaya sangat perlu untuk dibangun. Dan ketika itu sudah terjalin dengan baik, maka jangan disia-siakan. Memang manusia itu banyak. Semua orang bisa kita jadikan teman. Kan tetapi, bila kita bisa menjaga hubungan baik mengapa ngga? Orang-orang China sering bilang akeh hopeng ya akeh rejekine (lho kok bahasa jawa?). Maksudnya banyak teman ya banyak rejekinya.

Sandi Uno dan Billy Boen adalah pengusaha sukses. Mereka mengatakan bahwa membangun bisnisnya hingga bisa berhasil karena network. Mereka memiliki jalinan pertemanan yang baik dengan orang lain. Nah teman-teman inilah yang memberikan informasi-informasi yang mungkin kita belum tahu.

So, mari kita punya banyak teman. Mari membangun rasa saling percaya demi menjalin hubungan pertemanan. Punya banyak teman ngga ada salahnya kok. Manfaatnya malah sangat banyak. Para pengusaha sukses yang aku sebutkan tadi, menyampaikan bahwa satu hal penting yang membuat mereka sukses adalah network mereka yang luas, maksudnya ya teman ataupun kenalan mereka banyak.

Sekali lagi, jaga pertemanan dengan rasa saling percaya yang terus terjaga. Akeh hopeng ya akeh rejekine!



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya

Saturday, May 1, 2010

Keperluan Perubahan Paradigma Pendidikan Tinggi di Indonesia

Saat ini, dunia pendidikan tinggi Indonesia diramaikan oleh 4,3 juta mahasiswa dengan 155.000 dosen, yang tersebar pada 82 universitas negeri dan 2800 perguruan tinggi swasta. Melihat angka tersebut, sepertinya terbuka lebar kesempatan bagi siapapun untuk menikmati akses pedidikan tinggi di negeri ini.

Namun, dalam konteks kekinian, perihal melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi agaknya sedikit dilematis. Betapa tidak? Dalam benak pihak yang berkepentingan, dalam hal ini siswa, guru, dan orang tua, keinginan mendapatkan tempat belajar yang terbaik tentu menjadi prioritas. Akan tetapi, keinginan itu kini dihadapkan dengan berbagai realitas yang kompleks.

Keinginan yang kuat untuk memeroleh tingkat kemampuan akademis yang lebih tinggi dihadapkan oleh kemendesakan (urgency) untuk lekas berbenah dari social disaster yakni kemiskinan, sebuah kenyataan sosial yang menjadi musuh baru pembangunan bangsa. Jumlah pengangguran di Indonesia yang masih tinggi yakni sekitar 8%, menimbulkan keperluan untuk bergerak semakin cepat.

Selain itu, wacana otonomisasi perguruan tinggi, utamanya yang negeri, semakin mengusik. Perguruan tinggi yang dulu di subsidi penuh, kini harus menjalankan operasinya dengan mandiri. Artinya pendanaan harus dipenuhi dari “kantong pribadi” perguruan tinggi tersebut. Bagi yang swasta, hal ini tak berpengaruh. Tetapi bagi yang negeri, hal ini tentu agak menyesakkan, baik bagi perguruan tinggi maupun mahasiswanya.

Meski demikian, perguruan tinggi tak boleh terjebak dalam pola perdagangan jasa pendidikan. Perguruan tinggi jangan sampai memosisikan dirinya sebagai penjual jasa pendidikan dan mahasiswa adalah pembelinya. Maka hubungan transaksional berbasis material memang dirasa perlu ditolak. Di awal, tentu perguruan tinggi akan terbebani, tetapi pada proses selanjutnya, kemandirian dalam hal pendanaan menjadi sebuah keniscayan. Ini menjadi tantangan bagi pihak terkait untuk mencari sistem pendanaan yang alternatif, tentu bukan membebankan pada mahasiswa.

Masih Buah Mentah
Hal semacam ini  menjadi semacam pilihan yang sulit, semacam dilema sosial. Di satu sisi, Indonesia butuh memperbaiki taraf pendidikan masyarakatnya, tetapi di sisi lain infrastruktur sosialnya tidak mendukung.

Sementara perguruan tinggi di Indonesia belum terlihat mampu memberi solusi akan masalah itu. Perguruan tinggi masih memberikan buah mentah pada bauran masalah (problem mix) di masyarakat. Mahasiswa jarang yang memiliki kemampuan tepat guna serta cepat guna untuk terjun dalam masyarakat. Sementara masyarakat butuh sekali solusi-solusi kreatif-praksis nan cepat dalam menangani masalah-masalah terkini.

Kini, tentunya, harus ada perubahan. Perubahan atas kondisi pendidikan tinggi di Indonesia. Menurut penulis, perlu perubahan cara pandang mengenai peran perguruan tinggi. Ada sebuah urgensi perubahan paradigma atas pendidikan tinggi di Indonesia ini.

Kebanyakan orang kalau diberitahu apa itu perguruan tinggi terbaik, maka jawaban yang muncul adalah perguruan tinggi favorit Indonesia seperti UI atau mungkin juga ITB. Apa salah? Tidak. Tapi pandangan itu pada konteks hari ini perlu dicermati kembali.

Masa depan bangsa ini tentunya akan dititipkan pada kaum muda. Merekalah lapisan sosial paling berpeluang untuk ikut andil dalam menentukan nasib bangsa di masa depan. Maka, membekali mereka dengan informasi dan pengalaman terbaik adalah keniscayaan. Salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah pengoptimalisasian peran perguruan tinggi.

Tiga Syarat
Perguruan tinggi yang bisa menyiapkan kaum muda terbaik Indonesia tentulah, bisa disebut, perguruan tinggi yang terbaik. Tetapi, memandang istilah perguruan tinggi terbaik harus secara komprehensif. Bagi penulis, tiap perguruan tinggi memiliki potensi untuk menjadi terbaik, asal bisa mencetak kaum muda terbaik untuk bangsa.

Mengacu pada pandangan Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, perguruan tingggi terbaik selayaknya memberi mahasiwanya tiga syarat. Pertama, akses informasi-informasi akdemis (academic) yang penuh. Artinya, mahasiswa sebagai kaum muda, harus mendapatkan pengetahuan akademis yang komprehensif. Tidak berat sebelah, tapi multidimensi, multiperspektif. Mahasiwa harus mendapatkan akses keilmuan yang menyeluruh.

Kedua, mahasiwa selayaknya mendapatkan akses jaringan (network) yang seluas-luasnya. Mahasiswa harus dikenalkan oleh dunia luar yang riil. Hal ini tentu sangat penting karena dengan network, mudahlah terbentuknya peluang-peluang baru dalam mengembangkan potensi.

Ketiga, mahasiswa harus disilakan untuk mencicipi masa depan (taste the future). Kaum muda itu, yang ditawarkan kepada bangsa ini adalah masa depan. Maka, gambaran-gambaran masa depan harus bisa didapatkan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi terbaik seharusnya menanamkan mindset optimisme pada mahsiwanya. Optimisme inilah yang akan membangun kesadaran kolektif kaum muda untuk terus membangun bangsa.

Dengan begitu, jelas sudah, bagaimana perguruan tinggi terbaik itu, sebuah perguruan tinggi idaman para kaum muda negeri ini. Semua perguruan tinggi bisa melakukannya, baik negeri maupun swasta. Maka, masalah saat ini bukan lagi mana yang harus dipilih antara negeri dan swasta, tetapi apa mimpi masa depan yang ingin diraih oleh kaum muda bangsa ini. Perguruan tinggi harus dipahami sebagai jalan menuju ke mimpi itu. Tujuan hidup itu masa depan. Perguruan tinggi adalah jalan mencapai ke sana.

Emerging University
Di Indonesia telah banyak universitas swasta yang telah memiliki kualitas baik. Apabila di Jakarta, terdapat Universitas Pelita Harapan, Universitas Paramadina dan Universitas Bina Nusantara. Di Jogja terdapat Universitas Islam Indonesia. Dan juga di Malang terdapat Universitas Mauhammadiyah Malang. Masih banyak lagi universitas swasta yang menunjukkan kualitasnya di negeri ini.

Universitas inilah yang bisa disebut sebagai emerging university di Indonesia. Universitas in berupaya menyeruak muncul dipermukaan persaingan kualitatif dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, jangan sampai paradigama yang negeri-centered memendam potensi mereka.

Perguruan tinggi harus dipahami sebagai jalan bagi mimpi mahasiswanya. Perguruan tinggi adalah tempat permainan akademis-kulaitatif dan pemain utamanya adalah mahasiswanya. Perguruan tinggi adalah jalan mencapai ke mimpi tersebut. Dalam konteks hari ini, apapun statusnya, semua memiliki peluang untuk menjadi universitas terbaik di negeri nusantara ini.

Kalau mau jujur, di masa depan, sebenarnya kompetisi bukanlah terjadi antarsesama mahasiswa Indonesia. Tapi kompetitor sebenarnya adalah mahasiswa yang datang dari luar negeri. Mereka membawa kecerdasan intelektual yang berkualitas serta didukung jejaring internasional yang luas. Kalau mahasiswa di dalam negeri masih memasalakan antara negeri atau swasta, maka yang terjadi adalah misleading atas tujuan yang ingin tercapai.

Nilai-Nilai
Di tengah pertarungan di segala bidang yang semakin kompetitif, maka kemampuan untuk mandiri tentu sangat dibutuhkan kaum muda bangsa ini. Di sinlah urgensi penanaman nilai-nilai kewirausahaan (entrepreneurship) pada mahasiswa harus dicermati. Mahasiswa harus bisa menjadikan dirinya berada dalam tahap kemandirian. Karena, kemandirian ini nantinya yang akan menjamin bangsa ini menjadi bangsa yang besar di masa depan.

Selain itu, mahasiswa juga harus memiliki nilai kepemimpinan (leadership) dan etika (ethic). Mahasiwa harus berani menjadi pemuka masyarakat yang setiap waktu siap dimintai keputusan. Kaum muda harus bisa tegas dalam bertindak menghadapi masalah yang menghadang. Meski demikian, mahasiswa tetap harus punya nilai. Inilah peran nilai ethic.

Mahasiswa tetap bebas berpendapat dan beraksi, tapi etika memberikan koridor dengan arah terbaik. Tentunya bukan bermaksud membatasi, tetapi menjadikan setiap aksi menjadi fokus pada tujuan bersama bagi bangsa.

Akhirnya, perguruan tinggi seharusnya menciptakan mahasiswa yang siap dan kompetitif. Perguruan tinggi sudah seharusnya bisa mencetak generasi penerus bangsa yang penuh optimisme. Generasi muda yang punya visi jauh ke depan akan nasib bangsa, sebuah generasi yang siap menjadi agent of change.

Oleh karena itu, perguruan tinggi sudah harus bersiap menciptakan generasi muda yang memiliki daya intelektual yang berkualitas. Generasi muda yang mampu berpikir sistematis dan analitis. Kaum muda yang secara cerdas mampu menangkap fenomena di masyarakat lalu mengesktrasikan sebuah pandangan dan aksi yang solutif-kreatif.

Kaum muda didikan perguruan tinggi juga secara sosial harus memiliki pengaruh. Ilmu-ilmu yang didapat di perguruan tinggi harus bisa diimplementasikan secara praktis di masyarakat. Kaum muda ini sudah saatnya menanamkan pengarunya di masyarakat. Pengaruh soutif konstruktif tentunya. Dengan demikian, ilmu yang didapatkan tidak mandeg dalam wacana saja. Karena masyarakat butuh solusi yang cepat dan praktis. Bukan wacana-wacana yang malah mebuat masalah makin rumit.(*)

Sumber Bacaan
1. Pidato Anies baswedan pada Wisuda Paramadina, 3 Oktober 2009
2. Hartiningsih, Maria. “Kesantunan Anies R Baswedan”. Kompas, 21 Juni 2009
3. “Anies Baswedan: Isu Pentingnya Bukan Lagi BHP!”. Kompas.com, 18 Januari 2010
4. Irwandi. “Tantangan Pendidikan Tinggi di Indonesia”. http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=224&Itemid=13

Tulisan ini ditulis dalam rangka memeringati Hari Pendidikan Nasional dan dikutsertakan dalam lomba blog UII.

Ini merupakan tulisan kedua. Tulisan pertama bisa dilihat di sini.



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya