Sunday, June 26, 2011

Bumiputera dan Balada Asuransi Kita

Bu Zaid (44) dengan polis asuransinya (dok. pribadi)
Bu Zaid (44) adalah ibu rumah tangga bersuami tukang servis mesin jahit. Sebagai pengurus rumah tangga, ia sekaligus manager bagi usaha suaminya. Meski begitu, “Saya asuransikan (pendidikan) anak saya di Bumiputera,” ucapnya. Untuk pendidikan puteranya, Ibnul (10), Bu Zaid berasuransi pendidikan lewat AJB Bumiputera cabang Kota Blitar.

Fakta itu boleh-jadi biasa saja terdengarnya. Tetapi adanya perkaitan dengan asuransi, membuat siapapun akan bertanya: Apa dan mengapa asuransi? Bagaimana bisa istri tukang servis mesin jahit di kota kecil itu bisa berasuransi?

Bermula, berkembang, dan bertumbuh
Pada masa Hindia Belanda, 1912, M Ng Dwidjosewojo—seorang guru Bahasa Jawa di Kweekschool Yogyakarta—mendirikan Persatuan Guru-guru Hindia Belanda (PGHB). Ia menggagas dibuatnya asuransi karena prihatin akan nasib guru-guru bumiputera. Majalah Tempo (2008) menulis, pada kongres I PGHB, 12 Februari 1912 di Magelang, terbentuk sebuah badan usaha bernama Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB “Boemi Poetera” (O.L. Mij. PGHB) yang merupakan cikal bakal AJB Bumiputera dan peletak batu pertama perasuransian di bumi Nusantara ini.

Kini, hampir seabad sudah industri asuransi bermula, bertumbuh, dan berkembang di Bumi Pertiwi ini. Dari Hindia Belanda hingga menjadi Indonesia, industri ini alami pasang surut ketika badai krisis menghantam-hantam. Namun pada 2010, pendapatan premi industri ini telah capai Rp115 triliun (Kompas, 2011), naik dari tahun sebelumnya, yakni Rp 91 triliun.

Namun demikian, pada kenyataannya kontribusi asuransi pada PDB negara ini, menurut Bapapem LK, hanya sebesar 2,29 % (2009), angka yang minim mengingat vital-nya peran asuransi pada masyarakat.

Kompas (2011) mencatat bahwa sebenarnya asuransi memiliki tiga peran penting. Pertama, asuransi sumber pembiayaan pertumbuhan. Pendapatan dari asuransi tentu akan mendorong hidupnya perekonomian. Pendeknya, makin banyak orang berasuransi, makin baik iklim ekonomi kita.

Kedua, asuransi mendorong budaya perencanaan keuangan. Asuransi dapat membantu perencanaan pembiayaan kejadian-kejadian yang memang perlu pendanaan mendadak. Terakhir, asuransi sudah pasti menjadi tempat berkarier tenaga kerja. Sebab, nyatanya pada industri ini bernaung ratusan ribu agen asuransi. Namun perlu diingat bahwa asuransi adalah produk absurd; yang dibeli konsumen adalah ketenangan hidup. Maka dari itu, kepercayaan dan integritas menjadi tumpuan utama perkembangannya.

Hingga 2011, Asosial Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat bahwa pemilik polis asuransi di Indonesia adalah 14 % dari total penduduk. Jumlah agennya mencapai 350.000. Namun, AAJI memunyai target bahwa hingga 2015, pemegang polis akan capai 50%. Selain itu, pada 2012, jumlah agen menjadi 500.000.

Perkembangan ini tentu harus ditanggapi opotimistis oleh segenap elemen bangsa. Kontribusi potensial asuransi sudah harus ditangkap momentumnya, jangan sampai empas, digulung waktu begitu saja.

Bila dibanding negara lain, Indonesia belum bisa berbangga. Malaysia telah mencatatkan 41 % penduduknya sebagai pemegang polis. Sementara Singapura lebih tinggi dan fantastis: 250 % (Kompas, 2011)! Memang ini tak bisa-jadi perbandingan begitu saja, tapi melihat perbandingan sebagai pemacu bukanlah kesalahan, bukan?

Siapa berasuransi?
Perkembangan industri asuransi di negeri ini tentu tak bisa dilepaskan dari pemulanya: AJB Bumiputera. Pada tahun ini, perusahaan ini sudah hampir seabad perkembangannya. Pada pengujung abad 20, ketika krisis menghantam, perusahaan ini sempat goyah. Kompas.com menulis, pada 2008 pendapatannya sekitar Rp 276 miliar turun dari tahun sebelumnya: Rp 403 miliar.

Namun demikian, konsistensinya menjaga layanan terbaik menjadikan perusahaan sebagai real survivor di industrinya. Hingga pada 2011, AJB Bumiputera mendapatkan gelar The Greatest Brand of The Decade 2010 dan predikat Top Brand 2011 (Marketing, 2011).

Peran penting hingga potensi-potensi asuransi tentu menyadarkan kita: Asuransi memiliki peran mulia yang perlu dimaksimalkan. Kalau begitu, siapa yang dapat berasuransi? Siapapun! Dari tukang ojek hingga presiden, dari istri tukang servis mesin jahit hingga istri anggota dewan pun dapat berasuransi.

Kini, perkembangan AJB Bumiputera dan industri asuransi yang dirintisnya akan menghadapi masa-masa se-abadnya. Kembali, apa dan mengapa asuransi? Pembaca budiman sendiri yang dapat menentukan.

Akhirnya, “Soal pendidikan putera saya, berasuransi setidaknya menjamin dan menenangkan, meski tak bisa sepenuhnya. Sebab ya tetap Tuhan yang tahu masa depan, Mas,” ujar Bu Zaid pada saya.

(Tulisan ini sekaligus diikut-sertakan dalam Lomba Menulis Artikel Asuransi dalam rangka memperingati se-abad AJB Bumiputera 2011)