Tuesday, March 30, 2010

Sejarah yang Menggugah

Dahulu Bangsa Tartar dari asia timur sempat menguasai tanah Blitar, yang kala itu belum bernama Blitar. Majapahit sebagai penguasa nusantara merasa perlu untuk merebutnya. Kerajaan adidaya itu mengutus Niluswara untuk memukul mundul Bangsa Tartar.

Sejarah Bergulir
Keberuntungan berpihak pada Niluswara. ia dapat memaksa mundur pendudukan bangsa dari mongolia itu. Atas, jasanya, ia akhirnya dianugerahi gelar Adipati Aryo Blitar I dan memimpin Blitar. Ia menamakan tanah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembalinya bangsa Tartar. Namun pada perkembangannya, terjadi konflik antara Aryo Blitar I dengan Ki Sengguruh Kinareja seorang patih Kadipaten Blitar.

Namun keberuntungan kini beralih. Aryo Blitar I lengser dan senguruh meraih tahta dengan gelar Adipati Aryo Blitar II. Pemberontakan kembali terjadi. Aryo Blitar II dipaksa turun oleh Djoko Kandung yang merupakan anak dari Aryo Blitar I. Djoko Kandung adalah anak hasil perkawinan antara Aryo Blitar I dengan Dewi Rayung Wulan.

Kepemimpinan Djoko Kandung dihentikan oleh kedatangan bangsa Belanda di bumi pertiwi. Sebenarnya rakyat Blitar yang multi etnies saat itu telah melakukan perlawanan. Tapi, perlawanan itu diredam oleh Belanda dengan membuat peraturan baru.

Belanda menetapkan Blitar sebagai Gemeente Blitar pada 1 April 1906 berdasarkan peraturan Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150. Momen inilah yang sampai sekarang diakui sebagai hari kelahiran Bumi Bung Karno itu. Pada tahun itu juga dibentuk beberapa kota lain di Indonesia yang berdasarkan catatan sejarah sebanyak 18 Kota yang meliputi kota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang Semarang, Salatiga, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja dan Pasoeroean di PulauJawa serta lainnya di luar Jawa.

Sampai pada kedatangan Jepang, Gameente Blitar berubah menjadi Blitar Shi yang penyelenggaraannya dikendalikan oleh peraturan baru bernama Osamu Seerai. Namun Jepang sepertinya salah langkah menginjakkan kakinya dikota kecil itu.


Keniscayaan Merdeka
Anak didiknya, PETA memberontak pada 14 Februari 1945 yang dipimpin seorang terhormat Sudanco Supriyadi. Meski hanya berlangsung beberapa jam dan gagal, pemberontakan itu tercatat sebagai satu-satunya pemberontakan yang dilakukan oleh anak didik kepada pelatihnya di Asia Tenggara dan Asia Timur yang merupakan jajahan negeri sakura itu. Pemberontakan itu membuka mata dunia bahwa peluang meraih kemerdekaan dan memukul mundur penjajah masih terbuka lebar.

Pemberontakan itu, diakui atau tidak, telah menginspirasi pemuda-pemuda bangsa ini untuk terus berjuang merampas kembali hak-hak kemerdekaan ang diambil penjajah. Hingga akhirnya Indonesia merdeka yang ditandai pembacaan proklamasi oleh putra terbaik bangsa, Bung Karno, didampingi Bung Hatta.


Tanah yang Terkucilkan
Perihal penempatan makam Bung Karno, yang juga menjadi awal Blitar disebut sebagai Bumi Bung Karno, memang berawal dari niat buruk pemerintah. Konflik antara Soekarno dengan Soeharto adalah biangnya. Pemerintah orde baru menetapkan Blitar sebagai Kotamadaya berdasar pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965. Namun, ternyata Pemerintah orde baru berniat mengucilkan nama Sorkarno beserta Blitar secara politik. Namun kenginan itu ternyata ditolak oleh arus kuat yang terus melawan.

Alih-alih terkucilkan, masyarakat nusantara mengenal baik Blitar sebagi kota sejarah yang tak akan terlupakan. Blitar semakin ramai dikunjungi hingga kini. Keganasan Bung Karno dalam melawan penjajah mesih terpatri dalam ingatan rakyat Indonesia. Blitar yang dikucilkan menyeruak mekar ke permukaan dan menunjukan bahwa di sinilah momen sejarah kemerdekaan terbaik pernah berlangsung. Hadirnya makam Bung Karno yang berpadu dengan momen pemberontakan PETA, menegaskan aura sejarah yang kental di kota kecil itu.

Akhirnya kekangan orde baru lepas benar ketika drama panas 1998 memaksanya bubar. Pemerintahan reformasi menggantikan otokrasi orde baru. Pemerintah baru itu mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Melalui Undang-undang tersebut, sebutan Kotamadya Blitar disesuaikan menjadi Kota Blitar. Hingga menjelang satu abad usia kota ini, Kota Blitar dihuni oleh sekitar 125 ribu jiwa.

Sebenarnya era orde baru telah memberika banyak sumbangan pembangunan pada bangsa ini. GBHN dan Repelita tercatat sejarah sebagai garis visi bangsa yang cemerlang. Kegemilangan ini didukung oleh realita pembangunan yang terus berjalan maju. Angka pertumbuhan ekonomi berjalan membaik. Era ini juga berhasil meyakinkan rakyat bahwa negara tak akan kekurangan pangan. Terbukti swasebada pangan tecatat beberapa kali diraih.

Tapi sistem sentralistik yang mengendalikannya begitu mengusik dan mengganggu. Sistem itu seperti menyimpan nyala api yang siap membakar sekam reputasi. Kerobohan banguan orde baru pada 1998 membakar betul reputasi baiknya. Kisah-kisah sukses dan gemilang orde baru seakan terlupa nan terabai.

Kini era reformasi juga belum berjalan baik. Orientasi politik malah semakin menjadi-jadi. Sistem desentralisasi yang didengung-dengungkan berjalan tertatih-tatih yang makin pincang saja. Pemerataan tak kunjung selesai. Dan sayang, imbas itu merayap hingga menjalar ke Bumi Bung Karno.

Dulu ia sejajar dengan kota-kota lain seperti Batavia (Jakarta), Surabaya dan Bandung. Sebagai pusat administrasi daerah di jaman Belanda, Kota Blitar memiliki posisi yang strategis. Tapi sekarang Blitar telah ketinggalan jauh. Kota-kota itu menjelma menjadi raksasa nusantara, sementara Blitar masih jalan ditempat.

Demi Bumi Bung Karno
Menyedihkan lagi, bila melihat generasi muda Bumi Bung Karno yang semakin tak punya visi. Aku sering melihat mereka tak fokus dalam berpartisipasi membangun tanah kelahirannya. Kongkow-kongkow tak jelas menjadi ajang harian. Memajang diri dengan berbagai kemalasan malah menjadi kebanggaan. Aku juga tak paham mengapa hal ini bisa terjadi. Pendidikan yang menjadi senjata utama pemuda dalam konteks kekinian sekan diacuhkan.

Memang ada beberapa yang gemilang, tapi arus mayoritas menetang dan menenggelamkan arus minoritas itu. Paradigma kenikmatan jangka pendek seakan menggelayuti pikran-pikiran mereka. Budaya-budaya instan dari luar mereka telan mentah-mentah. Sejarah besar kota penting itu seakan pudar lekang ditelan zaman, karena tak dirawat oleh tuan rumahnya sendiri. Dan yang menyesakkan, yang menelan bukan orang lain, tapi putera-putera daerahnya sendiri.

Apa mungkin mereka tak tahu kalau para pahlawan di tanah kelahirannya itu rela mampertaruhkan nyawa demi kebebasan dan kemerdekaan. Dan sayang sekali, aku adalah bagian dari mereka. Ya, aku adalah salah satu yang tak tahu sejarah dan mungkin tak tahu balas budi.

Tapi, sejenak aku sadar, bahwa tanahku ini adalah kampung halamanku. Punya visi masa depan adalah kenicscayan bagiku. Siapa lagi yang akan mengharumkan kebesaran tanah Balitar ini kalau bukan putera daerahnya sendiri. Reputasi kota kecil itu juga reputasiku. Kalaupun aku dikenal baik oleh orang lain, tapi asalku adalah kubangan lumpur, siapa yang mau melirik?

Peradaban dunia telah terbukti terbangun dengan pondasi pengetahuan. Kesadaran akan perlunya pendidikan harus aku tanamkan pada diri. Harus. Sejarah besar kepahlawanan kotaku harus aku camkan dalam-dalam di relung-relung pikiran. Ini bukan demi siapa-siapa, tapi demi tanah kelahiranku, Bumi Bung Karno.



Jazz Muhammad
Alumni SMA 1 Blitar
Mahasiswa Universitas Paramadina Jakarta




*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya

Sunday, March 28, 2010

Berteman ala Aa Gym

Bai, elo tu emang temen gue yang paling top!
Ah, kamu bisa aja!
Eh bener bro, masa lo ngga ngerasa sih?
Hmmm…terserah lo deh

Rasanya senang sekali bila saat hidup ini punya teman yang banyak dan careful semua. Ketika ada masalah, ada yang perhatian. Ketika ada musibah, ada yang menolong. Dengan banyak teman, hati terasa tentram. Kehidupan sepertinya akan berjalan lancar. Penuh dukungan.

Tentunya teman yang saya maksud adalah teman yang baik. Teman yang bisa dijadikan pegangan saat kita terombang-ambing oleh derasnya arus ombak dunia ini. Teman yang selalu ada solusi untuk setiap permasalahan kita. Sangat menyenangkan bukan?

Bagaimana tidak, lha wong ketika semua orang acuh, dia sendiri yang perhatian, saat yang lain mengejek, dia tidak henti-hentinya memberi dukungan. Dalam kondisi seperti ini, ya minimal hidup tuh ngga useless lah. Ada nilai tambahnya. Ya tentunya kamu ngga mau ‘kan kalau teman sekeliling kamu hanya bisa bilang “Eh, elo tu nyebelin tau, elo tu belagu! Males banget tau temenan ama elo!”

Tentu saja mencari teman yang baik itu susahnya minta ampun. Kalau orang bilang, sewu siji (seribu satu). Maksudnya, ya memang jarang. Baru ketemu teman yang kelihatan baik, eh eh eh, ternyata dianya cuma mau meres. Wah gawat kalau gini. Lalu apa yang harus kita lakukan?

Mudah saja, kalau tidak ada yang bisa jadi teman yang baik, mengapa tidak kita saja yang jadi seperti itu? Kitalah yang careful terhadap orang lain, bukan hanya kita saja yang terus minta dipeduliin sama orang lain. Dalam hal ini, kita adalah sebagai subyek dari pertemanan yang harmonis itu, bukan hanya objeknya. Di samping itu, itung-itung mengubah gaya berperilaku. Dari yang careless ke yang carefull. Mau ngga?
Salah satu konsep berteman yang cukup baik menurut saya adalah konsepnya Aa Gym. Syarat membangun pertemanan yang harmonis adalah dengan tiga hal.

Pertama, “Aku bukan ancaman bagimu”. Ini syarat dasarnya. Kalau mau jadi teman yang baik dan membangun hubungan pertemanan yang harmonis, maka sense-sense negative harus dihilangkan. Jangan sampai kita mengecewakan teman. Karena, manusia itu kalau sudah kecewa sama sesorang, sulit untuk mengembalikan kepercayaannya. Nah, first impression itu sangat penting.

Kedua, “Aku menyenangkan bagimu”. Nah, setelah ada kepastian bahwa kita adalah bukan threat (ancaman) bagi yang lain, maka langkah selanjutnya adalah memastikan kalau kita bisa jadi ladang penghibur bagi teman kita. Yang hanya bisa kita lakukan hanyalah membuat teman kita senang dan nyaman ketika berada disamping kita. “Bro, adem banget ati gue kalau disamping elo” (ceileee…)

Ketiga, “Aku bermanfaat bagimu”. Ini adalah jurus pamungkasnya. Dalam pertemanan harus ada nilai tambah yang dihasilkan. kita harus tanggap dengan keadaan teman kita. Intinya, kita adalah solusi bagi dia, bukan destruksi. Selain itu, dalam berteman kita pun selalu punya inspirasi untuk berbuat yang baik seperti berdiskusi, belajar bersama, saling bertukar hadiah, saling menyemangati dan masih banyak lagi. Pertemanan seperti ini akan membuat hidup itu penuh guna dan manfaat.

Cara-cara di atas saya pikir cukup efektif untuk menciptakan suasana pertemanan yang harmonis. Ngga ada salahnya hal ini jadi alternatif cara berteman yang baik. Namun, sebenarnya masih banyak cara-cara lain yang bisa dilakukan. Bukan hanya ala Aa Gym thok. Masih banyak berteman ala-ala yang lain. Saya juga ngga maksa kamu untuk mengikuti saya, tetapi ini lah sedikit usaha saya untuk sharing ilmu.

Siapa sih ngga mau hidup aman, tentram dan damai? Semuanya pasti maulah, tak terkecuali kamu dan saya. Oleh karena itu, mari mulai untuk membangun sebuah pertemanan yang sejati, yang bikin hidup lebih berguna dan penuh manfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. OK!



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya


Friday, March 26, 2010

Si Tukang Sol Sepatu

Sepatuku sudah robek. Kalau dipakai sepertinya menganga. Kalau orang jawa bilang sepatu mangap, luwe alias kelaparan. Kalau dipakai, tanpa perintah menebar aroma paling memuakkan dan akan membuatku tak kuat makan berjam-jam. Aku sendiri pusing kalau harus memakainya.

Sudah tiga hari ini aku masih bisa bertahan. Tapi sepertinya sudah tak bisa lagi. Tak kuat lagi aku. Harus dijahit ini. Saatnya aku cari tukang sol.

Kata temanku, biasanya ada tukang sol yang lewat depan kosan. "Sol patu! Sol patu!" Pada tu-nya nadanya agak naik dan tertahan di atas.  Memang begitu kira-kira si tukang memanggili pelanggannya. Memang lucu kedengarannya, dan bahkan jadi iklan sebuah minuman. Tapi itu senjata si tukang sol. Senjata untuk berkonfrontasi dengan realitas hidup.

Kemarin Acong, temanku dari kamar sebelah, menjahitkan sepatunya. Hampir dua jam sepatunya dijahit. Sebenarnya bukan jahitnya yang lama, tapi bincang-bincang tetek bengek-nya yang buat lupa waktu. Dan karena aku sok bersahabat dengan Acong, aku terjebak dalam bincang ngalor ngidul nan tak bertema itu.
****

"Berapa bang jahit ginian?" Acong nyerocos. Sementara si tukang asih asyik dengan jahit menjahitnya.

"Sepuluh ribu, Mas?" si tukang menyahut cepat.

"Ngga kemurahan itu, Bang?"

Si tukang menggeleng. Tanda itu memang tak kemurahan. Tapi aku tahu, Acong itu belagak saja. Sok punya uang saja. Padahal aku tahu, ia hanya punya uang segitu. Aku juga. Maklum, anak kosan. Aku hanya diam, sejauh tak terjadi kekerasan.

"Ya, inikan di Jakarta, Bang, masa segitu cukup? Ya dua puluh ribu gitu..."
Sekarang aku yang geleng-geleng. Aku agak ketar-ketir. Acong telah melakukan blunder. Kesalahan fatal bisa terjadi. Yang aku takutkan, kalau uang dia tak cukup, bisa jadi korban aku. Jadi korban utang.

Tapi untung, si tukang menggeleng. Ia tak setuju tawaran Acong. Ah, selamat.

"Ya jaga langganan, Mas..."

"Emang berapa dapatnya biasanya sehari?"

"Ya ngga tentu, Mas, bisa dapat banyak, bisa ngga dapat sama sekali..."

"Ngga dapat sama sekali? Emang kalau paling banyak dapat berapa?"

"Sempat dapat seratus, tapi jaraaaang sekali. Seringnya sih dapat lima puluh..."

Tanpa komando, aku dan Acong memadu suara, "Ooo...."

"Ngga kurang, Bang, segitu? Punya keluarga?" ganti aku yang tanya.

"Ada, ada anak sama istri. Ya kalau rejeki udah ada yang ngatur, Mas. Ya kalau segitu sih, cukup buat sehari lah. Di Jakarta mahal, Mas."

Kami diam sejenak. Merasa lebih beruntung karena makan masih terjamin. Kiriman orang tua masih rutin, meski pas-pasan. Si tukang masih setengah kerja. Sepatu kiri Acong belum disentuh. Sejenak menjahit yang kiri, si tukang kini ganti yang menanya kami.

"Mas, sekolah, kuliah?"

"Kami kuliah, Bang.."

"Wah beruntung ya, Mas-mas ini. Ya kalau kuliah yang sungguh-sungguh saja, Mas. Nanti biar bisa jadi orang sukses. Kalau jadi orang kecil kayak saya tuh, susah," sambil terus menjahit, si tukang masih berujar, "Oya, mas, nanti kalau jadi orang, jangan korupsi mas. Kasian orang kecil. Cari duit itu susah lho, Mas. Ee..h..malah di korupsi... mendingan dikasih orang-orang kayak saya, Mas, kan ya?"

Kami berdua hanya manggut-manggut. Pertanda kalau dua orang mahasiswa mengiyakan petuah-petuah singkat bagai kultum si tukang sol.

"Jangan jadi pejabat, Mas! Saya dengar banyak yang korupsi. Kalau jadi pejabat terus korupsi, mendingan jadi tukang sol saja, Mas... Ha...ha..ha...!"

Kami berdua bingung mau ambil sikap apa. Perasaan tak ada yang lucu. Dengan rasa hormat dan penuh memaksa, kami ikut tertawa saja, Ha...ha...ha...
****

Ah, dari tadi si tukang sol ternyata tak lewat-lewat. Sudah satu jam aku menunggu. Sepatuku perlu di rawat ini.

Satu jam setengah. Tetap tak ada tanda-tanda. Sepertinya tak kan muncul.

Hingga dua jam berlalu. Benar, si tukang sol tak lewat juga. Aku harus relakan dulu sepatuku meradang menganga. Sedikit jengkel aku. Bukan karena sepatuku, tapi karena mengingat tukang sol, aku ingat kemarin ternyata Acong tak pegang uang, jadilah aku korban. Sial!
****




*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya



Wednesday, March 24, 2010

Bahasa untuk Ekspresi pada Dunia

Disadari atau tidak, globalisasi membuat hubungan antar manusia tak berbatas. Tiap individu kini telah terhubung satu sama lain dengan hadirnya kecanggihan teknologi informasi. Maka munculah sebuah komunitas superbesar di dunia ini. Sebuah komunitas masyarakat yang bisa saling berinteraksi tiap saat dan dimanapun tempatnya. Inilah masyarakat global.

Meski demikian, masalah yang muncul adalah dengan apa anggota society yang besar ini berkomunikasi? Tentu salah satunya kesamaan bahasa sebagai media ekspresi perlu diperhatikan. Saya selalu teringat statement Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina tentang konsep masyarakat global ini.

Beliau sering menyampaikan bahwa dalam satu waktu, “Kita tak hanya menjadi warga negara Indonesia, tapi kita juga warga negara dunia. Oleh karena itu kita harus bisa mengekspresikan ide-ide kita dalam bahasa dunia.”


Pak Anies melanjutkan bahwa minimal kita mampu menguasai Bahasa Inggris. Hal ini tentu menjadi bahan pemikiran kita semua bahwa memiliki kemampuan berbahsa asing, utamanya Inggris adalah perlu.

Dalam sebuah bacaan, pendapat dari dua guru bahasa Inggris yang berpengalaman di bidang bahasa setidaknya bisa jadi acuan.

Alastair Banton adalah seorang guru di sekolah bahasa swasta di Inggris. Dia juga mengajar bahasa Inggris di Jepang.

Menurutnya hal yang terpenting adalah bahwa kita harus ingin belajar bahasa dengan sungguh-sungguh—tanpa itu kita tidak akan bisa jauh. Harus yakin bahwa kita akan melakukannya.

Lalu, hal penting lainnya tentu kita harus kerja keras, tetapi dalam waktu yang sama, kita harus menikmatinya dan jangan frustasi ketika merasa tidak ada perkembangan. Kita juga harus realistis bahwa belajar bahasa memerlukan waktu dan jangan berharap tahu dan paham segala hal dalam beberapa minggu.

Sementara, Teresa Pelc adalah seorang guru bahasa Inggris di Polandia. Dia mengajar bahasa Inggris di sekolah tingkat dua untuk beberapa tahun.

Baginya, motivasi adalah hal yang terpenting. Kita harus siap belajar grammar, banyak membaca, mendengarkan lagu dalam bahasa Inggris, radio dan TV, dan yang lebih penting harus melakukannya secara sistematis.

Masih menurut Pelc, sangat mudah untuk lupa dari apa yang baru dipelajari. Itulah mengapa guru memiliki peran penting. Bahkan,kadang-kadang, seorang murid yang sangat termotivasi butuh paksaan tersebut. Ia yakin bahwa hanya beberapa orang yang belajar bahasa atas kemauan sendiri.

Belajar sebuah bahasa bisa membuat sangat stres, khususnya bagi banyak orang terutama yang dewasa. Kadang kita merasa harus berbicara seperti anak-anak dan membodohi diri sendiri.

Akan tetapi, bila punya motivasi, kita akan belajar menangkal hal ini. Semua ini seperti hal yang sulit, dan memang seperti itu. tapi yakinlah ini juga sangat menyenangkan. (*)



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya (deplu.go.id dan matanews.com).



Monday, March 22, 2010

Pencuri Waktu

Bro, belajar yuk….
Maen dulu ya...
Belajar yuk….
Ntar, acaranya asyik ni

Saat melakukan sebuah kegiatan, kita pasti memiliki sebuah tujuan tertentu. Ya iyalah, ngapain kerja kalau ngga ada hasilnya. Nah, untuk mencapai hasil tersebut tentunya kita harus berusaha keras dan cerdas. Artinya? Kerja keras itu ya pake otot. Kalau kerja cerdas ya pake otak. Jadi imbang, otot dipake, otak juga ngga ketinggalan . Oleh karena itu, apapun yang kita kerjakan itu penuh pertimbangan. Ngga buang-buang energi.

Namun, dalam mengerjakan sesuatu apapun, kita tidak boleh lupa bahwa kita harus fokus. Fokus ini adalah yang mengarahkan kamu untuk selalu konsentrasi pada apa yang kam kerjakan. Kalau lagi ngerjain PR ya ngerjain PR aja, ngga usah yang macem-macem. Kalau sedang bikin makanan, ya bikin makanan aja, ngga usah mkirin acara TV.

Integrasi antara kerja keras, kerja cerdas dan fokus akan membuat hasil yang kita kerjakan bisa maksimal. Kalau kita tidak fokus dalam mengerjakan sesuatu, maka yang ada adalah lama selesainya, parah-parahnya kerjaan ngga selesai alias gagal.

Mari menyimak sebuah cerita berikut. Alkisah ada seorang anak bernama Andi. Suatu malam ia berencana belajar karena besok ada ujian semester. Buku telah ia siapkan diatas meja belajarnya dan mulailah ia belajar dengan sungguh-sungguh.

Namun, baru beberapa saat ia belajar, ia melihat sebuah majalah makanan. Karena gambarnya bagus, sontak ia mengambilnya dan mulai membacanya. Lembar demi lembar ia baca. Wuih.. makanannya enak-enak men! Coba ah!

Tak lama berselang ia mulai melihat kulkas. Ia mencari bahan-bahan untuk membuat makanan tadi. Ya….akhirnya bisa kamu tebak. Yup, si Andi ngga jadi belajar. Gimana ya ujian semsternya?
Dalam mengerjakan suatu pekerjaan, kita harus konsentrasi dengan apa yang kita kerjakan. Kalau tidak, maka pekrjaan-pekerjaan lain akan menggoda kita. Dan bila kita tergoda, pekerjaan utama yang seharusnya terlantar. Hasil yang ingin dicapai pun terbang entah kemana.

Inilah gejala kehadiran pencuri waktu. Waktu yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk sebuah hal yang penting malah digunakan untuk hal sepele plus tidak penting. Kadang kita menyepelekan sebuah pekerjaan hingga menunda-nundanya dengan nyantai-nyantai. Memang diawal sepertinya OK-OK saja. Nah, pas akhir-akhirnya kita dikejar deadline yang numpuk. Kalau kamu kuat ya tidak apa-apa, tapi kasian otaknya, Mas!

Sekarang kita perluas pandangan kita pada hasil kehidupan kita. Kalau mau hidup sukses, maka kerja keras kerja cerdas dan fokus pelu dilakukan. Hidup nyantai-nyantai boleh-boleh saja tetapi jangan keterlaluan nyantainya. Bersantai ya harus dilakukan saat harus santai. Masih muda itu pekerjaanya banyak.

Fokus pada apa yang menjadi tujuan hidup kita adalah hal yang penting. Kita mau jadi apa ya tergantung apa yang kita kerjakan saat ini. Sayang sekali kalau waktu yang dianugerahkan kepada kita, kita lepas begitu saja dengan membiarkan para pencuri waktu mengambilnya. Ingat, waktu adalah satu-satunya makhluk yang tak akan berjalan mundur bahkan menolehpun tidak. Sekali dicuri ya sudah ngga ada gantinya.

Sudah saatnya kita berhati-hati dengan pencuri waktu. Awas, ia ada dimana-mana dan kapan saja. Oleh karena itu, saya kira memanfaatkan waktu sebaik-baiknya adalah hal yang paling bijak. Mari manfaatkan waktu dengan kerja keras, kerja cerdas dan fokus demi hasil hidup yang maksimal.



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya.



Saturday, March 20, 2010

Merajut Perdamaian dengan Nir-Kekerasan ala Gandhi

Siapa yang tak kenal Mahatma Gandhi? Wikpedia menyebutkan bahwa tokoh dunia satu ini memang begitu berpengaruh pada dunia perdamain. Nilai-nilai ajarannya yang berpegang pada ajaran tradisional hindu, yakni Satya (keberanran) dan Ahimsa (nir-kekerasan) menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh dunia setelahnya seperti Martin Luther King dan Nelson Mandela.

Kehebatan Gandhi telah dicatat sejarah dengan berhasil, mengutip istilah M. Hart, memaksa Inggris "angkat kaki" dari negeri Hindustan itu. Gandhi tak menggunakan kekerasan dalam aktivisme-nya melawan penjajahan. Tapi karena itu juga, penajah melunak dan pergi.

Kini pemikiran-pemikiran Gandhi telah menjadi mutiara dunia yang perlu dijaga. Salah satu penerusnya kini telah menjelajah dunia untuk mengabarkan nilai-nilai Gandhi. Adalah Rajmoan Gandhi, cucu Mahatma, yang kini gethol melakukan hal tersebut.

Mengutip Kompas (19/4), dalam artikel berjudul “Rajmohan Gandhi, Penerus Ahimsa”, Rajmohan Gandhi menyatakan bahwa memang penyelesaian masalah tanpa kekerasan butuh waktu tak sebentar, tapi yang jelas, kekerasan tak akan pernah menuai keberhasilan. Ia selaku menyampaikan bahwa kakeknya telah membuktikan bahwa kekerasan tak pernah menang. Sebagai seorang pemuda, dulu mahatma sangat membenci pendudukan Inggris yang penuh kekerasan.

Rajmohan sendiri telah menulis biografi kakeknya, Mohandas: A True Story of Man, His People and His Empire (2007). Selain itu, pemikirannya tentang perdamain ia tuangkan dalam buku Eight Lives: A Study of Hindu-Muslim Encounter dan buku berjudul Reconciliation & Revenge: Understanding South Asian History.

Rajmohan kini terus aktif mendukng rekonsislisasi India-Pakistan yang sampai sekarang masih bergejolak. Rajmohan bersama kawan-kawannya baik dari India atau Pakistan, terus mempromosikan hubungan yang lebih baik antara kedua negara tersebut.

Kompas mengugkapkan, Rajmohan selalu menekankan bahwa perang bukan pilihan. Persaudaran adalah cara terbaik merajui kedamaian. Rajmohan memang begitu terknal. Karena ia cucu mahatma? Ya. Tapi perlu diingat, jasanya dalam mengobarkan semangat perdamain telah terbukti dari kerja kerasnya sebagai wartawan, reformis social, dan akademisi. Perannya tersebut juga telah mendapat sederet penghargaan.

Pada 1963, rajmohan telah mengadakan “March on Wheel” yang telah menginpirasi ribuan orang untuk bekerja keras untuk India yang bersih, kuat dan bersatu. Selain itu, ia juga membentuk sebuah pusat pelatihan dan konferensi Initiative of change bernama Asia Plateau di Panchgani pada 1968.



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya.


Friday, March 19, 2010

Cinta Uang

Lo punya uang berapa?
Ya cukuplah buat kebutuhan sehari-hari
Haa…barapa? Sedikit kan? Ni, gue punya uang banyak, melimpah..
Terus?
Ya gue bisa ngapa-ngapain, nah elo? Lo bisa apa?

Menjalani hidup ini pasti butuh yang namanya kebutuhan, baik jasmani maupun rohani. Entah itu makan, minum, bersekolah, dan yang lain. kebutuhan-kebutuhan itu harus dipenuhi untuk hidup yang lancar. Iya donk, masa mau hidup terlantar kelaperan, atau bodoh tanpa ada ilmu sedikitpun di otak kita. Namun ada satu hal yang harus diperhatikan. Hidup itu tidak ada yang gratis.

Saya bukannya mengajak untuk menjadi materialis, sungguh tidak. Akan tetapi saya ingin menyampaikan kalau memang dalam mencapai kesuksesan itu ada pengorbanan. Ya, seperti orang bijak bilang there is no success without sacrifice (ni kata orang bijak atau cuma pindah bahasa?). Jadi, memang kita harus menyadari bahwa kita harus berusaha untuk bisa meraih sesuatu. Ngga sukses kalau ngga ada modal.

Salah satu yang menjadi simbol bahwa kita memiliki potensi untuk bisa mencapai sesuatu, ya kasarannya punya modal, adalah uang. Sekali lagi saya bukan menganjurkan untuk jadi materialis.

Ini adalah kenyataan. Siapa sih yang ngga mau kaya? Ngga mau punya banyak uang? Masalahnya bukan uang berapa banyak uang yang kamu miliki, tetapi bagaimana kamu memaknainya.

Menurut Paulus Winarto, uang itu hal yang netral. Beliau meneruskan jika uang berada di tangan orang yang tepat ia bisa menjadi sarana berkat bagi orang lain. Sebaliknya, jika uang berada di tangan yang salah, ia bisa menjadi sebuah kutukan. Jika orang bijak punya uang, ya yang ia lakukan bersedekah, bikin yayasan amal, bangun usaha dan kegiatan-kegiatan lain yang member manfaat bagi yang lain.

Kalau uang ada ditangan orang yang bejat, uang bisa jadi taruhan judi, habis buat foya-foya, beli barang-barang yang ngga jelas. Selain itu uang bisa menjadi “kutukan” di pikiran. Sesorang yang gila uang akan terus gelisah dan selalu curiga kalau-kalau ada orang yang mau mengambilnya.

Aduh, Mas, hidup enak gini jangan dibuat susah donk! Saya pikir kasihan banget orang yang seperti ini, ya meski saya kadang juga begitu. Ya maklum iman itu naik turun. Namun, saya nulis ini pas iman lagi naik, so sekalian buat i’tibar alias pelajaran buat nanti pas iman turun. Hmm….

Namun, ada orang bilang “cinta uang itu akar dari segala kejahatan”. Orang korupsi ya karena cinta uang lho. Dari kalimat itu bisa dipahami bahwa kejahatan itu bukan karena uang, tetapi karena “cinta uang”. Jadi uang tidak bersalah. Kalau ada yang bilang uang itu tidak penting, mungkin dia belum pernah jadi mahasiswa yang ngekos terus uang kiriman telat. Teman saya saja yang mengalami hal itu langsung bilang “Bokap gue tega bangeeet”.

Mungkin kamu yang agak pintar berargumen langsung bilang “ya usaha donk!”, tetapi pas ngelakoni tenanan (mengalami benar), saya jamin, spontan kamu pasti bingung, ya meski beberapa hari kemudian mendapat pencerahan untuk cari uang sendiri. Yang penting kan kamu pasti bingung. Jadi saya anjurkan untuk tidak berteori yang macem-macem soal ini.

Kembali ke cinta uang. Memang rasa cinta pada uang itu yang bikin orang snewen. Jadi semua bergantung bagaimana kita memaknai uang itu. Ingat saja, uang kalau ada ditangan yang benar ya hasilnya juga positif. Kalau ditangan yang ngga beres ya hasilnya juga ngga beres. Hayu, kamu udah benar belum kalau bawa uang?



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya.

Thursday, March 18, 2010

Aku Tetap Rindu Tuhan, Meski di Ladang



Seorang petani Afganistan tengah menunaikan shalat magrib di Marjah, Provinsi Helmand, Afganistan selatan, Rabu (17/3).
Sementara, Ribuan anggota pasukan marinir AS, NATO, dan tentara Afganistan tengah berada di Marjah, bersiap melakukan operasi menghadapi kaum Taliban di wilayah itu.

Yang menjadi pertanyaan, masihkah kita ingat Tuhan? Ah, semoga saja. Karena momen terindah adalah ketika kita berhasil mendekat dan meresapi keberadaan-Nya di sisi kita.

sumber: cetak.kompas.com

Wednesday, March 17, 2010

Tuhan itu Aku atau Kau?

Aku harus persiapakan diriku mantap-mantap hari ini. Akan kutemui anak muda yang penuh semangat itu. Tekun belajar sekali dia. Aku harap apa yang akau ajarkan selama ini terus membekas dan ia berhasil nanti di ujian terakhirnya. Ya. Aku sangat berharap.

Aku harus terlihat berwibawa dihadapannya. Jangan sampai ia melihatku celingukan, terlihat bodoh dan tak punya keyakinan. “Mana dia percaya nanti?” katau dalam hati. Bisa-bisa malah gagal dia.

Rugilah aku mengajarinya tiap hari. Hilanglah waktuku tak berguna, tiada hasil. Aku harus yakin!
Ah, dia sudah datang. Aku harus rapihkan bajuku. Ingat jangan sampai terlihat tak berilmu!

“Assalamualaikum, Pak?”
Aku dengar salamnya. Aku jawab dalam hati, pasalnya aku masih dalam kamarku, jauh dari pintu tempat ia menungguku.
“Pak…?”
“Iya..ya, Waalaikum salam. Kaifa haluk?” aku menghampirinya sambil lari kecil.
“Ana bil khair, ana bil khair”
Aku mempersilahkannya duduk. Dia terlihat begitu semangat. Aku harap dia ingat menagih apa yang aku janjikan kemarin. Dan….

“Oya Pak, langsung saja, kata Bapak kemarin, Bapak akan memberi saya sesuatu. Dan…. berarti hari ini saya harus ke sini kan pak?”
“Benar, Nak Imam. Bapak hanya ingin tahu kesiapanmu. Sejauh mana kau sudah siap?”
“Insyaallah saya siap Pak?” jawabnya, tapi terkesan ragu.
“Apa kamu sudah siap? besok jam tujuh lebih lima?” aku mengulanginya, tapi dengan nada tinggi.
“Insyaallah saya siap!!!” jawabnya lantang dan tiada aku lihat keraguan sama sekali dari raut wajahnya, dari sorot matanya. Ia menunjukkan kesungguhan mendalam atas tugas akhirnya. Ia tak mau gagal. Ini menentukan masa depannya, bahagia atau sengsara. Aku lega, apa yang aku ajarkan selama ini ternyata ia tak melalaikannya.

Pertemuanku berakhir beberapa saat setelah itu. Aku bekali ia dengan beberapa trik-trik agar ia tak gagal, besok, ujian akhirnya. Sekali lagi aku tak mau ia gagal, tak mau! Sia-sia saja kalau begitu kejadiannya. Ah, ternyata sudah malam. Aku harus istirahat. Istirahat demi ujiannya. Sampai jumpa besok muridku tercinta.
***

Tempat ini begitu asing. Bertempat antara panas dan dingin, antara silau dan teduh, antara bersih dan kotor….. ah, tempat macam apa ini? Tak ada kosa kata untuk tempat ini. Ini kah itu….? Aku sering membacanya di kitab itu. Tapi tak seperti ini. Apa aku dibohongi?

Kulihat antrian panjang sekali. Kapan giliranku? Ah, nanti juga sampai sendiri. Aku menunggu lama sekali. Aku tak tahu, dengan sendirinya aku tahu kalau aku akan ditanyai nanti.
Tapi saatnya tiba juga. Sebentar lagi, saatnya giliranku. Masih ada satu dua lagi. Semoga aku siap. Aku harus siap.

Sambil menunggu diriku menghadap dan melaporkan apa yang telah kubuat selama ini, aku lihat sekelilingku, atas dan bawahku. Kanan dan kiriku. Aku mengedarkan pandangan ke semua penjuru. Kulihat orang kedua di depanku telah selesai. Tapi….

Ia menghilang begitu saja. Aku tak tahu dia dibawa kemana oleh malaikat itu. Ini agak membuatku ragu di akhirat ini. Ragu apakah ini benar-benar akhirat dan ragu apa nasibku nanti.
Sekarang giliranku. Aku tetap dalam keraguan.

“Siapa kau?”
“Aku Abdul, Abdul Muntakim, aku hamba-Mu wahai Maha Menghukum mereka yang bersalah”
“Apa yang telah kau lakukan selama di dunia?”
“Banyak. Aku telah menunaikan ibadah wajib-Mu . Aku lakukan setap hari, tak ada waktu yang terlewat. Aku juga selalu menyebut nama-Mu setiap waktu. Aku bersujud untuk-Mu setiap malam.

Demi surga-Mu aku melakukan semuanya. Aku sungguh takut neraka-Mu, mohon lindungi hamba-Mu ini.
Aku juga tak lupa mengajak orang-orang untuk terus memekikkan asma-Mu. Aku tunjukkan jalan yang terbaik untuk meraih ridho-Mu. Ya, Tuhan, aku melakukannya semata-mata demi memperjuangkan agamamu. Aku berjuang untuk meneguhkan imanku pada agama-Mu, hanya pada-Mu. Aku baca Kitab-Mu setiap waktu, sering sekali. Aku juga kutipkan ayat-ayat-Mu dalam setiap pembicaraanku kepada orang-orang itu. Aku sungguh mengagungkan-Mu, ya Tuhan”

“Sudah?”
“Aku juga mengajak bebrapa anak muda untuk berjihad di jalan-Mu. Coba nanti Engkau cari yang bernama Imam. Ia pasti mati syahid di jalan-Mu. Meski ia mati, Ia telah membunuh kafir-kafir itu. Aku katakan padanya bahwa kalau ia berhasil, ia akan bertemu dengan-Mu di surga yang sejuk, yang didalamnya mengalir sungai-sungai dan terdapat buah-buahnya.

Sekali lagi ini demi keagungan-Mu di dunia fana itu. Aku ajak mereka untuk menghancurkan para kafir itu, merobek-robek raga mereka yang mengerikan itu.Mereka itu laknat. Neraka jahannam bagi jahannam-jahannam itu. Laknatuk alaihim!!!,” kobaran kataku mantap.
………

“Hai, bawa orang ini ke neraka!!!”

Bak tersambar petir, aku terperadah tak berdaya. Dia memanggil malaikat itu dan…..Ah, aku tak mengira. Apa ini? Aku telah berlama hidup di di dunia demi surga itu, tapi mengapa?

“Tunggu, mengapa Engkau bersikap tak bijak, tak adil, sementara dalam kitab-Mu, aku mengenal-Mu sebagai Maha Adil?”
“Hai, Abdul, apa kau tahu siapa Aku?”
“Ya, aku tau siapa Engkau. Engkau Tuhanku yang Maha segala-galanya.” Aku tetap merendah, berarap Dia akan mengulangi perkataan-Nya tadi.
“Kau tahu itu kan? Lalu atas dasar apa kau membawa nama-Ku untuk semua kegiatan yang kau lakukan itu. Memang kau tahu apa Aku sebenarnya meridhoimu, apa Aku memberimu izin, apa aku setuju dengan apa yang kau lakukan itu, apa Aku suka kau sebut nama-Ku siang malam, apa Aku laknat orang-orang yang kau bilang jahannam itu?

Lantas apa Aku memang menyediakan surga bagi Imam yang kau banggakan itu? Yang kau bilang mati syahid itu. Apa bom bunuh diri yang ia lakukan bisa menyelamatkannya? Apa surga seperti yang kau kataan padanya itu?..”

“Aku melakukannya semua sesuai apa yang ada di kitab-Mu! Aku ingin menyelamatkan agama-Mu?” Aku menyela. Tapi Dia seakan tak menggubris perkataanku ini.

“Kau tahu aku ini Maha segalanya kan? Apa kau paham maksudnya itu? Aku juga memberimu akal dan hati nurani. Seharusnya kau mengerti kalau tak mungkin semua kekuasaanku termuat di kitab yang kau banggakan itu. Masih banyak kekuasaanku yang jelas tak mungkin tertuang di dunia yang sempit dan penuh fatamorgana itu.

Apalagi, kau bilang akan menyelamatkan agama-Ku. Memang Aku tak bisa menyelamatkannya sendiri? Kalau butuh kau, jangan kau Tuhankan Aku ini. Kau pasti tahu Tuhan itu berdiri sendiri, tak butuh orang semacam kau ini untuk membela-bela.

Aku gambarkan diriku di Kitab itu menjadi Sembilan Sembilan nama, tapi apa hanya itu Aku. Kalau hanya sebatas itu, di mana otoritasku sebagai Tuhan yang kau katakan Maha segala-galanya itu?

Kau ini punya akal kan? Mengapa kau tidak pakai itu. Lagi pula, yang menyedihkan, kau mengatasnamakan Tuhan dalam segala aksimu, kau bawa nama-Ku ketika kau menyerang orang yang kau anggap kafir itu. Kau pekikkan’Allahu Akbar’ semaumu. Kau sangka Aku meridhoimu, kau sangka Aku mengizinkanmu, kau sangka Aku ini apa? Sebenarnya Tuhan itu Aku atau kau, hai Abdul?

Selama ini kan, yang kau Tuhankan adalah kemauanmu sendiri. Kau tak tahu apa substansi dan apa itu konteks. Aku turunkan kitab itu di Arab, maka aku gambarkan surga itu banyak sungainya dan buah-buahannya. Kalau saja kitab itu aku turunkan di negerimu itu, tak mungkin gambarannya seperti itu.

Apa kau tak ingat kalau Muhammad pernah bilang bahwa akhirat, surga dan neraka adalah sesuatu yang tak pernah kau lihat, kau dengar, terbesit dalam hatipun tidak.

Yang paling menyedihkan lagi, dengan seenaknya kau menjaminkan surga bagi orang lain. Kau tahu kalau kau sendiri tak tentu masuk surga? Dengan ayat-ayat itu kau mabukkan pikiran dia dengan janji-janji semu. Kau katakan kalau kau itu diridhoi oleh Tuhan, Aku tanya kembali, siapa sebenarnya Tuhanmu? Engkau sendiri apa memang Tuhan yang sebenarnya yang menjadi Tuhan?

Aku berikan dunia itu itu untuk kamu kelola sebaik-baiknya. Aku ciptakan keragaman, bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar kau tahu banyak hal atas kekuasaan-Ku. Aku beri kau kesempatan menjadi khaifah dibumi untuk meggelar kehidupan yang bersahaja dan mulia, bukan menyia-siakannya dan mati tak berarti.

Tapi kau malah menghamburkan justifikasi kekafiran dimana-mana. Kau seenaknya, mengatasnamakan Tuhan, melaknat orang lain. Memang yang berhak menghakimi siapa? Kau?
Cukup.

Segara bawa ia ke neraka!”
Aku terdiam tak berdaya.
“Ah…..!!!!” Aku terus berteriak, mencoba melepas dari cengkeraman malaikat.
……………

“Ah………..ah” Aku terengah-engah. Wajahku bercucuran peluh keringat. Aku lihat sekelilingku. Ah, ini kamarku. Hanya mimpi, hanya mimpi. Masih jam 4 pagi. Oh….
Tubuhku sedikit menggigil. Mimpi itu tak mau perg dari otakku. Konsentrasiku terpecah.
Tapi aku tetap tak mengerti, apa ini? Aku berlari menuju pe-wudhu-an. Aku harus sholat dulu.
****

Pukul 07.00.

Aku baru ingat kalau ada Imam. Ah, dimana dia? Apa yang haus aku lakukan.
Aku ingat, aku memberinya telepon genggam untuk tugas akhirnya itu.

“Mam, Imam, dimana? Imam dimana? Imam?!!!” Aku tersengal-sengal menelpon Imam. Aku masih muridku tercinta.

“Sudah Pak, sudah beres, doakan saya! Tinggal 5 detik lagi, Allahu Akbar!!!” Tak kujawab pekikan itu seperti kemarin dan dulu…….. Ototku terlanjur terkulai lemas, tak berdaya.

“Mam…….” Aku tak bisa meneruskan. Ada yang mengganjal di tenggorokan ini, seperti menahan ludahku sendiri, “Oh..Ya Allah………”

…………………..

5…..4…..3…..2…..1……

“DBLARRRR…………….!!!!!”






cerpen ini aku dedikasikan untuk menangggapi isu-isu terorisme yang akhir-akhir ini menjadi headlines di kebanyakan media massa.



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya

Berkah Nyepi pada Lingkungan

Selasa kemarin (16/4) adalah hari libur nasional. Hari tersebut bertepatan dengan perayaan Nyepi Tahun Baru Saka 1932 bagi umat hindu di Indonesia. Perayaannya tentu jauh berbeda dengan umat selain hindu. Kalau yang lain pada hari H beramai-ramai sampai ada pesta rakyatnya, Nyepi berbeda 180 derajat.

Di hari H, Nyepi tepat sesuai namanya, sepi sunyi. Umat hindu menenangkan diri di rumah dan praksis tanpa kegiatan sama sekali.

Nyepi tentu tak lepas dari apa yang disebut Catur Brata Penyepian. Mengutip antaranews.com, Catur Brata atau Empat Brata Penyepian dilakukan dengan empat langkah yaitu amati karya atau tidak melaksanakan kegiatan, amati geni atau tidak menyalakan api atau juga penerangan, amati lelungan atau tidak keluar rumah, dan amati lelanguan atau tidak menikmati hiburan.

Kompas.com menyatakan, salah satu bagian dari Catur Brata ini telah memberi dampak positif yang besar lingkungan. Adalah amati lelungan atau tidak bepergian, berhasil mengurangi emisi yang sangat besar, khususnya dari kendaraan bermotor.

Menurut Herni Frilia Hastuti, aktivis lingkungan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, sebanyak 20.000 ton emisi gas berhasil dikurangi saat Nyepi tiap tahunnya di Bali. Berhentinya mobilitas tentu mengurangi intensitas penggunaan moda transportasi.

Tentunya, hal tersebut akan menunjang upaya untuk mengurangi efek pemanasan global. Pengurangan penggunaan kendaraan bermotor juga mengurangi polusi suara. Hal ini selain menambah lengkap kesuyian serta kesakralan perayaan nyepi, juga melengkapi efek lingkungan yang diberikan.

Di Bali sendiri, sebagai pusat agama Hindu di Indonesia, setelah pertemuan konferensi lingkungan hidup Internasional UNFCCC tahun 2007, diekstrasikan sebuah gagasan menyelenggarakan World Silent Day setahun sekali, tepatnya pada 21 Maret, oleh gabungan LSM di sana.

Konsep nyepi menjadi penting karena memang faktanya mmberikan efek positif pada lingkungan. Konsep ini kemudian di sikapi serius oleh LSM-LSM di Bali untuk mengumpulkan 10 juta tanda tangan agar world silent day diakui dunia internasional.(*)


*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambarnya


Monday, March 15, 2010

Gadis dalam Busway

Berat rasanya kalau harus pulang sekarang. Aku sudah bisa tebak. Sebelum masuk bus, aku sudah harus menegakkan kakiku hampir satu jam. Aku harus relakan ototku ini bersitegang dengan pembuluh-pembuluh darah. Keringatku akan meluncur setetes-setetes. Sudah pasti menyebalkan. Tapi tak ada pilihan. Aku harus segera pulang. PR belum selesai. besok harus kumpul.

Ah, sudah kuduga. Antrean panjang sudah mengular. Halte busway itu sudah jadi kerumunan manusia yang menyemut. Sudah tak ada jarak antar kulit. Semua merangsek masuk demi mendapatkan giliran diangkut oleh busway.

“Aduh, pulang? Tidak. Pulang? Pulang!” aku bertarung dengan nurani sebelum ikut menyemut di halte. “Bak-buk, set-set, ciat-ciat, minggir-minggir!” Aku memakai badan ciutku merangsek nan seruduk sana-sini. Akhirnya aku ada di antrean paling depan. Ah, akhirnya busway datang.

“Bruk-bruk,….yap…” Akhirnya masuk bus juga. Tapi jangan kau kira aku bisa bergerak bebas. Yang kudapat adalah desakan dari segala penjuru. Aku baru saja berkunjung ke kantor organisasi eksternal yang aku ikuti di Jakarta Pusat. Petang itu aku harus pulang. Kau tahu kan? PR menanti.

Kawan, kalau maghrib, busway bisa berkorversi menjadi semacam tabung konsentrasi. Aku jamin, bila gas beracun dimasukkan, oh, persis penumpangnya mati semua. Betapa tidak, saking berdesakan, aku sulit sekali bernafas. Beberapa mililiter gas beracun bisa membunuhku. Tapi tidak. Itu cuma imajinasi. Sekedar meluapkan kejengkelanku selama ini.

“Permisi..” sebuah suara lembut berkata padaku. Suara itu memecah kegalauanku. Gerutuku sejenak berhenti. Aku tak segera menoleh. Itu isyarat kalau aku harus segera pindah. Aku sedikit bergeser.

Pemilik suara itu sedikit memaksa masuk. Aku masih tak peduli. Tapi aku sedikit memaksa menoleh.

“Ya, Tuhan!” Aku berteriak, dalam hati. Sebuah tangan bersih nan putih memegang gantungan pegangan. Sungguh membuatku agak terhenyak sejenak. Jari-jarinya begitu cantik dan lentik.
Sebuah cincin menambah apik gerak-gerik lengan itu. “Oh, siapa gerangan pemiliknya?” bisikku. Sejenak terlupakan kejengahanku di kerumunan penumpang yang mendesak-desak ini.

Aku mencoba mencari. Mengedarkan pandangan, “Siapa dia?” Mataku menelusuri arah lengan itu. “Yap,…. subhanallah!” Aku temui seorang gadis berwajah cerah berseri. Pancaran wajahnya kalem.
Dingin, seakan menetramkan hati. Ia mengenakan jilbab terurai indah. Sopan sekali pakainnya. Ia kenakan semacam baju terusan panjang berwarna putih berpadu biru. Sederhana, tapi menawan.
Sejenak, dia membuatku lupa bahwa aku sedang dalam suasana sesak dan gerah. Dia mengubahnya menjadi sejuk. Sungguh auranya menebarkan angin dingin menyejukkan jiwa.

Seonggok kacamata menggantung di kerudung birunya. Sedikit bertanda kalau ia anak terpelajar. Oh, menambah cantik mukanya yang bersinar.

Sejenak aku memandang, tapi wajahnya tak henti membuatku berkhayal. Tiba-tiba, ia melempar sebuah senyum sapa padaku. Sambil mengangguk ia menarik bibir tipisnya. Oh.. Matanya ikut menipis, sembari memancarkan keikhlasan senyum. Senyum itu membuat ia makin anggun dan sejuk.
Aku yang jadi salah tingkah. Hatiku berdebar-debar. Aku jawab senyumnya dengan senyum kelabakan. Oh, sungguh hatiku tenang. Sungguh busway jadi terasa lapang.

“Mau kemana a’?” dia sekonyong-konyong menanyaku. Suaranya menentramkan. Rendah dan agak mendayu. Selaras dengan mukanya yang kalem. Aku sendiri salah tingkah.

“E…e…e…ke asrama, em…mbak?”
“Abdi badhe pulang a’… “

Kami terlibat percakapan yang tak seimbang. Dia dengan lancar menghajarku dengan pertanyaan. Sementara aku tergagap-gagap menanggapi. Dari itu, aku tahu, ia gadis sunda.

“Pulang ke mana teh?” tanyaku agak sotoy (sok tahu) bahasa sunda.
“Masih jauh a’. Nah, aa’ sendiri?”
“Dua halte lagi, di halte duren tiga. Kuliah teh?”
“Emm..ya. Di Universitas Indonesia di salemba.”

Benar dugaanku. Sungguh sempurna. Gadis cantik dan cerdas pastinya. Aku tahu, yang di Salemba itu jurusan kedokteran, sebuah jurusan dari universitas terbaik dengan passing grade SNMPTN tetinggi nasional.

“Kuliah juga a’?” Dia kembali bertanya.
“Ya..ya…di Paramadina. Oya na…”

Belum sempat aku bertanya namanya, suara berdering, “next stop, duren tiga shelter…..” Suara otomatis dari speaker di dalam bus menandakan bahwa beberapa detik lagi aku sampai. Aku menelan kembali pertanyaanku.

“Tu a’ sudah mau sampai..” Gadis itu memberi tahuku.
“I…iya…”
“Braaak”

Tiba-tiba pintu Busway terbuka. Aku sesegera mungkin keluar. Kalau tidak, bisa terlewat nanti. Set-set-set. Ah, keluar juga. Tapi, oh, aku belum tahu nama gadis itu. Astaga!

“Braak” pintu kembali tutup. Pintu itu telah tertutup dan sekaligus menutup momen indah petang itu. Busway itupun pergi, menelan keanggunan gadis yang baru saja aku kenal. Bus itu membawa sang gadis menjauh. Sementara aku hanya terdiam, dari kaca melihatnya hanyut pergi bersama menjauhnya busway petang itu.




Lampung, 10 Maret 2010



tulisan ini juga dimuat di kompasianaku


*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambarnya




Sunday, March 14, 2010

Pasar Tradional “Dijepit” Pasar Modern

Kompas (15/4) memberitakan dalam artikel berjudul Pasar Tradisional Terjepit, bahwa gurita ekspansi ritel-ritel modern telah mengancam eksistensi pasar tradisional.

Dari rentang 3003-3008, jelas perkembangan pasar tradisional kalah telak dengan yang modern. Pasar modern hanya stagnan sementara ritel-ritel modern, seperti minimarket, mencatat angka perkembangan spektakuler yakni 254,8 persen.

Tentu, omzet ritel modern ini terus meroket, sementara omzet pedagang pasar tradisional terus tergerus. Di Yogyakarta, dari tahun 2006, omzet pedagang tradisional telah turun 35 persen.
Menurut ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanata, regulasi pemerintah terkesan melonggarkan ekspansi “menjepit” tersebut. Menurutnya, regulasi pemerintah terlalu terbuka.

Pembeli Dihargai
Sebenarnya kalau mau melihat regulasinya, telah banyak regulasi yang dibuat pemeritah. Kompas mencatat bahwa ditingkat pusat saja telah ada 10 regulasi.

Mulai dari mulai dari Keppres No 118 Tahun 2000 tentang Perubahan dari Keppres No 96/2000 tentang Sektor Usaha yang Terbuka dan Tertutup dengan Beberapa Syarat untuk Investasi Asing Langsung hingga yang terbaru, yaikni PP No 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern dan Permendag No 53/2008 tentang Pedoman Penataan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.

Aturan boleh banyak, tapi sepertinya implementasi dilapangan masih lemah.

Masalah utamanya sebenarnya budaya masyarkat Indonesia yang mulai bergeser. Mereka mulai memilih pasar modern menjadi tujuan belanja ketimbang yang tradisional. Di tengah budaya tersebut, aturan macam apapun akan ompong melompong tak bertaji. Masyarakat lebih cenderung mengikuti mainstream ketimbang mengikuti regulasi. Bak jatuh ketimpa tangga, malang benar nasib pasar tradisional.

Padahal, di pasar tradsional-lah hukum ekonomi paling mendasar yakni hukum supply dan demand terwujud. Sistem tawar menawar yang terjadi menimbulkan efek taransasksi harga yang sebenarnya.
Selain itu, pembeli akan lebih dihargai karena menghadapi pedagang yang nota bene sama-sama manusia. Kalau di minimarket, yang dihadapi ya barang itu saja.

Butuh Sinergi
Sebenarnya regulasi memang diperlukan, tetapi menurut saya, pembenahan serta pengarahan berbasis budaya lebih diperlukan. Masyarakat seharusnya kembali digiring berbelanja di pasar tradisional. Hal ini tentu menuntut pembenahan di pasar tersebut.

Selama ini, masyarakat memerlukan tempat belanja yang bersih. Hal inilah yang agaknya masih jauh panggang dari api. Pasar tradisional terkesan kotor dimana-mana. Betapa tidak membuat orang segan dan enggan ke sana?

Selain itu, masih ada saja perilaku buruk pedagang. Sering dijumpai pedagang tradisiona yang nakal dengan menjal barang yang sudah rusak. Dengan berilat lidah, merk aberudaha mengelabui konsumen.

Ada juga budaya menthung. Kalau ada konsumen baru, maka harga tinggi akan dikenakan secara membabi buta.

Pedagang tradisional masih memiliki mindset keuntungan jangka pendek. Dalam ilmu marketing, perilaku semacam ini akan menganggu keberlangsungan usaha. Konsumen yang dikecawakan akan menyampaikan keburukan pedagang pada orang lain. Jumlanya bisa puluhan. Bayangkan kalau yang dikecawakan adalah sepuluh orang, maka sekitar seratus pelanggan telah hilang.

Akhirnya, tetap sinergi dari pemerintah dan pedagang pasar tradisonal harus dikedepankan. Upaya pembenahan harus segera dilakukan. Keunikan pasar tradisional agaknya penting untuk dipertahankan. Karena mungkin itu salah satu identitas bangsa ini.(*)



tulisan ini juga dimuat di kompasianaku


*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambarnya


Saturday, March 13, 2010

Melawan Tirani

"Kalau tak lolos, bisa habis kita. Tak bisa kita lihat masa depan." Ancam Tejo.
Pagi itu kami sudah ramai. Padahal rutinitas belum mulai. Tapi kelompok ini sudah kelimpungan.
Kami akan menghadapi ujian besar, bisa juga berarti bencana. Oh, bukan. Ini jalan masuk ke apa yang kami sebut masa depan. Sebuah masa yang masih menjadi mimpi.

Tejo adalah ketua kelompok ini. Aku salah satu anggotanya. Ada yang lain, banyak. Kami sedang merumuskan cara terbaik untuk lolos dari ujian itu. Karena pilihannya dua. Kalau lolos, kami akan on step away, tapi kalau gagal, oh, aku tak tega mengucapkannya, kami akan meringkuk terpenjara lemas di kampung halaman.

Pagi itu beberapa anggota telah datang. Rumusan strategi harus segera dipecahkan. Tejo agak terlihat pusing. Bagaimana tidak, anggota setianya, Coki, belum juga datang. Aku sudah ada di situ sebenarnya. Tapi aku cuma kacung yang bisanya ngrecoki saja. Otak komplotan ini ada pada Tejo dan Coki.

"Sori, Jo, telat...hehe, biasa, nunggu mami masak!" Selosor Coki sambil gegas masuk kelas.

"Sialan...! Kami sudah tunggu lama, eh bilang seperti itu..., " tandasku dalam hati.

"Ah kau, cepat-cepat!!!" Sambung Tejo.

Kelompok ini punya sekretaris setia, Dewi. Perempuan paling unik di kelas. Rambutnya ikal, tapi suatu saat di rebonding, "Waaaa...gila-gila, what amazing, sungguh "luar binasa"..!" itu seloroh seluruh anggota, ketika dewi masuk ruangan sehabis rebonding.

Tejo yang menggawangi kelompok ini. Ia beri nama "Rolasipasiji."
****

"Cok, ada ide?" tanya Tejo agak geram.

"Hmm...tunggu, kita akan hadapi penjaga yang biasa saja yo, jadi tenang saja."

"Eh, bagaiman bisa? Ah serius, Cok!"

"Aku serius, kau tak tahu kan siapa yang jaga? Aku tahu, mereka adalah penjaga tahun lalu. Dari MAN. Menurut track record-nya, mereka akomodatif, Jo. Ya cincai lah."

"Oke, apa taktikmu?"

Kedua petinggi rolasipasiji itu sedikit berdebat, tapi tujuannya satu. Semua anggota komplotan ini harus lulus. Lulus ujian nasional. Sekarang Kau tahu kan apa aku sebut sebagai bencana?

Jadilah dibentuk tim khusus. Tapi anggotanya sudah bisa ditebak, Tejo, Coki dan Dewi. Kelompok istimewa ini akan merumuskan strategi terbaik menaklukkan supervisi penjaga ujian serta membagi-bagikan jawaban secara massal. Kami tak ingin ada satupun anggota yang tertinggal, jadi harus lulus semua.
****

Esok hari, semua anggota rolasipasiji berkumpul sehabis kelas.

"Kawan-kawan semua, kita harus lulus seratus persen. Kata orang bijak berbohong itu masuk neraka, tapi kali ini kita tak punya pilihan. Aku tak mau ada yang tinggal. Maka, kami tawarkan sebuah strategi." Tejo berpidato di depan kelas. Lagaknya sudah kayak Bung Karno saja.

Lalu Dewi menyahut, "Jadi temen-temen, berdasarkan rembug, dan beberapa ide "gila" Coki, maka kami memutuskan kita pakai cara ini." Dewi menyebut kata "gila" dengan mengacungkan dua jari malu-malu dari dua tangan bersamaan sambil menggerakkan ujungnya ke atas ke bawah. Ia cekikian. Kami apalagi, terbahak-bahak melihat tingkah laku dan cekikiannya Dewi.

Dewi menunjuk coki. Bergegas Coki mengeluarkan hp dan langsung bersilat lidah, "You-you kan punya hp. So, siapkan saja. Nah, Tejo akan kirim jawaban ke semua teman. Mengerti?"

"Belum, belum jelas.." Aku berseloroh

"Oke-oke, nanti Tejo dan aku akan bertukar jawaban. Nanti dengan sms, I sama Tejo akan sebar itu ke nomor kalian. Oya nanti daftarkan nomor you ke Dewi. Nanti kami akan group-kan." Jawab Coki.

"Kalau nanti ketahuan bawa hp?" Aku balik tanya.

Akhirnya Tejo menyuara, "Tenang. Aku sudah punya dua cara. Pertama kita kasih majalah atau koran di meja pengawas. Biar mereka lengah. Kedua, simple. Sembunyikan hp baik-baik."

"Plok...plok...plok...".

Kelas bergemuruh mendengar taktik itu. Ini modus baru. Kalau yang dulu-dulu pakai kertas lalu disembunyikan di toilet. Sungguh konvensional.
****

Dua tahun lalu, kami sekelas, dua belas ipa satu (rolas-ipa-siji) lulus seratus persen. Strategi berjalan baik, dan sukses tentunya. Curang? Kami jawab "Ya", absolutely "Ya". Tapi kami terdesak, oleh regulasi UN yang tiranik.

Tapi sungguh kami tak anjurkan kau mencontohnya. Lupakan saja. Semoga UN tak lagi tiranik. Namun, itulah sejarah kami. Sejarah rolasipasiji.(*)


sumber gambar bisa dilihat dengan klik gambar tersebut (istockphoto.com)


Monday, March 8, 2010

Kala Bangunan Impianku Roboh

Kata orang, Jakarta itu kota metropolitan. Itu nama ibukota dari sebuah negeri, yang kata nenekku, gemah ripah loh jinawi. Di sana ada kantor presiden. Oh, kalau ke sana, aku mau bertemu presiden ah. Sekalian bilang kalau kotaku perlu dibangun, dan kalau bisa singgah di sekolahku.

Aku membayangkan ibukota itu pastinya rapi. Mode transportasi akan memudahkan setiap mobilitas penghuninya. Jalan-jalannya tentu rapi. Sepertinya jakarta itu bersih. Maksudku ya bersih lingkungannya, ya bersih birokrasinya, ya bersih pemeritahannya. Kan itu pusat atau semacam episentrum penyelenggaraan negara. Kalau kotor, mana bisa mengatur. Kalau ibarat sapu, maka hanya sapu yang bersih yang akan membersihkan.

Pasti orang-orang kaya yang ada di sana. Ah, aku juga mau kaya nanti.

Aku lihat di TV itu banyak gedung yang wow tinggi-tinggi. Dalam hatiku, “Apa yang dikerjakan orang di sana?” Aku mengingat ayahku. Sebagai tukang servis mesin jahit, ia tak butuh berada di gedung macam itu. Tapi itu yang membuatku penasaran. “Kerja apa ya orang-orang di dalam sana itu?” Maka, pendek kata, sepertinya aku harus ke Jakarta.

Aku tak tahu bagaimana cara ke sana. Tapi sungguh, aku ingin ke tanah Batavia itu. Setahuku, hidup di Jakarta itu mahal. Sekali makan, ya minimal tiga kali lipat harga di Blitar. Kalau di Blitar kan dua ribu sudah kenyang. Lagipula, aku sendiri hanya diberi uang sepuluh ribu untuk jajan seminggu. Ya kau pasti tahulah alasannya. “Uang dari mana agar aku bisa ke sana?” bisikku pada diri.

Akhirnya muncul kesimpulan. Tak pakai uang. sudah, kalau memikirkan uang, aku tak akan ke Jakarta. Biarlah Tuhan yang urus semua ini, yang penting usaha.

Waktu itu aku kelas tiga SMA. Jadi ini kesempatanku untuk bisa melanjutkan sekolah ke Jakarta. Langsung saja melintas sebuah nama. Sebuah kampus terbaik di negeri ini. Universitas Indonesia. Aku harus ke sana, harus.

Dalam kaca mata marketing, maka yang aku alami ini namanya top of mind. Kalau soal, kampus, ya yang jadi top of mind tentu UI.

Aku cari cara bagaimana masuk kampus itu. Sebuah kampus yang jaket almamaternya berwarna kuning, yang siapapun akan bangga memakainya, lalu bekata, “I’m the yellow jacket!” keren bukan? Aku sering lihat itu di TV. Kata orang, banyak menteri lulusan kampus itu. Dalam hati, “Ya iyalah….”

Aku sampaikan pada ibuku kalau aku ingin ke jakarta, dan kuliah di UI. Aku ingat, muka beliau menunjukkan mimik kesenangan. Mungkin kau menerka, alasannya karena aku akan mengukiri diri dengan ilmu di universitas terbaik, tapi bukan itu saja. Ini adalah kali pertama klan keluargaku untuk bisa melihat anggotanya berkuliah. Kau tahu, dengan konteks berbeda, sebuah peristiwa juga punya efek berbeda-beda. Inilah contoh kaidah itu.

Seingatku aku dulu mengorek informasi di BK. Akhirnya aku temukan cara ke UI, PMDK. Namanya dulu PPTK, kalau tak salah. Sebuah jalur masuk tanpa tes tetek bengek. Hanya kirim foto kopi rapor saja dan isi biodata. Ekspektasiku begitu besar saat itu. Ingar bingar nama Jakarta juga membuat kemauanku makin kuat saja. Aku kirim dokumen aplikasiku itu.

Akan tetapi, sepertinya ekspektasi itu bertepuk sebelah tangan. Karena tak didukung partner yang berkorelasi positif, bangunan ekspektasi itu roboh sekaligus. Kampus terbaik itu menolak menerimaku. Mungkin baginya, penolakan ini biasa saja, ya sekedar meniup debu yang tak berarti, tak dikenali. Tak sesulit mendepak debu dari pundak. Tapi bagiku, depakan itu merobohkan bangunan impianku. Tentu membuat orang di sekitarku juga tak enak, apalagi ibuku.

Aku sendiri merasa agak berkhianat. Aku sendiri yang membuatnya senang, tapi aku juga yang membuatnya kesakitan, dalam hati. Mungkin bagi kau ini hal yang lumrah lah, tapi bagi keluargaku, kerobohan ini agaknya membuat kami patah arang. Pupus sudah turning point harapan kami. Sudah, sepertinya UI masih jauh panggang dari api.

Memang nasi sudah menjadi bubur. Yang dulu kekar kini layu. Tapi aku ingat, kata seorang ustadz, sebaiknya bubur itu dijadikan bubur ayam. Artinya alternatif itu masih terbuka, asal aku mau mencari alternatif itu. Robohnya impianku ternyata ditanggapi lunak oleh ibuku meski aku tahu beliau kecewa. Ia terus katakan padaku, “Tak usah kau gerami reruntuhan itu, lebih baik buat bangunan lain. Tuhan itu selalu tahu apa mau makhluknya. Cuma Dia lebih tahu kapan waktu untuk memenuhinya, jauh lebih tahu.”


Agaknya ada kembali sinar harapan, meski masih setitik-setitik nan tercerai . Tapi kalau mau mengumpulkan yang terserak itu, pastilah terkumpul juga. Kutatih energiku. Agak terseok-seok. Tapi harapan sang ibu membuat yang terseok itu tetap konsisten.

Sampai saatnya, aku pun menerima jawaban. Ini dari Tuhan, mungkin. Ketika aku bergabung dalam sebuah forum diskusi organisasi eksternal sekolah yang selama ini aku ikuti, aku mendapati sebuah lembaran kertas berisi sebuah informasi. Onggokan kertas itu memang hanya selembar, tapi informasi yang ada di dalamnya menebarkan aroma dunia. Betapa tidak, sepertinya alternatif itu sekarang ada di depanku. Ada kesempatan beasiswa di sebuah universitas di ibukota. Saat itu aku tak begitu kenal dengan kampus itu.

Aku telusuri di website. Kampus itu masih berumur 10 tahun, ya seumuran anak kelas 3 SD. “Bisa apa anak seumur kencur itu?” Tapi, kampus itu berani menawarkan sebuah program beasiswa berskala nasional. Tak tanggung-tanggung, seratus anak penerima akan menerima 100 juta per anak untuk 4 tahun studi. Jumlah uang itu 60 kali lebih, bila dibandingkan penghasilan perbulan ayahku yang sekitar 1,5 juta, itupun tak pasti.

Aku pakai logika sederhana saja. Meski kecil, tapi ia berani menggelar program semacam itu. Pikirku, meski tak tenar, kampus ini potensial. Dan pada saatnya potensi itu akan menyeruak nan mekar ke permukaan dan menyadarkan dunia bahwa “We are small, but giant.”

Aku penuhi semua persyaratan dokumennya. Seminggu lebih aku siapkan. Sejenak ini membuatku lupa pada bangunan lamaku. Pondasi bangunan impian ke UI sejanak aku kesampingkan. Aku kirimlah dokumen itu. Aku ini masih ingin ke Jakarta.

Pendek cerita, aku lolos ke tahap wawancara. Yang paling mendebarkan adalah ketika aku ditanya, “Ceritakan tentang dirimu?”

aku sadar, ini pertanyaan mudah, tapi jawaban akan menjadi sulit kalau aku bersandiwara. Kau tahu kenapa? Pertanyaan itu akan berlanjut sesuai jawaban. Semakin aku bersandiwara, maka semakin kelihatan aku ini orang bermuka dua, dan semakin jelas bahwa aku pasti, pasti tak diterima.

Tapi untungnya tidak. Itu hanya informasi buatmu. Semoga kau tak melakukannya ketika ada di posisi sepertiku.

Aku ingat sekali. Malam itu tanggal 16 Agustus, dua tahun lalu. Aku ke warnet untuk melihat pengumuman. Sebenarnya, seharusnya dua hari sebelumnya sudah diumumkan. Tapi sudahlah. Yang jelas tanggal 16 itu menjadi malam paling menentukan. Ini adalah bangunan impianku yang kedua. Kalau roboh lagi, ya sudah. Aku tak akan menyentuhkan kaki pada episentrum negeri. Aku akan meringkuk saja di bumi bung karno.

Tapi ternyata Tuhan merestui berdirinya bangunan kedua. Aku diterima. Program itu bernama Paramadina fellowship 2008. Akhirnya ada juga anggota klan keluargaku yang berkuliah. Tentu buatmu tak terlalu membanggakan, tapi bagiku ini ini luar biasa membanggakan. Kau tahu kenapa? Karena malam itu ketika aku sampaikan bahwa aku terpilih, ibuku tak henti-hentinya mengucap puji pada Tuhan, “Alhamdulillah….alhamdulillah…alhamdulillah..”

Dan paginya aku lihat ia bersujud lama sekali, mungkin sujud syukur.

Jadilah anak tukang servis mesin jahit ini berangkat ke ibukota. Aku ingin segera mengonfirmasi khayalanku tentang kota batavia ini. Tapi kenyataannya ketika aku lihat, ternyata ironi. Ya, ironi. Kau tahu maksudnya kan? Kau baca ulang paragraf kedua awal ceritaku ini, lalu pikirkan saja kebalikannya. Ya itu gambarannya ibukota.
****

Kawan, tebak dimana aku sekarang? Aku sekarang ini sedang berada di bangunan lama, tapi bukan sebagai penghuninya. Aku orang lain di sini, di UI. Memang aku akui, aku telah menjadi penghuni bangunan impian alternatifku, aku telah menjadi bagian Universitas Paramadina.

Tapi jujur, fondasi impianku yang pertama itu masih membekas di dadaku. Melihat UI membuatku sesak, meski sedikit. Karena ia pernah jadi impianku. Ah, mungkin masih ada keinginanku untuk menjadi bagiannya, meski sedikit.







UI, Depok, 7 Maret 2010

Thursday, March 4, 2010

Sejenak Berguru pada Marsilan

Kalau kau masih mempermasalahkan penampilan, harta dan kekayaanmu, maka mari aku ajak kau menilik kehidupan seorang petani dari Ranah Minang. Kalau kau masih meminta tunjangan macam-macam, mari kuajak menemui sang petani revolusioner dari negeri Malin Kundang. Kalau masih tak Peduli lingkungan, mari kuajak temui petani dari negeri yang jadi kampungnya orang Padang.

Aku buka koran Kompas pagi ini (5/3). Sedikit malas bin bosan. Headline beritanya masalah Century lagi. Masih juga masalah pemakzulan-lah, presiden yang tak tegas-lah. Semua itu seakan membuatku semakin pesimis saja. (Itu lagi-itu lagi…)

Tapi aku paksakan mataku untuk membuka koran itu lembar demi lembar. Akhirnya Tuhan menjawab kebosananku. Dia menunjukkan aku sebuah berita optimisme. Sebuah profil seorang petani dari Sumatera Barat, Marsilan namanya.

Kesederhanaan
Penampilannya sederhana. Wajahnya sudah bergurat bergaris, menandakan ia sudah setengah abad lebih di dunia. Tak banyak cing-cong. Tak pakai jas atau sepatu super mengkilat. Senyumnya juga tak menipu. Sungguh sebuah kesederhanaan yang kutemui. Aku semakin kagum ketika aku melihat apa yang ia raih.

Beliau menjadi petani berprestasi di kabupaten Padang Pariaman tahun 2000. Pada 2006, sang petani menjadi pentani pemandu teladan nasional. Dan yang paling update, beiau menjadi petani teladan nasional 2009. (Hah..yang bener, Mas…)

Cerita berawal pada 1996, Pak Marsilan mengalami kelangkaan pupuk kimia. Pada awalnya ini membuatnya bingung. Tapi mau bagaimana lagi, diam saja juga tak akan memberi solusi. Akhirnya ia memilih memakai pupuk organik. Ia kumpulkan kotoran-kotoran ternak untuk di jadikan pupuk. Ia akhirnya juga membuat pestisida organik pula dari campuran daun pisang, daun tembakau , dan daun surian.

Pada awalnya ia mengajak beberapa petani untuk bergabung dengannya. Tapi hasil tak membuat mereka puas. Hasilnya jauh dibanding lahan dengan pupuk kimia. Sebagian besar anggota kelompok pun patah arang. Tapi Marsilan terus tegar. Ia yakin bahwa hasil baik akan ia dapat, meski jangka panjang.

Pada akhirnya, hasil baik pun datang. Hasil lahanya jauh mengungguli lahan berpupuk kimia. Lahan Marsilan bisa mengasilkan 7,2 ton pe hektar, sementara yang berpupuk kimia hanya 5,2 ton. Ini yang membuat petani lainnya sadar akan kerja keras Marsilan.

Tolak Insentif Yang paling membuatku kagum adalah sikapnya yang tak besar kepala ketika sukses. Ketika dinobatkan menjadi petani teladan, ia ditawari uang insentif. Tak langsung ia terima saat itu. “Dengan biaya sendiri pun sebenarnya tak masalah.” Itu katanya. Sungguh ini berbeda dengan kebanyakan orang, yang kalau diberi tahu hal itu langsung jawab, “Mana-mana?” (Apalagi anggota dewan ya…)

Akhirnya aku hanya bisa melihat diriku sendiri yang serba kekurangan. Tak punya prestasi tapi maunya dihargai. Sungguh tak punya kontribusi. (Bagi diri sendiri saja tak ada, apalagi bagi bangsa…)

Oke lah kalau begitu, aku mengaku khilaf. Mohon maaf kalau selama ini aku berlagak menggurui. Tapi sungguh aku tak berniat seperti itu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa ada cerita menarik di belahan bumi sana. Kalau kau bisa menarik pelajaran, ya silakan diambil. Ya kalau tidak, aku mohon maaf.



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya (cetak.kompas.com).



Wednesday, March 3, 2010

Belajar dari Sufia

Penghargaan yang kuterima itu adalah hal yang memang luar biasa. Semua orang dan rekan-rekanku memberiku selamat. Tentu ini sebuah kebanggaan buatku. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya, penghargaan bergengsi di dunia ini kuraih.

Aku melambaikan tangan seraya berseru “Ini penghargaan bagi kaum miskin!”

Tapi, aku tetap meyakini, upayaku bukan inilah ukurannya. Penghargaan ini bukanlah wujud keberhasilan usahaku. “Ini hanya atribut, aku tak ingin bangga karena award yang kuterima”, kataku dalam hati sembari menerima penghargaan itu. Perjuanganku masih panjang. Masih banyak yang harus kulakukan. Masih ada tetanggaku yang belum makan, mungkin malam ini.
***

Aku bingung. Mataku tidak bisa menutup. Pikiranku masih berputar-putar. Sebagai seorang professor ekonomi, aku bingung atas apa yang telah aku berikan pada negeriku.

Tahun ini adalah tahun terburuk bagi negeriku. Kami dilanda bencana kelaparan. Aku tidak terlalu tahu sebabnya. Tapi sepertinya memang ada yang salah. Hari itu aku memutuskan untuk jalan-jalan. Mungkin akan ada inspirasi. Sepertinya aku bosan terus begini. Menjadi professor yang kerjaannya berargumen tentang teori-teori ekonomi.

Aku terkadang berdebat dengan rekan hanya karena kami berbeda teori yang digunakan. Kadang semalaman aku berdebat. Seakan aku tidak tahu kalau di luar sana masyarkat sedang berdebat juga, tapi bukan masalah teori. Mereka sedang berdebat dengan realita hidup. Mereka mendebat nyawa mereka dengan semangat perjuangan untuk hidup.

Selang beberapa hari setelah kebingunganku, aku memutuskan untuk turun ke lapangan. Aku pergi ke desa pinggiran kota tempatku tinggal, Desa Jobra namanya.

“Apa yang anda lakukan Bu?” Aku bertanya pada seorang perempuan tua setelah mengucap salam.
“Ya…hanya sebuah bangku kecil utuk menyambung hidup, minimal cukup untuk makan hari ini dan besok”

Aku lihat bangku yang dibuatnya cukup bagus. Aku lantas berkenalan dan akhirnya aku mengenal nama si perempuan tua itu. Sufia Begum namanya. Ia adalah pembuat bangku dari bambu. Ketika aku melihat kondisi rumahnya, aku yakin bahwa ini adalah salah satu paradoks yang selama ini aku tidak tahu. Muncul sebuah pertanyaan, bagaimana si tua dan miskin ini memodali usaha remehnya ini?

“Aku berhutang pada tengkulak di sana.” Jawab si Tua dengan suara yang mendesah.
Akhirnya perbincanganku mengalir begitu saja. Banyak informasi baru kudapat. Ibu itu menceritakan bahwa ia hanya meminjam uang 5 taka pada tengkulak untuk setiap banku yang dibuat. Masalahnya adalah ternyata ia harus membayar bunga sebesar hampir 25%. Dalam pikiranku, kebingungan semakin membara. Selama ini aku memperdebatkan bunga kredit perbankan yang hanya mencapai belasan persen, tapi nyatanya bunga yang 25% itu tak pernah aku singgung.

Diam-diam aku memukul-mukul kepalaku, “professor bodoh!” Aku berkata pada diri sendiri, “Oh Tuhan, hanya karena lima taka dia menjadi budak. Saya tidak mengerti mengapa mereka harus menjadi begitu miskin padahal mereka bisa membuat barang kerajinan yang bagus."

“Kenapa tidak meminta dari bank?”
“Saya tahu anda pasti bicara seperti itu karena Anda adalah seorang ekonom, tapi asal Bapak tahu, apa mereka mau memberi kami yang hanya bermodal semangat. Mereka itu memang pintar, Pak, dan kami memang bodoh. Anda pasti tahu itu karena anda adalah bagian dari mereka.

Tapi satu hal yang tidak Anda ketahui, kami ini punya semangat untuk hidup. Anda-anda saja yang tidak peduli. Anda tidak percaya dengan apa yang kami sebut semangat hidup. Anda butuh jaminan untuk mempercayai kami, sementara kami jelas tidak punya itu. Anda perlu tahu, kami akan terus berjuang untuk itu. Hidup kami adalah untuk anak cucu kami. Pak, kami akan terus hidup, tak peduli apa Anda peduli atau tidak.”

Sontak aku bingung harus bersikap apa. Aku memilih diam. Pertanyaanku tadi menjadi senjata makan tuan. Baru kali ini baru aku lihat seorang professor di ceramahi seorang pengrajin tua dan miskin yang tak pernah duduk di bangku sekolah. Dan, professor itu adalah aku.

Aku baru sadar bahwa banyak Sufia-Sufia lain di negeriku. Mereka berjuang demi mempertahankan diri dari serbuan penjahat bernama kelaparan. Sementara aku? Masih bingung. Aku tiap hari hanya berteori ini-itu. “Professor bodoh!” sekali lagi aku bergumam, tapi tidak lagi memukul kepala karena pukulan yang tadi masih menyisakan rasa sakit.

Aku pulang dengan sejuta kebingungan. Kebingungan dan keingungan. Aku memutar otakku yang sekarang terasa bodoh. Aku menelpon beberapa teman untuk meminta pedapat. Sayang, seperti dugaanku, jawaban mereka sangat normatif dan teoritis. Mungkin dulu aku menyukai jawaban itu, tapi sekarang tidak.

Aku masih memutar otak, ingin beranjak dari kebodohan atas kenyatan.
Akhirnya muncul pikiran radikal. “Kalau bank tidak bisa memberikan kredit, kenapa tidak aku saja yang beraksi” dalam hatiku aku berujar pada diriku sendiri, "Berikan uang kepada orang miskin, Yunus. Mereka akan bisa mengurus dirinya."
***

Aku mulai merogoh kocek,”Mungkin ada yang bisa aku perbuat dengan ini,” gumamku. Ada sekitar 27 dollar AS, ya sekitar 330 taka, yang kupunya. Keyakinanku begitu kuat untuk mengentaskan Sufia-Sufia itu dari belenggu kemiskinan. Aku ingin buktikan bahwa atribut professor yang kusandang adalah benar-benar tepat buatku, meski ini tidak akan pernah tercapai.

Dengan semangat mambara, aku turun ke lapangan. Sejenak menanggalkan atribut gelar yang kupunya, ”Sekarang tidak ada professor bernama Muhammad Yunus.” Aku adalah warga biasa yang ingin saling berbagi dengan yang lain.

Mulai aku distribsikan sedikit uang yang kumiliki. Tentu, pertama aku kunjungi si tua Sufia, si tua miskin yang mendadak menjadi guruku.

“Gunakanlah uang ini. Jangan ke tengkulak lagi.”
“Berapa kami harus membayarmu? Berapa bunga yang kau inginkan?”

Pertanyaan itu sedikit menyesakkan. Tapi aku menyadari itulah yang mereka alami selama ini. Mungkin ini tidak sebanding dengan apa yang mereka alami ketika berhadapan dengan regulasi perbankan. Mereka ditolak ketika meminta pertolongan dengan baik-baik. Ini, sepertinya, lebih menyesakkan bagi mereka. "Mengapa lembaga keuangan selalu menolak orang miskin? Mengapa informasi teknologi menjadi hak eksklusif orang kaya," kataku dalam hati.

“Anda tidak harus membayar bunga, tenang saja”
“Lalu apa yang menjadi jaminan bagi uang anda? Apa Anda yakin uang anda ini akan kembali?”
“Tenang saja, seperti apa yang anda katakan kapada saya, semangat hidup anda adalah jaminannya. Saya yakin anda akan berhasil mengembaliknnya dan Andapun akan berhasil dalam usaha anda.”
“Tuan, anda jangan bercanda!” Kata Sufia, keras sekali. Aku berusaha tetap melunak.
“Saya tidak bercanda. Apa saya pernah sekalipun bercanda ketika berbicara dengan Anda? Saya yakinkan pada Anda saya tidak main-main,” Jawabku tegas, ”Kalau anda masih tidak percaya, silakan bentuk satu kelompok untuk uang ini. Anda akan menjadi penjamin bagi teman Anda begitupun sebaliknya. Saya yakin anda akan berhasil”

Setelah berdiskusi panjang, akhirnya ia mulai menerimaku. Ia akhirnya mempercayaiku. Aku pun mulai mengembangkan usahaku ini ke Sufia-Sufia lain di tanah Bengali ini. Sama seperti sebelumnya, aku harus berdiskusi panjang untuk meyakinkan mereka bahwa aku bukan tengkulak yang akan menyiksa dengan bunga yang tidak masuk akal.
***

Sudah dua tahun. Tak terasa sudah banyak yang bergabung. Pinjaman yan kuberikan akhirnya diterima dengan baik. Aku selalu menyisakan uang gajiku bekerja di universitas untuk menambah modal. Ya tidak seberapa, tapi ini sudah cukup untuk terus menjalankan usahaku ini. Aku juga mengajak beberpa temanku untuk bergabung. Mereka sudah tahu apa yang menjadi tujuanku.

Diskusiku dengan Sufia dua tahun lalu akhirnya menjadi bentuk tetap usaha pinjaman yang aku jalankan. Untuk menjamin pembayaran, aku menggunakan sistem yang kunamakan ‘grup solidaritas’. Kelompok kecil yang bersama-sama mengajukan pinjaman, di dalamnya terdapat anggota yang bertindak sebagai penjamin pembayaran. Pinjaman ini mirip dana bergulir, di mana ketika satu anggota telah berhasil mengembalikan pinjaman, akan digunakan oleh anggota lainnya.

Aku memformulasikan usahaku menjadi sebuah bank, Bank Grameen namanya. Dalam bahasaku berarti Bank Desa. Bank ini akhirnya memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Modalnya 94 persen dimiliki nasabah, yakni kaum miskin, dan sisanya dimiliki pemerintah.

Aku terus berusaha. Bank tersebut kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS per bulan kepada 6,6 juta warga miskin yang menjadi peminjamnya. Sebanyak 96 persen nasabah bank ini adalah kaum perempuan. “Sepertinya upayaku tidak sia-sia,” Aku sedikit bergumam.

Aku juga melakukan kenekatan kembali. Pengemis aku beri pinjaman. Teman-temanku yang menjadi bankir menganggapku orang yang tidak relistis. Aku tak bergeming.

"Pengangguran menjadi pilihan bagi banyak orang miskin di Bangladesh, akibat dampak bencana banjir, perceraian, kematian tulang punggung penghasilan keluarga, cacat dan sebagainya. Dan banyak yang menjadikan mengemis menjadi pekerjaan seumur hidupnya," kataku dalam hati. Prinsipku adalah kredit ini kupahami sebagai hak asasi manusia.
***

Sudah tahun 2006. Sudah 30 tahun aku menjalankan Bank Grameen-ku. Aku tetap mengingat si tua Sufia yang menjadi guruku.

“Haha…seorang professor harus berguru dulu kepada orang miskin tak berpendidikan untuk jadi seperti ini,” aku tertawa dalam hati. Memang tidak realistis dan sangat tidak akademis, tapi ini kenyataan.

Tapi, tiba-tiba kota Dhaka, ibukota negeriku, ramai. Beberapa kerabat dan rekanku menelpon. Ada yang sekedar mengirim SMS. Telpon rumah dan telpon genggamku terlihat sibuk menerima omongan orang-orang itu.

“Selamat, Pak Yunus! Semoga penghargaan ini semakin membuat Anda maju!”
“Anda memang hebat, saya sagat bangga dengan Anda!”

Aku tidak menyangka ini akan terjadi padaku. Sampai-sampai sekjen PBB pun ikut-ikutan.

"Terima kasih pada Yunus dan Grameen Bank. Kredit mikro telah menjadi salah satu alat untuk memotong lingkaran kemiskinan yang paling membelit wanita," kata Kofi Annan, "Kita tak bisa mengatasi terorisme dengan perang langsung terhadap terorisme, tetapi dengan memberi akses kehidupan pada kaum miskin," lanjut Kofi Annan.

Komentar senada juga bermunculan dari berbagai pemimpin dunia, mulai dari Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Perancis Jacques Chirac hingga Raja Spanyol Juan Carlos.

Ya, untuk pertama kalinya orang Bangladesh mendapat penghargaan Nobel. Aku bukanlah selebriti yang sudah terkenal di dunia, juga bukan figur dan badan yang dijagokan, tetapi aku peduli pada pemberdayaan kaum papa dan wanita, mungkin itu alasannya.

“Komite telah memutuskan untuk menganugerahkan Nobel Perdamaian 2006 kepada Muhammad Yunus dan Grameen Bank. Itu adalah penghargaan atas usaha mereka menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial dari tataran paling bawah," demikian kata Ketua Komite Nobel Norwegia Ole Danbolt Mjoes, di Oslo, Jumat, 13 Oktober 2006.

“Muhammad Yunus telah memperlihatkan diri sebagai seorang pemimpin, yang menerapkan visinya ke dalam hal praktis demi peruntungan jutaan orang, tidak hanya di Bangladesh, tetapi juga di banyak negara," lanjutnya lagi.

“But, remember, I did not fight to get this award!” Tegasku, walau hanya dalam hati, malam itu.



Jazz Muhammad
Blogger Paramadina



*sumber gambar bisa dilihat langsung dengan klik gambar secara langsung