Friday, January 25, 2013

Mengemas Sejarah Gula Nusantara

PG Watoetoelis (ptpn10.com)
Ketika masih kecil, saya sering diajak Bapak (alm) pergi ke Kota Malang dengan bersepeda motor. Satu setengah jam lama perjalanannya dari kotaku, Blitar. Ketika telah sampai tujuan, aku sering bertanya-tanya mengapa banyak rel-rel kereta pengangkut tebu. Di Kota ini ada pabrik tebu yang besar, begitu katanya.

Tapi, jarang sekali saya mendapati kereta ini melintas. Seingatku, hanya sekali terlihat. Setelah sekian tahun, terakhir aku ke Malang, rel-rel itu mulai hilang. Sudah tak nampak lagi rel yang melintasi jalan raya karena terkubur aspal. Tak mungkin ada lagi kereta tebu lewat karena sudah diganti dengan truk-truk besar yang melintasi jalan raya.

Sebagai seseorang yang menyukai sejarah, bagiku ini sangat di sayangkan. Setidaknya, pabrik gula tadi sudah kehilangan salah satu nilai pentingnya: nilai sejarah. Mereka lahir sejak negeri ini belum bernama Indonesia. Tentu akan banyak sekali yang perlu dilakukan. Kalau begitu, harus mulai dari mana?

Pabrik gula di Indonesia
Tahun 1637 menjadi awal mula produksi besar-besaran gula di Hindia Belanda terutama di Jawa. Pembangunan pabrik-pabrik gula di Jawa tak lain adalah imbas dari permintaan gula di Eropa yang terus meningkat (Bachriadi, 1998). VOC sebagai organisasi dagang penguasa masa itu tentu tak mau melewatkan kesempatan ini.

Pada 1830, lewat tanam paksa (cuulturstelsel), pribumi diharuskan menanam tanaman wajib yang salah satunya tebu sebagai suplai utama pabrik-pabrik gula. Layaknya banyak cerita kolonialisme, bangsa Eropa-lah yang menikmati keuntungannya dan pribumi-pribumi negeri ini hanya menjadi kuli-kuli. Pada masa jayanya, banyak berdiri pabrik gula di Nusantara. Beberapa yang masih bertahan hingga kini adalah Pabrik Gula (PG) Kebon Agung di Malang. Inilah pabrik gula yang sedari kecil sering saya lihat. Hingga saat ini, telah terdapat 48 pabrik di Jawa dan 58 di luar Jawa (Thebioenergysite.com, 2012).

Bicara soal sejarah dan pabrik gula di negeri ini, adalah menarik untuk menilik intensi PTPN X yang akhir-akhir ini membuka program wisata pabrik gula. Apa menariknya? Bagaimana upaya untuk mengembangkannya?

Sunday, January 6, 2013

Heaven and Hell Are Not Mine...

On Easter Day 2012. Thanks Jade for hosting us
(Jade Sandbulte's doc.)
I was once asked by a friend, “What do you think about pluralism? Isn’t it against the mission of religions, especially yours, Islam? I mean how does this thing work? On one hand, people keep asking others to follow them because they think they are the best, but on the other hand, at the same time they think that they should embrace others no matter what religion they are.”

Literally, I was so confused. But here is the thing.

Two interpretations
To me, pluralism is a word filled with conflict. Seriously, it has been creating disappointment and even condemnation among religious people, especially among Muslims in my country. One group thinks that it means seeing and thinking all religions are the same. They all are the damn same. That’s where the problem began. They can’t accept this.

But the other group thinks differently. They accept pluralism as it means an understanding that embraces the diversity among human beings. People are created different so having different choices are the aftermath of that creation.