Saturday, October 16, 2010

Hadir untuk Perdamaian

doc. idris wahid

Menghadapi perbedaan memang sesuatu hal yang seringkali menyebalkan. Sudah pasti kau tahu, dan kau baca di media-media negeri ini: Perbedaan keinginan akan menimbulkan kekecewaan, perbedaan pola pikir apalagi. Perbedaan yang kedua ini yang kemudian menimbulkan konflik di sana-sini, sejak zaman Adam dampai saat ini.

Namun, marilah kita sejenak menjenguk isi terdalam pikiran; bahwa perbedaan hadir bukan untuk dipermasalahkan. Ia hadir untuk meramaikan konstelasi ilmu pengetahuan di dunia ini. Ia menghasilkan khazanah dunia yang selalu cantik menghias lintasan sejarah.

Perbedaan, sesuai arahan Kitab Suci, merupakan ladang untuk saling mengenal (ta’aruf) satu sama lain. Perbedaan yang kemudian terbungkus dalam konsep keberagaman (diversity, plurality) menjadi modal manusia untuk saling-tahu dan kemudian berbagi.

Sering mengemuka adagium bahwa keragaman adalah rahmat. Entah kau percaya atau tidak, bahkan aku pun tak juga terlalu memercayai. Yang jelas seuatu yang baik selalu akan baik. Dan perbedaan adalah baik. Tetapi, maka keberagaman yang berlandas pada perbedaan adalah kenyataan dalam hidup yang harus dihadapi dengan senang hati dan yang pasti keterbukaan.

Lain lubuk lain ikan
Beberapa hari lalu, 11-14 Oktober, saat ikuti sebuah rangkaian kegiatan bertajuk Asia Pacific Interfaith Youth Summit 2010 dengan tema, ‘Unity in Diversity; Strengthening a Culture of Peace’. Sesuai namanya, beberapa delegasi dari negara-negara Asia Pacific datang meramaikannya.

Di acara ini, aku dan teman-teman peserta lainnya—selanjutnya akan kusebut ‘kami’—disibukkan dengan seminar dan diskusi mengenai keberagaman mulai dari adat, agama, hingga keberagaman pola pikir. Aku sedikit terkejut, karena ini baru pertama kalinya, sungguh, dan ku-langsung dihadapkan kenyataan yang selalu buat konflik ini: keberagaman.

Benar juga. Lain lubuk lain ikan, berbeda orang berbeda pemikiran, dan seribu orang seribu pemikiran. Aku temui bermacam-macam orang, dengan keunikannya masing-masing. Beberapa negara yang mengirimkan delegasinya antara lain Thailand, Singapura, Malaysia, Afrika Selatan, Somalia, Philipina, Timor Leste dan beberapa lainnya.

Di antara pesan yang kudapat dari kegiatan tersebut adalah bagaimana menciptakan perdamaian adalah bukan pekerjaan mudah. Terlalu banyak permasalahan yang menyumbang kompleksitas konflik di dunia ini. tapi, bukan berarti tak bisa diselesaikan. Di antara pembicara yang hadir antara lain: Emmanuel Bienvenindo Marquez (DonDon), Inayah Wulandari Wahid (Inai), Sir Prof. Azyumardi Azra, dan beberapa pembicara lain dari dalam dan luar negeri.

Untuk perdamaian
Beberapa hal yang kudapati dari kegiatan ini adalah pentingnya membangun perdamaian di muka bumi ini. Banyak hal yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk mencapainya. Mulai dari pelayanan kepada komunitas, penghargaan terhadap perbedaan, dan membangun kepercayaan.

Seorang pembicara menjelaskan bahwa beraksi untuk membangun perdamaian di tengah-tengah keberagaman adalah bahwa kita harus keluar dari kenyamanan (comfort zone), kemudian memulainya dari diri sendiri, dan yang harus ditekankan adalah jangan sampai putus asa.

Tiga pillar yang harus diprioritaskan yakni membangun hubungan yang harmonis antar keyakinan, memberdayakan peran keluarga, dan meningkatkan intensitas pelayanan sosial yang bisa dilaukan (interfaith, family, and service).

Sebenarnya masih banyak materi yang bisa kusampaikan, tetapi ini akan jadi makalah ilmiah yang sedikit membosankan bagiku. Ini, kukira cukup.

Di samping aku terpenuhi oleh materi-materi, pertemuanku dengan orang lain dengan berbeda kultur adalah yang paling berharga. Ini tak akan dapat kutemukan di kampus atau juga di kampung halaman. Macam-macam orang kulihat. Apalagi, bahasa yang mereka gunakan juga berbeda. Ini memunculkan permasalahan tentunya: bahasa penyambung.

Tapi, dengan bahasa Inggrisku yang so-so, akhirnya aku pun punya kesempatan untuk practice di sana. Banyak hal yang kudapat tentang negara tetangga. Cerita tentang kemajuan Singapura, konflik agama di Pattani, kisah Islam di tanah Malaysia, juga kehidupan agama di Afrika.

Bertemu teman-teman baru adalah paling menyenangkan. Ini akan terus berkesan. Tidak mungkin tidak. Betapa ini membuka pikiranku bahwa kenyataannya di luar sana terlalu banyak dan memang sungguh sangat banyak yang aku tak ketahui. Maka kembali ke awal, keterbukaan adalah suatu hal yang tak boleh lepas. Dengan terbuka, aku dapatkan pelajaran menarik dari ‘orang-orang lain’ itu.

Tapi ketika mengenal, aku merasa kami ini adalah sama. Kami sama-sama manusia yang inginkan satu hal di dunia ini, harmoni dalam perdamaian. Inilah kemanusiaan.

Pertemuan ini , Asia Pacific Interfaith Youth Summit 2010, akhirnya menelurkan sebuah deklarasi yang bisa bisa kuberikan sebentar lagi.

Dialog-dialog antarkeberagaman harus terus dibangun. Keterbukaan harus terus dikedepankan. Menutup diri adalah hal paling bodoh dalam hidup, dan akan terus menjadi hal bodoh yang selau ditertawakan oleh waktu.

Keberagaman yang terbangun harus menciptakan sebuah masyarakat berperadaban (civil society), yang tahu harus berbuat apa atas perubahan, bukan berdiam diri lalu mengecam ketertinggalan. Membangun perdamaian bukanlah take and give, tetapi give, first ,and if there any, you can take it, but if not, just leave and give again to another. Dan perdamaian bukan hanya tugas pemerintah, ini tuga kita semua umat manusia. Karena menungu pemerintah selalu lama dan birokratis, bukan?

Yap, kita sampai pada saat aku harus sampaikan deklarasi yang telah kami susun dengan sebaik-baiknya niat, untuk beride dan berimplementasi.



****

doc. idris wahid






Asia Pacific Interfaith Youth Meeting DECLARATION

We, the active Youth participants of 2010 APYIM, Jakarta, Indonesia , firmly stand with our committent to strengthen respect,trust,tolerance, cooperation among the people of Asia Pacific and other countries with diverse culture and religions, strongly recommend to :
  1. Stop conflict in the name of religions
  2. Respect human right
  3. Uphold mutual Understanding and the dignity of nature
  4. Fight against corruption
  5. Strengthen Network with others.
By promoting peace building through Education and technology, accelerating the value of religions and cross-cultural understanding toward achieving global peace and human developement.

****

Monday, October 11, 2010

Di Kotak Sialan Ini, Beragam

ilustrasi (http://zakiakhmad.files.wordpress.com/)
Tak perlu dikatakan lagi. Kenyataan adalah sebuah hal yang bukan rekayasa. Kepahitan, kebahagaiaan, kealpaan, kehampaan, hingga ketidakjelasan akan sebuah eksistensi menjadi penghias lintasan waktu dunia yang tak mau tahu, tak peduli, omongan siapapun; maju terus!

Pikiranmu kenapa?! Ngelantur kau ini. Bicara realitas, lihatlah, kau ada dimana sekarang. Di kotak berjalan yang bau besi dan karatan ini, masih saja sempat berpikir macam itu. Sudahlah, apapun katamu, kenyataan akan selalu lebih nyata daripada omongan siapapun akan kenyataan.

Dan benar katamu, hai pikiran, yang sok kritis! Oke, kali ini aku tak mau macam-macam. Aku sudah benar-benar pening. Panas sekali di sini. Hidungku sejak tadi sudah harus kurelakan tersengat udara yang sudah terkontaminasi beragam materi entah apa ini. Busuk! Oh…

Orang-orang di sampingku ribut saja. Bokongku juga tak sempurna dapatkan dudukan. Ibu disampingku terlalu merampas. Badannya yang jumbo merampas hak dudukku. Padahal kan bayarnya sama?

Inilah kotak besi tua tak layak jalan yang harus dipaksa terus berjalan. Si pengemudi yang harus sedikit memiringkan badannya, karena kursi yang tak lurus dengan batang kemudi, sedari tadi merokok tak ada habisnya.

“Bu, bisa geser sedikit…” tawarku, lirih. Aku sudah tak tahan dari tadi. Ah, akhirnya ia paham juga, geser sedikit juga.

Inilah Kopaja. Angkutan tak layak yang masih saja beroperasi di Ibukota. Aku harus naiki ini, mau tak mau, karena ini yang cuma bisa kujangkau dengan isi kantongku. Aku akan ke kota sebelah. Ada pertemuan pemuda se-Asia Pacific dua hari lagi. Rencananya aku akan menginap di rumah teman dulu.

Aku tak mau kehilangan kesempatan ini. Kesempatanku bertemu ‘orang lain’. Beragam orang akan kutemui. Perbedaan yang nampak macam warna kulit, tingkah laku, dan bahasa, hingga yang tak nampak macam pola pikir akan kutemui. Kata orang, semakin banyak ita bertemu orang, makin kita tahu, dan makin kita terbuka.

Keterbukaan adalah awal dari perkembangan pengetahuan. Siapa juga yang tak mau pintar? Soal kenyataan hidup, inilah kenyataan: keberagaman.

Ah, mulai lagi kau pikiran! Itu nanti saja. Sekarang aku sudah mulai tak tahan. Macet pula jalan ini! Jalanan ibukota ini sudah terlalu sempit. Kota ini telah letih.

Tak usah jauh-jauh bicara soal keberagaman. Tak usah ndakik-ndakik. Di kotak berjalan nan sialan ini, yang namanya Kopaja, pun kau bisa lihat. Mari, mari kuberi tahu.

****

Barisan penumpang belakang diisi sebaris orang paruh baya yang kilau kemilau. Bukan apa-apa, tapi kulit merekalah yang kemilau oleh peluh yang rata merubung. Entah apa yang mereka bawa, karung-karung berukuran sedang berjejer kacau di hadapan mereka.

Sementara sang kenek teriak-teriak tak jelas, seorang perawan muda seperti tak tahu situasi duduk tepat dibarisan depanku. Pasalnya, telepon genggam dari sejak aku naik tak mau lepas dari kupingnya. Entah bicara dengan apa atau siapa, ia selalu menjawab dengan suara keras yang menambah silang-sengkarut kebisingan Kopaja ini makin lengkap. Ya, suara mesin tua yang menyebalkan dipadu dengan raungan perawan yang tahu tahu situasi itu. Hah!

Di sampingku seorang terlihat perlente. Dasi rapih menggantung di leher yang mulai diserbu peluh juga. Panas sekali, Mas? Sepertinya ia akan pulang kerja. Tak ada yang menarik baginya. Ia pancangkan muka ke depan dan sesekali, menarik napas panjang.

Ini yang paling kacau. Longlongan balita menambah kacau yang makin kompleks. Orang tuanya seakan tak bisa apa-apa. Ibunya menyorongkan susu dot yang selalu dimuntahkan. Sementara bapaknya menangani anak satunya, sang ibu masih berjuang keras ‘menaklukkan’ si kecil.

Tentu yang muncul adalah jengkel, awalnya. Tetapi hatiku sepertinya meronta. Betapa beruntungnya aku tak harus bersusah-susah demikian. Mereka yang harus kemana-mana naik angkutan umum sekeluarga, sepertinya, apa tak bahayakan si kecil? Tak ada pilihan lain, Nak. Ini mampu kami, kata mereka, maaf kalau si kecil ini merepotkan kalian… Kami terlalu menyayanginya.

Aku mendengus, menarik napas sedalam-dalamnya. Dan aku sadar, kalau keringatku telah sejak tadi mengular, menyungai di jidat. Kuseka barang sejenak.

Setengah jalan sebelum akau sampai tempat dimana akau akan bertemu macam-macam orang.

Kini naik pengamen. Masih muda, tapi terlalu kumuh. Gitar kecil, atau kecruk, ia genjreng, dan keluarlah nada-nada nyanyian—sumbang tak sumbang—dari mulutnya yang nampak lelah.

Aku cuma ingat, kalau ia dua kali menyanyikan lag Iwan Fals, dan bagian ini ia tekan-tekan nadanya: “Waaakil rakyat bukan paduan suara, jaaangan tidur kalau sidang soal rakyat!”. Andai saja ada wakil rakyat naik kotak ajaib sialan ini. Andai saja, dan akan tetap andai, karena itu tak mungkin. Radikalnya: Demi Allah, tak akan mau mereka itu.

Lelaki tak jauh di depanku masih terus asyik dengan headset yang sudah sejak tadi menutup pikirannya dari ruwetnya isi kotak ini. Berapa tingkat volume ia stel? Gila! Kacau begini masih bisa tenang. Habis mau apalagi, Bung?, katanya. Dinikmati saja, katanya lagi, ndak usah nesu, ndak usah mikir aneh-aneh. Mulutnya terus bergumam, menggeremang tak peduli.

Kusodorkan pada kenek duaribu perak. Hah?! Tak sopan sekali orang ini! Tangan kirinya ia sorongkan ditambah muka yang mengarah ke lain sisi. Oi, tak ada sopan santun di sini, Mas! Tak kan akan dihargai. Setidaknya itu kalau kau tak ikhlas. Bukanlah ikhlas tak butuh penghargaan?

Kacau. Kacau. Kacau! Ah, tapi sebentar lagi sampai. Tapi macet masih menggila!

Dan seorang berjenggot duduk tenang di belakangku, tepat. Celananya pendek di atas mata kaki dengan rompi mengurung kaosnya yang terlihat tua. Sebuah kopiah kecil menutupi kepalanya. Tangannya tak henti memutar selingkar tasbih. Bibirnya naik turun, dengan interval yang tak jauh. Sekiranya ia terus memohon pada Tuhan agar diberi keselamatan.

Betapa tidak, sopir Kopaja ini memang sedikit sinting. Mobil, atau gerobak, ini meliuk-liuk seenaknya di jalanan, sebelum akhirnya dihentikan paksa oleh kemacetan. Apa maunya sebenarnya? Gengsi?! Ah, gengsi macam apa ini. Tak jarang kami dibuat oleng ke kanan dan ke kiri. Dan sesekali aku hampir digeser habis oleh ibu jumbo sampingku. Untung kuda-kudaku sudah kusiapkan. Hap!

Beragam orang masuk ke kendaraan gila ini. Kepedulian dan ketidakpedulian tercampur aduk. Kekacauan berpadu impian ketenangan berintegrasi. Tapi semua satu, ingin sampai tujuan. Dan, kuharap bapak berjenggot tadi juga mendoakan kami semua, setidaknya sampai saja tak cukup, kami juga butuh selamat. Memang kau tak bisa doa sendiri? Doa orang banyak lebih mustajab.

Oya, satu hal yang terlewat, kotak ini, di sampaing kacau, juga jorok. Orang-orang tak tahu buang sampah di tempatnya. Tisu, bungkus permen, bekas wadah minuman tercecer merusak pandangan. Setidaknya buatku, tapi buat mereka yang tak tahu kebersihan, itu biasa, dan tak perlu dipikirkan. Buang-buang waktu saja!

****

Kawan, yang kau baca ini tak main-main. Kutulis sedetil-detilnya, sesungguh-sungguhnya. Biar kau tahu. Untung aku tak di Kopaja sialan itu lagi. Jadi tulisan ini bisa selesai. Ini sudah di kamar penginapan, yang setidaknya membuatku bisa cukup lancar menumpahkannya.

Sehari kemarin aku sudah menginap di kosan teman. Esok aku akan ikuti pertemuan pemuda se-Asia Pacific. Esok akan kutemui keberagaman lain dari beragamnya keberagaman di dunia ini. Keberagaman atas keberagaman, tak perlu didebat dan dirayakan. Ini kenyataan. Ada keberagaman di Kopaja, tak perlu cari jauh-jauh, atau ndakik-ndakik, dan ada keberagaman di esok juga. Dan waktu masih acuh saja; maju terus!

****

Jazz Muhammad

Selesai di Syahida Inn
UIN Ciputat, 10 Oktober 2010
Sehari sebelum Asia Pacific Interfaith Youth Summit 2010, 11-14 Oktober 2010



Wednesday, October 6, 2010

Jangan Sampai Sisa!

ilustrasi (arisrusman.web.id)
Mbok dihabisin sisanya!
Ah, males, udah kenyang

Kata Abraham Maslow, sebagai manusia, kebutuhan dasarnya adalah makan dan sebangsanya. Saya dan kamu adalah manusia ‘kan? Maka makan adalah kebutuhan dasar kita. Kalau kata ahli biologi, makan itu sumber energi untuk beraktivitas. Lalu kata pak ustadz, makan itu ibadah. Jangan bilang kalau kamu tak butuh makan! Bukan manusia berarti.

Maka kita harus makan! Memang itu kebutuhan dasar. Kalau tidak, bisa lemes. Tak bisa beraktivitas. Terus? Ke laut aja mas....hehe

Makan disebabkan oleh rasa lapar. Lalu kalau habis makan, maka kenyang. Udah tahu, Mas!

Tapi makan itu secukupnya. Jangan berlebih atau kurang. Artinya jangan sampai ada sisa atu juga sampai kekurangan. Saya teringat kata-kata Aa Gym. Beliau menyampaikan kalau, "Makan itu lebih baik nambah daripada sisa." Artinya? Ya kalau makan jangan kemaruk alias puo-puo alias rakus. Kalau makan itu secukupnya. Menyisakan makanan berarti menyia-siakannya.

Menyia-siakan berarti mubadzir. Kalau mubadzir berarti dosa. Lagi pula, masih banyak orang yang serba kekurangan, makan sekali sehari saja belum tentu. Terus kita malah buang-buang makanan. Hu...h!


sugiharto (detikfinance.com)
Suatu saat saya berkesempatan menonton langsung sebuah talk show bersama Pak Sugiharto. Ia adalah pengusaha sekaligus mantan menteri BUMN. Dia mengatakan kalau makan tak pernah sisa meski satu upo nasi. Kamu tahu kenapa? Ia adalah orang sukses yang mulai dari nol.

Ia tahu bagaimana rasanya hidup susah. Kerja serabutan, jadi tukang parkir, jadi penjaga bioskop. Ia tak mau ada sisa nasi dipiringnya. Ia tahu kalau mencari sesuap nasi itu susah.

Sementara kita yang kebetulan mendapat kemudahan malah saenake udele dhewe. Makan so' nyisa-nyisa. Alasannya sudah kenyang. Ya salah sendiri ngambilnya kebanyakan. Atau ya coba-coba saja.

Kadang kita berpikir kalau sisa makanan itu tak seberapa. Tak akan ngefek pada hidup. Tapi, kalau kita mau berpikir sejenak, maka sebenarnya berusaha makan tak bersisa itu adalah wujud hidup penuh penghargaan. Kita menghargai sesuatu mulai dari yang kecil. Mulai dari hal yang sepele seperti sisa makanan.

Kita menghargai bagaimana petani “menghidupkan” padi lalu meramutnya hingga menguning. Tak tahu matahari terik, mereka kebaskan batang-batang jerami di persawahan. Digiling, dikemas di pabrik, lalu sampai ke dapur kita. Tetapi, yang paling penting adalah kita menghargai pemberian Tuhan. Kita mensyukurinya, sebaik-baiknya.

Solusinya? Persis apa yang dikatakan Aa Gym. “Lebih baik nambah daripada sisa!” Jadi ngga ada alasan kalau sudah kenyang. Saya kira Aa Gym mengajak kita untuk sejenak berpikir sebelum bertindak. Jangan sampai ada yang sia-sia.

Masih banyak orang yang belum beruntung seperti kamu juga aku. Bayangkan, kebutuhan dasar saja mereka tak tentu bisa memenuhinya. Untuk makan besok saja masih belum pasti. Masih tega nyisain makanan?