ilustrasi (http://zakiakhmad.files.wordpress.com/) |
Pikiranmu kenapa?! Ngelantur kau ini. Bicara realitas, lihatlah, kau ada dimana sekarang. Di kotak berjalan yang bau besi dan karatan ini, masih saja sempat berpikir macam itu. Sudahlah, apapun katamu, kenyataan akan selalu lebih nyata daripada omongan siapapun akan kenyataan.
Dan benar katamu, hai pikiran, yang sok kritis! Oke, kali ini aku tak mau macam-macam. Aku sudah benar-benar pening. Panas sekali di sini. Hidungku sejak tadi sudah harus kurelakan tersengat udara yang sudah terkontaminasi beragam materi entah apa ini. Busuk! Oh…
Orang-orang di sampingku ribut saja. Bokongku juga tak sempurna dapatkan dudukan. Ibu disampingku terlalu merampas. Badannya yang jumbo merampas hak dudukku. Padahal kan bayarnya sama?
Inilah kotak besi tua tak layak jalan yang harus dipaksa terus berjalan. Si pengemudi yang harus sedikit memiringkan badannya, karena kursi yang tak lurus dengan batang kemudi, sedari tadi merokok tak ada habisnya.
“Bu, bisa geser sedikit…” tawarku, lirih. Aku sudah tak tahan dari tadi. Ah, akhirnya ia paham juga, geser sedikit juga.
Inilah Kopaja. Angkutan tak layak yang masih saja beroperasi di Ibukota. Aku harus naiki ini, mau tak mau, karena ini yang cuma bisa kujangkau dengan isi kantongku. Aku akan ke kota sebelah. Ada pertemuan pemuda se-Asia Pacific dua hari lagi. Rencananya aku akan menginap di rumah teman dulu.
Aku tak mau kehilangan kesempatan ini. Kesempatanku bertemu ‘orang lain’. Beragam orang akan kutemui. Perbedaan yang nampak macam warna kulit, tingkah laku, dan bahasa, hingga yang tak nampak macam pola pikir akan kutemui. Kata orang, semakin banyak ita bertemu orang, makin kita tahu, dan makin kita terbuka.
Keterbukaan adalah awal dari perkembangan pengetahuan. Siapa juga yang tak mau pintar? Soal kenyataan hidup, inilah kenyataan: keberagaman.
Ah, mulai lagi kau pikiran! Itu nanti saja. Sekarang aku sudah mulai tak tahan. Macet pula jalan ini! Jalanan ibukota ini sudah terlalu sempit. Kota ini telah letih.
Tak usah jauh-jauh bicara soal keberagaman. Tak usah ndakik-ndakik. Di kotak berjalan nan sialan ini, yang namanya Kopaja, pun kau bisa lihat. Mari, mari kuberi tahu.
****
Barisan penumpang belakang diisi sebaris orang paruh baya yang kilau kemilau. Bukan apa-apa, tapi kulit merekalah yang kemilau oleh peluh yang rata merubung. Entah apa yang mereka bawa, karung-karung berukuran sedang berjejer kacau di hadapan mereka.
Sementara sang kenek teriak-teriak tak jelas, seorang perawan muda seperti tak tahu situasi duduk tepat dibarisan depanku. Pasalnya, telepon genggam dari sejak aku naik tak mau lepas dari kupingnya. Entah bicara dengan apa atau siapa, ia selalu menjawab dengan suara keras yang menambah silang-sengkarut kebisingan Kopaja ini makin lengkap. Ya, suara mesin tua yang menyebalkan dipadu dengan raungan perawan yang tahu tahu situasi itu. Hah!
Di sampingku seorang terlihat perlente. Dasi rapih menggantung di leher yang mulai diserbu peluh juga. Panas sekali, Mas? Sepertinya ia akan pulang kerja. Tak ada yang menarik baginya. Ia pancangkan muka ke depan dan sesekali, menarik napas panjang.
Ini yang paling kacau. Longlongan balita menambah kacau yang makin kompleks. Orang tuanya seakan tak bisa apa-apa. Ibunya menyorongkan susu dot yang selalu dimuntahkan. Sementara bapaknya menangani anak satunya, sang ibu masih berjuang keras ‘menaklukkan’ si kecil.
Tentu yang muncul adalah jengkel, awalnya. Tetapi hatiku sepertinya meronta. Betapa beruntungnya aku tak harus bersusah-susah demikian. Mereka yang harus kemana-mana naik angkutan umum sekeluarga, sepertinya, apa tak bahayakan si kecil? Tak ada pilihan lain, Nak. Ini mampu kami, kata mereka, maaf kalau si kecil ini merepotkan kalian… Kami terlalu menyayanginya.
Aku mendengus, menarik napas sedalam-dalamnya. Dan aku sadar, kalau keringatku telah sejak tadi mengular, menyungai di jidat. Kuseka barang sejenak.
Setengah jalan sebelum akau sampai tempat dimana akau akan bertemu macam-macam orang.
Kini naik pengamen. Masih muda, tapi terlalu kumuh. Gitar kecil, atau kecruk, ia genjreng, dan keluarlah nada-nada nyanyian—sumbang tak sumbang—dari mulutnya yang nampak lelah.
Aku cuma ingat, kalau ia dua kali menyanyikan lag Iwan Fals, dan bagian ini ia tekan-tekan nadanya: “Waaakil rakyat bukan paduan suara, jaaangan tidur kalau sidang soal rakyat!”. Andai saja ada wakil rakyat naik kotak ajaib sialan ini. Andai saja, dan akan tetap andai, karena itu tak mungkin. Radikalnya: Demi Allah, tak akan mau mereka itu.
Lelaki tak jauh di depanku masih terus asyik dengan headset yang sudah sejak tadi menutup pikirannya dari ruwetnya isi kotak ini. Berapa tingkat volume ia stel? Gila! Kacau begini masih bisa tenang. Habis mau apalagi, Bung?, katanya. Dinikmati saja, katanya lagi, ndak usah nesu, ndak usah mikir aneh-aneh. Mulutnya terus bergumam, menggeremang tak peduli.
Kusodorkan pada kenek duaribu perak. Hah?! Tak sopan sekali orang ini! Tangan kirinya ia sorongkan ditambah muka yang mengarah ke lain sisi. Oi, tak ada sopan santun di sini, Mas! Tak kan akan dihargai. Setidaknya itu kalau kau tak ikhlas. Bukanlah ikhlas tak butuh penghargaan?
Kacau. Kacau. Kacau! Ah, tapi sebentar lagi sampai. Tapi macet masih menggila!
Dan seorang berjenggot duduk tenang di belakangku, tepat. Celananya pendek di atas mata kaki dengan rompi mengurung kaosnya yang terlihat tua. Sebuah kopiah kecil menutupi kepalanya. Tangannya tak henti memutar selingkar tasbih. Bibirnya naik turun, dengan interval yang tak jauh. Sekiranya ia terus memohon pada Tuhan agar diberi keselamatan.
Betapa tidak, sopir Kopaja ini memang sedikit sinting. Mobil, atau gerobak, ini meliuk-liuk seenaknya di jalanan, sebelum akhirnya dihentikan paksa oleh kemacetan. Apa maunya sebenarnya? Gengsi?! Ah, gengsi macam apa ini. Tak jarang kami dibuat oleng ke kanan dan ke kiri. Dan sesekali aku hampir digeser habis oleh ibu jumbo sampingku. Untung kuda-kudaku sudah kusiapkan. Hap!
Beragam orang masuk ke kendaraan gila ini. Kepedulian dan ketidakpedulian tercampur aduk. Kekacauan berpadu impian ketenangan berintegrasi. Tapi semua satu, ingin sampai tujuan. Dan, kuharap bapak berjenggot tadi juga mendoakan kami semua, setidaknya sampai saja tak cukup, kami juga butuh selamat. Memang kau tak bisa doa sendiri? Doa orang banyak lebih mustajab.
Oya, satu hal yang terlewat, kotak ini, di sampaing kacau, juga jorok. Orang-orang tak tahu buang sampah di tempatnya. Tisu, bungkus permen, bekas wadah minuman tercecer merusak pandangan. Setidaknya buatku, tapi buat mereka yang tak tahu kebersihan, itu biasa, dan tak perlu dipikirkan. Buang-buang waktu saja!
****
Kawan, yang kau baca ini tak main-main. Kutulis sedetil-detilnya, sesungguh-sungguhnya. Biar kau tahu. Untung aku tak di Kopaja sialan itu lagi. Jadi tulisan ini bisa selesai. Ini sudah di kamar penginapan, yang setidaknya membuatku bisa cukup lancar menumpahkannya.
Sehari kemarin aku sudah menginap di kosan teman. Esok aku akan ikuti pertemuan pemuda se-Asia Pacific. Esok akan kutemui keberagaman lain dari beragamnya keberagaman di dunia ini. Keberagaman atas keberagaman, tak perlu didebat dan dirayakan. Ini kenyataan. Ada keberagaman di Kopaja, tak perlu cari jauh-jauh, atau ndakik-ndakik, dan ada keberagaman di esok juga. Dan waktu masih acuh saja; maju terus!
****
Jazz Muhammad
Selesai di Syahida Inn
UIN Ciputat, 10 Oktober 2010
Sehari sebelum Asia Pacific Interfaith Youth Summit 2010, 11-14 Oktober 2010
bus reok, macet, polusi, memang udah santapan jakarta sih ya
ReplyDeletehehehe, btw dirimu di UIN ciputat? kuliah di sanakah? xDD
hahaha
ReplyDeletekeberagaman yg miris!
btw, pesta blogger juga temanya celebritng diversities tuh :D
hahahahahaha
ReplyDeletemang kan thu dah kbiasaan dlm kndaraan mtropolitan
emang angkutan umum di INdonesia gak ada yg bener
ReplyDeletebuat Teh Clara:
ReplyDeletehehe ada ya santapan gitu? sip2... eh aku bukan dari UIn, dari Paramadina
buat Mbak Maya:
iya, ini keberagaman yang harus dirayakan, tetapi sangat miris
buat Fendik:
tapi harus dibenahi ya... hehe
buat Teh Fanny:
hahaha ya ngga segitunya....
Jadi kangen suasana Jakarta. sabar mas sabar .... Alhamdulillah kini angkutan Antar kota di Jatim sudah banyak yang ber-Ac sehingga bisa membaca dengan tenang.
ReplyDeleteya sabar Bu... semoga kelak akan terbenahi...
ReplyDeletebelom pernah merasakan kopaja. pasti rasanya akan beragam juga..
ReplyDeletesalam kenal :)