Monday, March 7, 2011

Yang Syariah, yang Gaul Juga…

Eko dan ATM bank syariah-nya
Penampilannya nyentrik, dengan hanya berkaos oblong putih polos. Kadang juga pakai polo-shirt yang sedikit body-fit. Tatanan rambut sudah pasti ala masa kini dan kadang di-kerukup dengan topi gaul ala Mao Zedong. Celananya? Celana jeans tiga perempat sepertinya rutin ia pakai untuk hang-out, kecuali pas kuliah. Ia adalah Eko saputra.

Beberapa hari lalu saya sedikit terlibat diskusi dengannya. Mahasiswa Jurusan informasi dan teknologi (IT) di Universitas Paramadina ini secara umum, dari kenampakannya, sudahlah jelas kalau bisa dibilang: anak gaul masa kini. Ia akui bahwa berbusana yang up-date itu wajib. “Biar ngga ketinggalan jaman-lah gua ni,” ungkapnya lengkap dengan logat Jakarta yang kental dengan elo-gua-nya.

Ia juga teman saya sendiri di kampus yang sama. Namun, kami berbeda jurusan. Tentu anda bertanya-tanya, sebenanrnya saya ini mau nulis apa sih? Baiklah, yang jelas apa yang ingin saya sampaikan saya yakini ada manfaatnya.

Nabung kemana?
Dari diskusi yang serampangan itu, sampailah kami pada satu topik: menabung. Kami sadar bahwa menabung adalah aksi penting dalam hidup ini, apalagi di masa kami yang muda ini. Pertanyaan pun bergeser: kemana menabungnya? Itu pertanyaan saya pada Eko.

“Bank Syariah Mandiri. Elo?” saya tidak segera jawab. Melihat tampilannya, saya kira tak ada potongannya anak ini menabung di bank syariah. Tebakan saya sebelumnya adalah Bank Mandiri, atau BCA, atau BNI dan mungkin bank konvensional lainnya.

Tapi memang demikian kenyataannya. Ia tunjukkan pula buku tabungan dan kartu ATM-nya. “Nih, kalau ngga percaya…” tegasnya. Rupa-rupanya ia menangkap keraguan saya.

Keraguan saya tentu bukan tidak punya pijakan. Bahasa ilmiahnya, saya tentu punya referensi untuk meragu. Bank syariah selama ini adalah bank “percil” yang muncul untuk golongan tertentu. Mereka yang masuk bank syariah adalah yang berjenggot tebal, pakai kopyah yang laki-laki, dan berjilbab panjang, atau perlu pakai cadar sekalian bagi yang wanita. Ini adalah bank eksklusif dan untuk orang-orang tertentu saja. Tak ada tempat untuk orang-orang kantoran, pejabat, pengusaha, sampai anak gaul untuk ikut-ikutan bank syariah.

“Gua juga pake e-banking ama mobile-banking-nya… gimana-gimana?” tambah Eko lagi.

Setelah berjumpa dengan Eko, setidaknya saya mulai sedikit menggeser pandangan saya pada bank syariah ini. Penelusuran saya pun saya lanjutkan dan memang kenyataan persepsi saya bukanlah salah, tetapi itu tidak representatif.

Tengok sejarah
Di dunia perekonomian, sepak terjang bank syariah, menurut Hartono Sudiro—dosen mata kuliah bank dan lembaga keuangan di Universitas Paramadina—bermula di Mesir yang digawangi oleh Ahmad El Najjar pada 1963. Sampai 1967 bank syariah di dunia telah ada 9 unit. Perkembangan bank syariah terus bergulir hingga berdiri bank-bank lain di tempat lain pula seperti Islamic Development Bank (1974) oleh OKI, Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic bank of Egypt (1977), dan Faisal Islamic Bank of Sudan (1977).

Di Indonesia, Bank Muamalat hadir sebagai pionir perbankan syariah pada 1991 dengan dukungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Indonesia (ICMI). Sistem perbankan syariah pun segera dilegalisasi dengan dikeluarkannya UU no. 10 / 1998 yang menggantikan UU no. 7 / 1992. Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa bentuk bank di Indonesia ada dua: bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Sistem yang digunakan ada dua pula: konvensional dan syariah. Jadi bank umum bisa syariah atau konvensial, pun demikian pada BPR.

Perkembangan perbankan syariah kian pesat hingga pada 2010 kemarin, jumlahnya cukup banyak. Harian Republika (25/11/2010) memberitakan bahwa bank umum syariah (BUS) di Indonesia telah mencapai 11 bank, di antaranya adalah Bank Muamalat Indonesia, Bank Mandiri Syariah, Bank Mega Syariah, BNI Syariah, Bank Jabar Banten Syariah, Maybank Syariah. Sementara, unit usaha syariah (UUS) mencapai 23 bank. Sebagai contoh UUS adalah BRI Syariah, Bank DKI Syariah, BII Syariah, Bank Danamon Syariah, dll. Dan, jumlah BPR Syariah telah mencapai 146 bank.

Pertambahan asetnya juga kian mengesankan sebuah perkembangan yang menjanjikan. Aset bank syariah berkisar 86 trilliun hingga Oktober 2010 sementara proyeksi Bank Indonesia (BI), aset ini akan mencapai 125 trilliun pada 2011 (tempointeraktif.com, 2011). Jumlah nasabahnya pun pada akhir 2010 telah menapai 6,5 juta jiwa (surabaya.detik.com, 2010)

Slogannya menarik: beyond banking (lebih dari sekedar bank). Bank syariah hadir memberi alternatif sistem perbankan yang ada, yakni konvensional. Dengan sistem bagi hasil-nya, memberi semacam jalan baru untuk perbankan negeri ini. Kecanggihan teknologi pun telah bersentuhan dengan perbankan syariah ini. Seperti diuangkap Eko, fasilitas e-banking, bahkan mobile-banking sudah menjadi layanan bank-bank syariah dewasa ini.

Dengan rata-rata perkembangan mencapai 33 persen selama lima tahun ke belakang, tentu potensi perkembangan sistem alternatif ini menjadi sangat menarik dijadikan bahan diskusi (Republika, 2010).

Rangkuman strategi bertajuk Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah pun disiapkan oleh BI melalui Komite Perbankan Syariah Direktur Direktorat Perbankan Syariah pada 2009 lalu. Strategi ini meliputi beberapa strategi utama yakni pencitraan baru, pengembangan segmen, pengembangan produk, peningkatan pelayanan dan komunikasi yang terbuka dan universal.

Mendangkal
islamic banking (http://islamicbanking.info)
Namun, fakta-fakta perkembangan perbankan syariah yang fantastis tersebut belum bisa menghindarkan perbankan ini dari kesan eksklusif. Seperti yang saya ungkap sebelumnya, kesan eksklusif tersebut, sayangnya terjadi secara umum: bank syariah adalah bank-nya orang muslim, khususnya yang jenggotan, yang pakai jilbab panjang, dan bercelana cingkrang. Untuk Eko? Itu tentu kejutan bagi saya.

Hal ini tentu menjadi hambatan bagi perkembangan bank syariah sendiri. Unsur keterbukaan yang seharusnya menjadi semangat utamanya, tereduksi oleh mekanisme tersembunyi yang mengurungnya menjadi eksklusif.

“Bank Syariah memang menjadi sebuah ekspresi keagamaan terutama Islam, tetapi masyarakat muslim sendiri yang terlalu dangkal memaknai,” ujar Handi Risza, dosen Master Manajemen dan Bisnis Keuangan Islam di Paramadina Graduate School. Dia, yang saya temui sekitar sebulan lalu, menyatakan bahwa ekspresi keislaman pada bank syariah akhirnya mendangkal pada wacana halal-haram dan tertutup.

Perbankan syariah adalah sebuah tunas baru alternatif perbankan yang akan memberi manfaat yang sangat besar bagi siapapun, baik muslim maupun non-muslim, bila sukses dijalankan. Tentu itu semua butuh dukungan. Dan bank konvensional yang memiliki potensi bantuan yang kuat serta-merta ditinggalkan begitu saja eksistensinya. “Mereka bermimpi bangkit sendiri tanpa bantuan orang lain karena dianggap itu haram,” tambahnya kemudian, “masalahnya, ini mau berkembang atau tidak, mau sukses atau tidak”.

Menurutnya, penekanan bank syariah selama ini masih berkutat pada hal-hal fikih saja, sementara konsentrasi pada konsep pengembangannya sebagai jalur alternatif terkesan parsial dan akhirnya jalannya, meski menarik, tetap saja tertatih-tatih bila dibanding bank konvensional.

Pengenalan bank syariah pun terkesan hanya menyasar pasar orang muslim, sementara orang di luar muslim, yang seharusnya potensial sekali, diabaikan begitu saja. “Lihat saja iklannya, eksklusif kan? Konsepnya Islam itukan sebenarnya rahmatal lilalamin, seharusnya ya buat semua orang” kata Handi.

Menurut Handi, masyarakat muslim pengguna bank syariah ikut andil dalam peng-eksklusif-an bank yang potensial ini. Kebanyakan malas mengenalkan bank syariah kepada mereka yang dianggap ‘orang lain’. “Saya sebagai pengguna, tak akan segan-segan kenalkan ini ke semua orang.” tegasnya.

Namun akhir-akhir ini perkembangan bagus ditunjukkan, yakni masuknya bank-bank yang terkenal begitu konvensional dalam konstelasi perbankan syariah seperti bank BCA. Tentu ini pragmatis sekali pertimbangannya, tetap itulahyang dibutuhkan. Inklusivisme harus dibangun dengan tetap menegaskan posisinya sebagai perbankan yang ‘islami’ dan islami itu soal keterbukaan.

Jangan picik
Senada dengan Handi, Hartono menyatakan bahwa perkembangan perbankan syariah di Indonesia akan makin sulit berkembang bila eksklusivitas ini dipertahankan. Sebagai pengamat, dosen, dan mantan praktisi perbankan, ia menjelaskan bahwa salah satu kunci sukses bangunnya sebuah bank adalah memiliki afiliasi dan jejaring yang kuat dengan bank-bank lain.

“Pada dasarnya, anda harus tahu bahwa bank itu meletakkan idle money-nya, selain di SBI (sertifikat bank Indonesia), juga di bank-bank lain,” jelasnya.

Stereotyping eksklusif tidak bisa dihindarkan karena kebanyakan orang muslim masih memaknainya dalam kacamata halal-haram, riba – tidak riba. Bukannya itu tidak penting, tetapi ada sisi lain yang lebih perlu ditonjolkan yakni sifatnya yang alternatif dan tahan krisis.

Jarang terbentuk dialog terbuka tentang perbankan syariah dengan potensinya yang mengagumkan kepada orang yang non muslim, atau lebih ekstrem pada mereka yang tak berpenampilan islami, macam Eko tak masuk kategori islami ini tentunya. Alasannya klasik, bahwa mereka tidak islami sehingga tidak perlu bank syariah.

“Wooo, salah besar (kalau bank syariah hanya tertutup untuk yang ‘islami’)! Kalau mau yang benar-benar halal, nunggu saja duit dari langit, yang nyetak biar Tuhan sendiri. Kita jangan picik donk. Ekonomi itu sudah terintegrasi dan sistemnya saling silang sengkarut kemana-mana…” tegas Hartono dalam satu sesi kuliah yang saya ikuti.

Perbankan syariah memang telah terbuka di mata para pemangku kebijakan, misal BI sendiri, tetapi belum di kalangan grass-root.

Buat yang gaul dan tak gaul
Kembali ke Eko. Setelah saya tanya lebih dalam, ternyata alasannya juga menarik.

“Ya ini kan fair, dengan bagi hasil, ngga ada yang dirugikan. Makanya gua pake yang syariah,“ ungkapnya, “ya itung-itung ‘kan gua juga muslim, so ngga ada masalah-lah. Toh juga ini salah satu tuntunan agama kan?”

Saya tidak mengira dalam penampilannya yang nyentrik, ia punya sisi keagamaan yang ia jaga kuat-kuat. Dan ketika saya tanya soal mengapa ia tidak memakai yang konvensional saja, ia menjawab kalau sebenarnya sama saja, cuma karena ia ingin yang alternatif.

“Gua tuh bukan ngga suka sama yang konvensional. Ya mumpung masih muda, ini jadi investasi. Kali aja ini bank nanti gedhe dan gua pas udah jadi orang. ‘Kan lumayan itu. Jadinya win-win solution…” tandasnya kemudian.

Keterlibatan Eko yang gaul dalam perbankan syariah tentu akan mengejutkan kita semua, saya sendiri dan para pembaca yang budiman. Dan saya pribadi mendapat pandangan baru: Islami itu setidaknya bukan hanya mereka yang seperti kita persepsikan: berjenggot, berjilbab, dan semacamnya. Islami itu soal tindakan dan sikap. Islami itu soal substansi kehidupan yakni perilaku. Ini sebuah pelajaran sederhana yang sering kita lupakan. Kita cenderung memaknai sesuatu pada atributnya, bukan substansinya. Mana tahu preman pakaiannya jubah? Dan mana tahu ada ulama yang pakaiannya seperti Eko?

Kembali ke perbankan syariah. Memang sisi-sisi bank syariah yang bisa dibahas: mulai dari angka kemajuan yang pesat, namun tersisipi masalah pelik yang klasik, sampai giat perkembanganya yang telah memikat pemuda gaul untuk menjatuhkan pilihan padanya.

Kelihatannya jelas sudah bahwa napas dari perbankan syariah adalah keterbukaan dan kebutuhan akan bantuan untuk mengembangkan potensinya yang begitu besar. Selubung-selubung masalah memang masih mengganjal, tetapi semoga ini semua menjadi bahan bahasan dan renungan bersama, dan mungkin akan ada diskusi yang lebih serius untuk bagaimana meng-gaul-kan bank syariah agar Eko-Eko yang lain, yang gaul-gaul, juga bisa ikut bergabung dengan perbankan islami ini. Dan bukan hanya Eko, tapi semua orang, yang gaul dan tidak gaul, yang muslim dan non-muslim. (*)

tulisan ini dimuat juga di kompasianaku...
alhamdulillah dapat menang di ib blogger competition kompasiana...