Saturday, July 16, 2016

Katanya Sarjana? Mengerjakan Hal Kecil Saja Tidak Bisa!


Sudah lama sepertinya saya diwisuda. Sekitar 3 tahun lalu saya akhirnya lulus setelah kuliah 5 tahun lamanya. Memakai toga dan mendapatkan ijazah adalah dua hal terlihat membanggakan. Keluarga dan teman-teman dating memberikan selamat. Foto-foto kemudian.

Di era digital begini, kebahagiaan dan kebanggaan saat diwisuda langsung dapat disaksikan real-time. Foto-foto wisuda bertebaran di dunia media sosial hari itu juga. Teman-teman dan keluarga yang berada di tempat jauh langsung dapat informasi. Saya juga menulis ini karena timeline saya penuh dengan foto kebahagiaan kawan-kawan saya diwisuda. Selamat ya….

Meraih kelulusan di Indonesia tidaklah mudah. Ada ‘hantu’ tantangan besar berdiri kokoh sebelum sampai upacara wisuda: Skripsi. Sesusah-susahnya pasti dikerjakan juga. Untuk lulus dan wisuda. Namun apa sesudah wisuda?

Setelah seharian upacara wisudah selesai, hidup berjalan normal kembali. Ingar-bingar foto-foto, selfi-selfi dan gaya-gaya sudah selesai. Jalan kehidupan kembali normal, artinya kembali nyata: Menganggur atau bekerja. Kalau di kampus kita hanya berurusan dengan tugas, bacaan dan nilai-nilai, di dunia nyata ini mulailah kita berurusan dengan cara kerja, performa, gaji, project, olah data dan lain-lainnya. Kita juga berurusan dengan sikap orang lain terhadap tindak-tanduk kita.

Teori vs praktik 
Siapa sih yang tidak mempelajari bermacam-macam teori di bangku kuliah? Kita sampai ‘puas’ mengutip pendapat ini dan itu. Tapi namanya belajar, kita memang perlu tahu apa yang orang lain ketahui lebih dahulu. Kita berbicara tentang ide-ide besar yang kadang-kadang absurd.

Di dunia nyata, proses belajar sudah naik ke level praktik. Kita lebih banyak belajar dari pengalaman baik sukses maupun gagal. Level-nya adalah aksi dan insting. Di dunia kerja semua itu praktis. Apa yang dikatakan atasan kita, itulah yang kita paling tidak kita harus kerjakan. Artinya kalau mau kerjakan hal lain, perintah dilaksanakan dulu.

Kalau diminta nya mengetik surat, ya kerjakan dulu itu baru kerja yang lain.

Kalau di kuliah kita punya jangka waktu buat pengerjaan tugas, sama juga di dunia kerja. Hanya saja, jangka waktu untuk menyelesaikan tugas seringkali berubah-ubah. Karena itu, hasil kerja bagus harus didukung dengan kecepatan dalam menyelesaikannya. Speed, speed dan speed.

Teman main vs teman kerja 
Di kampus kita bisa punya banyak teman. Haha-hihi di sana sini. Main ke sana main ke sini. Asal kita baik teman juga akan baik. Apalagi royal (suka berbagi), pasti banyak temannya. Kecuali yang dibagikan kopi sianida, ya beda ceritanya. Hehe…

Di dunia kerja, kita mengenal teman juga, yang biasa dinamakan rekan kerja. Ini makhluk agak berbeda. Kalau kita bekerja tentu mencari teman yang ritme kerjanya sama dan sifatnya bisa saling membantu. Kalau ada rekan kerja yang males, itu namanya bukan rekan kerja. Rekan kerja adalah mereka yang punya etos dalam bekerja.

Pengalaman saya, tidak semua teman main di kuliah bisa jadi teman kerja. Ketika bicara soal pekerjaan, tidak semua teman suka bekerja (artinya menyelesaikan pekerjaan). Kalau sekedar teman untuk haha-hihi, banyak. Tapi teman yang mau kerja keras dan bekerja sama, itu kira-kira tidak banyak. Tak semua teman main bisa jadi teman kerja, begitu juga sebaliknya.

Nilai vs kompensasi 
Di kampus, setidaknya yang paling mendapat perhatian adalah nilai. Ini juga menentukan kelas sosial kita ketika menjadi mahasiswa. Tapi setelah nilai, apa? Selamat ya, sesederhana itu. Di dunia kerja pun demikian. Ada penilaian.

Namun penilaian di dunia kerja memiliki efek samping: kompensasi alias uang. Karena ada kompensasi ini, hasil pekerjaan kita dinilai dari manfaat yang diberikan ke organisasi atau perusahaan atau perorangan tempat kita bekerja. Berbeda sekali dengan dunia perkuliahan bukan? Pernah diberitahu seberapa besar esai-esai yang kita buat bermanfaat buat kampus? Seharusnya sih iya…

Dunia pekerjaan menuntut kita bukan hanya punya logika, yang selama ini kita pelajari di dunia kampus. Kita juga perlu insting yang kuat. Insting ini dibangun bukan dari ide-ide yang idealis, tapi kerja-kerja praktis sesuai target organisasi. Artinya, ketika yang dibutuhkan oleh organisasi adalah penginputan data, maka kita kerjakan input data itu. Bukannya bermimpi mengerjakan proyek.

Belajar dari pengalaman 
Saya pernah mengeluh karena dalam pekerjaan pertama saya, saya input data produk dan jasa perusahaan tempat saya bekerja. Seharian saya hanya memantau apakah data ini dan itu benar sesuai apa yang ada di gudang. Lulusan sarjana kok kerjaannya input daya, batin saya waktu itu.

Namun setelah beberapa bulan, input data telah selesai. Saya diminta untuk berhenti melakukannya. Saya mulai diajak untuk mengikuti rapat tim yang membahas organisasi data yang sudah saya buat untuk jadi acuan kerja tim tersebut. Hasil kerja saya tidak jelek-jelek amat, sudah memenuhi syarat. Tapi saya merasa ada yang bisa lebih diperbaiki.

Saya baru menyadari bahwa input data yang saya lakukan sebenarnya adalah hal penting bagi organisasi saya. Artinya ketika rapat berjalan, saya melihat hasil kerja saya sendiri yang tidak memuaskan. Dalam hati membatin dan menyesali diri sendiri: Katanya sarjana! Mengerjakan hal kecil saja tidak bisa!

Dari pengalaman itu saya menyadari bahwa apa yang saya selama ini bayangkan bahwa lulusan sarjana harus langsung mengerjakan ‘hal-hal’ besar, perlu direvisi. Tidak salah amat sih, cuma perlu diluruskan.

Ketika bekerja, kita punya tanggung jawab pada bukan hanya performa kita sendiri tapi juga organisasi. Itu yang menjadikan tanggung jawab semasa kuliah dan kerja berbeda. Selulus kita dari dunia kampus, akan lebih baik kita santai sejenak menyadari bahwa usai sudah masa berkutat dengan ide-ide. Dunia kerja itu dunia baru. Memerlukan cara pandang baru dan yang jelas kerja riil kita, implementasi ide-ide kita. (*)

1 comment:

  1. wah input data adalah pekerjaan pertamaku dulu, seperti remeh tapi sangat butuh ketelitian hehe. Btw apa kabar Jazz ? sukses selalu ye

    ReplyDelete