Thursday, November 9, 2017

Negara di atas agama: Refleksi dari New Zealand sampai Arabia era Rasulullah

Penampakan gereja di Wellington sebelum dirobohkan (Stuff.co.nz)

Sewaktu kecil, saya selalu tertarik mendengar cerita tentang bagaimana pasukan Turki Usmani menguasai Konstantinopel. Kemudian, mereka menhubah gereja Hagya Sofia menjadi sebuah masjid. Sebuah kisah yang heroik dan patut saya sebagai Muslim banggakan. Kisah nyata itu terdengar sebuah kemenangan dan capaian yang luar biasa. Gereja menjadi masjid, sebuah kemenangan umat Islam!

Bagaimana soal gereja masjid ini bisa jadi sebuah pelajaran untuk Indonesia? Ini menjadi sebuah pelajaran, setidaknya bagi saya, setelah beberapa waktu ini saya tinggal di New Zealand.

Gereja jadi masjid: masalah izin saja itu
Tentang Turki Usmani itu, bagaimana saya memandangnya sekarang? Sebenarnya masih sama. Sejarah kemenangan Turki Usmani itu memang kemenangan umat Islam. Tapi soal gereja menjadi masjid, itu persoalan lain.

Kalau ada gereja jadi masjid di Indonesia, saya berpikir akan banyak media yang jadikan itu headline mereka. Yang pro Islami bilang ini kemenangan umat. Yang non-islami bilang ada perampasan hak. Yang tengah-tengah? Tidak ada itu, takut bilang macam-macam soal agama. Negara bilang apa? Saya tidak yakin akan ada solusi.

Itu normanya, norma di komunitas kita orang Indonesia. Di komunitas lain di belahan bumi lain, beda ceritanya. Saya coba berbagi apa yang saya lihat, pelajari dan renungkan dari New Zealand.

Di Negeri the Hobbit ini, rumah ibadah apapun harus mengantongi izin dari pemerintah. Izinnya adalah tempat perkumpulan religi apapun agamanya. Jadi baik gereja maupun masjid atau pura pun izin dan persyarstannya sama. Di antara yang paling menonjol ada dua yakni kualitas gedung dan izin dari warga sekitar. Jadi agama apapun, kepercayaan apapun, kalau sudah mengantongi izin bangun gedung komunitas religi, ya silahkan bangun. Selamat anda bisa beribadah!

Namun izin membangun bangunan religi ini bukanlah perkara mudah. Gedung harus memiliki konstruksi khusus seperti sistem air yang bagus (khususnya buat masjid bagi orang wudlu) dan akses untuk penyandang disabilitas. Karena NZ ini rentan terhadap gempa, sebagian bangunan 'disunnahkan' bagi bangunan komunitas religi ini untuk memiliki konstruksi anti gempa.

Bagaimana menurutmu? Yang jelas untuk membangun masjid, gereja dan sebangsanya bukanlah perkara yang cepat dan mudah dikerjakan. Tentu bukan berarti tidak bisa dikerjakan. Sebab di NZ, setidaknya di Wellington, banyak sekali gereja. Saya melihatnya ini sepeti banyaknya langgar atau mushola di Indonesia. Setiap jarak 100 ada mushola.

Nah karena banyaknya persyaratan ini, orang harus berpikir matang untuk membangun sebuah rumah ibadah. Yang perlu diperhatikan adalah pemerintah NZ tidak melihat agama atau kepercayaan yang akan gunakan rumah ibadah itu. Yang pemerintah NZ pedulikan adalah gedung itu akan menampung yang namanya manusia. Jadi keselamatan nomor satu, bukan agamanya apa!

Konsekuensinya rumah ibadah umat satu bisa secara legal berubah menjadi milik umat yang lainnya. Biasa saja itu. Sebab yang izinnya sudah ada. Itu yang biasa terjadi di negara-negara maju lainnya seperti di NZ.

Menunggu rumah ibadah dijual
Umat Kristiani yang pertama datang ke NZ membangun banyak sekali gereja. Saking banyaknya, sering saya perhatikan ada dua gereja berbeda (berbeda denominasi) yang berseberangan. Ya cuma beda beberapa langkah saja. Karena perkembangan zaman, banyak generasi saat ini yang memilih untuk tidak terikat oleh agama sehingga banyak gereja yang mulai sepi. Sementara itu, gelombang datangnya umat lain khususnya umat Islam makin besar.

Bagi yang Muslim, tentu punya masjid itu wajib. Sebagian mengikuti alur permohonan izin gedung ibadah dari benar-benar dari nol karena memang punya tenaga dan dana yang besar. Bagi sebagian lain bagaimana? Semoga kamu tahu kemana arah diskusi saya.

Sebagian tentu menunggu kalau-kalau ada gereja yang mau tutup. Ketika ada yang akan ditutup, umat Islam membeli gereja tersebut untuk kemudian diganti menjadi masjid. Tidak ada isu-isu penaklukan atau perebutan yang macam-macam. Bagaimana dengan konsen dari warga sekitar? Orang-orang di NZ tidak peduli apa kepercayaan kamu asal kamu tidak membuat gaduh dan ramai-ramai di jalan.

Ngomong-ngmong, beberapa kali saat jumatan, pengurus masjid di NZ mengumumkan agar setelah sholat tidak merumpi ramai di depan masjid sebab itu mengganggu ketenangan masyarakat.

Perubahan gereja ke masjid pun juga bisa berjalan sebaiknya. Masjid jadi gereja. Tidak masalah karena konsennya bukan soal akidah macam-macam, tapi sudah dapat izin dari pemerintah atau belum.

Soal izin ini, saya secara langsung menyaksikan sebuah gereja harus dirobohkan karena gempa. Jadi November tahun 2016, NZ dilanda gempa hebat. Beberapa bangunan harus rela dihantam retak-retak. Gereja ini pun tak terkecuali.

Sejak gempa, gereja ini resmi ditutup karena keretaan karena gempa tidak bisa ditolerir dan membahayakan umat yanh beribadah di dalamnya. Alhasil pertengahan tahun 2017 ini, gereja itu pun diruntuhkan, diratakan dengan tanah. Benar-benar rata, sumpah.

Belajar dari NZ, juga dari Saudi dan Iran
Ada protes dan berita macam-macam? Tidak ada sama sekali. Masyarakat di NZ sudah tahu kalau memang kalau sudah tidak sesuai persyaratan gedung, ya harus diruntuhkan. Kalaupun itu masjid, nasibnya pun tak akan berbeda.

Apa sih pelajaran dari ini semua? Semua bisa menarik pelajaran secara masing-masing, tapi bagi saya, ini adalah pelaksanaan pemerintahan yang benar-benar menempatkan negara di atas apapun, termasuk agama. Istilahnya, negara harga mati (mirip NKRI harga mati).

Konsekuensinya, aturan yang paling tinggi adalah aturan pemerintah, bukan aturan agama atau semacamnya. Dalam bahasa Inggris, ini sering disebut rule of law. Agama apapun, semua harus tunduk dengan pemerintah (beserta hukum dan tafsirannya). Kalau tidak sejalan, mau tidak mau harus mengalah.

Apakah ini bukti bahwa saya mulai berpikir negara harus dipisah dengan agama? Itu tergantung. Bisa iya bisa tidak. Dalam hal ini saya harus sedikit bahas Arab Saudi dan Iran.

Dua negara ini kelihatannya bisa jadi contoh utama bagaimana negara menyatu dengan agama. Arab Saudi menganut Islam Sunni Wahabi, sementara Iran Syiah. Jujur saya pribadi tidak punya tendensi mana yang lebih baik. Akan tetapi dalam hal pemerintahan, dua negara ini mirip-mirip yang kita bisa belajar dari mereka.

Berbeda dengan NZ, keduanya menjadikan pemahaman tertentu dari agama Islam sebagai landasan negara. Jadinya semua aturan mengikuti sekte atau aliran tersebut. Apakah sekte lain dan agama selain Islam tidak boleh hidup di dua negara itu? Boleh-boleh saja, asal tetap ikut aturan dan khususnya tidak macam-macam dengan sekte yang memang dianut pemerintah.

Dari sini, kita bisa menarik benang merah bahwa baik NZ, Arab Saudi dan Iran memiliki satu kesamaan: negara di atas agama.

Kita bisa berselisih soal ini, tapi saya jelas melihat negara yang punya kontrol penuh terhadap apapun yang bernaung di bawahnya termasuk agama. Kalau NZ punya rule of law, Saudi punya rule of Sunni-Wahabi, dan Iran rule of Shia. Bagaimana dengan Arab Saudi yang Sunninya Wahabi?

Saya pribadi kurang sreg dengan mazhab ini, tapi saya harus belajar dari pemerintah Saudi yang punya kontrol penuh terhadap pemahaman Islam yang berkembang di negaranya. Artinya, siapa yang berhak menafsirkan agama? Negara-negara ini memberikan jawabannya, yakni pemerintah.

Di Indonesia bagaimana?
Kembali ke persoalan pemerintah, bagaimana di Indonesia jika ada gereja jadi masjid atau sebaliknya? Saya memprediksi itu langsung jadi headline berita nasional, atau paling tidak jadi buah bibir dan perdebatan masyarakat.

Saya melihat pemerintah di Indonesia belum punya kontrol penuh terhadap kehidupan beragama di dalam negaranya. Pendapat ini pastinya bertentangan dengan ide-ide konservatif maupun liberal. Kata yang konservatif, agama harus sesuai dimana agama itu diturunkan. Kalau Islam ya harus seperti zaman Rasulullah misalnya. Kalau Kristen, harus seperti yang ada di Eropa. Kalau yang liberal, agama harus bebas ditafsirkan. Siapapun bebas berpendapat soal agama.

Dalam hal tafsir agama, siapa yang benar? Menurut saya jawabannya tinggal pilih saja. Mau konservatif mau liberal silahkan. Tapi dalam hal bernegara, bila Indonesia mau mengadopsi ajaran agama dalam hukum dan tata kenegaraan nya, perlu ada satu tafsir tunggal yang dianut oleh pemerintah.

Di Indonesia, saya melihat setiap pemerintah yang berkuasa seperti setengah-setengah pendiriannya. Inginnya semua berada dalam satu payung hukum. Inginnya harus ada rule of law. Tapi di sisi lain suka mengakomodir agama dengan berbagai perbedaan tafsirnya.

Di NZ terdapat pastor yang kena penjara rumah karena memalsukan dokumen imigrasi seseorang yang ia rekomendasi untuk masuk NZ. Kata pastornya, ia ingin membantu seseorang demi Tuhan agar orang tersebut punya masa depan baik. Tapi bagi imigrasi NZ, apa yang pastor lakukan itu melanggar hukum. Jadilah dia dipenjara tak peduli dia adalah pemimpin agama. Orang yang ia bawa ke NZ akhirnya dideportasi.

Di Indonesia, beberapa ustadz dan kiai jelas-jelas tidak mengakui demokrasi dan pancasila. Secara hukum, seharusnya mereka perlu dicabut kewarganegaraannya dan dideportasi. Itu solusi simulasi sederhana dari saya. Maksudnya, kalau ada yang tidak sejalan dengan hukum dan paling penting ideologi dasar negara, baik itu secara aksi maupun hanya ide, bagi saya mereka perlu segera ditindak secara hukum yang berlaku.

Saya yakin kalau ada orang yang tinggal di Saudi lalu macam-macam tidak sejalan dengan fatwa ulama-ulama utama negara tersebut, sudah dipastikan mereka akan kena hukuman. Begitu juga di Iran. Bukan berarti saya setuju Wahabisme atau Shiah, akan tetapi saya harus apresiasi ketegasan dari negara-negara tersebut dalam menegakkan hukumnya.

Dari diskusi sederhana ini, kita melihat bahwa Indonesia perlu atau bisa belajar dari negara-negara yang yang telah tegas menetapkan hukum dalam negaranya baik itu rule of law (NZ), rule of Sunni-Wahabism (Saudi), maupun rule of Iranian Shi’ism (Iran).

Siapa tafsirkan rule of law di Indonesia?
Kongkret nya bagaimana untuk Indonesia? Kita telah banyak mendengar Pancasila, UUD 45 dan akhir-akhir ini Islam Nusantara. Saya melihat tiga hal itu dapat menjadi rujukan tunggal pemerintahan di Indonesia. Tiga hal itu, jika dilihat kembali, seperti gabungan antara rule of law dan rule of religion. Jadi ketika ada yang tidak bisa sejalan dengan dasar negara tersebut, mereka bisa diproses secara hukum dan dihapus kewarganegaraannya.

Pertanyaannya, bagaimana kalau ada beda penafsiran soal dasar negara tersebut? Siapa yang berhak memberikan penafsiran? Siapa yang berhak menjadi rujukan tafsir yang utama? Sekali lagi, jawabnya pasti pemerintah yang sedang memimpin. (saya mau bilang pemerintah yang berkuasa, rasanya negatif sekali)

Memang ini kesannya mengarah ke rezim makiavelian atau otoritarian. Saya awalnya juga berpikir begitu. Tapi kalau kita bicara rule of law, pada akhirnya pemerintah yang punya keputusan akhir di setiap proses-proses dan kejadian-kejadian di negaranya. Kita bisa berdebat di pengadilan soal tafsir hukum, tapi ketika palu sudah diketok, semua harus taati keputusan.

Suka atau tidak, kita semua tidak akan pernah punya satu tafsir yang disetujui semua umat atas hukum atau agama. Karena itu dalam bernegara, adanya tafsir utama sangat diperlukan.

Pasti ada yang tidak terakomodasi. Ya itu konsekuensi dalam berkomunitas. Di dalam keluarga saja kita sering punya perbedaan pendapat soal macam-macam dari makanan hingga agama. Kalau ide soal tafsir utama ini mengarah ke makiavelian, bagi saya itu karena masalah manusianya. Kalau dapat pemimpin yang kapabel ya akan jadi seperti NZ, kalau tidak kapabel ya jadi seperti Yaman.

Kembali ke soal gereja jadi masjid dan sebaiknya, gereja dan kemungkinan rumah ibadah lain dirobohkan, kita belajar betapa pentingnya negara punya kontrol penuh terhadap agama. Ini berlaku juga bagi negara yang memang menganut agama jadi dasar negaranya. Artinya kalau negara itu negara agama seperti Saudi dan Iran, maka Islam (versi mereka) harus menjadi rujukan utama hukum dan aturan-aturan di dalam negara tersebut.

Sedemikian juga, sebagaimana saya saksikan betapa umat Muslim dan Kristiani benar-benar mengikuti aturan pemerintah di NZ. Ini mengingatkan saya bagaimana umat-umat lain semasa Rasulullah tunduk pada aturan dan hukum yang beliau tetapkan.

Apakah Rasulullah kemudian otoriter? Banyak studi menunjukkan kebalikannya. Beliau dapat mengakomodir pendapat berbagai pihak. Hanya saja, ketika sudah pada tahap keputusan, beliau punya kontrol penuh dan bagi yang tidak bisa menerima, hukuman adalah konsekuensinya. (*)

Wellington, 10 November 2017

No comments:

Post a Comment