Penampakan gereja di Wellington sebelum dirobohkan (Stuff.co.nz) |
Sewaktu kecil, saya selalu tertarik mendengar cerita tentang
bagaimana pasukan Turki Usmani menguasai Konstantinopel. Kemudian, mereka
menhubah gereja Hagya Sofia menjadi sebuah masjid. Sebuah kisah yang heroik dan
patut saya sebagai Muslim banggakan. Kisah nyata itu terdengar sebuah
kemenangan dan capaian yang luar biasa. Gereja menjadi masjid, sebuah
kemenangan umat Islam!
Bagaimana soal gereja masjid ini bisa jadi sebuah pelajaran
untuk Indonesia? Ini menjadi sebuah pelajaran, setidaknya bagi saya, setelah
beberapa waktu ini saya tinggal di New Zealand.
Gereja jadi masjid: masalah
izin saja itu
Tentang Turki Usmani itu, bagaimana saya memandangnya
sekarang? Sebenarnya masih sama. Sejarah kemenangan Turki Usmani itu memang
kemenangan umat Islam. Tapi soal gereja menjadi masjid, itu persoalan lain.
Kalau ada gereja jadi masjid di Indonesia, saya berpikir
akan banyak media yang jadikan itu headline mereka. Yang pro Islami bilang ini
kemenangan umat. Yang non-islami bilang ada perampasan hak. Yang tengah-tengah?
Tidak ada itu, takut bilang macam-macam soal agama. Negara bilang apa? Saya
tidak yakin akan ada solusi.
Itu normanya, norma di komunitas kita orang Indonesia. Di
komunitas lain di belahan bumi lain, beda ceritanya. Saya coba berbagi apa yang
saya lihat, pelajari dan renungkan dari New Zealand.
Di Negeri the Hobbit ini, rumah ibadah apapun harus
mengantongi izin dari pemerintah. Izinnya adalah tempat perkumpulan religi
apapun agamanya. Jadi baik gereja maupun masjid atau pura pun izin dan
persyarstannya sama. Di antara yang paling menonjol ada dua yakni kualitas
gedung dan izin dari warga sekitar. Jadi agama apapun, kepercayaan apapun,
kalau sudah mengantongi izin bangun gedung komunitas religi, ya silahkan
bangun. Selamat anda bisa beribadah!
Namun izin membangun bangunan religi ini bukanlah perkara
mudah. Gedung harus memiliki konstruksi khusus seperti sistem air yang bagus
(khususnya buat masjid bagi orang wudlu) dan akses untuk penyandang
disabilitas. Karena NZ ini rentan terhadap gempa, sebagian bangunan
'disunnahkan' bagi bangunan komunitas religi ini untuk memiliki konstruksi anti
gempa.
Bagaimana menurutmu? Yang jelas untuk membangun masjid,
gereja dan sebangsanya bukanlah perkara yang cepat dan mudah dikerjakan. Tentu
bukan berarti tidak bisa dikerjakan. Sebab di NZ, setidaknya di Wellington,
banyak sekali gereja. Saya melihatnya ini sepeti banyaknya langgar atau mushola
di Indonesia. Setiap jarak 100 ada mushola.
Nah karena banyaknya persyaratan ini, orang harus berpikir
matang untuk membangun sebuah rumah ibadah. Yang perlu diperhatikan adalah
pemerintah NZ tidak melihat agama atau kepercayaan yang akan gunakan rumah
ibadah itu. Yang pemerintah NZ pedulikan adalah gedung itu akan menampung yang
namanya manusia. Jadi keselamatan nomor satu, bukan agamanya apa!
Konsekuensinya rumah ibadah umat satu bisa secara legal
berubah menjadi milik umat yang lainnya. Biasa saja itu. Sebab yang izinnya
sudah ada. Itu yang biasa terjadi di negara-negara maju lainnya seperti di NZ.
Menunggu rumah ibadah
dijual
Umat Kristiani yang pertama datang ke NZ membangun banyak
sekali gereja. Saking banyaknya, sering saya perhatikan ada dua gereja berbeda
(berbeda denominasi) yang berseberangan. Ya cuma beda beberapa langkah saja.
Karena perkembangan zaman, banyak generasi saat ini yang memilih untuk tidak
terikat oleh agama sehingga banyak gereja yang mulai sepi. Sementara itu,
gelombang datangnya umat lain khususnya umat Islam makin besar.
Bagi yang Muslim, tentu punya masjid itu wajib. Sebagian
mengikuti alur permohonan izin gedung ibadah dari benar-benar dari nol karena
memang punya tenaga dan dana yang besar. Bagi sebagian lain bagaimana? Semoga
kamu tahu kemana arah diskusi saya.
Sebagian tentu menunggu kalau-kalau ada gereja yang mau
tutup. Ketika ada yang akan ditutup, umat Islam membeli gereja tersebut untuk
kemudian diganti menjadi masjid. Tidak ada isu-isu penaklukan atau perebutan
yang macam-macam. Bagaimana dengan konsen dari warga sekitar? Orang-orang di NZ
tidak peduli apa kepercayaan kamu asal kamu tidak membuat gaduh dan ramai-ramai
di jalan.
Ngomong-ngmong, beberapa kali saat jumatan, pengurus masjid
di NZ mengumumkan agar setelah sholat tidak merumpi ramai di depan masjid sebab
itu mengganggu ketenangan masyarakat.
Perubahan gereja ke masjid pun juga bisa berjalan sebaiknya.
Masjid jadi gereja. Tidak masalah karena konsennya bukan soal akidah
macam-macam, tapi sudah dapat izin dari pemerintah atau belum.
Soal izin ini, saya secara langsung menyaksikan sebuah
gereja harus dirobohkan karena gempa. Jadi November tahun 2016, NZ dilanda
gempa hebat. Beberapa bangunan harus rela dihantam retak-retak. Gereja ini pun
tak terkecuali.
Sejak gempa, gereja ini resmi ditutup karena keretaan karena gempa tidak bisa ditolerir dan membahayakan umat yanh beribadah di dalamnya. Alhasil pertengahan tahun 2017 ini, gereja itu pun diruntuhkan, diratakan dengan tanah. Benar-benar rata, sumpah.
Sejak gempa, gereja ini resmi ditutup karena keretaan karena gempa tidak bisa ditolerir dan membahayakan umat yanh beribadah di dalamnya. Alhasil pertengahan tahun 2017 ini, gereja itu pun diruntuhkan, diratakan dengan tanah. Benar-benar rata, sumpah.
Belajar dari NZ, juga
dari Saudi dan Iran
Ada protes dan berita macam-macam? Tidak ada sama sekali.
Masyarakat di NZ sudah tahu kalau memang kalau sudah tidak sesuai persyaratan
gedung, ya harus diruntuhkan. Kalaupun itu masjid, nasibnya pun tak akan
berbeda.
Apa sih pelajaran dari ini semua? Semua bisa menarik
pelajaran secara masing-masing, tapi bagi saya, ini adalah pelaksanaan
pemerintahan yang benar-benar menempatkan negara di atas apapun, termasuk agama.
Istilahnya, negara harga mati (mirip NKRI harga mati).
Konsekuensinya, aturan yang paling tinggi adalah aturan
pemerintah, bukan aturan agama atau semacamnya. Dalam bahasa Inggris, ini
sering disebut rule of law. Agama apapun, semua harus tunduk dengan pemerintah
(beserta hukum dan tafsirannya). Kalau tidak sejalan, mau tidak mau harus
mengalah.
Apakah ini bukti bahwa saya mulai berpikir negara harus
dipisah dengan agama? Itu tergantung. Bisa iya bisa tidak. Dalam hal ini saya
harus sedikit bahas Arab Saudi dan Iran.
Dua negara ini kelihatannya bisa jadi contoh utama bagaimana
negara menyatu dengan agama. Arab Saudi menganut Islam Sunni Wahabi, sementara Iran Syiah.
Jujur saya pribadi tidak punya tendensi mana yang lebih baik. Akan tetapi dalam
hal pemerintahan, dua negara ini mirip-mirip yang kita bisa belajar dari
mereka.
Berbeda dengan NZ, keduanya menjadikan pemahaman tertentu
dari agama Islam sebagai landasan negara. Jadinya semua aturan mengikuti sekte
atau aliran tersebut. Apakah sekte lain dan agama selain Islam tidak boleh
hidup di dua negara itu? Boleh-boleh saja, asal tetap ikut aturan dan khususnya
tidak macam-macam dengan sekte yang memang dianut pemerintah.
Dari sini, kita bisa menarik benang merah bahwa baik NZ,
Arab Saudi dan Iran memiliki satu kesamaan: negara di atas agama.
Kita bisa berselisih soal ini, tapi saya jelas melihat
negara yang punya kontrol penuh terhadap apapun yang bernaung di bawahnya
termasuk agama. Kalau NZ punya rule of law, Saudi punya rule of Sunni-Wahabi, dan Iran
rule of Shia. Bagaimana dengan Arab Saudi yang Sunninya Wahabi?
Saya pribadi kurang sreg dengan mazhab ini, tapi saya harus
belajar dari pemerintah Saudi yang punya kontrol penuh terhadap pemahaman Islam
yang berkembang di negaranya. Artinya, siapa yang berhak menafsirkan agama?
Negara-negara ini memberikan jawabannya, yakni pemerintah.
Di Indonesia
bagaimana?
Kembali ke persoalan pemerintah, bagaimana di Indonesia jika
ada gereja jadi masjid atau sebaliknya? Saya memprediksi itu langsung jadi
headline berita nasional, atau paling tidak jadi buah bibir dan perdebatan
masyarakat.
Saya melihat pemerintah di Indonesia belum punya kontrol
penuh terhadap kehidupan beragama di dalam negaranya. Pendapat ini pastinya
bertentangan dengan ide-ide konservatif maupun liberal. Kata yang konservatif,
agama harus sesuai dimana agama itu diturunkan. Kalau Islam ya harus seperti
zaman Rasulullah misalnya. Kalau Kristen, harus seperti yang ada di Eropa.
Kalau yang liberal, agama harus bebas ditafsirkan. Siapapun bebas berpendapat
soal agama.
Dalam hal tafsir agama, siapa yang benar? Menurut saya jawabannya
tinggal pilih saja. Mau konservatif mau liberal silahkan. Tapi dalam hal
bernegara, bila Indonesia mau mengadopsi ajaran agama dalam hukum dan tata
kenegaraan nya, perlu ada satu tafsir tunggal yang dianut oleh pemerintah.
Di Indonesia, saya melihat setiap pemerintah yang berkuasa
seperti setengah-setengah pendiriannya. Inginnya semua berada dalam satu payung
hukum. Inginnya harus ada rule of law. Tapi di sisi lain suka mengakomodir
agama dengan berbagai perbedaan tafsirnya.
Di NZ terdapat pastor yang kena penjara rumah karena
memalsukan dokumen imigrasi seseorang yang ia rekomendasi untuk masuk NZ. Kata
pastornya, ia ingin membantu seseorang demi Tuhan agar orang tersebut punya
masa depan baik. Tapi bagi imigrasi NZ, apa yang pastor lakukan itu melanggar
hukum. Jadilah dia dipenjara tak peduli dia adalah pemimpin agama. Orang yang
ia bawa ke NZ akhirnya dideportasi.
Di Indonesia, beberapa ustadz dan kiai jelas-jelas tidak
mengakui demokrasi dan pancasila. Secara hukum, seharusnya mereka perlu dicabut
kewarganegaraannya dan dideportasi. Itu solusi simulasi sederhana dari saya.
Maksudnya, kalau ada yang tidak sejalan dengan hukum dan paling penting
ideologi dasar negara, baik itu secara aksi maupun hanya ide, bagi saya mereka
perlu segera ditindak secara hukum yang berlaku.
Saya yakin kalau ada orang yang tinggal di Saudi lalu
macam-macam tidak sejalan dengan fatwa ulama-ulama utama negara tersebut, sudah
dipastikan mereka akan kena hukuman. Begitu juga di Iran. Bukan berarti saya
setuju Wahabisme atau Shiah, akan tetapi saya harus apresiasi ketegasan dari
negara-negara tersebut dalam menegakkan hukumnya.
Dari diskusi sederhana ini, kita melihat bahwa Indonesia
perlu atau bisa belajar dari negara-negara yang yang telah tegas menetapkan
hukum dalam negaranya baik itu rule of law (NZ), rule of Sunni-Wahabism
(Saudi), maupun rule of Iranian Shi’ism (Iran).
Siapa tafsirkan rule
of law di Indonesia?
Kongkret nya bagaimana untuk Indonesia? Kita telah banyak
mendengar Pancasila, UUD 45 dan akhir-akhir ini Islam Nusantara. Saya melihat
tiga hal itu dapat menjadi rujukan tunggal pemerintahan di Indonesia. Tiga hal
itu, jika dilihat kembali, seperti gabungan antara rule of law dan rule of
religion. Jadi ketika ada yang tidak bisa sejalan dengan dasar negara tersebut,
mereka bisa diproses secara hukum dan dihapus kewarganegaraannya.
Pertanyaannya, bagaimana kalau ada beda penafsiran soal
dasar negara tersebut? Siapa yang berhak memberikan penafsiran? Siapa yang
berhak menjadi rujukan tafsir yang utama? Sekali lagi, jawabnya pasti pemerintah yang sedang
memimpin. (saya mau bilang pemerintah yang berkuasa, rasanya negatif sekali)
Memang ini kesannya mengarah ke rezim makiavelian atau
otoritarian. Saya awalnya juga berpikir begitu. Tapi kalau kita bicara rule of
law, pada akhirnya pemerintah yang punya keputusan akhir di setiap
proses-proses dan kejadian-kejadian di negaranya. Kita bisa berdebat di
pengadilan soal tafsir hukum, tapi ketika palu sudah diketok, semua harus taati
keputusan.
Suka atau tidak, kita semua tidak akan pernah punya satu
tafsir yang disetujui semua umat atas hukum atau agama. Karena itu dalam
bernegara, adanya tafsir utama sangat diperlukan.
Pasti ada yang tidak terakomodasi. Ya itu konsekuensi dalam
berkomunitas. Di dalam keluarga saja kita sering punya perbedaan pendapat soal
macam-macam dari makanan hingga agama. Kalau ide soal tafsir utama ini mengarah
ke makiavelian, bagi saya itu karena masalah manusianya. Kalau dapat pemimpin
yang kapabel ya akan jadi seperti NZ, kalau tidak kapabel ya jadi seperti Yaman.
Kembali ke soal gereja jadi masjid dan sebaiknya, gereja dan
kemungkinan rumah ibadah lain dirobohkan, kita belajar betapa pentingnya negara
punya kontrol penuh terhadap agama. Ini berlaku juga bagi negara yang memang
menganut agama jadi dasar negaranya. Artinya kalau negara itu negara agama
seperti Saudi dan Iran, maka Islam (versi mereka) harus menjadi rujukan utama
hukum dan aturan-aturan di dalam negara tersebut.
Sedemikian juga, sebagaimana saya saksikan betapa umat
Muslim dan Kristiani benar-benar mengikuti aturan pemerintah di NZ. Ini
mengingatkan saya bagaimana umat-umat lain semasa Rasulullah tunduk pada aturan
dan hukum yang beliau tetapkan.
Apakah Rasulullah kemudian otoriter? Banyak studi
menunjukkan kebalikannya. Beliau dapat mengakomodir pendapat berbagai pihak.
Hanya saja, ketika sudah pada tahap keputusan, beliau punya kontrol penuh dan
bagi yang tidak bisa menerima, hukuman adalah konsekuensinya. (*)
Wellington, 10 November 2017
Follow @jazzmuhammad
No comments:
Post a Comment