Wednesday, January 13, 2010

Pelajaran dari Dilema Jeruk

Beberapa waktu lalu, muncul iklan sebuah minuman dengan lelucon “jeruk makan jeruk”. Saat itu tak ada maslah dengan kalimat itu. Tapi kini itu menjadi realita.

ACFTA atau sering dikenal dengan ASEAN-ChinaFTA, yang dibuka tepat pada tanggal 1 januari 2010, telah memengaruhi berbagai pasar di Indonesia, salah satuya adalah pasar jeruk. Jeruk-jeruk lokal seperti jeruk Medan, jeruk Garut dan jeruk Pontianak, pasanya mulai disasar oleh jeruk-jeruk China.


Hal ini tentu imbas dari diberlakukannya ACFTA tersebut. Harga yang jauh lebih murah tentu mendukung pemasaran jeruk-jeruk dari negeri panda itu. Jeruk-jeruk china du jual dengan harga jauh lebih murah disbanding jeruk local. Jeruk lokal saat ini harganya pada kisaran 12.000 per kilo, tetapi jeruk China malah 9000 per kilo.

Data dari Departemen Pertanian menunjukkan bahwa produksi jeruk di Indonesia terus mengalami kenaikan pada periode 2005-2007, yakni berturut-turut 2,15 juta ton, 2, 47 jua ton, dan 2,5 juta ton (MI, 13/01). Meski jumlahnya terus naik, ternyata kebutuhan lokal. Sisa kebutuhan itu dipenuhi oleh produk impor.

Sayangnya, jeruk impor itu kini telah menggurita. Jeruk china telah menyasar ke pasar lokal. Jeruk impor seperti makan jeruk lokal.
Masalah sepeti ini memang harus disikapi secara serius, dan bukan sederhana untuk menyelesaikannya. Pemerintah telah berupaya meningkatkan kapasitas produksi ,tapi permintaan pasar tetap tak terpenuhi.
Pemerintah, di satu sisi, harus meningkatkan program-program berorientasi pengembangan sektor pertanian, tetapi disisi lain, upaya ini dicegat oleh ke-bebas-tarif-an impor akibat ACFTA. Produk-produk China yang masuk semakin murah harganya. Yang terbebani tentu petani-petani lokal.

Produk lokal selama ini masih belum memenuhi standar kualitas global. Buah-buah lokal masih terlihat kurang menarik bila dibandingkan buah-buah impor. Hal ini tentu akan memengaruhi preferensi pelanggan buah.

Pada umumnya, pelanggan akan mempersepsikan sesuatu pertama kali dari penampilan. Kalau penampilan baik, maka menarik onsumen adalah hal mudah.

Selain itu, sebagai makhluk ekonomi, pelanggan akan membeli produk yang murah dan berualitas. Sepertinya jeruk local belum bisa menjawab tantangan itu. Sementara, jeru impor ternyata mampu menjawab tantangan itu dengan sebaik-baiknya.

Sudah saatnya merenungi makan dlema jeruk ini. Jangan sampai rakyat Indonesia menjadi tamu di rumah sendiri.



No comments:

Post a Comment