Tuesday, June 1, 2010

Si Mbah Dawuh dan Negeri Antah Brantah

"Di Negeri Antah Brantah ini, Le, sebenarnya sudah enak. Tanahnya subur, terus cuaca juga ngga macem-macem. Wis poko'e joss lah!!!" tandas Mbah No.

"Nggih, Mbah..." jawabku.

Aku tak menyangka bertemu si Mbah ini saat aku baru pulang. Tiba-tiba dia nongol dan ajak aku ngobrol. Seingatku aku tadi lelah sekali seharian kuliah. Namanya Suseno. Tapi lebih dikenal dengan Mbah No. Aku sendiri tak tau kenapa bisa kenal orang tua ini.

"Le, kowe sekarang masih sekolah 'kan? Sing tenanan, Le. Negara Antah Brantah ini butuh orang yang jujur. Jadi kamu sekolah yang sungguh-sungguh biar bisa jujur...ya, sekolah yang penting itu biar bisa jujur..."

Hah? Aku geleng-geleng saja. Aku sekarang ini kuliah di ibukota. Kampusku juga, ya bisa dikatakan kampus terbaik. Aku juga kuliah di jurusan yang aku impikan agar aku bisa jadi, jujur saja, orang kaya. Kok bisa-bisanya si Mbah bilang sekolah hanya untuk jujur.

"Lah, Mbah, kalau cuma jujur kenapa harus sekolah ya Mbah? Terus harus sungguh-sunggung lagi..."

"Le, ati-ati lek ngomong. Kowe ngerti, jangan kau kira jujur itu mudah. Apalagi ngga perlu sekolah. Susah banget itu...ngerti kowe?!!!" tandas si Mbah. Beliau terlihat agak gemas dengan pertanyaanku tadi.

"Nggih, Mbah, nggih Mbah...."

Aku merasa tak punya otoritas. Aku tak tahu kenapa. Kebebasanku agak terbelenggu oleh situasi. Umur juga. Si Mbah sudah tua memang. Tapi, Si Mbah agaknya menyimpan sesuatu.

"Sori kalau aku agak naik nadanya. Lha wong kamu itu lho, masih bau kencur. Mau ngapain? Aku ngerti kalau kau sekolah, kau mau mengejar mimpi tho? Mengejar cita-cita?" tegas si Mbah. Kini nadanya sudah agak menurun.

"Nggih Mbah..."

"Ngene Le, kamu jangan kira jujur itu mudah. Kau tahu kan keadaan Negeri Antah Brantah saat ini? Sumber daya alam di eksploitasi Le.. Duite wong-wong dikorupsi... Yang susah lagi, yang terjadi bukan penghilangan kemiskinan, tapi penghilangan orang miskin...beh-beh-beh.."

Si Mbah terlihat geleng-geleng sambil diam sejenak. Seperti berpikir. Tapi sepertinya memang berpikir. Aku agak bingung. Apa maksud Mbah ini? Tiba-tiba saja beliau melontarkan pertanyaan konfirmasi yang tak diduga-duga.

"Kowe ngerti le ngono kuwi?"

Aku terbelalak ternganga. Dari tadi aku manggut, tapi jujur, aku tak paham. Si Mbah bilang soal jujur, tapi kok bilang eksploitasi lah, korupsi lah, kemiskinan lah. Aku bingung. Pastinya, ekspresiku yang muncul sudah bisa ditebak, geleng-geleng lagi dan lagi.

Si Mbah ternyata juga geleng-geleng. Tapi,

"Hmm... Bagus..bagus.."

Aku makin bingung. Sementara mulutku masih terbuka, menegaskan bahwa aku sungguh tak paham dengan orang tua ini.

"Kau sudah berani jujur.. Kau tak tahu dan mengaku tak tahu. Kan lebih baik daripada mengaku tahu tapi sebenarnya tak paham sama sekali. Ya kayak pejabat-pejabatnya Negeri Antah Brantah sekarang itu.... Nah, mereka itu pintar lho..sekolahnya ke luar negeri, ada juga yang sekolah kedinasan. Weleh-weleh, apa itu ngga berkualitas sekolahnya. Apalagi dibanding sekolahmu yang swasta itu..."

"Ya ngga gitu Mbah.. Meski swasta, belum tentu juga kalah.. "

Si Mbah mulai kemana-mana omongannya. Dasar orang tua! Tapi yang jelas aku tahu, kenapa beliau minta aku untuk belajar jujur. Meski sekolah dan pintar, tapi kalau tak pintar, kata si Mbah, malah buat minterin orang lain. Huh..

Si Mbah sempat bilang, kalau sekolah di Negeri Antah Brantah itu, meski bagus, tapi tidak seimbang. Katanya ada yang salah kaprah.

"Sing bener kuwi, sekolah ora mung ngurusi ini thok, tapi juga ini..."

Pada "ini" pertama, si Mbah menunjuk kepala. Bukan kepalanya yang ditunjuki, tapi kepalaku. Sial! Apalagi beliau sambil sedikit mendorong-dorong telunjuknya. Lengkap sudah aku kelihatan orang bodoh. Tapi, aku paham, yang dimaksudnya adalah pikiran, otak, atau intelejensi.

Dan pada "ini" kedua, si Mbah menunjuki dada. Kali ini dadanya sendiri. Maksudnya hati. Jadi maksudnya sekolahku tak bisa mengasah hati. Sementara kejujuran itu asalnya adalah hati. Tapi ada yang aku sayangkan. Seenaknya si Mbah menunjukku untuk barang jelek sementara yang bagus buat beliau sendiri. Huh...

"Lah, kalau gitu harus ada yang ditakuti donk, Mbah... Ya biar ngga korup lagi." aku spontan bertanya.

"Halah, di negeri antah brantah itu, ngga ada yang bisa ditakuti lagi, Le.. Sopo maneh? Polisi? Hakim? Jaksa? Lha wong kabeh yo podo korupsi ko'. Coba kamu tampar saja muka mereka pakai uang. Pasti diam..."

"Kalau gitu, Mbah, terus gimana?"

Si Mbah tiba-tiba diam. Tapi sejenak. Lalu berkoar kembali.

"Tapi, koyoke masih ada yang bisa ditakuti."

"Nopo Mbah?"

"Mati. Ya, mati. Le, kowe kudu ngerti, wong mati itu meninggalkan reputasi. Kalau mati pas korupsi, nah, dunia akan mengingat orang itu sebagai koruptor. Ya sudah, ya kau tahu kan reputasi macam apa yang pantas buat koruptor? Ya kalau dibandingin sama reputasinya tikus, ya sebelas duabelas-lah..."

"Nggih Mbah" aku manggut-manggut takdzim.

"Dan, Kau harus ingat, Le, reputasi itu umurnya sepanjang masa. Kata nenek moyang, reputasi itu ya gambaran apa yang diterima si empunya reputasi kelak di akherat... Hayu! Makanya, orang harus takut mati. Bukan matinya yang ditakuti, tapi reputasi setelah mati itu yang harus direnungkan. Nah, reputasi itu tentu dibangun saat masih hidup.. Gitu, Le."

Aku terus manggut-manggut. Menandai kalau aku berada pada sisi orang bodoh dan si Mbah adalah orang pintarnya. Tapi jujur, aku masih penasaran dengan negeri antah brantah itu. Dimana ya negeri itu?

Sayang si Mbah sudah pergi. Tak ada lagi. Si Mbah lenyap seraya aku membuka mata. Aku baru ingat. Ya, tadi setelah kelelahan kuliah seharian aku tertidur. Sekarang sudah bangun dan si Mbah sudah pergi.
****


Jazz Muhammad
Jakarta, 11 April 2010



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambarnya.

12 comments:

  1. ko' sangar ngono mimpimu sid..

    ReplyDelete
  2. hmm..ternyata mimpi ya..
    awan UAS udah hilang?..dah blogging2 lagi..he..
    sepertinya kelelahan kuliah tentang Negeri Antah Berantah kali ya sampe terbawa mimpi...hehe

    ReplyDelete
  3. oalaa...cerita itu kukira kisah nyata
    ternyata mimpi XD

    ReplyDelete
  4. harus jadi orang jujur ^___^

    siipp!!!

    ReplyDelete
  5. Mirip simbah yang sering nyapu di kampus saya, hi hi hi

    ReplyDelete
  6. Jujur, mulai dari hal terkecil pada diri sendiri.

    Btw gimana nlai ujiannya Syid? Bagus kaga? Jadi berapa IPK nya?

    ReplyDelete
  7. kanggo irkam:
    hahaha sangar2 pancen

    buat kang Ugi:
    hehe iya nih udah balik ngeblog.

    buat teh Clara:
    heheh ketipu yah

    buat elok:
    siiip juga

    buat teh mila:
    makasih teh, hihihi juga

    buat teh susan:
    uas mengambang teh....

    ReplyDelete
  8. hoho mimpinya serius amat... yakin tu Mbah No bukan Mbah Surip^^

    ReplyDelete
  9. wah mimpi y...........
    menarik mimpinya...heheh
    salam hangat dari blue

    ReplyDelete
  10. wahh..banyak pelajaran yang bisa diambil dari mimpi ituu....

    makasih udah share.. :D

    ReplyDelete