Hampir setengah harian aku keluar. Matahari siang ini sepertinya sungguh menyebalkan. Tersenyum sinis pada dunia sambil menebar sinarnya yang terang. Tapi sayang, sinar itu tak terhalang oleh awan dan langsung menghujam ke kepala plontosku ini. Clekit..clekit..
Sinar itu bagai jutaan, oh tidak, milyaran jarum mikro yang tak akan pandang bulu menghantam. Sayang, aku tak ada tameng, hujaman jarum itu mengenai kulitku. Sakit. Tapi, tak makan aku kalau kalah dengan senyuman matahari yang sinis menipu itu.
Aku berjalan menuju tempat kerja dengan pelan. Maklum belum makan. Dari kemarin aku susah dapat uang.
Hari ini sepertinya banyak sekali yang lewat. Mobil-mobil itu mengkilat. Catnya yang masih bersih itu bagai cermin. Sepertinya baru. Kadang aku sempat mengaca di kilauan cat mobil-mobil baru itu. Tapi aku selalu heran, sebuah wajah aneh bulat menyeringai. Oh, setan kecil berkepala botak nan mengerikan di hadapanku. Pasti, tak salah lagi, itu aku sendiri.
Di pinggir perempatan ini aku bekerja. Perempatan ini juga yang jadi sumber hidupku sejak ibu meninggal dua tahun lalu. Memang rendahan sekali kerjaku. Aku hanya menengadahkan tangan dan berharap semoga dapat penghasilan. Bodoh sekali, tapi mau apa lagi.
"Bang, buat makan, Bang..." rengekku kali ini. Tapi sayang, mobil BMW itu belagak tak tahu. Si tukang kemudinya melengos begitu saja melihat aku mengiba. Sayang, lampu di perempatan ini telah berganti hijau. Pertanda aku harus segera menepi, cepat.
Mobil itu semakin jauh dan jauh. Aku duduk termangu menunggu merahnya si traffic light. sekitar dua menit lagi. Waktu yang tak lama. Aku menunggu dengan menggaruk-garuk badan. Pakaianku belum kucuci seminggu ini. Pantas saja buat badanku gatal. Tapi aku tak ada pilihan.
Buat sekedar makan saja aku tersengal-sengal mencukupinya. Nafasku hampir Senin-Kamis. Alih-alih mencuci, keluar seharian juga belum tentu bisa makan.
Tapi yang aku suka, aku masih bisa tertawa. Bukan menertawakan bajuku yang compang-camping ini. Aku menertawakan orang-orang yang lewat pakai mobil itu. Mereka berbaju rapi, lengkap dengan parfum semerbak menyengat. “Bisa ya hidup bermewah-mewah ditengah ironi hidup yang super paradoksial ini…”, selorohku dalam hati. Kadang aku merasa dilecehkan. Tapi tak peduli.
Kadang aku dengar kalau mereka makan bersisa. Seenaknya membuang sisa itu sementara aku belum tentu dapat makan sebanyak sisa itu. Apalagi kalau dengar mendengar istilah sophaholic. Ha..ha..bisa-bisanya ya...
Ah, sebentar lagi hijau. Sebenarnya Aku tak menyesalkan lengosan orang di dalam mobil keren itu. Sudah biasa. Tapi apa memang ia tak punya uang untuk sekedar berbagi denganku? Mengapa tak membuka kaca pintu barang sejenak lalu melempar beberapa receh?
Sayang, hampir semua orang bermobil keren juga bersikap sama. Ada juga yang menanggapi, tapi sekedar mengarahkan telapak tangannya padaku, tanda kalau aku tak akan diberi. Ya sudahlah. Tapi mereka sudah memberi. mereka memberiku tumpangan mengaca. Bukan semakin senang, tapi melihat bayangannya begitu menyesakkan.
Yang paling menyesakkan adalah mereka yang belagak bertanya-tanya. Pernah ada yang membuka kaca pintu mobilnya. Aku kegirangan. Pasti aku dapat banyak.
“Kau umur berapa sudah di jalanan ini?” itu katanya.
Aku jawab masih umur 10 tahun. “Oo…” itu jawabnya. Tapi, oh, ternyata ia tutup kembali dan pergi. Sial!
Ah, dasar nasib. Sepertinya memang tak perlu dipermasalahkan. Kalau ada yang miskin pasti ada yang kaya. Ah, aku semakin bingung saja. Sementara kebodohanku bercampur rasa lapar yang sudah sejak tadi menyerang, membuatku kesakitan sebenarnya.
Satu, sekarang Mercy berhenti. Aku mengiba merengek. Tapi sudah kuduga, angin kosong dan senyuman tipu daya dipadu anggukan sialan yang kudapat. Sinis sekali senyumnya. Dua, tiga dan seterusnya. Semua mobil mewah pergi begitu saja.
Aku kadang juga bingung, mau apa sih orang banyak beli mobil. Apa mereka tak tahu kalau polusi di udara makin padat saja. Knalpot menyebalkan mobil mereka itu biang keladi penebar polutan. Tak mobil mewah atau mobil rendahan, sama saja.
Tapi sial! Perutku sudah tak bisa dikompromi lagi. Tak ada kompensasi lagi. Sungguh sakit.
Sekarang bajaj yang di depanku. Peduli sakit berarti aku tak makan. “Oh, Tuhan, tolong sejenak kau tahan perih ini….” Ibaku pada Tuhan. Sementara jarum mikro matahari semakin banyak saja. Semakin siang, semakain padat hujamannya. Hujamannya semakin massive saja. Clekit..clekit..clekit….
Aku lihat ada ibu-ibu di dalam bajaj itu. Kelihatan kalau ia juga tak terlalu berada. Tak jauh dari keadaanku. Tak terlihat kaya, ya tapi sedikit beruntung daripada aku. Sudah jam satu siang sepertinya. Belum dapat apa-apa aku.
Terpaksa, aku ibakan diriku pada ibu itu. Tapi sekonyong-konyong ia berujar,
"Nak, sudah makan? Ini ada uang jajan buatmu…"
Lemparan senyum sang ibu mengawali kontakku dengannya. Di luar dugaan. Ibu itu menyodorkan selembar uang sepuluh ribu. Ini banyak bagiku. Sambil mengucap terima kasih aku salami tangan ibu itu. Lalu ia pergi sejejap karena si terrific light telah hijau kembali.
Aku menepi dan bajaj menjauh, “Ha..ha.. tak perlu kaya untuk memberi…,” kataku dalam hati.
****
*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya
Met siang kawand!!
ReplyDeletekomen dulu baru baca!!
oiya, kamu daftar di paramadina f?
pilih jurusan apa?
bener. gak perlu kaya tuk memberi kepada sesama. yg penting niatnya. seribu pun asal tulus itu sangat berarti. btw, ada award utkmu ya.
ReplyDeletewah buat wawank..
ReplyDeleteboleh2 kok...silakan
buat teh fanny
sip teh, nanti aku lihat..thx alot
bagus cara penyajiannya buat bacanya gak bosenin :) tq dah berbagi :)
ReplyDeletelebih baik kaya hati daripada kaya harta...
ReplyDeleteyupzz..setuju banget..nggak perlu kaya untuk memberi..
karena sekecil apapun pemberian kita akan sangat bermanfaat bagi orang yang benar-benar membutuhkannya..
buat kang aulawi
ReplyDeletemakasih kang atas apresiasinya....
buat teh ieyas
bener, lebih baik kaya hati daripada kaya harta, tapi juga bukan berarti kaya harta itu tidak baik kan? sip2
Berbagi memang tak harus menunggu kaya...
ReplyDeleteBerbagi tulisan pun udah ok kok..seperti postingan ini..woke bgt!
Sip lah bisa terus berbagi lewat tulisan..
let's share...
(tapi..let's share belum posting lagi..hehe)
hehe bisa aja kang UGi
ReplyDeleteaku tunggu deh postingannya....
Memang hidup ini sulit apalagi keadaan mereka yang sangat memilukan tapi ada baiknya juga memandang dari dua posisi yang berlawanan :)
ReplyDeleteSalam untuk ibu yang ada di bajaj, semoga kelak rezeki akan berlimpah karena kemuliaannya :)
berbagi tak harus kaya akan materi tapi kaya akan niat....
ReplyDeletekadang kala manusia ga bisa dinilai dari pembungkusnya. Dibalut mobil Mercy, yang haragnya ratusan juta, ternyata ga memeliki hati tulus untuk berbelas kasih dan berbagi dengan sesama. Tapi si ibu yang menggunakan bajaj yang knalpotnya bikin sesek napas, dan kalo naik suara jadi bervibra, ternyata memiliki hati nurani untuk membantu sesamanya.
ReplyDeleteSo, mau menjadi yang manakah kita??
Nice post, Syid! :-)
buat teh naicana
ReplyDeletebetul juga, harus dilihat dari dua sisi, hehe tapi ya tulisan ini pasti punya koridor batasannya, namanya juga cerpen, ya pendek juga bahasannya......oya nanti saya sampaikan ya..salamnya..hehe
buat kang richo
wah muncul lagi kang
sip2 kang
buat teh Susan
ya kadang memang seperti ituteh, tapi ya aku akui tak semua orang seperti yang aku gambarkan..
aku mau yang jadi orang suka berbagi aja teh
ocehan hati anak ini menggambarkan keadaan kota yang sungguh berbalik,orang yang memakai mobil mewah begitu pelitnya untuk memberikan barang recehan tapi ibu-ibu yang naik bajaj dan tak terlalu kaya bisa ngaseh sepuluh ribu
ReplyDeletehati saya terbuka mungkin selama ini saya terlalu pelit padahal mampu untuk memberi
maaf ya mas Muhammad lama ga berkunjung soalnya lagi sibuk uts
siplah buat kang agung
ReplyDeleteya virus pelit harus dilawan...
benar2 kaka ini!
ReplyDeletehahahahaaa bisa aja kau kemayu
ReplyDeleteaku lbih suka gmbarnya........sngat bermakna..ho..
ReplyDeletesip lah mal.....
ReplyDeletesalam knal sobat....pertama berkunjung nih.....semoga mau berkunjung balik ke blog saya....selamat sore
ReplyDeleteboleh kok cuma bberapa halaman aja. gak usah panjang2. tks ya
ReplyDeleteBetul sekali sob... tak perlu kaya untuk memberi.... yang oenting hati kita mau dan tulus ikhlas...
ReplyDeletesip kang tukang komen.....
ReplyDelete