Sejarah Bergulir
Keberuntungan berpihak pada Niluswara. ia dapat memaksa mundur pendudukan bangsa dari mongolia itu. Atas, jasanya, ia akhirnya dianugerahi gelar Adipati Aryo Blitar I dan memimpin Blitar. Ia menamakan tanah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembalinya bangsa Tartar. Namun pada perkembangannya, terjadi konflik antara Aryo Blitar I dengan Ki Sengguruh Kinareja seorang patih Kadipaten Blitar.
Namun keberuntungan kini beralih. Aryo Blitar I lengser dan senguruh meraih tahta dengan gelar Adipati Aryo Blitar II. Pemberontakan kembali terjadi. Aryo Blitar II dipaksa turun oleh Djoko Kandung yang merupakan anak dari Aryo Blitar I. Djoko Kandung adalah anak hasil perkawinan antara Aryo Blitar I dengan Dewi Rayung Wulan.
Kepemimpinan Djoko Kandung dihentikan oleh kedatangan bangsa Belanda di bumi pertiwi. Sebenarnya rakyat Blitar yang multi etnies saat itu telah melakukan perlawanan. Tapi, perlawanan itu diredam oleh Belanda dengan membuat peraturan baru.
Belanda menetapkan Blitar sebagai Gemeente Blitar pada 1 April 1906 berdasarkan peraturan Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150. Momen inilah yang sampai sekarang diakui sebagai hari kelahiran Bumi Bung Karno itu. Pada tahun itu juga dibentuk beberapa kota lain di Indonesia yang berdasarkan catatan sejarah sebanyak 18 Kota yang meliputi kota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang Semarang, Salatiga, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja dan Pasoeroean di PulauJawa serta lainnya di luar Jawa.
Sampai pada kedatangan Jepang, Gameente Blitar berubah menjadi Blitar Shi yang penyelenggaraannya dikendalikan oleh peraturan baru bernama Osamu Seerai. Namun Jepang sepertinya salah langkah menginjakkan kakinya dikota kecil itu.
Keniscayaan Merdeka
Anak didiknya, PETA memberontak pada 14 Februari 1945 yang dipimpin seorang terhormat Sudanco Supriyadi. Meski hanya berlangsung beberapa jam dan gagal, pemberontakan itu tercatat sebagai satu-satunya pemberontakan yang dilakukan oleh anak didik kepada pelatihnya di Asia Tenggara dan Asia Timur yang merupakan jajahan negeri sakura itu. Pemberontakan itu membuka mata dunia bahwa peluang meraih kemerdekaan dan memukul mundur penjajah masih terbuka lebar.
Pemberontakan itu, diakui atau tidak, telah menginspirasi pemuda-pemuda bangsa ini untuk terus berjuang merampas kembali hak-hak kemerdekaan ang diambil penjajah. Hingga akhirnya Indonesia merdeka yang ditandai pembacaan proklamasi oleh putra terbaik bangsa, Bung Karno, didampingi Bung Hatta.
Tanah yang Terkucilkan
Perihal penempatan makam Bung Karno, yang juga menjadi awal Blitar disebut sebagai Bumi Bung Karno, memang berawal dari niat buruk pemerintah. Konflik antara Soekarno dengan Soeharto adalah biangnya. Pemerintah orde baru menetapkan Blitar sebagai Kotamadaya berdasar pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965. Namun, ternyata Pemerintah orde baru berniat mengucilkan nama Sorkarno beserta Blitar secara politik. Namun kenginan itu ternyata ditolak oleh arus kuat yang terus melawan.
Alih-alih terkucilkan, masyarakat nusantara mengenal baik Blitar sebagi kota sejarah yang tak akan terlupakan. Blitar semakin ramai dikunjungi hingga kini. Keganasan Bung Karno dalam melawan penjajah mesih terpatri dalam ingatan rakyat Indonesia. Blitar yang dikucilkan menyeruak mekar ke permukaan dan menunjukan bahwa di sinilah momen sejarah kemerdekaan terbaik pernah berlangsung. Hadirnya makam Bung Karno yang berpadu dengan momen pemberontakan PETA, menegaskan aura sejarah yang kental di kota kecil itu.
Akhirnya kekangan orde baru lepas benar ketika drama panas 1998 memaksanya bubar. Pemerintahan reformasi menggantikan otokrasi orde baru. Pemerintah baru itu mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Melalui Undang-undang tersebut, sebutan Kotamadya Blitar disesuaikan menjadi Kota Blitar. Hingga menjelang satu abad usia kota ini, Kota Blitar dihuni oleh sekitar 125 ribu jiwa.
Sebenarnya era orde baru telah memberika banyak sumbangan pembangunan pada bangsa ini. GBHN dan Repelita tercatat sejarah sebagai garis visi bangsa yang cemerlang. Kegemilangan ini didukung oleh realita pembangunan yang terus berjalan maju. Angka pertumbuhan ekonomi berjalan membaik. Era ini juga berhasil meyakinkan rakyat bahwa negara tak akan kekurangan pangan. Terbukti swasebada pangan tecatat beberapa kali diraih.
Tapi sistem sentralistik yang mengendalikannya begitu mengusik dan mengganggu. Sistem itu seperti menyimpan nyala api yang siap membakar sekam reputasi. Kerobohan banguan orde baru pada 1998 membakar betul reputasi baiknya. Kisah-kisah sukses dan gemilang orde baru seakan terlupa nan terabai.
Kini era reformasi juga belum berjalan baik. Orientasi politik malah semakin menjadi-jadi. Sistem desentralisasi yang didengung-dengungkan berjalan tertatih-tatih yang makin pincang saja. Pemerataan tak kunjung selesai. Dan sayang, imbas itu merayap hingga menjalar ke Bumi Bung Karno.
Dulu ia sejajar dengan kota-kota lain seperti Batavia (Jakarta), Surabaya dan Bandung. Sebagai pusat administrasi daerah di jaman Belanda, Kota Blitar memiliki posisi yang strategis. Tapi sekarang Blitar telah ketinggalan jauh. Kota-kota itu menjelma menjadi raksasa nusantara, sementara Blitar masih jalan ditempat.
Demi Bumi Bung Karno
Menyedihkan lagi, bila melihat generasi muda Bumi Bung Karno yang semakin tak punya visi. Aku sering melihat mereka tak fokus dalam berpartisipasi membangun tanah kelahirannya. Kongkow-kongkow tak jelas menjadi ajang harian. Memajang diri dengan berbagai kemalasan malah menjadi kebanggaan. Aku juga tak paham mengapa hal ini bisa terjadi. Pendidikan yang menjadi senjata utama pemuda dalam konteks kekinian sekan diacuhkan.
Memang ada beberapa yang gemilang, tapi arus mayoritas menetang dan menenggelamkan arus minoritas itu. Paradigma kenikmatan jangka pendek seakan menggelayuti pikran-pikiran mereka. Budaya-budaya instan dari luar mereka telan mentah-mentah. Sejarah besar kota penting itu seakan pudar lekang ditelan zaman, karena tak dirawat oleh tuan rumahnya sendiri. Dan yang menyesakkan, yang menelan bukan orang lain, tapi putera-putera daerahnya sendiri.
Apa mungkin mereka tak tahu kalau para pahlawan di tanah kelahirannya itu rela mampertaruhkan nyawa demi kebebasan dan kemerdekaan. Dan sayang sekali, aku adalah bagian dari mereka. Ya, aku adalah salah satu yang tak tahu sejarah dan mungkin tak tahu balas budi.
Tapi, sejenak aku sadar, bahwa tanahku ini adalah kampung halamanku. Punya visi masa depan adalah kenicscayan bagiku. Siapa lagi yang akan mengharumkan kebesaran tanah Balitar ini kalau bukan putera daerahnya sendiri. Reputasi kota kecil itu juga reputasiku. Kalaupun aku dikenal baik oleh orang lain, tapi asalku adalah kubangan lumpur, siapa yang mau melirik?
Peradaban dunia telah terbukti terbangun dengan pondasi pengetahuan. Kesadaran akan perlunya pendidikan harus aku tanamkan pada diri. Harus. Sejarah besar kepahlawanan kotaku harus aku camkan dalam-dalam di relung-relung pikiran. Ini bukan demi siapa-siapa, tapi demi tanah kelahiranku, Bumi Bung Karno.
Jazz Muhammad
Alumni SMA 1 Blitar
Mahasiswa Universitas Paramadina Jakarta
*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya
luar biasa, sejarahnya...
ReplyDeletesip kang tariq
ReplyDeletehem...
ReplyDeletesaluuut
postinganmu selalu bermanfaat ga kaya postingnku hahahaha
lanjutkan jazz!!
hahahah biasa aja teh kayaknya
ReplyDeleteitu mah iseng2
Ke Mojokerto..udah, Suroboyo...udah.., Tulungagung..udah..Madiun..udah..
ReplyDeleteYang belum...ke Blitar..hehe..
mampir sebentar aja...besok mau presentasi..do'akan..
usaha mas untuk memajukan Blitar
ReplyDeletedan saya juga akan usaha memajukan Banjarmasin
buat kang Ugi
ReplyDeletesilakan kang mampir
mau dibuatin teh atau kopi?
hehehee
buat agung
OK, kita sama-sama usaha ya....
oya tag mu belum aku kerjakan, ini lagi UTS..puyeng
keren kang,.....
ReplyDeleteudah pernah maen ke nol kilometer belum??
waah belum ituu.....
ReplyDeleteajakin dunk....
ternyata bung jazz ini pandai bener menulis, n tq dah berbagi btw blognya dah aku follow :)
ReplyDeleteterima kasih utk pelajaran sejarahnya. met siang dan met beraktivitas
ReplyDeletewahh..kayanya mengikuti pidato bung karno ney..
ReplyDelete'Jas mereah" jangan sekali-kali meninggalkan sejarah..
sipp deh... :D
buat kang aulawi
ReplyDeletemakasih banyak kang...
hehe
buat teteh fanny
sama2 teh
buat teh ieyas
heheh, emang dari bumi bung karno ko'....
tetep bangga budaya asal!
ReplyDeletekau cinta blitarmu, aku cinta malangku!
dan kita cinta Indonesia!
hohoho
hohoho juga Yu..
ReplyDeleteayo cintai daerah asal
where is the source? why don't u put it or cite it?
ReplyDeleteWowo, nice story Syid! sejarah seperti ini harus diketahui anak bangsa.
ReplyDeletebuat faqih
ReplyDeleteOya lupa bro..yaudah bentar lagi aku pasang...
makasih infonya
buat teh Zul
Sip teh..
hehe..Jas merah
sejarah memang akan sllu menjadi sejarah
ReplyDeletedan patut untuk dilestarikan dan dikenang
berkunjung dan ditunggu kunjungan baliknya
makasih
:D
waah sip kang, selalu menghargai sejarah untuk menapak masa depan
ReplyDeleteAku belum pernah ke Blitar
ReplyDeletekayanya ssyik juga ya..
pengin ah mampir ke sana gitu
kalau sempat main teh
ReplyDeletemet malam..chubby itu artinya tembem
ReplyDeleteklu di bilang gag punya visi, sepertinya agag serem juga kang iia... tapi apa bukannya lagi pada keblinger ajja kang ?!?!??
ReplyDeletehave u created a book or novel maybe...I guess our mother will proud of u if ur creations r published...and don't forget to share ur profit of publishing honor with me..hahahaha........(just kidding)
ReplyDeletebuat genial
ReplyDeletehahaha, ya itu visinya keblinger...
buat faqih
beuh saiki boso inggris terussssss
Dimanapun q berada.....tak kan pernah q lupa dengan BUMI BUNG KARNO TERCINTA.
ReplyDeleteBerjuang bersama sobat !
wokeh kam silah
ReplyDeleteterus berjuang demi kampung halaman!!!
Loh Syid, ko komen gw ga ada yah? Soalnya gw kemaren dah komentar deh tentang ini, berarti ga keposting yah??
ReplyDeleteBtw nice work Syid. Suka gw bacanya. kaya baca buku PSPB jaman SD dulu hehehee
udah kok teh..itu di atas
ReplyDeletemakasih mampir lagi