Aku harus persiapakan diriku mantap-mantap hari ini. Akan kutemui anak muda yang penuh semangat itu. Tekun belajar sekali dia. Aku harap apa yang akau ajarkan selama ini terus membekas dan ia berhasil nanti di ujian terakhirnya. Ya. Aku sangat berharap.
Aku harus terlihat berwibawa dihadapannya. Jangan sampai ia melihatku celingukan, terlihat bodoh dan tak punya keyakinan. “Mana dia percaya nanti?” katau dalam hati. Bisa-bisa malah gagal dia.
Rugilah aku mengajarinya tiap hari. Hilanglah waktuku tak berguna, tiada hasil. Aku harus yakin!
Ah, dia sudah datang. Aku harus rapihkan bajuku. Ingat jangan sampai terlihat tak berilmu!
“Assalamualaikum, Pak?”
Aku dengar salamnya. Aku jawab dalam hati, pasalnya aku masih dalam kamarku, jauh dari pintu tempat ia menungguku.
“Pak…?”
“Iya..ya, Waalaikum salam. Kaifa haluk?” aku menghampirinya sambil lari kecil.
“Ana bil khair, ana bil khair”
Aku mempersilahkannya duduk. Dia terlihat begitu semangat. Aku harap dia ingat menagih apa yang aku janjikan kemarin. Dan….
“Oya Pak, langsung saja, kata Bapak kemarin, Bapak akan memberi saya sesuatu. Dan…. berarti hari ini saya harus ke sini kan pak?”
“Benar, Nak Imam. Bapak hanya ingin tahu kesiapanmu. Sejauh mana kau sudah siap?”
“Insyaallah saya siap Pak?” jawabnya, tapi terkesan ragu.
“Apa kamu sudah siap? besok jam tujuh lebih lima?” aku mengulanginya, tapi dengan nada tinggi.
“Insyaallah saya siap!!!” jawabnya lantang dan tiada aku lihat keraguan sama sekali dari raut wajahnya, dari sorot matanya. Ia menunjukkan kesungguhan mendalam atas tugas akhirnya. Ia tak mau gagal. Ini menentukan masa depannya, bahagia atau sengsara. Aku lega, apa yang aku ajarkan selama ini ternyata ia tak melalaikannya.
Pertemuanku berakhir beberapa saat setelah itu. Aku bekali ia dengan beberapa trik-trik agar ia tak gagal, besok, ujian akhirnya. Sekali lagi aku tak mau ia gagal, tak mau! Sia-sia saja kalau begitu kejadiannya. Ah, ternyata sudah malam. Aku harus istirahat. Istirahat demi ujiannya. Sampai jumpa besok muridku tercinta.
***
Tempat ini begitu asing. Bertempat antara panas dan dingin, antara silau dan teduh, antara bersih dan kotor….. ah, tempat macam apa ini? Tak ada kosa kata untuk tempat ini. Ini kah itu….? Aku sering membacanya di kitab itu. Tapi tak seperti ini. Apa aku dibohongi?
Kulihat antrian panjang sekali. Kapan giliranku? Ah, nanti juga sampai sendiri. Aku menunggu lama sekali. Aku tak tahu, dengan sendirinya aku tahu kalau aku akan ditanyai nanti.
Tapi saatnya tiba juga. Sebentar lagi, saatnya giliranku. Masih ada satu dua lagi. Semoga aku siap. Aku harus siap.
Sambil menunggu diriku menghadap dan melaporkan apa yang telah kubuat selama ini, aku lihat sekelilingku, atas dan bawahku. Kanan dan kiriku. Aku mengedarkan pandangan ke semua penjuru. Kulihat orang kedua di depanku telah selesai. Tapi….
Ia menghilang begitu saja. Aku tak tahu dia dibawa kemana oleh malaikat itu. Ini agak membuatku ragu di akhirat ini. Ragu apakah ini benar-benar akhirat dan ragu apa nasibku nanti.
Sekarang giliranku. Aku tetap dalam keraguan.
“Siapa kau?”
“Aku Abdul, Abdul Muntakim, aku hamba-Mu wahai Maha Menghukum mereka yang bersalah”
“Apa yang telah kau lakukan selama di dunia?”
“Banyak. Aku telah menunaikan ibadah wajib-Mu . Aku lakukan setap hari, tak ada waktu yang terlewat. Aku juga selalu menyebut nama-Mu setiap waktu. Aku bersujud untuk-Mu setiap malam.
Demi surga-Mu aku melakukan semuanya. Aku sungguh takut neraka-Mu, mohon lindungi hamba-Mu ini.
Aku juga tak lupa mengajak orang-orang untuk terus memekikkan asma-Mu. Aku tunjukkan jalan yang terbaik untuk meraih ridho-Mu. Ya, Tuhan, aku melakukannya semata-mata demi memperjuangkan agamamu. Aku berjuang untuk meneguhkan imanku pada agama-Mu, hanya pada-Mu. Aku baca Kitab-Mu setiap waktu, sering sekali. Aku juga kutipkan ayat-ayat-Mu dalam setiap pembicaraanku kepada orang-orang itu. Aku sungguh mengagungkan-Mu, ya Tuhan”
“Sudah?”
“Aku juga mengajak bebrapa anak muda untuk berjihad di jalan-Mu. Coba nanti Engkau cari yang bernama Imam. Ia pasti mati syahid di jalan-Mu. Meski ia mati, Ia telah membunuh kafir-kafir itu. Aku katakan padanya bahwa kalau ia berhasil, ia akan bertemu dengan-Mu di surga yang sejuk, yang didalamnya mengalir sungai-sungai dan terdapat buah-buahnya.
Sekali lagi ini demi keagungan-Mu di dunia fana itu. Aku ajak mereka untuk menghancurkan para kafir itu, merobek-robek raga mereka yang mengerikan itu.Mereka itu laknat. Neraka jahannam bagi jahannam-jahannam itu. Laknatuk alaihim!!!,” kobaran kataku mantap.
………
“Hai, bawa orang ini ke neraka!!!”
Bak tersambar petir, aku terperadah tak berdaya. Dia memanggil malaikat itu dan…..Ah, aku tak mengira. Apa ini? Aku telah berlama hidup di di dunia demi surga itu, tapi mengapa?
“Tunggu, mengapa Engkau bersikap tak bijak, tak adil, sementara dalam kitab-Mu, aku mengenal-Mu sebagai Maha Adil?”
“Hai, Abdul, apa kau tahu siapa Aku?”
“Ya, aku tau siapa Engkau. Engkau Tuhanku yang Maha segala-galanya.” Aku tetap merendah, berarap Dia akan mengulangi perkataan-Nya tadi.
“Kau tahu itu kan? Lalu atas dasar apa kau membawa nama-Ku untuk semua kegiatan yang kau lakukan itu. Memang kau tahu apa Aku sebenarnya meridhoimu, apa Aku memberimu izin, apa aku setuju dengan apa yang kau lakukan itu, apa Aku suka kau sebut nama-Ku siang malam, apa Aku laknat orang-orang yang kau bilang jahannam itu?
Lantas apa Aku memang menyediakan surga bagi Imam yang kau banggakan itu? Yang kau bilang mati syahid itu. Apa bom bunuh diri yang ia lakukan bisa menyelamatkannya? Apa surga seperti yang kau kataan padanya itu?..”
“Aku melakukannya semua sesuai apa yang ada di kitab-Mu! Aku ingin menyelamatkan agama-Mu?” Aku menyela. Tapi Dia seakan tak menggubris perkataanku ini.
“Kau tahu aku ini Maha segalanya kan? Apa kau paham maksudnya itu? Aku juga memberimu akal dan hati nurani. Seharusnya kau mengerti kalau tak mungkin semua kekuasaanku termuat di kitab yang kau banggakan itu. Masih banyak kekuasaanku yang jelas tak mungkin tertuang di dunia yang sempit dan penuh fatamorgana itu.
Apalagi, kau bilang akan menyelamatkan agama-Ku. Memang Aku tak bisa menyelamatkannya sendiri? Kalau butuh kau, jangan kau Tuhankan Aku ini. Kau pasti tahu Tuhan itu berdiri sendiri, tak butuh orang semacam kau ini untuk membela-bela.
Aku gambarkan diriku di Kitab itu menjadi Sembilan Sembilan nama, tapi apa hanya itu Aku. Kalau hanya sebatas itu, di mana otoritasku sebagai Tuhan yang kau katakan Maha segala-galanya itu?
Kau ini punya akal kan? Mengapa kau tidak pakai itu. Lagi pula, yang menyedihkan, kau mengatasnamakan Tuhan dalam segala aksimu, kau bawa nama-Ku ketika kau menyerang orang yang kau anggap kafir itu. Kau pekikkan’Allahu Akbar’ semaumu. Kau sangka Aku meridhoimu, kau sangka Aku mengizinkanmu, kau sangka Aku ini apa? Sebenarnya Tuhan itu Aku atau kau, hai Abdul?
Selama ini kan, yang kau Tuhankan adalah kemauanmu sendiri. Kau tak tahu apa substansi dan apa itu konteks. Aku turunkan kitab itu di Arab, maka aku gambarkan surga itu banyak sungainya dan buah-buahannya. Kalau saja kitab itu aku turunkan di negerimu itu, tak mungkin gambarannya seperti itu.
Apa kau tak ingat kalau Muhammad pernah bilang bahwa akhirat, surga dan neraka adalah sesuatu yang tak pernah kau lihat, kau dengar, terbesit dalam hatipun tidak.
Yang paling menyedihkan lagi, dengan seenaknya kau menjaminkan surga bagi orang lain. Kau tahu kalau kau sendiri tak tentu masuk surga? Dengan ayat-ayat itu kau mabukkan pikiran dia dengan janji-janji semu. Kau katakan kalau kau itu diridhoi oleh Tuhan, Aku tanya kembali, siapa sebenarnya Tuhanmu? Engkau sendiri apa memang Tuhan yang sebenarnya yang menjadi Tuhan?
Aku berikan dunia itu itu untuk kamu kelola sebaik-baiknya. Aku ciptakan keragaman, bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar kau tahu banyak hal atas kekuasaan-Ku. Aku beri kau kesempatan menjadi khaifah dibumi untuk meggelar kehidupan yang bersahaja dan mulia, bukan menyia-siakannya dan mati tak berarti.
Tapi kau malah menghamburkan justifikasi kekafiran dimana-mana. Kau seenaknya, mengatasnamakan Tuhan, melaknat orang lain. Memang yang berhak menghakimi siapa? Kau?
Cukup.
Segara bawa ia ke neraka!”
Aku terdiam tak berdaya.
“Ah…..!!!!” Aku terus berteriak, mencoba melepas dari cengkeraman malaikat.
……………
“Ah………..ah” Aku terengah-engah. Wajahku bercucuran peluh keringat. Aku lihat sekelilingku. Ah, ini kamarku. Hanya mimpi, hanya mimpi. Masih jam 4 pagi. Oh….
Tubuhku sedikit menggigil. Mimpi itu tak mau perg dari otakku. Konsentrasiku terpecah.
Tapi aku tetap tak mengerti, apa ini? Aku berlari menuju pe-wudhu-an. Aku harus sholat dulu.
****
Pukul 07.00.
Aku baru ingat kalau ada Imam. Ah, dimana dia? Apa yang haus aku lakukan.
Aku ingat, aku memberinya telepon genggam untuk tugas akhirnya itu.
“Mam, Imam, dimana? Imam dimana? Imam?!!!” Aku tersengal-sengal menelpon Imam. Aku masih muridku tercinta.
“Sudah Pak, sudah beres, doakan saya! Tinggal 5 detik lagi, Allahu Akbar!!!” Tak kujawab pekikan itu seperti kemarin dan dulu…….. Ototku terlanjur terkulai lemas, tak berdaya.
“Mam…….” Aku tak bisa meneruskan. Ada yang mengganjal di tenggorokan ini, seperti menahan ludahku sendiri, “Oh..Ya Allah………”
…………………..
5…..4…..3…..2…..1……
“DBLARRRR…………….!!!!!”
cerpen ini aku dedikasikan untuk menangggapi isu-isu terorisme yang akhir-akhir ini menjadi headlines di kebanyakan media massa.
*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya
nice story. mampir juga dong ke blog joint kami
ReplyDeleteOk fanda n fanny
ReplyDeletewah pelajaran yang menarik nih bro, buat refleksi diri kita
ReplyDeleteada pencerahan yang tersirat dari sini, ada makna yang terlalu dalam jika direnungi lebih jauh. sobat, anda sangat berbakat menulis :)
ReplyDeletesalam hangat.
tulisan yg bagus, walowpun awalnya sy bingung bacanya..
ReplyDeletekita Islam, jgn sembarangan mengkafirkan seseorang, begitu kan?
buat richo:
ReplyDeletesemoga kita terus bisa merefleksikan diri utuk terus berbenah
buat kang Darin:
salam hangat juga kang, semoga tulisan ini bisa memberikan sebuah informasi tentang sikap saya terhadap isu2 miring akhir2 ini
buat kang ducky:
hehe past bingung kang, lha wong saya juga bingung...buatnya
bener, meski islam, yang punya otoritas pengkafiran cuma Tuhan....
memang bener2 gak mikir orang2 itu...
ReplyDeletemereka yang berbuat, kita yang kena batunya....
betuuuull kang tariq
ReplyDeletememang kadang mereka tidak berpikir panjang yaa om :)
ReplyDeleteyap, begitu kiranya kang andie
ReplyDeleteeh aku ini masih muda, jangan dipanggil om
makasih ya udah sempat mampir
terimakasih,... :)
ReplyDelete