Rob Swiers and me and I just call him Rob |
Kelly Hostetter namanya. Seorang pria yang kukira sudahlah berumur dan ia pun sudah beruban. Aku biasa sapa dia dengan namanya saja, “Hi, Kelly!” begitu saja. Tunggu! Aku berkawan dengan orang tua beruban? Juga tak memanggilnya Pak?
Itulah orang Amerika. Kecuali ia bukan ayah kawanmu atau gurumu, kau tak akan panggil dengan Mister atau Sir. Kepada mertua saja, orang sana sering hanya memanggil nama saja. Mana mungkin itu dilakukan di Indonesia?
Situasi tersebut menunjukkan bagaimana orang barat memiliki budaya yang low context. Ini adalah sebuah budaya dimana masyarakatnya tak banyak analogi dalam bermasyarakat. Mereka tak banyak prasangka dan menjunjung tinggi rasionalitas.
Dalam hal pertemanan tadi, aku dan Kelly adalah dua manusia yang sama rata. Tak perlu ada yang terhormat dan menghormati. Soal perbedaan umur bukanlah hal yang masuk akal untuk menghargai seseorang. Orang tak perlu membungkuk ketika melewati orang yang lebih tua.
Sementara itu di Indonesia, dalam berbicara dengan orang lebih tua, kita orang Indonesia sangat tidak dianjurkan untuk bertatap mata. Tak sopan! Ketika duduk di hadapan mereka, kita harus menjaga diri. Kita tak bisa duduk menyilangkan kaki. Tak punya adab, katanya. Seperti menendang orang lebih tua itu, analoginya.
Dalam berbisnis, ketika kita dapatkan kartu nama dari seseorang, kita tak bisa langsung memsukkannya ke kantong celana, apalagi kantong belakang. Katanya itu berarti menduduki mukanya. Kartu nama analoginya adalah muka mereka. Kita harus menjaganya baik-baik, setidaknya di kantong kemeja.
Banyaknya penganalogian ini menurutku telah menjadikan orang Asia, atau secara khusus Indonesia, memiliki apa yang disebut tata karma. Makan harus pakai tangan kanan, karena yang kanan selalu yang lebih baik, atau karena yang kiri untuk cebok. Tak boleh berdiri di tempat yang lebih tinggi bila ada orang lebih tua di sekitar. Tak boleh mendebat orang tua.
Di Amerika, panggilan Mister atau Sir lebih ditujukan pada orang yang memiliki jabatan lebih tinggi dalam perkerjaan atau mereka adalah guru. Jadi ilmu pengetahuan menjadi dasar orang menghormati yang lain, bukan umur.
Seperti dalam artikelku sebelumnya tentang free-sex, bagi mereka ini adalah kebutuhan makhluk hidup. Ketika manusianya siap, ya silahkan saja. Tak akan ada tetangga atau satpol PP yang akan menggrebek.
Namun demikian, antara budaya low context dan high context bukan berarti salah satunya lebih ketat dan yang lainnya longgar. Bukan begitu! Masing-masing punya aturan main sendiri-sendiri.
Contohnya, di US, mengejek orang dengan membawa-bawa ras dan warna kulit adalah kejahatan kemanusiaan, sementara di Indonesia itu hal yang lumrah. Lihat saja, di Indonesia banyak orang yang masih memandang rendah orang berkulit lebih gelap atau membawa-bawa perbedaan suku.
Jadi bagaimana kau hidup di keluargamu dan lingkunganmu?
saling menghormati dan menghargai, dan untuk yg lbh tua akan mendapat panggilan khusus sprti bapak, oma, tante,om, dll...-> di lingkungan dan keluargaku
ReplyDeletetapi rasionalitas dan saling menghargai tanpa prasangkanya kita blh bljr pd mereka tuh :)
Irma, di tempatku juga demikian. apalagi aku tinggal di keluarga dengan budaya jawa yang kental. tapi memang budaya orang sana cukup menarik.
Deleteselalu saja terkagum" dalam membaca tulisan anda.
ReplyDeleteterimakasih telah berbagi sedikit banyak pengalaman anda, sungguh mencerahkan :)
mas dinata, wah saya tak berharap sejauh itu, maksudnya sampai mencerahkan orang. tapi anyway terima kasih banyak apresiasinya. tapi sebenarnya begini, kita sering melewatkan hal-hal kecil disekitar kita yang kalau kita refleksikan, sebanarnya dampaknya akan terlihat.
DeleteAssalamu'alaikum wr.wb. Terima kasih atas informasi yang di sampaikan, sehingga bisa menambah wawasan saya dan pembaca lainnya.
ReplyDelete