”Keadilan tidak selalu sejalan dengan hukum meskipun penegakan hukum itu sendiri harus sedekat mungkin dengan keadilan. Manakala ada jarak antara hukum dan keadilan, mari kita tata kembali agar keadilan itu betul-betul tegak,”
Pernyataan itu aku dapatkan dari Kompas (17/2). Pertama kali aku tak tertarik membaca artikel berjudul “Presiden: Jangan Sama Ratakan Perbuatan Kriminal”. Di tengah pesismisme publik atas kinerja pemerintah, pernyataan itu sungguh terdengar hampa. Preseden buruk terhadap pemerintah, sepertinya membuatku engggan untuk membacanya. Paling juga “omdo” alias omong doank.
Persepsi Optimis
Tapi aku berusaha untuk objektif. Aku paksa mataku untuk mengarah pada artikel itu. Akhirnya kata demi kata aku lahap. Sampai aku temukan pernyataan presiden tersebut. Sebenarnya aku juga tak yakin, apa benar seperti itu kalimatnya? Tapi lupakan saja.
Namun, aku terus berupaya melihat sejenak hal itu dengan pandangan positif. Pandangan yang menempatkan persepsiku pada sisi optimisme.
Aku lihat presidenku ini memang manusia. Ya, manusia seutuhnya. Manusia yang tentunya tak lepas dari kesalahan. Namun, tentunya tetap punya sisi kebenaran. Cak nur, pendiri Paramadina, pernah mengungkapkan bahwa falsafah dasar manusia itu adalah sifat hanif. Artinya manusia itu memiliki kecenderungan untuk berbuat baik. Maka aku simpulkan, presidenku ini tentu juga berkecenderungan baik.
Aku sangat tersentak ketika membaca kalimat pertama pernyataan orang nomer satu di negeri itu. Beliau melihat secara jelas kenyataan hidup itu memang tak mudah dihadapi. Banyak hal ideal yang sampaikan orang, tapi pelaksaanananya memang tak mungkin seideal celotehannya. mungkin malah berkebalikan.
Perihal Bualan
Beliau menyampaikan perihal keadilan dengan begitu elegan. Aku akui, kalimat itu tak akan bisa di ucapkan politisi-politisi macam hari ini yang suka membual. Lihat saja saat acara debat di salah satu TV swasta. Mereka begitu gethol bin ngeyel atas pendapat mereka, yang tentu disesuaikan kesepakatan kolektif partainya. Padahal masalah di depan mereka begitu banyak dan jelas mana yang salah dan benar. Mana yang harus diprioritaskan mana yang tidak.
Aku dapati mereka berdebat begitu panjang soal reshuffle kabinet. Aku sendiri tak paham kenapa harus di reshuffle. Kalau alasannya gara-gara kinerja menteri yang tak beres, maka reshuffle itu masuk akal. Tapi kalau karena gerak geriknya pansus century yang dianggap membahayakan, inilah yang membuat reshuffle benar-benar tak masuk logikaku.
Partai pemenang pemilu merasa telah dikhianati. Tapi yang kalah pemilu bilang kalau mau objektif. Mereka, kedua-duanya, sibuk berwacana tapi miskin aksi. Hanya bualan-bualan berbumbu kata-kata akadmis yang mereka tawarkan. Sementara bulan mereka itu tentu dan sudah pasti tak akan membuat angka kemiskinan yang 14% segera beranjak.
Memandang Positif
Tapi jangan-jangan kata-kata presiden tadi juga hanya bualan? Sekali lagi, aku kali ini mau berpikir positif. Aku akui keadilan saat ini sudah tak karuan lagi. Hukum sebagai batas keadilan itu telah bersikap mendua. Hukum saat ini tegas pada yang kecil, tapi tak tegas pada yang gedhe. Kau pasti tahu maksudnya.
Presiden menutup pernyataannya dengan pernyataan bernada upaya. Beliau menunjukkan itikad baik untuk membenahi keadilan. “….mari kita tata kembali agar keadilan itu betul-betul tegak,…”
Sebuah penutup yang juga persuasif. Berisi ajakan untuk berbenah. Sebuah ajakan untuk beranjak dari ketidakseimbangan penyelenggaraan hukum di negeri ini. Apa kau masih menganggap presiden itu membual? Terserah. Tapi yang penting tetaplah berpandangan optimistis-positif.
*kunjungi juga kompasianaku untuk membaca tulisan ini
*sumber gambar bisa diklik langsung gambarnya
No comments:
Post a Comment