Beberapa hari yang lalu, aku berkunjung ke beberapa sekolah di daerah asal aku, di Blitar. Sebagian sekolah berada di kawasan Kota dan yang sebagian lainnya di kabupatennya. Kunjungan aku kali itu adalah untuk memberikan informasi beasiswa Paramadina Fellowship 2010, yang kebetulan untuk versi 2008-nya, aku adalah salah satu penerima.
Kunjungan tersebut merupakan inisiatifku pribadi. Sebelumnya, aku mengajukan beberapa nama SMA ke bagian Fellowship di Universitas tempat aku belajar, Paramadina. Kemudian pihak Fellowship memberku bekal brosur dan surat penganar beserta satu kopi formulir yang tebalnya 14 lembar. Saat itu aku mengajukan 16 sekolah.
Aku berinisiatif untuk mengajukan beberapa nama SMA adalah untuk mengabarkan kepada siswa-siswi di sekolah tersebu bahwa ada program yang sangat bermanfaat, Yakni program beasiswa. Tak semua orang bisa mendapatkannya. Maka, mendapatkan informasi saja, itu sudah awal yang bagus. Bagi aku sendiri, aku merasa sangat beruntung dahulu mendapatkan info beasiswa ini. Sebab, beberapa temanku yang jauh lebih pintar, ternyata tak mendapatkan kesempatan seperti yang kudapatkan. Bayangkan saja, dengan program beasiswa itu, aku bisa kuliah gratis sampai S1, dan biaya hidup pun diberi.
Beragam Tanggapan
Ketika aku mulai menyosialisasikan program beasiswa tersebut, ternyata tanggapannya macam-macam. Ternyata, hanya sebgaian kecil yang menerima program itu dengan terbuka. Ada yang sinis menerima program tersebut. Ini sungguh di luar dugaanku. Sekolah-sekolah memandang rendah program tersebut karena dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang nota bene swasta.
Paradigma mereka masih menganggap apapun lembaga pendidikan swasta, terutama universitas, tak bermutu. Mereka memandang sebelah mata program yang aku bawa itu. Aku tak ahu apa yang ada di pikiran mereka. Kadang yang menyedihkan, aku menemui pernyataan bahwa bagaimana caranya, yang penting masuk negeri.
Ada juga yang terbuka, tapi ketika melihat bahwa universitas Paramadina berada di Jakarta, mereka langsung ragu. Pertama, yang mereka ragukan adalah hidup di Jakarta itu sulit. Kedua, Jakarta adalah lambang kota yang keras. Ketiga, Jakarta mereka anggap bisa mencuci otak orang-orang yang datang kesana. Keempat, boro-boro mendaftar beasiswa, pikiran untuk melanjutkan studi saja mereka tak punya.
Ubah Paradigma
Tapi, bagiku, itu adalah kemunduran berpikir. Paradigma yang mereka gunakan tak beranjak, meski zaman telah berubah. Aku menangkap bahwa yang mereka jadkan tujuan belajar adalah universitas itu sendiri. Jadi ketika masuk universitas yang “kelihatannya” bagus, reputasinya baik, maka ya sudah. Masa depan juga dijamin baik. Kasarannya masa depan ngikut aja. Kadang yang menyedihkan, aku menemui pernyataan bahwa bagaimana caranya, yang penting masuk negeri. Aku akui memang universitas negeri masih mendominasi di Indonesia, tapi bukan berarti semua yang negeri adalah lebih baik dari yang swasta.
Cara pandang ini harus diubah. Diskusi dewasa ini, bukan lagi masalah negeri atau swasta, tapi apa yang ingin di capai oleh siswa-siswi itu. Apa mimpi-mimpi mereka. Nah, universitas adalah cara untuk mencapainya. Universitas itu bak gedung produksi. Maka, ketika inputnya bagus, maka outputnya juga bagus. Yang menentukan kesuksesan masa depan sesorang bukanlah dari mana ia lulus, dan berapa nilainya. Tapi si siwa itu sendiri yang bisa menentukannya. Adalah kemampuan mereka dalam kepemimpinan, kewirausahaan, komunikasi dan etika serta network yang menjamin mereka raih mimpi-mimpinya.
Taste the Future
Selanjutnya, kuliah di tempat yang metropolis, Jakarta contohnya, akan membuka wawasan seluas-luasnya. In term of Indonesia, Jakarta memberikan pada siapapun akses informasi seluas-luasnya baik dari segi akademis, non akademis, sosial, politik dan lain-lain. Di sana adalah pusat network. Siapapun bisa mendapatkan network seluas-luasnya. Dewasa ini, jaringan atau network adalah faktor penting penentu masa depan. Bayangkan kalau ada anak pintar tapi tak punya kenalan. Ya sudah, tak akan berkembang.
Selanjutnya, berada di tempat semacam itu, sesorang akan bisa mencicipi masa depan (taste the future), meski mungkin masa depan iu bisa lebih baik dari apa yang ada di Jakarta. Karena, di situlah pusat atmosfir sebuah negara ini. Kalau bisa bertahan dan beradaptasi di sana, maka adalah perihal mudah untuk berada di tempat-tempat lain.
Masa depan itu tiada yang tahu. Kadang memang lebih tepat di sebut mimpi. Tapi berupaya sebaik mungkin untuk merupakan kewajiban. Maka perlu dipahami bahwa tujuan hidup sebenarnya adalah mimpi-mimpi itu.
wah...yg kau alami tak jauh beda dgn yang kualami selagi sosialisasi. yang harus kita lakukan adalah membuka paradigma baru agar setiap anak berani bermimpi dan berani mewujudkannya syid...
ReplyDeleteberikan mereka harapan, tapi bukan sekedar harapan kosong, harapan dan keyakinan untuk menjemput impiannya...
(serius mode : on) hahahaha...ak kya orang pinter ya ngomongnya haha
hahaha, ya sekali-ali jadi orang pinter ki....
ReplyDeleteya itu sih masalahanya, kalau kata sang pemimpi itu, mereka seakan "mendahului nasib" mereka sendiri...
thx2
Rumah baru dengan aura yang terasa beda. Membuat pengunjung kerasan berlama-lama membaca.
ReplyDeleteBeberapa temuan tehnologi yang ada saat ini merupakan mimpi menciptanya beberapa waktu yang lalu. Tanpa mimpi tak akan timbul tranformasi tehnologi baru.
Janganlah takut membangun mimpi/visi. Tetap semangat!
bener-bener bu...terus semangat
ReplyDeletePermisi numpang lewat maaas.....
ReplyDeleteEh ada pa ya...??
Oooo...
Wah,,, ternyata presentasi kamu penuh tantangan ya...
Sabar ya kalo diejek-ejek...
Paradigma seperti itu emang harus dirubah,,, karena masih ada yg lebih baik di luar sana...
Hehehe... :D
wokeh2 thur
ReplyDeletebener syd, sikap melawan arus msh dianggap hal yg tabu ng indonesia, padahal ng dunia kerja, yg dicari ya malah yg nyleneh2 itu, tp mksude nyleneh positip.. hehe.. istilah keren e 'out of the box'.. :D
ReplyDeletewokeh2 gus
ReplyDeletebe out of the box!!!
thax udah mampir....huhuhu..