Jakarta, MY NEWS—pengrajin-pengrajin angklung tradisional mengalami kegelisahan. Daya saing mereka mulai dipertanyakan.
Hal itu disampaikan Satrio, Direktur Operasional saung Angklung Udjo, Bandung, di Jakarta (14/11). Pernyataaan itu ia sampaikan disela-sela seminar Awi-Awi Mandiri. Program itu, kata satrio, adalah wujud upayanya dan team untuk menjaga daya saing pengrajin agklung di Indonesia. Satrio menyatakan Industri kerajinan merupakan salah satu UKM yanga ada di Indonesia, dan UKM adalah tulang punggung bangsa ini.
Kini Awi-Awi telah memiliki 12 kelompok pengrajin . Harapan dari Awi-Awi adalah terbentuknya cluster baru perekonomian di negara ini. Dengan demikan, ekonomi Indonesia akan terdorog untuk tumbuh.
Satrio mnambahkan, komunikasi antara komunitas, universitas, investor, pengrajin serta bank akan menciptakan teamwork yang solid untuk sukses. Capaian jangka pendeknya adalah daya saing yang akan meningkat.
Program Kerjasama
Awi-Awi Mandiri merupakan program kerjasama Saung Udjo dengan Bank Mandiri. Program ini merupakan representasi upaya menyelaraskan upaya pengrajin dengan desainer maupun bank. Awi-awi dimulai pada 2008 dengan ber-partner dengan universitas. “Awalnya kami hanya melakukannya dengan universitas-universitas di Bandung, tapi sekarang akan diperluas cakupannya”, kata Satrio.
Awi-Awi ini dilaksanakan atas kerjasama Saung Udjo dengan Bank Mandiri. Motifnya adalah untuk mengembangkan dan melestarikan budaya melalui UKM. Selain itu, menciptakan wirausahawan-wirausahawan baru dalah sebuah prioritas.
Tiga Motif
Saat ditanya mengenai apa alasan dibentuk Awi-Awi, Satrio mengatakan bahwa ada 3 alasan. Pertama, prospek dari pengembangan angklung sangat besar. Saat ini ada sekitar 238.000 sekolah yang menjadikan angklung sebagai muatan lokal. Meski demikian, masih terjadi gap antara produksi dan permintaan. Dalam satu tahun, misalnya Saung Udjo, hanya bisa memproduksi angklung sejumlah 200.000 set.
Kedua, bahan bakunya, bambu, adalah tipe tumbuhan yang tumbuh cepat. Hanya butuh 3-4 tahun untuk dapat dipanen. Satrio menambahkan Indonesia memiliki keragaman bambu no. 3 dunia mengalahkan China. “Seharusnya Indonesia yang menjadi negeri tirai bambu”, katanya sambil bercanda.
Ketiga, daya serap tenaga kerja usaha ini sangat besar. Usaha angklung bersifat one-village-one-product (OVOP). Maksudnya, satu kelompok usaha hanya memproduksi bagian tertentu dari angklung. “Jadi ada yang hanya bikin frame, ada yang bikin tabung dan ada yang tugasnya finishing” lanjut Satrio.
Nama Awi-Awi mandiri terdiri dari dua kata yakni awi dan mandiri. Awi berarti bambu dalam bahasa sunda, dan awi-awi berarti serumpun bambu. Satrio mengilustrasikan rumpun bambu ini sebagai kerjasama. Sedangkan mandiri berarti telah memiliki produk sendiri. Jadi dari namanya saja, program ini berupaya untuk mengajak masyrakat untuk bekerja sama untuk berproses menjadi mandiri.