Sunday, April 11, 2010

Aku Liberal?


Kacang goreng malam itu memang pas. Semakin malam sepertinya semakin merayu. Tapi aku sadar, rayuannya itu bila ditandingkan dengan waktu maka akan membuat grafik downward slope. Semakin malam, semakin menipis, akhirnya lenyap juga rayuannya. Tapi kopi sepertinya yang masih setia menemaniku bergayung sambut dengan temanku, Ikhwan.

Kami bercerita soal kampungku yang habis terkena bencana banjir. Tapi untungnya tak ada yang jadi korban jiwa. Ikhwan sendiri sore tadi baru pulang dari demonstrasi anti kekerasan di Palestina. Sebenarnya awalnya kami hanya bercanda, tapi entah apa, kami jadi berbicara soal yang dalam-dalam.

"Mad, aku lihat Indonesia ini tu udah banyak bencana. Kayaknya Allah itu marah! Buktinya, kampungmu saja dikasih bencana.." Ikhwan agak berkobar. Dalam hatiku, ah ada malaikat apa yang lewat ini? Tapi aku diam saja. Tapi dia masih berkobar.

"Sepertinya, Allah melaknat negeri ini!"

Suaranya memekik, menyengat. Tapi aku paham maksudnya, tapi tak terlalu. Aku bisa mengerti. Lagipula memang bencana selalu menyisakan sedih yang berperi.

"Ah, tahu dari mana, Akhi?"

"Eh, bukan gitu. Dalam agama itu jelas mana yang benar dan salah. Jadi tak ada kompromi. Hukum Allah harus ditegakkan."

Sepertinya aku salah langkah. Pertanyaanku yang tak genap sepuluh kata membuatnya makin semangat. Aku masih berusaha merendah. Aku hanya diam tak menanggapi. Aku sadar, kalau di teruskan, Ikhwan bisa menjadi-jadi. Bisa tak tidur malam ini aku. Sementara kopi di depanku menebar aroma harum. Aku seruput barang sedikit. Ah.. Nikmatnya, alhamdulillah.

"Mad, kau ‘kan muslim. Kau harus tegakkan agama Allah di bumi ini. Hukum Allah harus ditegakkan. Dedengkot-dedengkot kafir itu harus dimusnahkan! Orang-orang non-muslim itu, lakantullah alaih!!!"
Sekali lagi ia berkobar. Kali ini kupingku mulai panas. Suara itu menyengat kenyamananku. Aku berusaha tak peduli. Aku redakan panas hatiku dengan seruputan kopi lagi. Sruut...

"Eh, katanya kau itu muslim. Kenapa kau tak ikut demo tadi. Palestina itu saudara kita, Akhi Ahmad."

"Tadi di kampung ada selamatan dan doa bersama. Jadi aku ingin ikut juga meski di sini. Lagipula, tadi ibu menelpon. Katanya semua masih sehat." jawabku. Lagi pula, aku memang tak suka dengan demo-demo. Mending aku baca buku. Tambah pengetahuan. Bukan maksudku mengangap demo itu buruk. Tapi bagiku ada yang jauh lebih penting.

Sementara, Ikhwan masih berkoar, "Katanya ahlussunah wal-jamaah. Itu tak pernah dilakukan Rasul. Pakaianmu juga. Ini bukan sunnah. Bisa bid’ah, Akhi. Dan bid’ah itu sesat. Bisa jadi Akh Ahmad malah ahlul bid'ah, ngga jama'ah..."

Kali ini aku sudah tak tahan. Kuping dan kepalaku sudah panas. Aku sungguh tak suka dengan pernyataan itu. Tapi, aku masih coba redam diri. Sruuut..aku seruput kopi yang tinggal setengah.
"Akh, Ahmad, saudara kita di Palestina itu harus ditolong. Kalau bukan kita ini, siapa lagi. Sesama muslim itu saudara. Ini sunnah dan pesan Nabi..!"

Berkali-kali ia bilang sunnah Nabi. Seakan sudah tahu dan melihat Nabi dengan mata sendiri saja. Tapi panasnya kepalaku sudah tak tahan untuk membuncah. Kembang-kembang api seakan meletup-letup berkecamuk di kepalaku.

"Terus gimana ya, Akh?" aku masih merendah, tapi sungguh menahan-nahan.

"Akhi Ahmad harus kembali ke Al-Quran dan Sunnah. Yang dilakukan Akhi itu bid’ah!!!"
Nada tinggi darinya membuat letupan panas dikepalaku makin besar. Buncah kepeningan akhirnya pecah. Tapi aku upayakan suaraku tetap rendah.

"Akhi, kalau masalah demo, tak usahlah di besar-besarkan. Lagi pula, aku yakin bahwa konflik di sana bukan soal agama. Kan rebutan tanah. Jadi tak usah dihubung-hubungkan dengan agama kalau mau bantu mereka…" Suaraku rendah.

"Eh, Akhi ngga baca sirahnya? Jelas-jelas itu saudara kita seiman. Gimana Akhi ini!!!" jawab Ikhwan bernada tinggi. Tapi aku sadar tanggapan nada tinggi juga tak akan meredakan suasana yang mulai tak terkendali itu.

"Aku sudah baca ko', dan memang bukan soal agama. Oya, kalau masalah menolong agama Allah, aku kira tak masuk akal kalau Allah butuh manusia untuk menyelamatkan agamanya kan? Masa yang namanya Tuhan minta tolong. Dan jangan sekali-kali bilang kalau Allah laknat sana laknat sini. Itu biar jadi urusan-Nya. Ko' Akhi yang nentukan, maaf, yang Tuhan itu Allah atau, Akhi?"

Pernyataan terkahirku sepertinya blunder. Dan benar, memang fatal akibatnya. Ikhwan tak segan minta aku bertobat. Ia pikir aku sudah sesat pikirannya. Dan ia menutup jawabannya dengan, "Akhi sudah liberal ya?" tapi aku terus berusaha merendah. Tapi dalam pikirku, darimana lagi muncul istilah asing itu? Ah, apalagi itu.

" Ikhwan, terserah Akhi, bilang aku seperti apa. Tapi yang jelas, bagiku pengetahuan akan jauh lebih kuat daripada demo-demo yang akh lakukan itu."

"Maksud , Akhi Ahmad apa?!!"

"Peradaban Islam telah berjaya di bumi ini selama 8 abad lebih, Akh. Mulai abad 9 sampai 17, Islam menjadi rujukan pengetahuan dunia. Itu karena pengetahuan. Tentu Akhi kenal yang namanya Ibnu Sina, Al-Khawarizmy, Ibnu Rusd. Mereka membuat buku-buku pengetahuan yang menjadi rujukan dunia. Sementara, bangsa eropa berjaya masih 1 abad. Itupun karena kolonialisme.

Seharusnya abad 21 ini kita raih kembali. Aku tak menganggap demo itu salah. Tapi bagiku, lebih baik menambah pengetahuanku sebanyak mungkin. Bagiku, kalau mau melawan musuh, ya pakai pengetahuan. Tapi sekali lagi, aku juga tak menyalahkan demo yang akhi ikuti tadi. Toh itu juga wujud solidaritas."

Penjelasanku itu rupanya tak membuatnya lebih tenang. Aku juga tak paham mengapa. Ia malah berseloroh, "Tapi, Akhi lakukan bid’ah...sesat!!"

Sekali lagi, aku terus berusaha rendahkan suara. Tapi sebenarnya badai tropis berkecamuk di kepala.

"Gini, Akhi, yang harus dibedakan adalah budaya dan agama Nabi. Di Arab memang tak ada tahlilan tak ada selamatan. Ya Nabi tak lakukan itu lah. Yang penting dari agama itu adalah bisa mendekatkan diri dengan Tuhan, Allah. Ya dengan sholat, dengan puasa, amal jariah.

Kan itu yang sama antara saya dengan Akhi Ikhwan. Ya sudah itu jadi semanagt kita untuk bersatu, bukan malah cari perbedaan terus diperbesar-besarkan. Meski berbeda, kan intinya sama, mendekat pada Tuhan. Kalaupun berbeda ya sudah lah, ngga usah dipermasalahkan. Bikin perpecahan saja, Akh... Kalau umpamanya nih, nabi turun di Indonesia ini, kolak pisang itu jadi sunnah lho...."

Penjelasanku memang tak memuaskan. Aku lihat ia masih geram.

Kopi sepertinya mau habis. Aku izin padanya untuk menyeduh dua lagi. Buatku dan buat dia. Kebetulan masih ada, dan memang tinggal dua.

Tapi sungguh terngiang di kepalaku pertanyaannya, 'Akhi liberal ya?'
Bisa ya, bisa tidak. Tapi yang jelas aku Muslim.
****




cerpen ini saya dedikasikan untuk fenomena perpecahan yang terjadi pada umat agama aku anut sekarang.



*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya (wikipedia.org)

21 comments:

  1. Kalau mau menolong sesama muslim, coba mulai dari tetangga dulu. Misalnya menolong korban lumpur Lapindo yang tanahnya belum dikompensasi. Atau menolong korban gempa Tasikmalaya yang dana bantuannya ditilep. Atau menolong gadis-gadis Indramayu yang dijual untuk jadi WTS. Mereka rata-rata muslim lho, dan mereka sangat butuh bantuan finansial dan pendidikan.

    Mbok nolong orang itu dengan cara yang cerdas sedikit, jangan kayak orang baru belajar agama kemaren sore.

    ReplyDelete
  2. buat teh laurentina
    betuuul banget..setujuu aq, setuju

    buat kemayu
    hehe apaan nih yang di like..???

    ReplyDelete
  3. setuju banget ama mbak laurent, awali dari yang deket dan nyata2 butuh ga perlu muluk2 dulu

    ReplyDelete
  4. setuju dg Laurentina. kenapa gak menolong orang2 yg butuh pertolongan? kenapa harus ribut2 apalagi bunuh2an?

    ReplyDelete
  5. sip semua setuju..........
    saya juga setuju

    ReplyDelete
  6. perbedaan itu anugerah, itu yg kadang tidak "dihargai" oleh kita, gak hanya umat muslim aja tapi non muslimpun begitu. "Fenomena perpecahan" yang ente maksudkan itu tidak benar, yang terjadi hanya berbeda pemahaman itu aja, jangan karena ada perbedaan lalu disimpulkan ada perpecahan :)

    ReplyDelete
  7. wah, makasih kang aulawi atas kririk dan sarannya
    memang sih yang ada itu perbedaan. tapi yang aku sayangkan itu perbedaan itu yang didengung-dengungkan

    bukan persamaannya..gitu..

    jadi melalui cerpen ini aku ajak semua kawan2 untuk lebih jeli memaknai perbedaan dan mengapresiasi lebih pada kesamaan...

    ReplyDelete
  8. saya kadang suka benci sama orang yang teriak ini bid ah itu bid ah

    apakah islam hanya sekedar bid ah aja kan banyak lagi kaya baca qur an ato amalan lainnya yang lebih bermanfaat ketimbang terlalu mengomentari orang islam yang lainnya


    karena itu bisa membuat perpecahan

    ReplyDelete
  9. hehe kayaknya emang gitu ya...
    sip Gung.

    ReplyDelete
  10. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa...
    Yang luar biasa itu adalah bisa bersikap bijak menghadapi perbedaan pendapat...

    Mas Jazz, udah dijawab tuh...kalau masih "heran", boleh bertanya lagi..hehehe

    indahnya perbedaan, dengungkan persamaannya...semangat!!!

    ReplyDelete
  11. Betul banget Syid, gw setuju sama lo. Kadang aneh juga orang menilai kita liberal, melakukan tindakan bid'ah, padahal dia gatau 'dalemannya' kita. Memang kalo orang ga ikut jihad ke Palestina ato Ambon bisa disebut liberal??

    Kaya waktu gw di kampus, karena gw pake baju yang agak2 ketat, jeans yang ngatung, sementara gw berjilbab (tapi sekarang udah ga ko), banyak tuh temen2 dan kakak kelas dari organisasi2 keagamaan yang hobi ngomongin gw dan mengadili gw bahwa sebagai muslimah pake baju tuh harusnya begini, kelakuan tuh harusnya begitu, itu tuh dosa, bla-bla-bla. Mending ngomongnya enak didenger, nah ini udah pake acara menekan segala. Yang ada gw nya bukan insap malah tambah jadi deh kelakuan gw. Hehehe, jadi curhat.

    Btw gw asli dari Bandung, Abang Singkawang (Kalbar). Lo dari mana?

    Tentang cerita pertemuan gw sama Abang (cuittt....cuittt) udah perah gw posting. Lo kalo mo baca cari ajah di postingan Januari yang judulnya "Nikah Koboy" da "Kejar Daku Kau Kutangkap".

    Ocreh deh, sekian dulu komennya. Maap yah bo pajang banget. Btw gimana ujian lo kemaren nilainya berapa? masa cuma cerita kalo temen lo dapet 41. Nah lo dapet berapa??? :-)

    ReplyDelete
  12. fenomena yg sering terjadi memang....

    mudah2an gak sampe perang saudara..
    betewe gmn UTSnya?lancar khan?..
    maaf nih baru mampir lagi....

    ReplyDelete
  13. buat kang Ugi
    hehe makasih jawabannya
    ya, baik bijak terhadap perbedaan, karena perbedaan adalah keniscayaan.

    buat teh Susan
    wah panjang banget..siplah
    oya makasih udah di jawab. lain kali aku tanya-tanya lagi ya....

    buat kang tariq
    batul itu kang, jangan sampai perang saudara..
    lancar kang kemaren, alhamdulillah
    hehe ga papa

    ReplyDelete
  14. jadi liberal seprti apa dalam muslim kang? :)

    ReplyDelete
  15. jadi cerpen iah?? kirain beneran :D

    jujur demo itu engga elegan

    ReplyDelete
  16. Kalo bisa saling memahami dan saling mengerti ga akan jadi masalah... itu aja seh intinya...

    salm hangat sob...,
    sekalian izin follow..

    ReplyDelete
  17. iki ceritomu dewe to sid....

    SIP...
    KEREN...
    SETUJU...

    ReplyDelete
  18. menarik banget syid tulisan ini .
    aku suka pernyataan ini :

    "Gini, Akhi, yang harus dibedakan adalah budaya dan agama Nabi. Di Arab memang tak ada tahlilan tak ada selamatan. Ya Nabi tak lakukan itu lah. Yang penting dari agama itu adalah bisa mendekatkan diri dengan Tuhan, Allah. Ya dengan sholat, dengan puasa, amal jariah. "

    subhanallah.... kata2 ini bener2 membuka pikiran akuu...

    ReplyDelete
  19. wah, agak nggak nyambung judul dan isinya...tapi boleh lah sebagai bentuk refleksi, salam :)

    ReplyDelete