ini aku (dok. mas arief tito) |
Rasanya, banyak sekali orang yang sukses di dunia ini. Nama mereka pun banyak tercatat dalam ingatan orang-orang. Salah satu yang mengingat itu tentu aku sendiri. Aku ingat nama Aristoteles, Yesus, Muhammad, Ibnu Sina, Isaac Newton, Alexander Graham Bell, Soekarno, hingga tokoh-tokoh kontemporer saat ini: Mark Zuckerberg, hingga Sandiaga Uno.
Mereka, dan masih banyak lagi, adalah orang-orang yang umumnya selalu meleka padanya satu frasa: orang sukses. Dengan capaiannya masing-masing, mereka memukau publik dengan gilang-gemilang usaha mereka yang berbuah manis. Bukan hanya itu, dari hasil itu semua, mereka menginspirasi dunia! Orang-orang menjadikan mereka kiblat jejak langkah setiap upaya-upaya. Namun, satu hal yang menjadi penting untuk dipelajari adalah: mereka sukses di bidangnya masing-masing. Sukses itu sesuai passion!
Lalu aku? Dari banyak tokoh yang ku-sajikan di depan, rasanya diri seperti debu di tengah angkasa raya. Bukan hanya tak berarti, tapi juga tak laku untuk jadi bahan pembicaraan. Tapi apakah sejatinya itu kesuksesan? Sebuah hasil pembandingan apa yang ku-capai dengan yang mereka capai?
Bumi Bung Karno
Baiklah, di depan, aku mengutip sebuah ungkapan yang hingga kini masih menempel kuat di benakku. Kira-kira itu artinya: tetaplah punya motivasi tinggi, kamu akan melihat dunia! Itu diucapkan oleh dosenku beberapa waktu lalu.
Dari ungkapan itulah, sebenarnya, aku ingin berbagi di sini. Apa yang ingin aku bagikan? Setidaknya, aku punya cerita menarik tentang kehidupanku sendiri. Aku pun punya motivasi dalam hidup ini yang dapat ku-bagikan. Sesungguh-sungguhnya, di tengah derasnya arus berita-berita bernada pesimisme, semoga ada sedikit berita baik dalam apa yang ku-sampaikan.
Sebuah kota kecil berjuluk Bumi Bung Karno menjadi tempat aku mulai menatap dunia. Ibu melahirkanku sebagai seorang anak laki-laki 20 tahun lalu. Tak ada yang istimewa dari keluargaku. Ayahku adalah seorang wirausahawan. Ia seorang tukang servis mesin jahit. Rendahan kedengarannya, memang. Tapi dengan itu, kami mandiri. Itu yang membuatku bangga padanya hingga kini. Ibuku sendiri adalah ibu rumah tangga. Seseorang yang menjadi manajer dalam keluarga kami. Dan saya sendiri lahir di kota kecil itu, Blitar namanya, sebagai seorang anak yang bernama Muhamad Rosyid Jazuli.
Sedikit perkenalan masa kecil itu semoga memberi gambaran bahwa bisa-jadi tak ada yang bisa aku sombongkan dari duniaku. Aku dibesarkan di suasana kesederhanaan keluarga. Bahkan, di kemudian hari, keluarga kami dikaruniai empat anak, dan aku-lah yang pertamanya. Aku akhirnya memiliki tiga adik. Inilah kehidupan keluargaku, enam orang yang selalu penuh semangat kemandirian mengarungi samudera kehidupan, menyongsongi setiap tantangan yang boleh-jadi tiap waktu datang.
Tabir masa
Tentunya setiap orang punya jalan hidup pendidikannya masing-masing. Aku pun demikian. Aku jalani waktu pendidikan sebagian besar di kotaku. Ketika aku lulus dari TK al-Hidayah, ku-lanjutkan proses belajar di SD Islam Sukorejo. Kemudian aku memilih SMP Negeri 2 Blitar untuk menempuh masa pendidikan menengah yang pertama. Cukup baik hasil yang aku capai saat itu: aku menjadi peraih NEM tertinggi se-SMP.
Pendidikan menengah aku lanjutkan dengan duduk di bangku SMA Negeri 1 Blitar. Lokasinya cukup jauh, hampir dua kali lipat jarak rumahku ke SMP. Aku hanya memiliki sepeda butut bekas yang dibelikan ayah ketika aku kelas 4 SD. Dan sepeda itulah yang terus membantuku sampai di tempatku belajar, tempatku menyemai benih masa depan.
Semangatku bersekolah sebenarnya tak bisa dikatakan terlalu tinggi. Makna pendidikan di daerahku bukanlah hal yang menarik untuk jadi pembahasan, kalah dari hiruk pikuk pemilukada atau juga bola dengan perebutan kelasemennya. Tapi kemudian seorang guru menyadarkanku: “Pendidikan itu adalah pembuka tabir kehidupan, tabir tentang masa depan juga masa ke belakang. Tanpa itu, kamu hanya akan jalan di tempat sambil tidak menyadari kalau zaman telah jauh berjalan, atau mungkin berlari…”
Ketika SMA, aku mulai bersentuhan dengan dunia organisasi. Ku-putuskan untuk bergabung dengan IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama). Ku-mulai karyaku di organisasi itu mulai dari ranting di kelurahan-ku, PR (Pengurus Ranting) IPNU Pakunden. Saat itu aku mejadi wakil ketua. Beberapa kali aku ikut serta dalam acara rutinan. Bagiku acara itu sederhana sekali: berkumpul, melingkar, duduk-duduk, bicara satu tema lalu entah arah selanjutnya ke mana. Akan tetapi, itulah basis persaudaraan yang nyata dan tentunya benar-benar menyatukan rasa kebersamaan antar-anggota.
Kalau boleh sedikit berbagi, IPNU ini merupakan organisasi yang bergerak untuk membangun benih-benih muda generasi bangsa yang punya akar di masyakarat. Kami di IPNU juga terus mengembangkan jangkauan sebaran moderasi dalam paham keagamaan, Islam, di kalangan anak muda. Kami tanamkan pada mereka untuk punya kebanggaan pada agama dan bangsa pada satu garis, satu visi dan satu mimpi: perdamaian dan kemanusiaan.
Satu periode berjalan, aku pindah ke pengurusan yang lebih tinggi tingkatannya, tingkat cabang (kota). Usai konfercab (Konferensi Cabang), aku ditempatkan di posisi bendahara. Aku sungguh menikmati masa-masaku saat itu. Sayang, belum lengkap satu periode berjalan, aku harus meninggalkan organisasi itu karena sesuatu. Aku, kebetulan, dapat beasiswa untuk melanjutkan studi sarjanaku di Jakarta.
Persimpangan
Di dalam SMA sendiri, aku pernah merasakan bagaimana menjadi pemimpin organisasi kesiswaan tertingggi. Aku pernah menjadi ketua OSIS. Banyak hal tentunya aku dapat ketika itu: pengalaman memimpin, mengelola, dan berdinamika di dalam organisasi. Sungguh pengalaman yang tidak akan pernah aku lupakan. Sebuah pengalaman yang menjadi titik balik kehidupanku saat itu.
Aku yang dahulunya kepalaku penuh sesak dengan rasa minder, berubah hampir seratus delapan puluh derajat menjadi pribadi yang cukup punya rasa percaya diri menghadapi kehidupan. Belajar untuk bernegosiasi dengan orang lain adalah momen yang bagiku paling membekas hingga kini. Dealing with others merupakan pelajaran paling berharga dalam organisasi. Dinamikanya seperti memasak matang-matang mental orang-orang yang terlibat di dalamnya, sejauh tidak menjadi free ride. Lagipula, secara historis, dari organisasi pula putra-putra bangsa negeri ini memulai perjuangannya menempuh jalan terjal menuju kemerdekaan.
Selepas SMA, kelanjutan studiku berada pada titik yang cukup gamang. Semangat untuk terus belajar rasa-rasanya tak ada surutnya. Lagipula, kalau aku berhasil kuliah, aku-lah anggota pertama keluargaku yang dapat mencicipi atmosfer perkuliahan. Harapanku tentu cukup besar, tapi nyatanya itu berbenturan dengan kenyataan bahwa kami tak punya kecukupan biaya untuk sekedar biaya masuknya saja. Mulailah aku berada pada persimpangan.
‘Kantong’ keluarga kami pun cukup perlu banyak pertimbangan untuk dirogoh koceknya hanya untuk sekedar ikut seleksi masuk. Sudahlah diketahui kalau sekarang, baik kampus negeri maupun tak negeri, sama saja mahalnya, bukan hanya saat kuliah, tetapi juga ketika calon mahasiswa akan mengikuti tes. Betapa ‘gila’-nya sebuah universitas negeri (tepatnya institusi teknik) saat itu sudah mematok harga formulir masuknya saja mencapai 400 ribu (bagi beberapa orang, angka ini mungkin ‘lumrah’, tapi bagi kebanyakan sudahlah tentu ini memberatkan; rasanya aku berani bersumpah demi apapun!).
Aku terus memutar otak. Tak mungkin momen bahwa keluargaku akan punya satu anggotanya yang dapat kuliah terlepas, empas begitu saja. Akhirnya aku dapat jawaban: beasiswa. Sekiranya hanya itu jalur yang mungkin (kemungkinannya pun masih dipertanyakan) untuk aku ikuti.
Aku mengorek informasi lewat dunia maya. Aku sering keluar-masuk warnet hanya untuk menjelajah, mengais kesempatan yang mungkin bisa aku coba raih. Ketika tak mendapatkan apa yang kucari, rasanya jalan-jalan yang menyimpang makin banyak dan makin membingungkan: mau apa sebenarnya aku ini?
Di tengah kegamangan itu, aku terus ingat kata-kata guruku: tanpa itu (pendidikan), kamu hanya akan jalan di tempat sambil tidak menyadari kalau zaman telah jauh berjalan, atau mungkin berlari… God! Aku tak mau tertinggal!
Jadilah kutemui beberapa kesempatan program beasiswa di beberapa kampus. Kutemukan sebuah nama yang boleh-jadi aneh waktu itu: Paramadina Fellowship. Itu adalah sebuah program beasiswa penuh untuk anak-anak negeri ini, untuk melanjutkan studinya di jenjang perkuliahan, di Universitas Paramadina (jujur saja, waktu itu nampaknya semua masih bergelayut keraguan, perihal diriku sendiri, juga pandanganku pada program tersebut).
Kupaksa diriku sendiri untuk lengkapi segala persyaratannya. Formulirnya yang belasan lembar rasanya memang memusingkan. Namun mau apalagi? Ku-minta dua guru paling visioner ku untuk memberikan surat rekomendasi. Salah satunya Tatik Sensei (Jepang: (Bu) guru Tatik), yang terus memberiku motivasi sebagaimana kusampaikan sebelumnya. Essai kubuat sesungguh-sungguhnya, sehati-hatinya (aku membuatnya memakai pensil dulu, lalu kutebali, setidaknya agar tak ada coretan).
Kawan, kini, aku telah berada di Jakarta, pusat atmosfer negeri ini. Aku berhasil dapatkan beasiswa Paramadina Fellowship seketika aku lulus dari SMA 2008 lalu. Sekarang aku kuliah di Universitas pemberi beasiswa itu, aku belajar di jurusan Manajemen. Hanya syukur kepada Tuhan yang bisa aku sampaikan. Beasiswa itu telah membiayai seluruh kebutuhan kuliahku. Biaya kuliah selama empat tahun, biaya buku pun, alhamdulillah, sudah menjadi tak menjadi beban pikiranku. Bahkan uang saku aku juga dapatkan. Yang paling penting tentu: janjiku akan adanya anggota keluargaku yang dapat kuliah terbayar!
Aku dapat kejutan lain di Jakarta. Karir organisasiku di IPNU ternyata juga masih berlanjut. Aku mendapat kesempatan untuk bergabung dengan kepengurusan Pimpinan Pusat (PP IPNU) untuk periode tiga tahun mendatang (2009-2012). Dengan ini pula, kesempatan untuk menebarkan ‘jalan-jalan moderasi keumatan’ pun menjadi lebih luas.
Sementara, aku juga berkesempatan menjadi duta bagi universitasku pada 2010 lalu. Layaknya duta pada umumnya, adalah tugasku menyampaian berita baik dari dan ke dalam universitas. Tapi tentunya, secara kultural, aku juga duta bagi organisasi tempatku bernaung, PP IPNU.
Segenggam pasir
Kukira apa yang kuraih selama ini bisa aku anggap sebuah prestasi. Tapi, tentulah tak perlu dibanggakan, sebab sudalahlah disadari masih banyak orang yang jauh memiliki prestasi di luar sana. Aku yakin kebanggaan diri dan kesombongan hanya menutup hati yang berujung pada ketinggian hati. Sebuah sikap yang sangat di benci masyarakat, hati nurani pun sebenarnya juga tak menyukainya sama sekali.
Just keep highly motivated, you will see the world, kata-kata ini masih kuat menempel di benakku. Tapi dari itu semua, sepertinya menarik untuk menilik pernyataan seorang bijak: Kesuksesan bukanlah hasil pembandingan antara capaian kita dengan capaian orang lain, tapi perbandingan antara capaian itu dengan apa yang menjadi rencana kita…
Capaianku ini hanya sekedar pasir barang segenggam untuk membangun peradaban. Membaginya, kukira akan lebih banyak cerita kesuksesan lain yang lebih menarik, berbobot, dan penuh motivasi. Genggaman pasirnya tentu akan makin banyak dan makin melimpah untuk modal membangun sebuah peradaban hidup yang gilang-gemilang.
Jakarta, kota yang letih, ini kini menjadi rumah sementaraku. Entah setelah ini mau kemana? Tapi semoga Tuhan tetap memberkahi jalanku, jalan kita semua yang tetap menggenggam mimpi untuk berbuat yang terbaik, bukan buat diri sendiri, tetapi untuk semuanya: keluarga, kawan, bangsa dan negara… (*)
Muhamad Rosyid Jazuli (Jazz Muhammad)
Selesai 29 Maret 201, di Perpustakaan kampus Paramadina