(baltyra.com) |
Ayo makan ke sana, lebih prestis lah
Aih, merek apa ini bajumu?
Pernah saya menulis soal “Gengsi itu mahal”. Ya memang demikian, untuk memenuhi gengsi, tak jarang kita spend uang cukup banyak dari yang seharusnya. Demi sebuah brand tertentu, kita rela mengantri berjam-jam dan membuang waktu begitu saja dengan penantian yang membosankan (tapi mungkin menyenangkan bagi yang suka). Untuk makan saja, pakai naik taksi ke mall yang cukup jauh. Ya ngga ada yang salah sih, toh juga uang-uang kamu. (Sirik lho Jazz?) Ya kagak sih.
Tapi mari sejenak melihat sesuatu jauh lebih mendalam, sedikit jauh ke depan.
Dalam ilmu marketing, brand atau merek adalah keluaran paling terakhir dari sebuah proses bisnis. Dari mulai produksi hingga penjualan, brand adalah ujung tombak apakah produk itu sukses atau tidak. Dan kenyataannya, seringkali brand inilah yang membedakan produk satu dengan yang lain. Padahal isi dan fungsi, dan perlu-nya sama saja.
Orang-orang banyak yang tertipu dengan brand ini. Karena berbeda merek saja, sudah ngga mau pakai. Karena merek tertentu, sebuah barang ‘dipersepsikan’ lebih baik dari yang lain. Karena merek tertentu, seseorang mau membayar harga jauh lebih tinggi. Karena merek tertentu, seseorang merasa lebih pe-de. Dan karena merek tertentu, seseorang merasa harga dirinya lebih baik!
Kalau tidak celana merek ini, ngga keren. Kalau bukan kaos merek ini, ngga gaul. Lalu kalau ngga pernah makan di sini, berarti ndeso. Kalau motornya bukan merek ini, jadinya kurang gagah, apalagi kalau ke kampus naik bis, wadoww, kuno banget sih. Kalau ke sekolah naik sepeda, widiihh, ketinggalan jaman loe….
Apalagi, iklan-iklan TV dan media lainnya pun seperti mendukung. Benar-benar memborbardir rasio kita dalam hidup dengan tampilan-tampilan produk yang membuai.
Susah juga sebenarnya. Bagi saya yang kantongnya tipis-tipis, kalau nurutin itu semua ya bisa babak belur-lah. (Ah, elo Jazz, cari pembelaan kan lewat tulisan ini ‘kan?) Eits tunggu dulu men!
Sebenarnya, kalau saya sih cuek aja. Rasa minder pasti ada ketika kita tidak bisa memakai produk dengan brand yang umum dipakai. Tentu kita mengerti bahwa harga diri yang hakiki tidaklah ditentukan apa yang ada menempel di diri kita, apa atribut yang kita punya, anak siapakah kita, dan merek motor apa yang kita pakai.
Yang membuat kita berharga adalah perilaku dan jasa-jasa kita, bukan yang untuk diri kita saja, tapi kepada lingkungan dan orang-orang sekitar kita. Kadang sibuk mempercantik diri, sibuk dengan baju apa yang harus dipakai, motor apa yang harus dibeli, atau tempat makan mana yang mau disambangi, tapi kita lupa untuk mempercantik perilaku.
Kata Cak Nun, ini nama tahayul modern. Tahayul adalah sesuatu yang tidak rasional. Tahayul tak hanya soal main 'jailangkung', atau 'pocong versus kuntilanak' (film itu mah, Mas). Tapi masalah apapun yang tidak rasional di dunia ini. Kalau iman, Mas? Ya, kalau soal akidah itu lain-lah, saya bukan bahas itu, kedaleman itu, Bos.
Kegalauan seseorang karena tidak bisa pakai baju merek ini, atau rasa rendah dirinya karena tidak bisa makan di tempat tertentu adalah pikiran yang tidak rasional. Makan mah makan aja, pakai baju mah ya yang penting rapi dan sopan. Tapi, memang itulah tahayul modern, yang membingungkan dan memang tercipta untuk tidak masuk akal.
Saya tetap terkesan dengan hidup Gus Dur. Orangnya sederhana, dandanannya sangat tidak modis, tapi bisa-bisanya orang dari berbagai jurusan (eitss, emang angkot apa?!), agama, suku, bisa simpati kepada beliau. Penampilan memang perlu tapi janganlah itu jadi titik pusing dalam hidup ini. Pusingkan perilaku kita yang sering kali bikin orang sebel, juga kontribusi kita yang terlampau sedikit pada negeri ini… (Iya sih, gue kan makan dari sawah petani sini, minum dari air gunung sini, tapi ngga tau yah kalau impor semua itu.. he-he)
Merek memang membuat orang kehilangan rasionalitasnya dan masih banyak tahayul modern lainnya. Mau-mau?