
Perasaanku sedikit meringsut karena sejak tadi Ibu itu tak kunjung datang juga. Aku telah janjian tadi pagi kalau aku akan wawancara beliau soal pendidikan di Indonesia ini. Sudah jam 10, tapi Ibu itu tak datang juga. Aku tadi mampir di kelas beliau, tapi beliau sedang mengajar.
Sepuluh lebih lima. Aku ke ruangan beliau saja. Kalau sampai tak dapat informasi, bisa jadi masalah. Deadline tulisan buat mading (majalah dinding) kampus tinggal esok. Aku harus menulis tentang pendidikan tinggi di negeri ini. Maklum, inilah kebiasaan mahasiswa Indonesia, kalau dapat tugas, sistem SKS-lah yang jadi primary choice untuk dieksekusi. Kau tahu apa sistem SKS? Bukan sistem kredit semester, tapi itu ‘Sistem Kebut Semalaman’. Tapi, syukur, Ibu itu ada di ruangan.
Shiskha Prabawaningtyas, itu nama sang Ibu. Ia adalah dosen Jurursan Hubungan Internasional universitas tempatku belajar. Setahuku ia lulusan luar negeri. Aku segera hampiri beliau dan wawancarai. Aku buka pertemuan dengan perkenalan dan setelahnya meminta data diri ibu itu.
Syukur, Mbak Icha, begitu ia minta aku memanggilnya, tak memarahi aku ketika aku sampaikan bahwa deadline tulisan adalah esok harinya. Meski sedikit menyindir, aku tahu bahwa ia menyayangkan kelakuanku itu. Tapi di luar itu semua, beliau sangat kooperatif dalam menjawab pertanyaanku. Dan ternyata aku baru tahu, beliau lulusan Belanda, tepatnya Universitas Leiden. Beliau adalah lulusan Master of International Relations and Diplomacy dari Faculty of Social Behavioural (Facultiet Social Wattenschappen), Universiteit Leiden.
Sebuah Persinggungan Sejarah
Kau tentu tahu Universitas Leiden ‘kan? Universitas yang memiliki persinggungan sejarah dengan negeri nusantara ini. Ia juga merupakan universitas tertua di negeri Oranye itu. Di awal, beliau, Mbak Icha, membawaku pada sejarah Bumi Pertiwi ini. Leiden menjadi tempat belajar raja-raja Jawa. Ketika menjajah, Belanda memang membatasai pendidikan orang pribumi. Tapi, ada yang bisa bersekolah hingga tingkat tinggi yakni raja-raja itu atau yang sering disebut priyayi.
Sebagai contoh, KI Hajar Dewantara yang berhasil menjadi mahasiswa di sana pada 1908. Kemudian sang founding father Mochamad Hatta, juga Sutan Syahrir. Tokoh-tokoh itu merupakan nama-nama yang tentu tak akan mungkin kau lupakan. Menurut sejarah, bahkan nama Indonesia lahir di sana yakni ketika sekelompok mahasiswa Indonesia termasuk Bung Hatta membentuk Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia)
Terlepas dari itu semua, Belanda memiliki sistem pendidikan yang self-studies oriented. Mahasiswa diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi ide dan kemudian menyampaikannya. Porsi kontribusi dosen hanyalah sebagian kecil. Mahasiswa adalah pemain utama dalam permainan edukatif di kelas. Maka, membaca adalah kunci utama memenangkan permainan itu.
Ini baru namanya pendidikan yang inovatif. Artinya menempatkan mahasiswa menjadi benar-benar kreatif dan produktif. Inovasi itu tak harus yang muluk-muluk. Semua mulai dari hal kecil, yakni 'baca' dan 'baca'.
Sayang, di bagian ini, Mbak Icha menyelipkan sebuah sindiran. “Yang jelas pendidikan di Belanda tak ada budaya kebut semalaman. Semua well-prepared.” Kali ini aku kena pukulan telak. Aku hanya diam saja, sambil senyum-senyum sendiri.
Seorang intelektual bernama Nurcholish Madjid bahkan menyatakan bahwa sistem pendidikan Belanda inilah yang membuncahkan semangat nasionalisme kala itu. Orang-orang Indonesia seperti Bung Hatta dan Syahrir melakukan pemberontakan ideologi meski yang menjadi bekal semua itu adalah pendidikan Belanda sendiri. Kebebasan berpendapat yang diterapkan memupuk keinginan membentuk negara yang mandiri.
Keukenhof
Di luar pendidikannya yang bisa dibilang one step ahead, ternyata Belanda juga memiliki inovasi yang juga one step ahead. Mbak Icha membawaku masuk dalam imajinasinya pada masa ketika ia berkuliah. Adalah taman Keukenhof yang dikelola inovatif dan kreatif yang hingga kini masih menjadi magnet hidup penarik perhatian wisatwan dunia.
Keukenhof adalah taman bunga tulip yang ada di negeri kincir angin itu. Pengembangan ladang tulip begitu menjadi perhatian pemerintah. Setiap pemilik ladang diberi stimulus oleh pemerintah untuk berlomba. Kompetisi yang dibangun adalah kompetisi untuk terus berkreasi memunculkan varietas baru. Setiap petani diberikan kesempatan untuk menampilkan kemahirannya dalam memelihara bunga khas Belanda itu.
Meski asalnya bukan dari Belanda sendiri, yakni dari Turki, negeri dibawah permukaan air laut itu berhasil meyakinkan dunia bahwa itu adalah identitasnya. Penegasan itu dikonfirmasi dengan diadakannya Bloemencorso tiap April hingga Mei. Blomencorso adalah festival bunga tulip ketika bunga itu mengembang. Parade jalanan digelar. Berbagai bentuk rekaan dipamerkan bak karnaval. Yang menarik, tentu tulip-tulip indah yang menjadi penghias utamanya. Tak pelak, dalam periode itu, Belanda mendadak jadi gula wisata yang dikerumuni banyak semut-semut wisatawan.
Meski hanya bunga, tulip ternyata memang memiliki keunikan. Bukan dari strukturnya, tapi nilai yang ia berikan pada yang negara melambungkan namanya itu, yakni nilai pariwisata juga nilai eknomi. Datangnya wisatawan tak dipungkiri menambah pundi-pundi pendapatan negara tersebut. Dan yang paling membuat tulip ini unik adalah kreativitas petaninya juga perhatian pemerintah hingga orang-orang bilang, “Belanda itu tulip, tulip itu Belanda.”
Dalam analisis marketing, Belanda telah berhasil menjadikan dirinya top of mind publik dunia bahwa ia adalah Negeri Tulip. Bunga itu seakan menjadi lambang supremasi daya tarik negeri yang pernah bersentuhan dengan negeriku ini.
Sayang, Mbak Icha tak meneruskan kisahnya soal tulip. Ia berbalik arah kembali ke pendidikan. Kali ini ia tak beromantika pada masa lalu lagi. “Let bygones be bygones!” begitu katanya.
Belanda: homy
Ia mulai bercerita soal bagaimana belajar di Belanda itu. Negara asal VOC itu saat ini adalah negeri yang homy. Khusus bagi pelajar Indonesia, makanan bukan lagi masalah yang menakutkan. Banyak ditemukan tempat makan yang sesuai lidah orang Indonesia. Di sana ada nasi goreng, ada soto, ada rendang dan masih banyak lagi. Selain itu, sudah banyak pelajar Indonesia yang ada di sana dan bisa dimintai bantuan ketika ada kesulitan.
Saat ini, pelajar-pelajar Indonesia di Belanda diikat oleh sebuah organisasi bernama PPI atau Perhimpunan Pelajar Indonesia. Sebenarnya organisasi ini tidak baru. Ini adalah perkembangan dari Indische Vereeniging-nya Bung Hatta.
Dan yang unik, kadang ada orang-orang tua yang bisa berkomunikasi mengunakan bahwa Bumi Pertiwi ini. Kebanyakan mereka memiliki keluarga yang pernah di Indonesia semasa kemerdekaan atau juga bekas pegawai Shell, salah satu perusahaan migas Belanda, di Indonesia.
Tentu tak semua orang berbahasa Indonesia. Jadi masalah donk? Tenang saja. Meski Belanda punya bahasa sendiri, sebagain besar penduduknya bisa bahasa Inggris. Jadi tak ada maslah ‘kan?
Belajar di Belanda, bisa ngirit plus sehat. “Kok bisa?” aku sontak ingin mengonfirmasi pernyataan Mbak Icha itu. Ternyata di Belanda terdapat transportasi utama yang sangat digemari, yakni sepeda. Setiap jalan utama, di bagian pinggirnya disediakan space khusus buat sepeda. Harga sepeda pun juga cukup affordable. Alternatifnya bisa membeli yang bekas, berkisar antara 45 dan 140 euro. Dengan menggunakan sepeda sebagai alat transportasi, biaya yang dikeluarkan dari rumah atau kosan ke kampus tentu gratis. Plus, hidup pun jadi lebih sehat.
“Ini baru inovasi..!” begitu seru Mbak Icha. Bukan hanya ide, tapi eksekusinya juga ada dan nyata. Bukan hanya penduduknya tapi pemerintah juga mendukung. Kalau di Indonesia susah. Kampanye-kampanye bike to work, eh, pemerintahnya diam saja, “Kayak ngga denger aja..”
Sampai itu aku agak terkesima. Tapi tiba-tiba sebuah pertanyaan terbesit. Meski sebentar tapi mengganggu. “Bagaimana biayanya ya?” Ini masalah sensitif. Bukan bagiku saja. Bagi siapa saja, urusan uang itu bisa mengernyitkan dahi. Kadang mengecilkan nyali juga.
Tapi Mbak Icha meyakinkan bahwa biaya itu bukan masalah. Biaya kuliah di Belanda memiliki kisaran yang sangat beragam. Untuk tingkat S1 atau bachelor, besaran biaya kuliah antara 3.500 dan 7.000 euro per tahun atau Rp 50 juta sampai Rp 101 juta. Adapun untuk program S2 atau master, biaya yang diperlukan antara 4.000 dan 15.000 euro per tahun. Itu kalau biaya sendiri. Ada alternatif lain dan ini yang paling dicari. Ya, beasiswa. Mbak Icha sendiri adalah penerima beasiswa. “Wah, enaknya..” kataku dalam hati.
Mbak Icha adalah penerima beasiswa StuNed (Studeren in Nederland). Beasiswa ini untuk pegawai negeri, aktivis LSM dan juga wartawan. Tapi beasiswa bukan hanya StuNed saja. Banyak beasiswa yang bisa diraih untuk studi di Belanda.
Ada beragam beasiswa yang dapat diraih antara lain Huygens Scholarship Programme (HSP), Netherlands Fellowship Programme (NFP), The Indonesian Young Leaders Scholarship Programme, Amsterdam Merit Scholarships, Berlage Institute Scholarship, CHN-SGS Scholarship, Erasmus Mundus Scholarship programme.
Juga ada beasiswa dari pemerintah Indonesia sendiri melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) dan Departemen Komunikasi dan Informatika. Dan masih banyak lagi beasiswa yang bisa ditembus.
Informasi selengkapnya bisa didapatkan siapapun di Netherlands Education Support Office (Neso) Indonesia. Kumpulan informasi tentang Belanda ada di organisasi itu. Kalau ingin online saja, maka website www.grantfinder.nl bisa jadi alternatif.
Tapi ada satu yang selalu jadi masalah pelajar Indonesia. Mereka bisa berkomunikasi pakai bahasa Inggris. Was wes wos malahan. Tapi ketika kemampuannya diuji lewat tes TOEFL, baru klepek-klepek. Standar beasiswa ke luar negeri biasanya 550. Nah, ini yang harus menjadi tantangan dan harus segera diselesaikan. Tapi, tiba-tiba Mbak Icha melontarkan pertanyaan padaku, “Kamu berapa TOEFL-nya?”
“Hehe, 500 aja masih belum, Mbak…”
Aku dapat pukulan telak kedua. Tapi, cerita Mbak Icha sedikit menciptakan letupan semangatku untuk meraih kesempatan belajar di luar negeri, ya salah satunya di Belanda. Aku diam-diam berharap, semoga saja letupan itu bisa membakar sekam kenyataan bahwa aku benar-benar bisa belajar di negeri orang nantinya. Semoga!
****
*sumber gambar bisa diklik langsung pada gambanrnya atau buka link-link berikut
* kompetiblog2010.studidibelanda.com
* majalah.ppibelanda.org
* wikimedia.org
* www.holland.com
* wikimedia.org