|
twin tower (mbah google) |
Nak, kenapa sih Indonesia ga maju-maju?
Ya iyalah, Pak, kalau maju jadi masalah nanti
Kok gitu sih?
Kalau maju nanti nabrakin negara tetangga
O... murid sialan!
Suatu saat, saya bertemu seorang general manajer (GM) di sebuah perusahaan telekomunikasi. Orangnya enerjik. Pembawaannya ceria. Saat itu ia bercerita tentang pengalamannya ketika tahun 1998 mengunjungi Malaysia. Ia menjadi wakil Indonesia pada sebuah acara konferensi pemuda.
Ia kemudian berteman dengan seorang Malaysian. Ketika di Malaysia, mendadak, pagi buta ia harus menuju tempat konferensi. Benar-benar mendadak sekali dan penting. Mereka memakai mobil.
He...he ganjil ya ceritanya...tapi aku dengarkan saja…
Ketika telah hampir sampai, laju mobil itu dihentikan paksa oleh traffic light yang sedang merah. Saat itu masih jam 5 pagi. Sebagai seorang Indonesian, si manajer bilang pada si Malaysian,
"Bang, terus aja... ngga bakal ada yang tau.."
"Hei, tak bise...tak liat kau merah lampu itu.. Ini aturan di sini..!" tangkis si Malaysian.
Sebenarnya si manajer tadi agak geram, tapi sejenak sadar bahwa apa yang ia lakukan adalah salah.
Cerita itu menunjukkan bahwa kedisiplinan telah mendarah daging pada diri rakyat negeri tetangga itu. Meski telah pada posisi paling aman untuk melakukan pelanggaran, mereka berikukuh enggan lakukan itu. Mereka seakan sadar bahwa disiplin tak harus diawasi, dan melanggalr kedisplinan adalah hal yang naïf.
Wah kok bise gitu yah..?
Secara sederhana, bisa disimpulkan bahwa ini soal mental. Kedisiplinan telah menjadi budaya di negeri jiran itu. Siapa pun yang melanggarnya berarti telah melanggar nilai-nilai luhur masyarakat di sana.
Saya sendiri bingung. Dulu tahun 80-an, negeri Malaya itu masih impor guru dari Indonesia. Tapi kenapa sekarang anak-anak Indonesia malah bangga bisa sekolah di sana? Tapi bagi saya memang Malaysia adalah wujud bangsa yang punya mental integritas yang cukup kuat. Inilah kunci pertumbuhannya yang pesat, terlepas dari kontroversinya selama ini.
Hehe kok jadi serius yah...
Pada era 97-98 ketika Indonesia sibuk menyiapkan demokrasi dan perpolitikan yang carut-marut, Malaysia telah sibuk dengan pertumbuhan ekonominya. Mereka telah punya monorel dan twin tower yang megah itu. Sementara, di Jakarta, sampai tulisan ini dibuat, itu pancang-pancang monorel ngga jadi-jadi.
(Heh, lo jangan banding-bandingin ya...) Eiittsss... pis2
Ya bukan maksud saya untuk membandingkan. Ini soal mau benchmarking atau tidak. Dulu Malaysia berkenan mengemis guru dari Nusantara. Mereka mengakui memang belum semampu Indonesia kala itu. Tapi mereka benar sungguh-sungguh mau berbenah. Dan kini sepertinya kesungguhan itu menjadi kenyataan.
Kadang yang menyedihkan itu ada saja bilang gini, "Ya iyalah, Malaysia kan dijajah Inggris, kita kan jajahan Belanda..."
Aduh, kemooon, ini bukan lagi soal romantika masa lalu, ini masalah mental bangsa yang tak kunjung usai. Kalau begitu kita mau mulai dari mana? Dengan apa?
Kata Cak Nur, mulailah dari mana saja. Bangsa ini bisa dibenahi dari sudut mana saja, asalkan ada kemauan kuat. Lalu kata Yoris Sebastian, starts small. Mulai saja dari yang kecil aja. Mulai dari diri sendiri. Memang butuh waktu, tapi yang jelas ini akan berdampak.
Contohnya? Hadehhh cari sendiri ah.....baca buku kek, buang sampah pada tenpatnya kek, nulis kek, nanem pohon kek..... tapi yang penting disiplin…….