Monday, December 12, 2011

Mozaik dari Fargo (3): Masa Bodoh!

di NDSU, lompat ngga jelas!
Masa bodoh. Bagaimana pendapatmu dengan frase ini? konotasinya, setahuku, selama ini adalah buruk. Ini berarti sebuah pengingkaran terhadap kondisi sekitar, tak mau tahu, dan ujungnya: Masa bodoh!

Tapi bagiku, ada masa bodoh yang penting. Masa bodoh ini berarti tak usah peduli dengan apa yang terjadi di masa depan. Maksudku bukan sekarang ini kita bisa bermalas-malasan. Kita harus berusaha meraih segala yang kita bisa raih. Semboyannya “Kalau dia bisa, kenapa aku tidak?” Nah, setelah semboyan itu kita tanam dalam-dalam di kepada, maka kita harus berusaha sekuat-kuatnya.

Nah, setelah itu? Berdoa? Yes, lalu? Masa bodoh! Di sinilah masa bodoh itu penting. Tak usah perlu memerhatikan apa hasilnya nanti. Kalau memang kita sudah melakukan yang terbaik, hasil terbaik pasti akan tercapai. Tapi seperti diceritaku sebelumnya, yang terbaik belum tentu berarti menang.

Bagi yang percaya pada Yang Maha Kuasa, ya sudah, masa bodoh saja. Serahkan semuanya pada-Nya. Yang atheis dan agnostik? (Weleh apalagi ini?) Ya sudah, yakin saja sama apapun yang kau yakini. Yang penting masa bodoh.

Pertengahan Desember 2010
Setelah aku serahkan form aplikasiku pada aminef untuk program Global Ugrad, aku ya sudah masa bodoh. Lalu aku jalani kehidupanku sehari-harinya sebiasa-biasanya di asrama 33b dan kampus Paramadina.

Namun semuanya akhirnya menemukan titik terang ketika pada awal minggu Desember 2010, malam hari, aku dapati email dari aminef ber-subject: 2011 Global UGRAD Program Interview Schedule – JAKARTA. Saat itu aku sedang duduk-duduk di ruang tamu asrama malam-malam. Biasa, sejak menjadi mahasiswa, aku sering tidur malam-malam. Kerjaanya cuma ada dua: facebook-an, atau SKS. Yang kedua itu adalah singkatan dari kebiasaan terburuk mahasiswa di manapun: sistem kebut semalaman!

Setelah aku cek, aku akan dapatkan jadwal wawancara Kamis, 9 Desember 2010, pada 13.30. Aku kabarkan berita ini pada Eko, teman yang memberi tahuku soal program ini, sebelumnya. Dia sendiri ternyata juga dapatkan kesempatan wawancara untuk program lain, IELSP.

Aku segera telpon orang tuaku kalau aku masuk tahap wawancara. Ibuku begitu gembira mendengar ini. AKu tak lupa memohon doanya padanya untuk segala kelancaran di wawancara nanti. Aku juga kabarkan ini pada Bu Iin dan Bu Prima, dua orang yang memberiku rekomendasi. Tak lupa juga aku sampaikan ini pada Tatik sensei.

Untuk wawancara ini, aku tak mau main-main. Aku ingin sekali bisa lolos program ini. Untuk itu, aku lakukan segala cara agar Bahasa Inggrisku yang amburadul ini bisa sedikit lebih baik.

“Hadi, kau bisa bantu aku?” aku telpon Hadi soal apa yang sedang kuhadapi. Hadi adalah kawanku di Paramadina. Bagiku, dia adalah kawan yang bahasa Inggrisnya paling bagus.
“Aku bisa bantu apa nih?” Jawabnya. Ia sendiri sebenarya baru saja wawancara untuk program IELSP, seperti halnya Eko.
“Kalau ada waktu, bisa latihan wawancara ngga? Dalam Bahasa Inggris. Aku lolos wawancara program Ugrad.”
“Oke!”

Aku sambangi kos-kosannya satu waktu. Aku segera jelaskan padanya bagaimana keadaanku sekarang ini. Dengan bahasa Inggris yang pas-pasan, aku ingin adakan simulasi wawancara. Aku kira itu cara terbaik bagiku yang sangat miskin kemampuan bahasa asing.

Aku berlatih dengan Hadi tentang bagaimana menjawab pertanyaan wawancara dalam bahasa Inggris. Pertama kali mencoba, rasanya ingin ngomong banyak sekali, tetapi semuanya akhirnya tertahan di tenggorokan.

Aku terus mencoba berulang-ulang. Aku tahu sebenarnya ia capek meladeni anak bodoh ini. Tapi ya aku tak ada pilihan lagi. Aku harus sukses lalui tahap ini. Mau bahasa Inggrisku seprti apa, masa bodoh! Yang penting usaha yang terbaik, pasti Allah memberi jalan. Terima kasih banyak Hadi! Aku tak kan lupakan jasa besarmu!

Hari wawancara hadir, aku seperti orang kedinginan. Badan gemetar, keringat dingin keluar dari pori-pori telapak tangan.

Aku naik kopaja sialan ke Senen, ke kantor aminef (Sekarang sudah pindah ke Sudirman). Setelah sampai, ke toilet dulu. Kopaja membuat badan jadi gerah. Keringat yang keluar membuat badanku agak bau. Kopaja sendiri juga meninggalkan bau: Bau besi! Aku cuci muka dan sejenak istirahat.

Kantor aminef tak ramai rupanya. Hanya ada beberapa karyawan yang sedang mengutak-atik dokumen. Entahlah. Tapi sejenak kemudian aku disapa oleh Mbak Mita.

“Muhamad ya?” katanya. Dalam hati: Muhamad? Nama saya Rosyid, Mbak. Tapi ya sudahlah, memang nama pertamaku itu. Cuma di Indonesia, nama Muhamad jarang dipakai untuk panggilan.
“Iya, Mbak.”
“Oke, kamu tunggu dulu di sini, nanti akan dipanggil. Oke?”
“Sip!”

Aku menunggu hampir seperempat jam. Tak ada tanda-randa apapun. Kantor aminef waktu itu sepi sekali. Menunggu, ini sangat membuat diriku makin tak percaya diri. Tapi aku terus berdoa. Sebagai orang muslim, aku diajari oleh ibuku untuk terus membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Aku lakukan itu dengan sungguh-sungguh. Ini adalah penghormatan bagi Nabi-ku sebagai orang yang ditunjuk Tuhan sebagai pemberi petunjuk.

Nah, sholawat ini, bagiku, tujuannya adalah mengingat kebesaran Nabi bagaimana ia lalui segala liku jalan kehidupannya yang, kalau kau mau baca biografinya, tak ada yang mulus. Kalau mau jujur, dari biografinya, maka kau akan temui banyak keadaan buruk yang menimpanya daripada kejadian baik. Tapi, karena beliau berhasil melalui segalanya, maka apapun keadaannya, nama beliau tetap dikenang sepanjang masa. Ya Naby salam ‘alaika…

Bagi yang punya kepercayaan pada figur-figur lain, seperti Buddha, Jesus, atau siapapun, aku ingin sampaikan kalau baca baik-baik sejarah kehidupan mereka. Pasti akan banyak pelajaran yang dipetik.

Mari jadikan itu semua jadi semangat untuk selalu berbuat yang terbaik bagi sesama manusia. Tak perlu menyalah-nyalahkan. Karena, sepertinya orang-orang besar itu, Muhammad, Buddha, Jesus, dll, tak pernah main tunjuk hidung, “Heh, kamu masuk neraka, kamu masuk surga!”

Ya kita-nya saja yang kadang suka sok-sokan tahu segala macam, terus tunjuk-tunjukan. Kalau untuk ini, aku mau bilang, “Emang surga-nerakanya mbahmu, hehe…”

Kembali ke aminef. Aku lakukan apapun yang dapat menurunkan kadar ke-grogi-anku. Kawan, ini akan jadi pengalaman pertamaku wawancara dalam bahasa Inggris, bahasa yang aku miskin sekali penguasaannya. Doakan aku ya! (Halah, lebay!)

Seorang anak muda keluar dari sebuah pintu. Rupanya dia juga mengikuti wawancara sama denganku.

“Hai, dari mana?” aku sapa dia.
“Dari UI. Ah, aku tadi banyak diam. Pertanyaannya sulit-sulit!” katanya.

Apa? Oke-oke! Fokus-fokus! Bismillah, alhamdulillah, la haula wa la quwata illa billah!

“Muhamad,” panggilan seseorang mendadak ke arahku.
“Ya, saya,” jawabku.
“Mari masuk,” jawabnya sambil menyilahkan aku masuk ke ruangan interview.

Oh, kawan, pada waktu wawancara, aku memakai baju batik yang kubeli di Blok-M. Aku memakainya karena aku hanya ingin rapih dan menunjukkan keindonesiaanku. Selain itu, aku tak memakai celana bahan. Aku mengenakan jeans, juga dari Blok-M, agar meskipun kesannya resmi, karena pakai batik, tapi juga tetap jiwa mudanya tetap terlihat. Halah! Mbelgedhes! Tapi, ya bagaimanapun juga, itu kenyataan yang aku jalani.

Awalnya aku kira hanya akan satu atau dua orang yang mewawancaraiku. Tapi ketika aku saksikan sendiri, ada lima orang yang akan “menghakimi”-ku di sini. God!

Ada dua orang Indo dan tiga orang Amerika. Yang dua adalah alumni dari program Fulbright, satunya adalah direktur aminef, satu dari kedutaan US, dan satu lagi Fulbright student di Indonesia.

Pak McCoy, direktur aminef, mulai menanyaiku. Ia tanyakan tentang data diri pada umumnya: nama, kampus, usia, dan semester. Aku benar-benar bin sungguh-sungguh mendengarkan apa yang ia katakan. Jujur, waktu itu aku tak mengerti apa yang ia katakan, tapi aku menggunakan insting untuk mengetahui apa maksud pertanyaannya. Akhirnya dapat juga aku menjawabnya.

“Kalau kamu terpilih, kau ingin program yang setahun atau satu semester?” kira-kira begitu katanya.
“Dua semester, Pak. Kalau satu semester, saya kiranya akan menganggur sepulang dari US. Sebab di Paramadina sistemnya tak memungkinkan saya mengambil mata kuliah di semester gasal di semester ganjil,” kataku dengan bahasa yang, ya, cukup lah.
“Kalau nanti terpilih untuk satu semester, nanti kau tidak ambil?” tanyanya. Waduh!
“Ya diambil-lah Pak. Kapan lagi saya akan belajar ke US,” jawabku sambil tertawa. Untungnya pak McCoy ikut tertawa. Kalau tidak, bisa memalukan, aku tak bisa membayangkan.

“Muhamad, apa yang ingin kau raih sekitar 15 tahun ke depan?” tanya seorang pewawancara. Ia adalah mahasiswa Fulbright.

“Saya ingin jadi petani. Entahlah, saya sejauh ini cuma berpikiran itu. Saya lihat banyak sawah di kampung halaman saya. Sekarusnya menjadi petani itu membanggakan. Tapi kenyataannya, mereka jadi kelas paling rendah di dalam struktur sosial. Orang makan nasi dan apapun yang semuanya hasil pertanian. Tanpa petani, orang bisa mati. Tapi saya lihat niat anak muda untuk kembali menengok lahan pertanian—katakanlah milik bapaknya—sudah berkurang atau mungkin tak ada sama sekali. Padahal sejak dulu di SD, saya selalu diajari kalau indonesia adalah negara agraris. Mana agrarisnya?

Lalu saya mau jadi petani macam apa? Saya tak tahu. Saya lihat di US pertaniannya maju dan banyak menghasilkan produk unggulan. Kalau kesempatan ke US ini, katakanlah, saya dapatkan, saya akan sangat senang sekali. Setidaknya, saya akan melihat bagaimana kehidupan orang di sana yang katanya disebut-sebut negeri superpower. Saya ingin tahu bagaimana mereka mengelola kehidupannya, syukur-syukur bisa lihat pertaniaannya,” jawabku.

“Apa kegiatanmu selain kuliah?” tanya seorang dari Kedutaan US.

“Saya aktif di organisasi bernama IPNU atau Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’. Yang saya lakukan di sana adalah melakukan kegiatan apapun yang dapat membudayaan pandangan keagamaan yang moderat. Di NU, organisasi induk IPNU, saya belajar untuk selalu yakin pada keyakinan saya sebagai Muslim. Tapi di sisi lain, saya belajar untuk terus menghargai pilihan orang lain.

“Sebab pada dasarnya, yang kita perlukan di dunia ini bukan klaim-klaim kebenaran. Siapa yang paling benar, sederhananya. Tapi bagaimana pewujudan keyakianan beragama, itu yang paling penting. Contohnya aktif membantu orang lain, menjaga keamanan, dan masih banyak lagi,” jawabku.

Kawan, aku akan katakan bahwa aku yakin-seyakin-yakinnya pada keislamanku. Bagaimana dengan orang beragama selain Islam? Masa bodoh! Asal dunia ini aman, lalu semua orang damai, saling membantu, menghargai setiap hasil usaha orang lain, saling berbagi, terus mau apa lagi? Buat apa juga kalau seluruh dunia Islam, atau Kristen, atau Hindu, atau Buddha, atau apapunlah, kalau semuanya hanya kekacauan, musuh-memusuhi.

“Kau suka baca ya?” tanya seorang Indo alumni Fulbright.
“Ya, Pak, tapi tak terlalu juga,” jawabku.
“Saya baca aplikasimu. Kau mengutip Pramudya Ananta Toer. Apa yang kau dapat dari tulisan dia?” tanyanya.

“Banyak, Pak. Tapi dari semua tulisannya, saya hanya ingin merangkum semua pesanya dalam satu kalimat: Kalau orang tak tahu sejarah bangsanya, ia tak akan pernah tahu arah masa depan bangsanya, pun dirinya sendiri! Oleh karena itu, saya suka sejarah. Banyak pelajaran yang di dapat darinya, minimal untuk tak mengulangi kesalahan-kesalahan masa lau di masa sekarang.”

Wawancara berjalan setengah jam tepat. Aku dapati para pewawancara memberikan senyumnya di akhir wawancara ini. Aku merasa lega. Meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti, rasanya lega saja. Aku salami mereka satu per-satu. Aku pamit dan segera ke mushola. Waktu Dhuhur sudah masuk.


di samping Deni, pose sok yes saat shalat Id
Akhir Agustus, Awal September 2011
Aku megambil empat kelas di sini, di NDSU. Aku ambil makroekonomi, mikroekonomi, Dakota tribal history dan English composition. Semuanya berjumlah 12 kredit, atau di Indo sering disebut SKS.

Di awal-awal masuk kelas, aku kadang siapkan MP3 untuk merekam suara dosen. Aku, jujur, masih belum bisa menangkap maksudnya apa yang mereka katakan. Tapi dengan MP3, ini cukup membantu.
Yang paling parah adalah di kelas English composition. Kelas ini berkode ENGL 110. Aku mendaftar kelas itu ketika aku di Indonesia. Aku ingin masuk kelas ini karena ini bahasa inggrisku dapat membaik.

Tapi kenyataan berkata lain. Ternyata ini adalah kelas untuk bagaimana menulis makalah, tentunya dalam bahasa Inggris. Dosennya menerangkan segalanya dengan supercepat. Bahasa Inggris dia benar-benar sulit di-deteksi. Sebenarnya masalahnya bukan bagaimana ia berbicara, tapi karena diriku sendiri yang masih dungu bahasa Inggris.

Aku juga mulai berkenalan dengan teman yang duduk di sampingku. Aku sadari kalau aku adalah satu-satunya orang “internasional” di sini. Semuanya American!

Beberapa waktu kemudian, aku baru menyadari kalau sebenarnya aku masuk kelas yang salah. Kelas ini adalah untuk mereka yang memang menggunakan bahasa Inggris sehari-hari. Atau mudahnya native speaker.

Ya sudahlah. Aku baru menyadarinya minggu kedua. Aku sebenarnya bisa me-drop kelas itu. Tapi aku memutuskan untu masa bodoh saja. Jalani saja. Nanti juga terbiasa. Lagipula, beberapa pertemuan sebelumnya akan sia-sia saja kalau aku drop kelas ini.

Kawan, setelah bulan puasa selesai, tepat pada akhir Agustus Idul Fitri pun datang. Di sini aku merayakan dengan shalat Id di convention hall sebuah hotel. Idul Fitri kali ini: tak ada ngelencer atau kunjung mengunjungi tetangga atau saudara, tak ada ketupat, bahkan sehabis shalat Id, sorenya aku kuliah. Ya sudahlah.

11 Desember 2011
Jazz Muhammad (Global Ugrad Indonesia)
Niskanen 78, Fargo, ND, USA


2 comments:

  1. Masa bodoh lah ya cid... Yang penting usaha dulu,, gitu kan cid??


    haaaa,, lega baca tulisan lo cid.. baek2 ya disana...:)) Sukses ya kelas bahasa Inggrisnya,, klo udah selesei ajarin gw*)lho... hahaha

    ReplyDelete
  2. Sukses mas sed...keep going forward,,,really proud of u :p

    ReplyDelete