Tuesday, August 7, 2012

Padamu Pribumi

front desk h. santika jogja (ilustrasi / baliwww.com)
JAKARTA-JAZZMUHAMMAD - Aku untuk sekarang ini bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Kantor perusahaan ini ada di sebuah sky scraper di Jakarta. Aku bekerja sebagai apa dan apa yang aku kerjakan? Itu bukan yang ingin aku bicarakan di sini.

Tapi, ada yang lebih menarik untuk menjadi bahan tulisan kali ini. Front desk. Ada yang tahu front desk? Literally, istilah itu berarti meja depan. dalam organisasi atau perusahaan, front desk digunakan untuk menamai area resepsionis atau meja apapun yang berada di “garis paling depan”.

Nah, di gedung tempat aku bekerja juga ada front desk. Ada beberapa orang yang bekerja di sana. Mereka mengecek identitas setiap pegawai atau pekerja yang akan masuk ke dalam gedung.

Mereka juga mengecek barang bawaan siapapun yang akan masuk ke gedung. Tas-tas akan diperiksa. Lalu apa spesialnya dengan front desk ini sehingga aku jadikan bahan bicaraan atau tulisan ini?

Bertugas beberapa orang di front desk di gedung ini. Mereka semua pribumi, kasarannya orang Indonesia asli, bukan keturunan apapun. Kalau aku bicara pribumi, Jawa, Madura, Batak, Minang, Sunda, Bugis, Papua, semua itu pribumi.

Aku perhatikan mereka setiap kali aku masuk. Jarang ada sapaan hangat dari mereka. Senyum sekali sekali. Selamat pagi pun demikian. Senyum pun terkadang kalau seperlunya saja. Itu juga terjadi ke banyak sesama pribumi lainnya, sesamaku.

Apalagi kalau aku pas pakai kaos biasa, tak ada tampilan “orang kerja” sama sekali. Sinis muka mereka bertaburan rasa curiga padaku. Juga pada yang lain.

Tapi ketika ada expat atau orang “bule” yang masuk, mereka dengan bersamaan akan bilang “Good morning sir!” dengan aksen mereka yang aneh. How are you, tambahnya, masih dengan aksen yang aneh.

Mereka menebar senyum dan sesegera membuka tangan mereka menunggu si bule memberikan barang untuk diperikasa dengan “sebaik-baiknya”.

Sapaan dan sambutan juga berbeda ketika yang melewati front desk adalah orang keturunan Chinese atau memang mereka yang berkulit terang. Keramahan mewarnai setiap gerak gerik dan sambutan mereka.

Aku sama sekali tak bermaksud rasis. Tetapi perilaku pribumi penjaga front desk itu bagiku sungguh memprihatinkan. Memalukan pula mungkin dengan taraf yang mungkin dapat ditolerir. Mungkin.

Bagaimana bisa mereka menaruh kecurigaan atau paling tidak jarak pelayanan terhadap orang yang sebenarnya lebih mirip dengan mereka sendiri, pribumi.

Dengan memotong sejarah, aku sering memikirkan apa ini dia efek kolonialisasi. Ternyata penjajahan bukan hanya mencuri kekayaan negara ini, tetapi lebih buruk adalah merampas kejernihan pikiran setiap pribumi.

Ketika pemerintah kolonial memperbudak manusia pribumi secara fisik, ternyata pikiran mereka direndahkan pada titik paling buruk dimana pada sesamanya sendiri, mereka pun menganggap rendah. Dimana mereka hanya bisa jadi pelayan “orang-orang lain”.

Mungkin memang agak membingungkan tapi kenyataan demikian tak aku pungkiri. Beberapa kali aku lihat perlakuan demikian di beberapa tempat yang berbeda. Mindset bahwa pribumi hanya bisa jadi pelayan (atau kasarannya budak) adalah apa yang ternyata peninggalan kolonial masih bersisa hingga kini.

“Sesama pelayan (sesama pribumi) kenapa harus bersikap baik?!”

Aku, sekali lagi, tak ingin bersikap rasis dan tulisan ini adalah bagi mereka yang pribumi. Tetapi kenyataan ini seperti jadi lelucon yang selalu membuatku tertawa kalau melihatnya.

Bagimu, kalau kau pribumi, terserah kalau kau akan mau terus sebegini ini. Terserah kalau mau tetap merendahkan diri sendiri.

Bagimu, kalau kau bukan pribumi, terserah pula bagaimana kau menyikapi.

Siapa meminta lahir sebagi pribumi? Siapa minta lahir bukan sebagai pribumi? Mungkin sampai kau mati tak akan ada jawaban pasti. Tapi siapa boleh merendahkan sesamanya di bumi ini?

Aku kira mereka yang kurang berpendidikanlah yang pada akhirnya buta seberapa berharganya setiap manusia ini apapun ras, suku, dan kondisinya.

Pada mereka yang menelan harga diri mereka sendiri sedalam-dalamnya hingga habis sudah kehormatannya, kuharap bangkit bukan sebagai Jawa, bukan sebagai Minang, atau Dayak, atau Tionghoa, atau pula Indo, tetapi sebagai manusia yang bukan menjadi pelayan atau raja bagi yang lain, tetapi mereka yang bermanfaat pada yang lain.

3 comments:

  1. tulisan yg bagus :)
    setuju sekali, saya kira orang2 yang seperti itu memang pemikirannya sempit sekali.
    keep blogging :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi cha,

      thanks for coming over. and yes, semoga tulisan ini bisa menjadi sedikit angin segar buat berefleksi, termasuk si penulisnya sendiri.

      Delete