Monday, March 18, 2013

Sevel dan Toko Kelontong

Sevel Mampang (beritajakarta.com)
Beberapa hari lalu aku mampir ke Sevel aka Seven Eleven dekat asrama. Seorang kawan mengajakku ke sana untuk berdiskusi soal sesuatu. Setelah berdiskusi panjang, sampailah kami pada bahasan, sebenarnya mengapa tempat ini menjadi pusat anak nongkrong se-Jakarta?

Baiklah, Sevel sebenarnya adalah perusahaan tua yang dibentuk di Amerika. Sevel sebenarnya tak ubahnya toko kelontong yang menjual bahan makanan seperti susu, telur dan roti bagi orang-orang lokal. Namanya sendiri sebenarnya merupakan jam dari operasinya yang asli yakni dari jam 7 pagi sampai jam 11 malam.

Seiring berjalannya waktu, sevel menjadi convenient store mini yang berkembang di negara asalnya. Dalam perjalanannya, Sevel berhasil melebarkan sayapnya hingga ke luar AS. Tapi kemudian collapse dan dibeli oleh frienchisee-nya sendri yang lebih besar di Jepang. Makanya, sekarang HQ-nya di sana.

Dalam pengalamanku, di Amerika banyak sekali jenis usaha seperti ini. Tapi segmennya berbeda-beda. Jadi sebenarnya, Sevel ini tak berbeda dengan McDonald’s, KFC, Taco Bell, DQ dan berbagai convenient store yang selalu ada di pom bensin.

Kalau di Indonesia, Sevel ini sama dengan toko kelontong di kampung. Atau, kalau mau yang jauh lebih mirip, kita bisa sebut Alfamart dan Indomaret.

Di Amerika, Sevel tak ada bedanya dengan toko kelontong di sini. Ia tempat semua orang mampir membeli makanan dan minuman ringan, roti, permen dan snack-snack lainnya. Ada juga makanan kecil semacam kue muffin dan pizza. Bir juga tersedia.

Tak ada keren-kerennya sama sekali pergi ke Sevel. Seperi layaknya kau pergi ke toko kelontong, tak perlu berdandan rapi-rapi, bau mulut pun tak peduli, rambut yang seperti hutan rimba juga tak perlu dipikir. Beli, chit-chat sedikit dengan pengunjung lain, makan sebentar ditempat kalau perlu, lalu pergi. Nah, begitulah mereka di AS dan negara maju lainnya menganggap Sevel.

Tapi di Indonesia, Sevel menjelma menjadi tempat nongkrong kelas satu bagi semua kalangan. Sifatnya yang sebagai convenient store tetaplah berfungsi dengan biasa, tapi dengan penglolaan yang, aku bilang, kreatif, tempat ini menjadi tempat bergengsi, kalau aku tak berlebihan.

Nongkrong di Sevel adalah nongkrong yang berkelas. Karena itu, tak bisa sembarangan berpakaian kalau mau ke sana. Harus bagus. Harus ganteng atau canting kalau mau ke Sevel. Marketing yang ‘bagus’ ternyata benar-benar berhasil mengubah ‘toko kelontong’ ini menjadi macam meeting point yang berkelas di Indonesia, terutama di Jakarta.

Banyak kawanku yang suka nongkrong di tempat ini. Lebih keren katanya bila dibanding duduk-duduk di “Burjo” aka warung bubur kacang ijo. Kalau ke sana, ke Sevel, harus dandan dulu. Biar nanti yang lain melihat juga tak memalukan. Kalau nanti ditanya kawan lain, ‘Nongkrong di mana tadi?’ Maka jawaban ‘Sevel!’ menjadi sebuah ke-keren-an tersendiri di Jakarta.

Aku tak tahu pasti apa yang menjadikan tempat ini benar-benar prestis di Jakarta ini. Kukira, standar hidup di negeri ini yang belum setinggi negara maju menjadikan kita mengira bahwa tempat-tempat macam ini adalah tempat yang berkelas. Juga, strategi marketing yang ‘kreatif’ bisa jadi menjadi factor penting menjamurnya Sevel di Jakarta.

Kalau mau menoleh ke belakang, Sevel ini taka da bedanya dengan KFC dan McDonald’s bukan? Yang dua terakhir sebenarnya juga sama saja: tempat makan yang sebenarnya macam Burjo di AS sana. Entah mengapa di sini, di Indonesia ini banyak orang yang merasa keren sekali kalau sudah makan di sana.

Kebetulan aku adalah anak yang belajar ekonomi dan marketing. Apa ini salah? Tak ada yang salah. Inilah gunanya marketing: menjadikan hal yang tak dibutuhkan menjadi dibutuhkan, yang murah menjadi mahal, yang tak berkelas menjadi berkelas, dan menjadikan sebuah toko kelontong menjadi tempat nongkrong berkelas.

Contohnya mudah saja, mengapa kalau di Burjo es teh hanya 2.500 sementara 'ice tea' di restoran di mall harganya 8.000, lebih sedikit pula? Apa mungkin biaya translatenya 5.500? Hmm… Setidaknya, karena aku sudah belajar marketing, Sevel tak ada keren-kerennya sama sekali.

9 comments:

  1. jadi inget cheetos dan saus kejunya sevel :D

    ReplyDelete
  2. perlukah warkop-warkop dan warung-warung burjo memperluas sayap usahanya agar bisa "menyaingi" sevel, lawson, dsb?
    strategi bisnis sevel dkk memang sangat jitu, bikin outlet di mana-mana,serentak. lama-lama mirip alfamart-indomaret, jarak 10 meter sudah ada. tapi pasar mati, toko kelontong mati kutu, kalah saing.

    ReplyDelete
    Replies
    1. yep, betul sekali. ini menjadi tugas orang indonesia sendiri untuk lebih kreatif memasarkan produk-produk sendiri

      Delete
  3. jadi apa sih yg menurutmu keren? what is it that can impress you?

    ReplyDelete
  4. hahaha setuju kak, kalau ke sevel menurutku alay malah hehe.
    Padal di luar negri toko semacam sevel, McD, KFC, dll justru wartegnya orang sana, yg jual makanan paling murah dibanding di toko lain. Tp disini dianggap mahal. Sama juga kaya merek Body Shop, atau ala-ala korea kaya FACE SHOP, dll yang dianggap prestis di Indonesia, padal di AS atau korea sendiri merek itu merek biasa yang tidak berkelas kaya merek di Indonesia misalnya Viva, citra, marina, dll

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali ma... sayang belum banyak orang indo yang menyadari hal-hal semacam ini. Kalau tahu ya mungkin mereka-mereka tak akan seramai ini, I bet

      Delete
  5. Bener gan tempat ane walaupun ga ada seven eleven tp ada depo gemilang mirip juga tapi versi tiruan.
    Bener Cuma di Indonesia hal hal yang Biasa Di Amrikjadi Keren disini

    ReplyDelete