Wednesday, March 3, 2010

Belajar dari Sufia

Penghargaan yang kuterima itu adalah hal yang memang luar biasa. Semua orang dan rekan-rekanku memberiku selamat. Tentu ini sebuah kebanggaan buatku. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya, penghargaan bergengsi di dunia ini kuraih.

Aku melambaikan tangan seraya berseru “Ini penghargaan bagi kaum miskin!”

Tapi, aku tetap meyakini, upayaku bukan inilah ukurannya. Penghargaan ini bukanlah wujud keberhasilan usahaku. “Ini hanya atribut, aku tak ingin bangga karena award yang kuterima”, kataku dalam hati sembari menerima penghargaan itu. Perjuanganku masih panjang. Masih banyak yang harus kulakukan. Masih ada tetanggaku yang belum makan, mungkin malam ini.
***

Aku bingung. Mataku tidak bisa menutup. Pikiranku masih berputar-putar. Sebagai seorang professor ekonomi, aku bingung atas apa yang telah aku berikan pada negeriku.

Tahun ini adalah tahun terburuk bagi negeriku. Kami dilanda bencana kelaparan. Aku tidak terlalu tahu sebabnya. Tapi sepertinya memang ada yang salah. Hari itu aku memutuskan untuk jalan-jalan. Mungkin akan ada inspirasi. Sepertinya aku bosan terus begini. Menjadi professor yang kerjaannya berargumen tentang teori-teori ekonomi.

Aku terkadang berdebat dengan rekan hanya karena kami berbeda teori yang digunakan. Kadang semalaman aku berdebat. Seakan aku tidak tahu kalau di luar sana masyarkat sedang berdebat juga, tapi bukan masalah teori. Mereka sedang berdebat dengan realita hidup. Mereka mendebat nyawa mereka dengan semangat perjuangan untuk hidup.

Selang beberapa hari setelah kebingunganku, aku memutuskan untuk turun ke lapangan. Aku pergi ke desa pinggiran kota tempatku tinggal, Desa Jobra namanya.

“Apa yang anda lakukan Bu?” Aku bertanya pada seorang perempuan tua setelah mengucap salam.
“Ya…hanya sebuah bangku kecil utuk menyambung hidup, minimal cukup untuk makan hari ini dan besok”

Aku lihat bangku yang dibuatnya cukup bagus. Aku lantas berkenalan dan akhirnya aku mengenal nama si perempuan tua itu. Sufia Begum namanya. Ia adalah pembuat bangku dari bambu. Ketika aku melihat kondisi rumahnya, aku yakin bahwa ini adalah salah satu paradoks yang selama ini aku tidak tahu. Muncul sebuah pertanyaan, bagaimana si tua dan miskin ini memodali usaha remehnya ini?

“Aku berhutang pada tengkulak di sana.” Jawab si Tua dengan suara yang mendesah.
Akhirnya perbincanganku mengalir begitu saja. Banyak informasi baru kudapat. Ibu itu menceritakan bahwa ia hanya meminjam uang 5 taka pada tengkulak untuk setiap banku yang dibuat. Masalahnya adalah ternyata ia harus membayar bunga sebesar hampir 25%. Dalam pikiranku, kebingungan semakin membara. Selama ini aku memperdebatkan bunga kredit perbankan yang hanya mencapai belasan persen, tapi nyatanya bunga yang 25% itu tak pernah aku singgung.

Diam-diam aku memukul-mukul kepalaku, “professor bodoh!” Aku berkata pada diri sendiri, “Oh Tuhan, hanya karena lima taka dia menjadi budak. Saya tidak mengerti mengapa mereka harus menjadi begitu miskin padahal mereka bisa membuat barang kerajinan yang bagus."

“Kenapa tidak meminta dari bank?”
“Saya tahu anda pasti bicara seperti itu karena Anda adalah seorang ekonom, tapi asal Bapak tahu, apa mereka mau memberi kami yang hanya bermodal semangat. Mereka itu memang pintar, Pak, dan kami memang bodoh. Anda pasti tahu itu karena anda adalah bagian dari mereka.

Tapi satu hal yang tidak Anda ketahui, kami ini punya semangat untuk hidup. Anda-anda saja yang tidak peduli. Anda tidak percaya dengan apa yang kami sebut semangat hidup. Anda butuh jaminan untuk mempercayai kami, sementara kami jelas tidak punya itu. Anda perlu tahu, kami akan terus berjuang untuk itu. Hidup kami adalah untuk anak cucu kami. Pak, kami akan terus hidup, tak peduli apa Anda peduli atau tidak.”

Sontak aku bingung harus bersikap apa. Aku memilih diam. Pertanyaanku tadi menjadi senjata makan tuan. Baru kali ini baru aku lihat seorang professor di ceramahi seorang pengrajin tua dan miskin yang tak pernah duduk di bangku sekolah. Dan, professor itu adalah aku.

Aku baru sadar bahwa banyak Sufia-Sufia lain di negeriku. Mereka berjuang demi mempertahankan diri dari serbuan penjahat bernama kelaparan. Sementara aku? Masih bingung. Aku tiap hari hanya berteori ini-itu. “Professor bodoh!” sekali lagi aku bergumam, tapi tidak lagi memukul kepala karena pukulan yang tadi masih menyisakan rasa sakit.

Aku pulang dengan sejuta kebingungan. Kebingungan dan keingungan. Aku memutar otakku yang sekarang terasa bodoh. Aku menelpon beberapa teman untuk meminta pedapat. Sayang, seperti dugaanku, jawaban mereka sangat normatif dan teoritis. Mungkin dulu aku menyukai jawaban itu, tapi sekarang tidak.

Aku masih memutar otak, ingin beranjak dari kebodohan atas kenyatan.
Akhirnya muncul pikiran radikal. “Kalau bank tidak bisa memberikan kredit, kenapa tidak aku saja yang beraksi” dalam hatiku aku berujar pada diriku sendiri, "Berikan uang kepada orang miskin, Yunus. Mereka akan bisa mengurus dirinya."
***

Aku mulai merogoh kocek,”Mungkin ada yang bisa aku perbuat dengan ini,” gumamku. Ada sekitar 27 dollar AS, ya sekitar 330 taka, yang kupunya. Keyakinanku begitu kuat untuk mengentaskan Sufia-Sufia itu dari belenggu kemiskinan. Aku ingin buktikan bahwa atribut professor yang kusandang adalah benar-benar tepat buatku, meski ini tidak akan pernah tercapai.

Dengan semangat mambara, aku turun ke lapangan. Sejenak menanggalkan atribut gelar yang kupunya, ”Sekarang tidak ada professor bernama Muhammad Yunus.” Aku adalah warga biasa yang ingin saling berbagi dengan yang lain.

Mulai aku distribsikan sedikit uang yang kumiliki. Tentu, pertama aku kunjungi si tua Sufia, si tua miskin yang mendadak menjadi guruku.

“Gunakanlah uang ini. Jangan ke tengkulak lagi.”
“Berapa kami harus membayarmu? Berapa bunga yang kau inginkan?”

Pertanyaan itu sedikit menyesakkan. Tapi aku menyadari itulah yang mereka alami selama ini. Mungkin ini tidak sebanding dengan apa yang mereka alami ketika berhadapan dengan regulasi perbankan. Mereka ditolak ketika meminta pertolongan dengan baik-baik. Ini, sepertinya, lebih menyesakkan bagi mereka. "Mengapa lembaga keuangan selalu menolak orang miskin? Mengapa informasi teknologi menjadi hak eksklusif orang kaya," kataku dalam hati.

“Anda tidak harus membayar bunga, tenang saja”
“Lalu apa yang menjadi jaminan bagi uang anda? Apa Anda yakin uang anda ini akan kembali?”
“Tenang saja, seperti apa yang anda katakan kapada saya, semangat hidup anda adalah jaminannya. Saya yakin anda akan berhasil mengembaliknnya dan Andapun akan berhasil dalam usaha anda.”
“Tuan, anda jangan bercanda!” Kata Sufia, keras sekali. Aku berusaha tetap melunak.
“Saya tidak bercanda. Apa saya pernah sekalipun bercanda ketika berbicara dengan Anda? Saya yakinkan pada Anda saya tidak main-main,” Jawabku tegas, ”Kalau anda masih tidak percaya, silakan bentuk satu kelompok untuk uang ini. Anda akan menjadi penjamin bagi teman Anda begitupun sebaliknya. Saya yakin anda akan berhasil”

Setelah berdiskusi panjang, akhirnya ia mulai menerimaku. Ia akhirnya mempercayaiku. Aku pun mulai mengembangkan usahaku ini ke Sufia-Sufia lain di tanah Bengali ini. Sama seperti sebelumnya, aku harus berdiskusi panjang untuk meyakinkan mereka bahwa aku bukan tengkulak yang akan menyiksa dengan bunga yang tidak masuk akal.
***

Sudah dua tahun. Tak terasa sudah banyak yang bergabung. Pinjaman yan kuberikan akhirnya diterima dengan baik. Aku selalu menyisakan uang gajiku bekerja di universitas untuk menambah modal. Ya tidak seberapa, tapi ini sudah cukup untuk terus menjalankan usahaku ini. Aku juga mengajak beberpa temanku untuk bergabung. Mereka sudah tahu apa yang menjadi tujuanku.

Diskusiku dengan Sufia dua tahun lalu akhirnya menjadi bentuk tetap usaha pinjaman yang aku jalankan. Untuk menjamin pembayaran, aku menggunakan sistem yang kunamakan ‘grup solidaritas’. Kelompok kecil yang bersama-sama mengajukan pinjaman, di dalamnya terdapat anggota yang bertindak sebagai penjamin pembayaran. Pinjaman ini mirip dana bergulir, di mana ketika satu anggota telah berhasil mengembalikan pinjaman, akan digunakan oleh anggota lainnya.

Aku memformulasikan usahaku menjadi sebuah bank, Bank Grameen namanya. Dalam bahasaku berarti Bank Desa. Bank ini akhirnya memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Modalnya 94 persen dimiliki nasabah, yakni kaum miskin, dan sisanya dimiliki pemerintah.

Aku terus berusaha. Bank tersebut kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS per bulan kepada 6,6 juta warga miskin yang menjadi peminjamnya. Sebanyak 96 persen nasabah bank ini adalah kaum perempuan. “Sepertinya upayaku tidak sia-sia,” Aku sedikit bergumam.

Aku juga melakukan kenekatan kembali. Pengemis aku beri pinjaman. Teman-temanku yang menjadi bankir menganggapku orang yang tidak relistis. Aku tak bergeming.

"Pengangguran menjadi pilihan bagi banyak orang miskin di Bangladesh, akibat dampak bencana banjir, perceraian, kematian tulang punggung penghasilan keluarga, cacat dan sebagainya. Dan banyak yang menjadikan mengemis menjadi pekerjaan seumur hidupnya," kataku dalam hati. Prinsipku adalah kredit ini kupahami sebagai hak asasi manusia.
***

Sudah tahun 2006. Sudah 30 tahun aku menjalankan Bank Grameen-ku. Aku tetap mengingat si tua Sufia yang menjadi guruku.

“Haha…seorang professor harus berguru dulu kepada orang miskin tak berpendidikan untuk jadi seperti ini,” aku tertawa dalam hati. Memang tidak realistis dan sangat tidak akademis, tapi ini kenyataan.

Tapi, tiba-tiba kota Dhaka, ibukota negeriku, ramai. Beberapa kerabat dan rekanku menelpon. Ada yang sekedar mengirim SMS. Telpon rumah dan telpon genggamku terlihat sibuk menerima omongan orang-orang itu.

“Selamat, Pak Yunus! Semoga penghargaan ini semakin membuat Anda maju!”
“Anda memang hebat, saya sagat bangga dengan Anda!”

Aku tidak menyangka ini akan terjadi padaku. Sampai-sampai sekjen PBB pun ikut-ikutan.

"Terima kasih pada Yunus dan Grameen Bank. Kredit mikro telah menjadi salah satu alat untuk memotong lingkaran kemiskinan yang paling membelit wanita," kata Kofi Annan, "Kita tak bisa mengatasi terorisme dengan perang langsung terhadap terorisme, tetapi dengan memberi akses kehidupan pada kaum miskin," lanjut Kofi Annan.

Komentar senada juga bermunculan dari berbagai pemimpin dunia, mulai dari Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Perancis Jacques Chirac hingga Raja Spanyol Juan Carlos.

Ya, untuk pertama kalinya orang Bangladesh mendapat penghargaan Nobel. Aku bukanlah selebriti yang sudah terkenal di dunia, juga bukan figur dan badan yang dijagokan, tetapi aku peduli pada pemberdayaan kaum papa dan wanita, mungkin itu alasannya.

“Komite telah memutuskan untuk menganugerahkan Nobel Perdamaian 2006 kepada Muhammad Yunus dan Grameen Bank. Itu adalah penghargaan atas usaha mereka menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial dari tataran paling bawah," demikian kata Ketua Komite Nobel Norwegia Ole Danbolt Mjoes, di Oslo, Jumat, 13 Oktober 2006.

“Muhammad Yunus telah memperlihatkan diri sebagai seorang pemimpin, yang menerapkan visinya ke dalam hal praktis demi peruntungan jutaan orang, tidak hanya di Bangladesh, tetapi juga di banyak negara," lanjutnya lagi.

“But, remember, I did not fight to get this award!” Tegasku, walau hanya dalam hati, malam itu.



Jazz Muhammad
Blogger Paramadina



*sumber gambar bisa dilihat langsung dengan klik gambar secara langsung



10 comments:

  1. kunjungan pagi...
    have a nice day...

    ReplyDelete
  2. ilmu dan renugan yang mantap brooo

    ReplyDelete
  3. makasih kang richo...

    semoga bisa memberikan hikmah bagi semua

    ReplyDelete
  4. Luar biasa memang, sungguh salut dengan beliau, salah satu tokoh yang aku idolakan, tanpa perlu beralasan lagi pasti taulah hehehehee


    Alhamdulillah...bisa ikut pertemuannya dari univ..
    jadi bisa bertemu dengan beliau..

    ReplyDelete
  5. wuiihhhh seneng banghet ya teh....

    hehe, aku aja yang belum ketemu salut...

    ReplyDelete
  6. ya pengen tahu aja teh....
    sekalian kan biar kenal..hehe

    ReplyDelete
  7. wow....ternyata ketinggalan banyak nih,.

    ReplyDelete