Saturday, November 19, 2011

Mozaik dari Fargo (2): Belum Tentu Kemenangan!

masih summer,
pakai "shorts" ke kampus
Berada di “teritori” orang lain tentu akan menyenangkan. Tetapi proses adaptasinya tentu akan memakan waktu.

Memiliki perkiraaan tentang tempat baru tentu wajar-wajar saja. Aku akan lakukan ini, lakukan itu, pergi ke sana, pergi ke sini. Tapi pesan dari seorang penulis mengatakan: Hal yang paling perlu dipercayai adalah kenyataan itu sendiri. Karena tak ada yang nyata selain kenyataan itu sendiri.

Tapi bukan berarti memiliki harapan adalah kesalahan. Karena, dengan harapan sesorang dapat memetakan kemana ia akan pergi, atau setidaknya apa yang akan ia lakukan sejam ke depan.

Kalau bicara soal kompetisi, semuanya pasti ingin menang. Tapi menang semua adalah humor paling gila sedunia. Kalau ada lomba yang menjanjikan kemenangan buat semuanya, juara satu semua, maka lebih baik lupakan saja.

Yang dicari sebenanrya adalah kebaikan. Dan, kebaikan bukan selalu kemenangan. Sebab, mungkin kekalahan jauh lebih memberi pelajaran daripada yang lain. Tapi, tetap, kemenangan akan membawa kebahagiaan. Maka dari itu, menang dan kalah, ya sudah, suck it up saja, jalani saja.

Akhir Oktober, awal November 2010
Minggu terakhir Oktober 2010, tahun lalu, aku telan bulat-bulat segala kegamangan. Kubeli tiket pulang ke Blitar. Lima-lima ribu perak. Pulang pergi jadinya 110 ribu rupiah. Kau tahu kenapa orang kadang bilang rupiah dengan perak? Aku juga tak tahu dan tak akan bicara itu.

Aku harus segera dapatkan surat rekomendasi dari Tatik Sensei (Bu Tatik). Kenapa beliau? Baiklah, karena beliau adalah, bagiku, guru paling visioner yang pernah aku punya. Beliau tak pernah mengajarku, sebenarnya. Tapi aku akhirnya bertemu dengannya ketika aku harus berlatih shodo, kaligrafi Jepang, untuk perlombaan semasa SMA.

Beliau selalu mengajak murid-uridnya untuk selalu melangkah maju meskipun kami tumbuh di “daerah pinggiran”. Jangan pernah berhenti belajar dan jadilah orang baik, begitu pesannya.

“Sensei, saya perlu surat rekomendasi dari sensei. Apa Sensei ada waktu untuk bertemu?” kutelpon beliau dari Jakarta.

Alhamdulillah, beliua menyambut dengan baik permintaanku. Aku ceritakan hal perihal program pertukaran yang akan aku ikuti. Reaksi beliau cukup melegakan bagiku. Yang tinggal kulakukan sekarang adalah pulang.

Di waktu lain, aku dapatkan dua surat rekomendasi lainnya dari bu Prima Naomi, pembimbing akademikku dan bu Iin Mayasari, saat itu kepala jurusan manajemen;. Keduanya “ngantor” di Paramadina.

“Bu, saya ingin ikut program ini. Apa Ibu dapat memberi saya rekomendasi?” kataku waktu itu.

“Baik… baik Rosyid. Saya doakan kamu bisa dapatkan apa yang kamu cita-citakan!” sahut Bu Iin.

“Terima kasih bu!”

Tapi, ngomong-ngomong, jangan langsung percaya dengan percakapan yang aku tulis. Nampaknya memang serius, tapi nyatanya aku ini orangnya gampang tertawa, jadi waktu juga sedikit ketawa-ketiwi. Ya sedikit tidak sopan, tapi yang penting tidak keterlaluan.

Kembali ke permasalahan. Sebelum pulang, aku upayakan untuk dapatkan rekomendasi dari kedua dosenku. Dan, akhirnya kudapatkan juga dengan mudah. Aku sangat berteima kasih pada mereka berdua. Oya, sebenarnya aku bisa dapatkan rekom dari Pak Wija, deputi rector; atau juga Pak Anies, Pak Rektor.

Tapi aku berpikiran lain. Rekom, begitu aku sebut surat rekomendasi, ini harus benar-benar merepresentasikan diriku, maka aku kira akan lebih baik kalau rekom itu dari orang yang memang aku dan dia saling mengenal dengan baik. Akan ada penilaian yang detail dan objektif. Aku mengenal dengan baik Pak Wija dan Pak Anies, tapi aku jarang ada kontak dengan mereka.

Yang kumaksud detail di sini adalah seperti yang ditulis Bu Iin: Rosyid suka beli buku teks untuk kuliah. Ini pun aku tak bayangkan akan ditulis oleh beliau.

Aku pun pulang ke Blitar. Aku hanya punya waktu 3 hari di Blitar. Aku tak sia-siakan waktu yang kupunya. Aku langsung ke rumah sensei untuk dapatkan rekom. Beliau tulis dalam Indonesia, aku terjemahkan ke Inggris.

Di rumah aku selalu meminta doa pada orang tua agar aku sukses melewati setiap seleksi, pendeknya aku ingin lolos. Tapi jawaban ibuku cuma satu: Semoga kau dapatkan yang terbaik! Bagaimanapun, ibuku adalah manusia paling T.O.P.B.G.T! Bukan berarti aku kecewa, aku selalu bangga dengan ibuku sebab nyatanya memang yang terbaik belum tentu selalu kemenangan!

Aku kembali ke Jakarta. Dang! 17 jam di kereta ekonomi. Tapi apapun, aku jalani dengan ikhlas. Ikhlas… ikhlas… ikhlas… memang susah, tapi yang penting sudah niat.

Hari Senin, 1 november 2011, dedlen Global Ugrad. Aku sempatkan main-main ke DKPM. Aku bertemu Fajar Anandi, kawanku asal Padang. Aku sampaikan padanya,

“Jar, aku mau ke Senen, mau ngumpulin form aplikasi.” Waktu itu kantor aminef masih di dekat Pasar Senen, Jakarta. Sekarang sudah di Jl. Sudirman.

“Eh, aku boleh lihat aplikasimu?” tanyanya.

“Oke. Kenapa tidak.”

Aku berikan aplikasiku padanya. Ia mulai lihat-lihat satu persatu. Dan akhirnya dia katakan sesuatu.

“Syid, kau ada yang kurang?”

“Hah!!! Apa, Jar?”

“Lihat ini. Bagian terakhir,” katanya sambil tunjukkan bagian yang seharusnya aku tanda tangani dan ternyat masih kosong. Oh, Ya Allah!

“Wah, makasih banyak Jar, makasih!” aku benar-benar merasa tertolong. Rasanya memang hal kecil, tapi kalau terlewat, rasanya semua yang kutulis di lembar-lembar sebelumnya jadi muspro karena seperti tak punya otoritas. Siapa yang nulis? Mbahmu? Tukang Bakso?

Akhirnya kutanda tangani juga.

Aku menuju ke Senen dengan bus paling sialan di Jakarta: kopaja atau metro mini! Tapi tak sialan-sialan juga, soalnya angkutan itu adalah yang paling murah di dunia, mungkin. Sekali jalan, sejauh-jauhnya cuma dua ribu perak. Paradoks? Entahlah.

Aku sampai ke Senen dan langsung menyambangi ruangan yang mengurusi Global Ugrad. Aku katakan pada mereka kalau aku akan kumpulkan form aplikasiku. Aku berharap akan ada sambutan seperti ini: Ohya, mana aplikasimu? Baiklah saya terima dengan baik. Ya, tapi itu hanya harapan, dan nyatanya adalah seperti ini:

“Oh, begitu. Di luar ada kardus, nah ada tulisannya Global Ugrad. Taruh saja di situ,” hanya itu. Oke.

“Aku keluar dan dapati kardusnya. Memang ada tulisan Global Ugrad, tapi demi Allah ini rasanya tak sepadan dengan program yang katanya akan memberangkatkan mahasiswa ke negeri jauh sana. Kutaruh form aplikasiku. Sedikit melemparnya, karena kardus hanya tergeletak di lantai.
“Ini bener ngga sih?” batinku. Ya sudahlah. Bismillah!

Pertengahan Agustus 2011
Minggu-minguu pertama orientasi di NDSU, masih Ramadhan, masih juga seperti orang hilang. Aku coba bicara dengan beberapa yang sudah aku kenal. Tapi tetap, semua yang ada di kepala tersangkut ditenggorokan dan yang pasti rasanya sakit. Bahasa jawanya: gregeten! Goblok eram tho cah iki! Maksudnya ya saya sendiri.

pose "sok yes"

Sederhananya, aku bayangkan aku segera punya banyak teman. Cerita ini-itu. Cerita tentang banyak hal dari indonesia. Tapi kenyataan Aku tak terlalu punya banyak teman di orientasi. Ini menambah rasa sakit dalam hati. Aku ingin berkomunikasi dengan yang lain tapi apa daya mulut terkunci kebodohan bahasa.

Soal Ramadhan, ini yang sekiranya perlu aku sampaikan. Ketika aku masih di minggu-minggu pertama, Fargo masih summer. Shubuh ada di jam 5 pagi sementara maghrib jam setengah Sembilan malam. Aku belum temukan sama sekali sesama Muslim di sini. Setidaknya ada teman untuk berbuka. Jadinya yang lain makan, nyam… nyam… nyam… dan aku: mengelus dada. Oh, Gusti! Dosa nopo kulo niki?

Aku sekali ikut belanja dengan yang lain menggunakan sebuah bis. Ini pertama kalinya aku lihat Walmart, sebuah toko yang gedhenya minta ampun! Aku selesai belanja jam 7. Tapi ketika aku lihat sekitar, ini seperti masih jam 3 sore. Ini benar-benar terang benderang. Di Blitar, sekitar jam itu aku sudah siap-siap berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat tarawih.

Di minggu-minggu pertama ini, NDSU masih sepi. Kelas belum dimulai. Yang berkeliaran hanyalah mahasiswa internasional yang bahasa Inggrisnya macam-macam aksesnya. Yang paling menyenangkan tentu mendengar bahasa Inggrisnya orang India. I wanth tho thalk about how tho geth tho Union…

Tapi ini tetaplah Amerika. Tak ada yang bicara bahasa Indonesia. Aku, waktu itu, tak tahu apa nasibku. Tapi beberapa teman yang aku kenal, meski aku tak terlalu banyak bicara dengannya karena kendala teknis, hanya bilang: you will get used to it.

19 November 2011
Jazz Muhammad (Global Ugrad Indonesia)
78 Niskanen Hall, NDSU
Fargo, ND, USA



6 comments:

  1. dan itulah yang terbaik untuk sampean dari ALLAH :)

    ReplyDelete
  2. Aku bangga dengan kegigihanmu Syid...
    lanjutkan...

    ReplyDelete
  3. tetap maju rosyid

    Iin Paramadina

    ReplyDelete
  4. tetap semangat kak, kan ntar kalo pulang ngomong inggris udah cas-cis-cus. :)

    ReplyDelete
  5. mantab sid, semangat!

    ReplyDelete
  6. Ciid, bagus juga perjuangan lo ini dibukukan. Gw pasti mendukung 100 %

    ReplyDelete