Saturday, December 17, 2011

Secuplik tentang Kampus dan Rumah

North Arch
FARGO-JAZZ MUHAMMAD - Di Indonesia, rasanya hampir tiap rumah punya pagar. Tak semua juga, tapi ya kebanyakan punya. Kalau di Jakarta, pagar rumah orang dibuat sekuat-kuatnya, setinggi-tingginya, serapat-rapatnya, kalau perlu dibuat pertahanan khusus untuk melawan musuh.

Yang unya uang, langsung bangun pos satpam, terus dipasanglah anjing penjaga. Satu lagi, tak lupa cctv dipasang tiap sudut agar tak aka nada siapapun yang luput dari penglihatan. Yang kayak begini di Blitar juga ada lho. Oh, tambah satu lagi, jangan lupa pasang kawat berduri.

Hal ini bisa dimaklumi karena dua alasan. Pertama, kejomplangan ekonomi yang ujungnya kriminalitas. Kalau dilihat, mungkin jarak seratus meter dari rumah “gedongan” itu masih banyak orang yang masih kekurangan. Kedua, memang dasarnya orang suka menunjukkan apa yang mereka punya alias kekayaan. Bangun rumah segedhe-gedhenya, sementara yang lain cari kontrakan saja susah.

Ya sah-sah saja sih, tapi ya moso’ begitulah hidup yang harmonis itu? (Sumpah, ini pertanyaan sok yes banget, hehe)

Sebelum akhirnya aku mendarat di Fargo, semua itu rasanya ya biasa saja. Tapi pemandangan yang kulihat di sini sungguh membuatku harus kembali memutar pikiran. Apa memang seharusnya demikian?
Di US, atau setidaknya di Fargo, penataan kota benar-benar di atur. Orang tak bisa asal bangun rumah, atau main nempel rumah orang tua seperti yang ada di Indo. Meskipun sesorang punya tanah, sebelum membangun apapun, mereka harus mendapatkan izin untuk membangun dan bangunan macam apa yang bisa dibangun di sana harus sesuai dengan masterplan tata kota.

Di Fargo, rumah-rumah, hampir semuanya, tak berpagar. Kalaupun ada itu hanya untuk menjaga agar anjing mereka tak main keluar. Selain itu, jarak tiap rumah dan jarak rumah dengan jalan juga diatur rapi.

Rata-rata, rumah berukuran kecil dan dibangun dari kayu (semua itu sudah diatur dalam masterplan tata kota). Lalu mereka punya basement atau ruang bawah tanah. Penggunaan ruang juga sangat efektif, maksudku hampir setiap ruang terpakai.

Rumah-rumah kayu itu kebanyakan tak dibangun di tempatnya. Rumah itu sudah dibagun di tempat lain, lalu dibawa ke lokasi sepotong-sepotong. Nanti disusun seperti mainan anak bongkar pasang.

housing, near NDSU
Kembali ke soal pagar. Kampus NDSU juga tak berpagar. Pertama kali aku sampai, aku agak tak percaya dengan apa yang kusaksikan. Kampus ini hanya nampak sebuah kompleks bangunan khusus yang super luas, yang “immersed” di dalam masyarakat.

Oleh karena itu, masyarakat di sini juga merasa memiliki kampus ini. Meskipun mereka tak punya anggota keluarga yang sekolah di NDSU, ketika Bison—sebutan NDSU—punya pertandiangan olahraga, mereka datang dengan satu semboyan: LET'S GO BISON!

Tak adanya pagar membuat Bison tak hanya terkenal bagi kalangan mahasiswa, tetapi juga bagi masyarakat sekitar. Bison pride and spirit have been the part of the people’s life since long-long time ago. Aku rasa tak adanya pagar juga bangunan yang standar membuat setiap orang merasa setara.

Kalau di Indo, kampus-kampus memang banyak yang besar, tapi ya begitu, pagarnya tinggi-tinggi. Orang sekitar kampus juga rasanya kurang peduli dengan pride of the campus.

Aku tak bermaksud untuk berargumen mana yang lebih baik. Aku cuma menyampaikan perbandingan yang terjadi di Indo dan di US. Bukan berarti salah satu adalah yang lebih baik, yang lain buruk. Tetapi karena memang punya keadaan sendiri-sendiri, maka untuk sekedar tahu rasanya cukup.

Apa itu kehidupan harmonis? Um, I don’t know.


2 comments:

  1. omahmu lak gak enek pagerE she sid...seng teko pinggir tp...hhehe

    ReplyDelete
  2. @irkam:
    Oiya ya... baru nyadar aku. Okay, but thats what I mean. I like that!

    ReplyDelete