PG Watoetoelis (ptpn10.com) |
Tapi, jarang sekali saya mendapati kereta ini melintas. Seingatku, hanya sekali terlihat. Setelah sekian tahun, terakhir aku ke Malang, rel-rel itu mulai hilang. Sudah tak nampak lagi rel yang melintasi jalan raya karena terkubur aspal. Tak mungkin ada lagi kereta tebu lewat karena sudah diganti dengan truk-truk besar yang melintasi jalan raya.
Sebagai seseorang yang menyukai sejarah, bagiku ini sangat di sayangkan. Setidaknya, pabrik gula tadi sudah kehilangan salah satu nilai pentingnya: nilai sejarah. Mereka lahir sejak negeri ini belum bernama Indonesia. Tentu akan banyak sekali yang perlu dilakukan. Kalau begitu, harus mulai dari mana?
Pabrik gula di Indonesia
Tahun 1637 menjadi awal mula produksi besar-besaran gula di Hindia Belanda terutama di Jawa. Pembangunan pabrik-pabrik gula di Jawa tak lain adalah imbas dari permintaan gula di Eropa yang terus meningkat (Bachriadi, 1998). VOC sebagai organisasi dagang penguasa masa itu tentu tak mau melewatkan kesempatan ini.
Pada 1830, lewat tanam paksa (cuulturstelsel), pribumi diharuskan menanam tanaman wajib yang salah satunya tebu sebagai suplai utama pabrik-pabrik gula. Layaknya banyak cerita kolonialisme, bangsa Eropa-lah yang menikmati keuntungannya dan pribumi-pribumi negeri ini hanya menjadi kuli-kuli. Pada masa jayanya, banyak berdiri pabrik gula di Nusantara. Beberapa yang masih bertahan hingga kini adalah Pabrik Gula (PG) Kebon Agung di Malang. Inilah pabrik gula yang sedari kecil sering saya lihat. Hingga saat ini, telah terdapat 48 pabrik di Jawa dan 58 di luar Jawa (Thebioenergysite.com, 2012).
Bicara soal sejarah dan pabrik gula di negeri ini, adalah menarik untuk menilik intensi PTPN X yang akhir-akhir ini membuka program wisata pabrik gula. Apa menariknya? Bagaimana upaya untuk mengembangkannya?