Thursday, April 18, 2013

Tragedi Mencuci Baju di Amerika

Contoh ruang laundy (unc.edu)
Mencuci baju adalah kegiatan rutin setiap orang di belahan bumi manapun. Tak ada yang istimewa. Kecuali kalau kau ada yang jadi artis dan merasa jijik kalau harus memakai baju yang sama dalam hidup. Jadi sekali pakai buang. Baiklah, kali ini aku akan bahas soal cuci baju bagi orang biasa-biasa saja.

Tapi begini, mencuci baju memang tak ada istimewanya. Aku mencuci baju dengan mengisi ember dengan air lalu kumasukkan air dan sabun. Lalu baju aku rendam beberapa waktu dan kemudian aku kucek. Kalau aku sedang jorok-joroknya, maka akan ada yang perlu aku sikat. Lalu dijemur (sehari, dua hari, atau bisa lebih lama). Beres.

Namun pengalaman seperti ini akhirnya berhenti sejenak ketika aku belajar di Amerika. Ketika sampai di asrama, aku tak menemukan ember untuk mencuci. Aku ke Walmart, semacam pasarnya di sana, untuk membeli ember untuk mencuci. Dan, tak kutemukan juga ember seperti yang ada di Indonesia.

Aku kemudian tahu bahwa mencuci di Amerika sudah canggih, pakai mesin cuci (washing machine) dan mesin pengering (dryer machine). Tapi, aku tak menyentuhnya selama dua minggu dengan cucian yang menumpuk, karena alasan yang sepele: tidak tahu cara menggunakannya. Bodohnya…

Akhirnya aku memberanikan diri meminta roommate-ku untuk “mengenalkanku” dengan dua mesin yang selama sebelumnya hanya aku kenal lewat televise. Dan, boom! Mencuci hanya butuh waktu 1,5 jam. Magic, pikiran bodohku…

Jadi, mencuci dengan mesin cuci hanya berlangsung setengah jam, lalu pengeringannya memakan 1 jam. Lalu pakaian diambil dan langsung dilipat. Dan magic kembali datang, baju-baju tak perlu disetrika karena dari dryer mechine, mereka masih hangat.

Lalu mengapa mencuci baju di sana harus memakai mesin? Dulu awalnya memang tidak, tapi seiring majunya teknologi, mesih ini pun ditemukan dan faktanya adalah Amerika merupakan negara yang iklimnya, bisa kubilang, 100% berbeda dengan Indo. Di sana tak punya musim panas yang all year around. Bahkan, Fargo kota tempat tinggalku hanya memiliki suhu udara sepanas Jakarta dalam kurung waktu sekitar 2-3 bulan saja. Selebihnya, kalau kau jemur baju basah di luar rumah, kau akan temukannya beku beberapa jam setelahnya.

Jadi, mesin cuci di sana hadir untuk memenuhi kebutuhan manusianya dan keterbatasannya sumberdayanya. Dalam setahun waktu aku belajar di sana, aku akhirnya “mahir” sekali menggunakan mesin ini. Omong-omong, cara menggunakannya cuma pencet ini itu. Itu saja. So…

Tentu, akhirny aku tak perlu mencari ember lagi sampai akhirnya aku harus pulang ke Indo. Reverse cultural shock and sick! Aku harus mencuci pakai tangan lagi! Oh, boy!

Tapi lama-lama aku menyadari bahwa aku harus bersyukur bahwa di Indo, aku bisa merasakan hangat dan panasnya matahari all year long. Aku tak harus mengeluarkan uang lebih hanya untuk mencucikan baju di tempat laundry. Toh, ini juga membuatku lebih rajin.

Buat apa juga terus mengingat-ingat pengalaman mencuci pakai mesin cuci. Lebih baik energy baut memikirkan hal yang berguna lainnya. Aku kini menikmati pengalaman mengucek baju-bajuku sendiri. Tapi kadang juga, “Sh*t! Sabunnya belum hilang benar!”

2 comments:

  1. kalau mesin cuci yg selama ini digunakan di rumahku sih sama juga ada dryernya syid, tapi dia gak menghangatkan, dan gak bikin kering 100 persen, jadi masih perlu dijemur sekitar 1-3 jam baru kering. klo pengalaman mengucek baju sendiri di asrama itu sih aku hitung-hitung sebagai sarana physical fitness, hhihi dan gak ada tuh fenomena sabun belum hilang benar. kalo sabunnya masih belum bener2 hilang berarti kamu gak ikhlas tuh nyuci bajunyaa

    ReplyDelete
  2. kalo nyuci pake tangan sekalian fitnes pergelangan

    ReplyDelete