Tuesday, November 26, 2013

Antara Uang Receh di Indonesia dan di Amerika

Uang 'receh' 200 perak (uang-kuno.com)

Pada saat suatu kali berangkat kerja, di bus kusaksikan seorang pengamen yang membawa alat music pukul beraksi. Ia nyanyikan lagu-agu shalawatan yang aku sudah familiar. Suaranya sumbang sana sini (Bukan berarti aku bisa bernyanyi, tapi aku tahu mana suara dan nyanyian yang menarik atau tidak secara umum).

Selesai ia bernyanyi, ia balik alat musikya, dan berkeliling ke tiap penumpang. Sebagian memberi sebagian tidak. Aku pada sebagian kedua. Jujur saja, nyanyiannya kurang bagus, jadi agak malas memberi tip.

Aku perhatikan ada seorang mbak-mbak kasih pengamen itu sebuah coin. Aku tak perhatikan coin apa dan berapa nominalnya. Lagipula buat apa juga mikirin itu.

Tapi momen yang mengagetkan terjadi ketika si pengamin turun dari bus. Sesegera it turun, terdengar suara “klincing…”

Sebuah coin dilempar oleh pengamen itu ke dalam bis. Coin itu menggelinding dan kemudian mendarat tepat di depan sepatuku.

Setelah kuambil dan kulihat nominalnya, baru aku tahu apa maksud dia buang coinnya: karena ia dikasih Rp 200. Ya 200 perak. Kejadian ini jadinya membuatku ingat pengalamanku beberapa waktu belajar di Amerika Serikat.

Jadi, pecahan terkecil uang di AS itu adalah 1 penny atau 1 sen. Di AS orang memang kini tak banyak yang pegang uang cash karena memang kebanyakan semua transaksi sudah elektronik.

Akan tetapi, tak pernah aku lihat uang 1 penny itu tercecer di jalan atau di lempar oleh sesorang karena tak terima ia diberi uang sejumlah itu. Ketika belanja-belanja, kalau memang kita bayar pakai cash, 1 penny pun akan dikembalikan, tak pakai permen. 1 penny pun bila kau kasih ke seorang homeless, ia pasti akan terima.

Ia akan kumpulkan itu dan ketika mungkin sudah banyak dan cukup untuk membeli sesuatu, ia tak akan malu membeli, missal, makanan dengan recehan.

Di Indonesia ini, orang banyak terlihat alergi dengan uang receh. Ketika aku belanja di tukang sayur pun, saking ia ingin menghargai pelanggannya, ketika ia hanya ada kembalian receh, katakanlah recehan 500 perak dan kembaliannya adalah 2000 perak, si tukagn sayur itu akan bilang, “Maaf Mas, kembaliannya receh…”

Memang ada masalah dengan receh? Toh kalau jumlahnya sama, apa bedanya? Memang agak lebih berat, tapi kalau jumlah nominalnya sama, apa bedanya?

Aku heran mengapa orang Indonesia itu (Aku juga orang indonesia sih…) gengsi sekali soal uang receh ini. Kalau kau kaya, okelah tak apa-apa. Tapi parahnya adalah gengsi ini sampai pada seorang pengamen yang akhirnya membuang uang 200 perak yang ia terima.

Tapi memang masalahnya tak semudah itu. Sebab ketika kau punya uang receh begitu banyak sejumlah 10.000 dan selembar uang denga nominal yang sama, banyak orang akan lebih memilih uang kertasnya. Bank-bank di Inodnesia pun resek juga, tak menerimamu kalau menabung dengan uang receh.

Ayolah, negara maju sekelas AS saja masih menghargai uang 1 sennya yang seharga 100 perak rupiah, mengapa orang Indonesia yang uangnya nilai jauh di bawah dolar AS gengsi sekali soal uang receh?

Singkat cerita uang yang di buang oleh si pengamen kuambil. Aku bawa sampai ke kantor dan sekarang masih kusimpan. Nanti kusumbangkan ke tempat lain.

5 comments:

  1. Ngenes banget ya... padahal biaya buat bikin koin lebih mahal dr pd kertas....

    ReplyDelete
  2. Aku rasa bukan masalah gengsi sepertinya, melainkan karena sifat umum orang kita yang 'tidak enak'an, sehingga rasanya ketika memberikan uang receh seperti seakan-akan merepotkan orang karena uang receh itu ya gampang ilang dan relatif lebih rempong karena lebih berat.

    ReplyDelete
  3. tulisan sederhana yang sangat bermakna.

    ReplyDelete