Selalu saja ada orang di sekitar kita yang suka bertanya tentang gaji teman-temannya lalu membandingkannya dengan miliknya. Kita mungkin salah satunya. Saya mungkin, tapi saya selalu menghindarinya. Membandingkan antara jumlah gaji yang satu dengan yang lain memang mudah. Hasilnya jelas, siapa yang lebih ‘makmur’ adalah yang lebih besar dan yang lebih kecil yang ‘nelangsa’.
Seorang kawan saya bercerita kalau gaji seorang pegawai warteg di Jakarta biasanya berkisar 1 juta hingga 1,5 juta rupiah. Kalau dibandingkan mereka yang kerjadi kantoran yang bergaji 4 juta, tentu angka gaji pegawai warteg jauh lebih kecil. Dengan mudah, kita bisa berkesimpulan kalau mereka yang di kantoran lebih makmur.
Memang kelihatannya demikian. Tapi kita lupa banyak hal di luar sekedar angka gaji yang tidak kita perhitungkan. Pegawai warteg mungkin bergaji 1 juta rupiah, tapi ia tak butuh bayar tempat tinggal dan bayar makan. Gaji 1 juta itu sudah bersih ia bisa simpan. Sementara mereka yang bergaji 4 juta, harus membayar kos, makan, dan juga transport.
Katakanlah kos di Jakarta mencapai 750 ribu, makan 1,5 juta, dan transportasi 500 ribu. Jadi uang yang bisa disimpan hanya sekitar 1,25 juta. Kalau ini dibandingkan dengan yang bergaji 1 juta, ya yang kantoran akan sedikit beruntung. Tapi jika dibandingkan dengan yang bergaji 1,5 juta, yang kantoran tentu yang ‘nelangsa’.
Siapa nelangsa, siapa makmur
Itu hanya sedikit hal yang banyak orang tidak atau lupa menghitungnya. Tapi di luar itu, ada banyak hal lainnya yang harus kita perhatikan sebelum kita men-judge diri kita lebih ‘nelangsa’ atau lebih ‘makmur’.