Monday, December 13, 2010

Merajut Persaudaraan

ilustrasi (http://fitrisusanti.wordpress.com)
Heh, itu tuh salah
Ini yang bener
Kalu ngga ikut saya, awas ya!
Ah, kamu itu apa? Salah kaprah pahammu itu

Saya sebenarnya bingung juga mendengar isu-isu terorime. Apalagi kejadian itu ada di negeri kita sendiri ini. Padahal, dalam sejarah, tak ada ceritanya teror-meneror itu jadi budaya kita. Negeri kita adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Negeri yang aman untuk siapa saja singgah.

Ehh ada orang iseng ngebom di Bali 2002 lalu.

Kalau ngomong secara global, Peristiwa 11 September tentunya bisa dikatakan menjadi starting point isu-isu terorisme sialan itu. Setelah itu mengalir anggapan-anggpan bahwa agama tertentu mengajarkan terorisme. Ajarannya dianggap memberikan anjuran untuk membunuh orang lain yang tak sekeyakinan. Oh.

Karena negeri saya dan kamu ini berpenduduk mayoritas agama itu, yakni Islam, ya jadilah kita di-stereotyping-kan sarang teroris. Yang ini sungguh membuat saya pening sendiri. Lha wong saya ngga ikutan ngebom, (ikutan sesalkan si tukang bom iya), eh jadi ikutan dikira teroris.Enak aja!

Setahu saya, semua agama mengajarkan kedamaian. Ya ngga? Mengapa harus ada perpecahan?

Tapi ternyata tak hanya di negeri kita ini, konflik berbau agama juga terjadi di berbagai daerah. Korban berjatuhan, bahkan yang ngga tau apa-apa, ehh DOOR! tiba-tiba mati kena tembak, eh BUARRRR! Tiba-tiba bom bunuh diri. Miris kan dengernya. Bagi saya, adalah orang yang otaknya sudah miring lebih dari 45 derajat yang suka keributan itu. Ngga kurang tuh miringnya?

Kalau mau ditelusuri, konflik-konflik tersebut sebenarnya hanya masalah pemahaman. Seringkali terjadi perbedaan penafsiran atas ajaran. Yang bikin runyam lagi adalah tiap perbedaan itu dikelompokkan dan setiap kelompok bilang kalau mereka ‘paling benar’.

Kalau saya jawab, emang kamu Tuhan?! Kok berani bilang ‘paling benar’. Sudah hukum Tuhan kalau manusia itu dikelilingi oleh salah dan lupa. Jadi kalau mikir paling benar, ya berarti sudah mengingkari Tuhan. Kalau kita merasa rang lain salah, ya diingatkan. Kalau tetap ngeyel ya silahkan, toh mereka punya dasar pijakan sendiri. Taaapi, (a-nya sengaja saya banyakin biar lebih mantab) kalau bikin rusuh dan neror sana-sini, baru itu masalah dan kita harus bertindak.

Bagi saya, perbedaan itu adalah lumrah, itu sudah pasti terjadi. Seribu orang bisa punya seribu persepsi bahkan lebih. Sebuah masalah bisa dipandang dari berbagai sudut pandang. Berbeda situasi, berbeda interpretasi. Berbeda kondisi, berbeda edukasi, berbeda cara memahami. Bukannya begitu?

Saya kira menyamakan itu pastinya sulit, tapi menghargai sekiranya bisa menengahi perbedaan itu. Lagipula, memang Allah menciptakan manusia bersuku-suku nan berbeda-beda. Jadi pengakuan diri sebagai yang terbaik tentu adalah hal naïf.

Sekarang sudah saatnya kita merajut persatuan. Bukan berarti menyamakan pemahaman, tetapi saling memahami adalah yang terbaik. Biarkan orang lain menjalankan pemahamannya. Bukankah sambung persaudaraan adalah hal terbaik?


5 comments:

  1. ya kawan, para teroris itu memang selalu merugikan kalangan banyak, baik nyawa manusia, juga salah satu agama.

    ReplyDelete
  2. iya iya iya....
    kita kan negara kesatuan, kenapa qt ga bersatu aja bwt memerangi suber utama masalahnya, tp dengan cara rasul tentu nya....

    ReplyDelete
  3. seneng deh kalau masih ada orang yang mikir kayak gini... emang dari jaman menara babel kan kita emnag udah disetting untuk berbeda tapi bukan berarti bisa seenaknya pada yang tidak sama dengan kita...good job!^^

    ReplyDelete
  4. Menurut gw para pengebom yang mengatas namakan suatu agama itu udah salah kaprah deh. karena dalam agama apapun yang judlnya jihad bukan dengan membuat teror dimana2.

    mengenai perbedaan pemahaman, wajar ajah karena manusia satu sama laen kan isi kepalanya beda2. tapi sekarang balik lagi ke kita masing2 bagaimana supaya perbedaan itu bukan dijadikan hambatan. Bukankah karena adanya perbedaan maka ada asam garam kehidupan

    Btw kapan wisuda Cid? dah sidang kah? Sukses yah

    ReplyDelete