Wednesday, March 25, 2015

S-Word dan Pendidikan Bahasa Inggris Kita

Kegiatan Conversational English Circle yang saya inisiasi untuk belajar Bahasa Inggis bersama

“Haha, gue sorry banget setiap kali gue nyebut nama lu sambil ngomong bahasa Inggris, serasa ngomong jelek. Roshit!”

Sering kali saya mendengar pernyataan itu dari berbagai kawan-kawan saya yang tentunya orang Indonesia. Nama Rosyid memang pada akhirnya sering dilafalkan Roshit, dengan akhiran huruf t. Ini terjadi karena memang dalam bahasa Indonesia, tidak banyak terdapat kata dengan akhiran d.

Konstruksi kata-kata dalam bahasa Indonesia ini kemudian membuat aksen mereka yang berbahasa Indoensia tidak mengenal akhiran 'd'. Dampaknya, beberapa kata yang berakhiran 'd' pun dilafalkan berakhiran 't', seperti kata akad, tekad, dan Rosyid, nama saya sendiri. Ketiganya sering terbaca: akat, tekat dan roshit.

Ketika mereka yang beraksen bahasa Indonesia ini mencoba berbahasa Inggris, disitulah masalah datang. Mereka umumnya tidak bisa membedakan mana yang harus berakhiran 'd' atau 't'. Bagi mereka, Kebanyakan juga, kata 'kid' akan dilafalkan 'kit', kata 'Sid' (nama orang) akan sama dengan 'sit'. Tentu juga, nama saya Rosyid menjadi Roshit yang tentu membuatnya terdengar jorok.

Ketika mendengar mereka menertawakan nama saya dan merasa ‘sorry’ melafalkannya dengan Roshit, sebenarnya yang lebih berhak tertawa adalah saya. Mengapa? Jelas sekali mereka tidak paham bahasa Inggris dengan baik. Dengan kesalahan yang tak mereka sadari, mereka merasa kasihan kepada orang lain dimana orang lain itu yang seharusnya merasa kasihan kepadanya.

Sebenarnya saya selalu ingin bilang, “Haha, itu lu aja yang ngga ngerti Bahasa Inggris… Udah salah, bangga lagi…” Tapi tentu saya berpikir, buat apa juga sibuk-sibuk  menanggapi. Lebih baik ikut tertawa saja.

Jika dirunut lebih jauh, ketidaktahuan mereka pada kesalahan dalam pengertian mereka berbahasa Inggris bersumber pada pendidikan bahasa asing, khsusnya Bahasa Inggris, kita yang perlu dibenahi.

Di Indonesia, rata-rata mereka yang sekarang ini seangkatan saya (Saya lulus SMA 2008 lalu) sudah belajar Bahasa Inggris sejak kelas 3 SD. Kalau dihitung, bayangkan, kami sudah belajar Bahasa Inggris, katakanlah sampai SMA, sudah 9 tahun lamanya belajar. Nyatanya, banyak yang masih ‘gaguk’ berbahasa Inggris.

Apakah saya tidak gaguk? Tentu! Ketika masuk bangku kuliah pada 2008 lalu, saya masih tidak bisa berbahasa ini dengan baik. Dalam beberapa kali ujian TOEFL yang diselenggarakan kampus, nilai saya masih saja selalu buruk. Namun saya tak ketinggalan dan terus belajar. Nilai saya yang buruk memang tetap buruk, tapi saya membuat peningkatan dari tiap tes per semester yang saya ambil.

Fog atau F#ck

Pada akhirnya saya mendapat beasiswa untuk menghabiskan setahun masa akhir kuliah saya untuk belajar di Amerika Serikat. Ketika sampai di sana, saya mencoba untuk berbincang dengan warga lokal. Dalam sering kali kesempatan, mereka tidak memahami apa yang saya katakan, padahal saya sudah berusaha sekuat tenaga berbahasa Inggris. Di situ kadang saya merasa sedih…

Momen inilah yang kemudian menyadarkan saya bahwa ada masalah dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Banyak pelafalan kata yang saya temui berbeda sekali. Selain itu, di Indonesia, saya tidak pernah mendengar bahwa Bahasa Inggris punya aksen yang berbeda-beda.

Begini, karena pelafalan yang kurang benar, banyak orang Amerika yang saya temui tidak memahami Bahasa Inggris saya. Salah satu yang paling membuat saya malu adalah ketika saya ingin katakan kata ‘fog’ tapi berakhir dengan ‘f#ck’ karena di Indonesia kita tidak punya kata dengan akhiran 'g'. Saya sampai diperingatkan teman karena berulang-ulang mengatakan kata jorok itu.

Saya lakukan itu sebab ketika belajar Bahasa Inggris di Indonesia, tidak juga ada yang membetulkannya. Tidak guru Bahasa Inggris sekalipun. Di sinilah masalahnya. Meski belajar Bahasa Inggris seribu tahun kalau cara pengajarannya aka kurikulum dan juga kualitas guru nya kurang baik, maka waktu yang lama itu terbuang sia-sia saja.

Kualitas Guru Bahasa Inggris

Di Amerika, saya baru tahu kalau Bahasa ini punya berbagai aksen. Dulu saya melihat film Hollywood yang beraksen Amerika sama saja dengan bahasa Inggris dari radio BBC. Setelah beberapa bulan di Amerika, saya baru sadar, oh beda ya ternyata. Hal ini juga tak pernah saya pelajari pun diberi tahu selama 9 tahun belajar Bahasa Inggris di Indonesia.

Bayangkan, 9 tahun lamanya (dalam kasus saya dan kawan-kawan saya seangkatan, plus 1 tahun di universitas), Bahasa Inggris kami seperti tak bertaji, tak berarti, tak berguna. Tentu ada gunanya, tapi buat apa juga kalau ketika dipakai berkomunikasi tidak bisa.

Ketika belajar di Amerika inilah saya seperti belajar dari awal lagi. Saya tentu harus seringkali menahan malu ketika sudah capek-capek bicara, kawan saya hanya bilang, “Rosyid, I don’t understand… Sorry…, would you say that again…” Saya mulai belajar pelafalan kata-kata lagi. Saya beruntung ada seseorang yang mau mengajari saya 2 kali seminggu. Saya diminta membaca artikel dan ia membetulkan banyak sekali pelafalan saya.

Yang paling saya ingat adalah ‘laboratory’ yang ternyata harus dibaca ‘labratri’, bukan ‘laboratori’.

Karena itu, penting untuk melihat sebenarnya bagaimana kurikulum pendidikan bahasa asing kita, sekali lagi khususnya bahasa Inggris. Bahasa tentu bukan hanya soal mengisi titik-titik pada soal-soal di LKS, tapi juga bagaimana berbicara dan lebih penting menyampaikan ide baik dengan berbicara dan menulis yang baik.

Kualitas guru pengajar bahasa Inggris juga menjadi perhatian saya. Banyak guru pengajar Bahasa Inggris yang kurang mengerti bahasa ini khususnya soal pelafalan. Tentu bukan salah mereka sebab mereka mungkin juga lulusan universitas jurusan bahasa Inggris di dalam negeri yang juga dosennya kurang bisa berbahasa Inggris.

Yang dibutuhkan adalah guru yang punya eksposur dengan dunia dimana bahasa ini menjadi bahasa ibunya. Mereka yang bisa mengajar seharusnya yang telah memahami benar bagaimana bahasa ini digunakan. Saya masih ingat sekali salah satu guru bahasa Inggris saya semasa SMA. Daripada mengajar, dia lebih sering menggumam dan bercerita cerita rakyat.

Jika kurikulumnya memang sudah baik, maka tinggal kualitas gurunya diperbaiki. Jika begitu, tentu bahasa Inggris anak-anak Indonesia secara umum akan baik.

Tentu juga, tak akan ada lagi yang merasa kasihan kepada saya karena nama saya dianggap jorok. Oh, ngomong-ngomong, nama saya itu Rosyid, dan pelafalannya yang benar itu ‘Rosheed’.



1 comment: